*BULETIN DAKWAH KAFFAH – 228*
18 Jumadil Akhir 1443 H/21 Januari 2022 M
*HUKUM UNTUK SEMUA*
Dalam beberapa waktu terakhir, ada satu kasus yang mencuat yang menjadi perhatian publik. Aktivis 98, Ubedilah Badrun, melaporkan dua anak Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming dan Kaesang Pangarep, ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pada Senin, 10 Januari 2022. Laporan itu perihal dugaan tindak pidana korupsi dan pencucian uang lewat bisnis kedua anak Jokowi yang mempunyai relasi dengan perusahaan pembakar hutan (_Tempo.co_, 17/1/2022).
Buntut dari laporan itu, Ketua Umum Relawan Jokowi Mania, Immanuel Ebenezer, melaporkan Ubedilah Badrun ke Polda Metro Jaya, karena dianggap menyampaikan laporan palsu (_Tempo.com_, 16/1/2022).
Selain itu, setelah pelaporan itu, Ubedilah Badrun diberitakan mengalami teror setidaknya dalam tiga bentuk: ancaman di medsos, telpon pada malam hari dari orang tidak dikenal dan rumahnya diamati oleh dua orang (_Jpnn.com_, 16/1/2022).
Sekarang bolanya tentu ada di pihak aparat penegak hukum, baik KPK maupun Kepolisian. Banyak yang berharap, semua kasus hukum, apapun kasusnya, dan melibatkan siapapun, bisa ditangani secara adil dan profesional demi menegakkan hukum, mewujudkan keadilan dan memenuhi rasa keadilan di masyarakat.
*Harus Adil*
Islam mensyariatkan agar penegakan hukum harus dilakukan secara adil. Penegakan hukum tidak boleh dipengaruhi oleh rasa suka dan tidak suka, kawan atau lawan, dekat atau jauh.
وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ
_Janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap sesuatu kaum mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat pada ketakwaan_ (TQS al-Maidah [5]: 8).
Imam ath-Thabari menjelaskan ayat di atas, “Allah SWT berfirman: Janganlah permusuhan kalian terhadap suatu kaum mendorong kalian untuk tidak berlaku adil dalam menghukumi mereka dan memperlakukan mereka sehingga kalian berlaku zalim terhadap mereka karena adanya permusuhan antara kalian dan mereka.” (Ath-Thabari, _Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân_, 10/95 [Maktabah Syamilah]).
Begitu pula, penegakan hukum tidak boleh dipengaruhi oleh rasa kasihan, yakni rasa kasihan yang menyebabkan tidak menjalankan hukum terhadap pelaku kriminal. Allah SWT berfirman:
... وَلَا تَأْخُذْكُم بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ ...
_Janganlah rasa kasihan kepada keduanya (pelaku zina) mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allah_ (TQS an-Nur [24]: 2).
*Harus Berlaku untuk Semua*
Islam mensyariatkan bahwa hukum itu harus berlaku untuk semua dan diberlakukan untuk semua. Tidak boleh ada _privilege_ dalam penerapan hukum sehingga seolah ada orang atau kelompok orang yang tak tersentuh hukum. Rasulullah saw. bersabda:
«أَقِيمُوا حُدُودَ اللَّهِ فِى الْقَرِيبِ وَالْبَعِيدِ وَلاَ تَأْخُذْكُمْ فِى اللَّهِ لَوْمَةُ لاَئِمٍ»
_Tegakkanlah hukum Allah atas orang dekat ataupun yang jauh. Janganlah celaan orang yang suka mencela menghalangi kalian untuk menegakkan hukum Allah_ (HR Ibnu Majah, al-Hakim dan al-Baihaqi).
Hadis ini jelas memerintahkan kita untuk menegakkan hukum tanpa diskriminasi (tebang-pilih). Frasa _fî al-qarîb wa al-ba’îd_ maknanya bisa yang dekat dan yang jauh dari sisi nasab dan kekerabatan. Bisa juga bermakna yang kuat dan yang lemah atau yang bangsawan/pejabat/tokoh dan rakyat biasa. Bisa pula berlaku untuk yang dekat dan yang jauh dari aspek apapun karena frasa tersebut bersifat umum. Bisa dari sisi pertemanan, persahabatan, kelompok, nasab, kerabat, hubungan bisnis, pendukung dan aspek lainnya. Bisa juga frasa tersebut bermakna kedekatan hubungan. Jadi kedekatan personal tidak boleh berpengaruh dalam menerapkan hukum.
Bisa juga kedekatan itu dari sisi kedekatan dengan kekuasaan dan penguasa. Lalu orang-orang yang dekat dengan kekuasaan atau dekat dengan penguasa, atau orang-orang yang ada di lingkaran kekuasaan, bisa dengan mudah lolos dari jerat hukum. Bisa juga kedekatan itu dipahami dari sisi kuat dan lemahnya pengaruh di masyarakat, banyak dan sedikitnya pengikut, banyak sedikitnya kekayaan, dsb. Semua itu tidak boleh mempengaruhi penegakan hukum.
Rasul saw. juga memperingatkan: _Lâ ta`khudzkum filLâh lawmatu lâ`im_! Maknanya: _Janganlah celaan orang yang suka mencela menghalangi kalian untuk menegakkan hukum Allah._ Jangan sampai komentar-komentar orang mempengaruhi penegakan hukum. Komentar orang hendaknya tidak dipedulikan, baik komentar mendukung, apalagi komentar orang yang mencela. Artinya, yang harus diperhatikan adalah penegakan hukum dan keadilan itu sendiri, yakni penegakan hukum yang bersumber dari Allah SWT sebagai sebuah kewajiban. Karena itu yang boleh diperhatikan hanyalah pertimbangan-pertimbangan hukum sesuai ketentuan hukum syariah. Pertimbangan-pertimbangan lainnya tidak boleh diperhatikan apalagi sampai mempengaruhi penegakan hukum, baik membuat hukuman menjadi lebih berat atau menjadi lebih ringan, apalagi sampai lolos dari hukum.
Rasul saw. memperingatkan bahwa penegakan hukum secara diskriminatif justru akan menyebabkan kehancuran masyarakat. Ummul Mukminin Aisyah ra. menuturkan, bahwa pernah ada seorang perempuan terhormat dari Quraisy Bani Makhzum mencuri. Lalu mereka berkata, “Siapa yang bisa bicara kepada Rasulullah tentang dia? Tidak ada yang bisa kecuali Usamah bin Zaid.” Lalu Usamah berbicara kepada Rasul saw. Beliau bersabda “Usamah, apakah engkau hendak memintakan keringanan dalam penegakan hukum Allah?” Rasul saw. pun berdiri dan berpidato:
«إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمُ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ، وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمُ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ، وَايْمُ اللَّهِ، لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ ابْنَةَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا»
_Sungguh yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah bahwa mereka itu, jika orang mulia di antara mereka mencuri, mereka biarkan; dan jika orang lemah mencuri, mereka tegakkan hukum atasnya. Demi Allah, andai Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya akan aku potong tangannya.”_ (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, an-Nasai, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad).
Hadis ini menegaskan asas persamaan di muka hukum. Semua orang punya kedudukan yang sama di muka hukum. Tidak seorang pun berada di atas hukum. Tidak seorang pun yang punya hak istimewa dan kebal dari hukum.
Rasul saw. memperingatkan bahwa penyimpangan terhadap pelaksanaan asas persamaan di depan hukum menjadi sebab kemunduran, kerusakan bahkan kebinasaan suatu kaum atau masyarakat.
*Solusi Islam*
Dalam pandangan Islam, kunci keberhasilan pencegahan dan pemberantasan KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) ada dua: (1) sistem hukum/pemerintahan yang anti KKN; (2) pejabat dan aparatur pelaksana serta penegak hukum yang jujur, bersih, tegas dan konsisten.
Sistem hukum/pemerintahan yang anti KKN tidak lain adalah sistem hukum/pemerintahan Islam. Dalam sistem hukum/pemerintahan Islam tidak akan ada politik biaya tinggi. Celah bagi KKN dalam pemilihan penguasa dan pejabat dan setelahnya akan tertutup sama sekali. Tidak seperti sistem hukum/pemerintahan seperti sekarang ini.
Secara praktis, pencegahan dan pemberantasan korupsi dilakukan melalui: _Pertama_, penanaman iman dan takwa, khususnya kepada pejabat dan pegawai. Aspek ketakwaan menjadi standar utama dalam pemilihan pejabat, bukan kedekatan dan balas jasa politik. Ketakwaan itu akan mencegah pejabat dan pegawai melakukan kejahatan korupsi.
_Kedua_, sistem penggajian dan kompensasi yang layak sehingga tidak ada alasan bagi siapapun untuk berlaku korup.
_Ketiga_, ketentuan serta batasan yang sederhana dan jelas tentang harta _ghulûl_ (haram) serta penerapan pembuktian terbalik. Ini disertai dengan pencatatan harta pejabat dan aparatur serta audit secara berkala. Jika mencurigakan, yang bersangkutan harus membuktikan hartanya diperoleh secara benar dan legal. Jika tidak maka jumlah yang tidak wajar itu disita untuk Negara, baik sebagian atau seluruhnya.
_Keempat_, hukuman yang bisa memberikan efek jera dalam bentuk sanksi _ta’zîr_. Hukuman itu bisa berupa _tasyhîr_ (pewartaan/ekspos), denda, penjara bahkan bisa sampai hukuman mati, sesuai dengan tingkat dan dampak korupsinya. Sanksi penyitaan harta _ghulûl_ juga bisa ditambah dengan denda. Gabungan keduanya ini sekarang dikenal dengan pemiskinan terhadap para koruptor.
Pelaksanaannya dilakukan oleh pemimpin yang tegas dan konsisten. Hal itu seperti dicontohkan oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. Jika Umar ra. mendapati kekayaan seorang wali atau _'âmil_ (kepala daerah) bertambah secara tidak wajar, beliau meminta pejabat tersebut menjelaskan asal-usul harta tambahan tak wajar tersebut. Jika penjelasannya tidak memuaskan, kelebihannya disita atau dibagi dua. Separuhnya diserahkan ke Baitul Mal. Hal ini pernah beliau lakukan kepada Abu Hurairah, Utbah bin Abu Sufyan, juga Amr bin al-‘Ash (Ibnu ’Abd Rabbih, _Al-’Iqd al-Farîd_, I/46-47).
Ketegasan itu tetap dilakukan terhadap kerabat dan keluarga sendiri. Ketika melihat unta milik Abdullah bin Umar paling gemuk di antara unta yang digembalakan di padang gembalaan umum, beliau menyuruh Abdullah bin Umar menjual unta itu. Lalu kelebihan dari modalnya dimasukkan ke kas Negara. Khalifah Umar menilai, unta itu paling gemuk karena mendapat rumput terbaik mengingat Abdullah bin Umar adalah putra Khalifah.
*Khatimah*
Fakta pencegahan dan pemberantasan KKN hari ini serasa makin mundur. Tentu akan berbeda jika sistem hukum/pemerintahan Islam dan syariahnya diterapkan. Islam dan syariahnya, yang diterapkan oleh penguasa dan aparatur yang bertakwa, akan dapat secara tuntas mencegah dan memberantas KKN. Semua itu menegaskan penting dan mendesaknya penerapan syariah Islam secara _kâffah_ di tengah-tengah kita.
_WalLâh a’lam bi ash-shawwâb wa ahkam._ []
*Hikmah:*
اتَّقُوا الظُّلْمَ فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
_Takutlah kalian berbuat zalim karena sesungguhnya kezaliman adalah kegelapan pada Hari Kiamat._ (HR Muslim). []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar