[Fikrul Islam] : Sistem Sanksi dalam Islam
Seandainya seseorang melanggar hukum-hukum Islam, ia terkategori berbuat cela (al-qabih) sehingga berarti ia telah berbuat kejahatan (al-jarimah). Itulah sebabnya, butuh adanya sanksi bagi tindakan kejahatan ini sehingga seseorang dapat menjalankan setiap perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya.
Penulis: Muhammad Husain Abdullah
Muslimah News, FIKRUL ISLAM — Kejahatan/kriminal (al-jarimah) tidaklah lahir secara fitri dalam diri manusia. Bukan pula sebuah penyakit yang menimpanya. Namun, kejahatan merupakan sebuah pelanggaran terhadap aturan syarak yang mengatur interaksi manusia dengan Rabb-nya, interaksi manusia dengan dirinya sendiri, dan dengan orang lain.
Islam telah memberikan aturan bagi segala aktivitas manusia berdasarkan hukum syar’i. Seandainya ia melanggar hukum-hukum tersebut, maka ia terkategori telah berbuat cela (al-qabih), sehingga dapat dikatakan juga bahwa ia telah berbuat kejahatan (al-jarimah). Itulah sebabnya, dibutuhkan adanya suatu sanksi bagi tindakan kejahatan ini sehingga seseorang dapat menjalankan setiap yang diperintahkan Allah dan menjauhi segala hal yang dilarang-Nya.
Syariat Islam telah menjelaskan bahwa bagi setiap tindak kejahatan akan dikenai sanksi di akhirat kelak dan sanksi di dunia. Allah berfirman,
وَلِلَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِرَبِّهِمْ عَذَابُ جَهَنَّمَۗ وَبِئْسَ الْمَصِيْرُ
“Dan untuk orang-orang yang kafir kepada Tuhannya (mendapat) azab jahanam dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS Al Mulk[67]: 6).
فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّيْنَۙ – ٤ الَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُوْنَۙ – ٥
“Maka celakalah bagi orang yang salat. (Yaitu) orang lalai dari salatnya.” (QS Al Ma’un[107]: 4-5).
Namun demikian, keputusan terhadap orang-orang yang berdosa, urusannya dikembalikan kepada Allah. Jika Dia menghendaki, Dia akan menjatuhkan azab kepada mereka, dan jika tidak, Dia akan mengampuninya. Allah berfirman,
اِنَّ اللهَ لَا يَغْفِرُ اَنْ يُّشْرَكَ بِهٖ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذٰلِكَ لِمَنْ يَّشَاۤءُۚ وَمَنْ يُّشْرِكْ بِاللهِ فَقَدِ افْتَرٰٓى اِثْمًا عَظِيْمًا
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) yang menyekutukan-Nya dengan sesuatu (syirik) dan mengampuni dosa selain dari itu terhadap siapa yang dikehendakinya.” (QS An-Nisaa[4]: 48).
Mengenai sanksi (‘uqubat) di dunia, maka pelaksanaannya dilangsungkan oleh al-imam (khalifah) ataupun orang yang ditunjuk mewakilinya. Dengan kata lain, negaralah yang melaksanakannya. Sanksi yang dijatuhkan di dunia bagi si pendosa ini akan mengakibatkan gugurnya siksa di akhirat.
Itulah alasan mengapa sanksi-sanksi dalam Islam berfungsi sebagai pencegah (zawajir) dan penebus (jawabir). Disebut sebagai ‘pencegah’ karena sebuah sanksi akan mencegah orang-orang untuk melakukan suatu tindakan dosa dan kriminal. Dikatakan sebagai ‘penebus’ karena sanksi yang dijatuhkan akan menggugurkan sanksi di akhirat.
Maka dari itu, seseorang yang telah mendapat sanksi yang syar’i di dunia, maka gugurlah sanksi baginya di akhirat. Argumen (dalil) mengenai masalah ini adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari yang diterima dari ‘Ubadah bin Ash Shamit yang mengatakan, “Suatu ketika kami bersama Rasululah dalam sebuah majelis. Rasul kemudian bersabda, ‘Baiatlah aku dalam rangka agar kalian tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apa pun, tidak mencuri, berzina…” Beliau kemudian membaca, ‘Barang siapa di antara kalian yang menepatinya, maka pahalanya ada di sisi Allah. Dan barang siapa yang melanggarnya maka ia akan diberi sanksi (‘iqab) sebagai penebus (kafarat) baginya. Dan barang siapa yang melanggarnya, tetapi (kesalahan itu, penerj.) ditutupi oleh Allah, jika Allah menghendaki maka Ia akan mengampuni. Dan jika Ia menghendaki maka ia akan mengazabnya.”
Sanksi-sanksi yang dijatuhkan oleh negara kepada pelaku dosa dan kejahatan merupakan metode praktis (thariqah ‘amaliyyah) untuk melaksanakan perintah dan larangan Allah. Perbuatan-perbuatan yang akan dijatuhkan hukuman oleh syarak itu sendiri ada tiga, yakni (1) meninggalkan kewajiban, seperti meninggalkan salat dan jihad; (2) melakukan yang haram, seperti minum khamar dan mencaci Rasul saw.; dan (3) melanggar aturan-aturan administrasi negara, seperti lalu lintas dan masalah izin mendirikan bangunan. [MNews/Rgl]
Sumber: Muhammad Husain Abdullah, Studi Dasar-Dasar Pemikiran Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar