Minggu, 30 Januari 2022

LAYANAN KESEHATAN: HAK RAKYAT, BUKAN DAGANGAN PEJABAT


*BULETIN DAKWAH KAFFAH – 218*  
06 Rabiul Akhir 1443 H/12 November 2021 M


*LAYANAN KESEHATAN: HAK RAKYAT, BUKAN DAGANGAN PEJABAT*

Terbongkarnya pejabat negara dalam bisnis layanan tes kesehatan PCR tentu sangat memalukan dan memilukan. Bagaimana tidak. Selama pandemi, rakyat sudah sangat susah. Banyak yang kesulitan secara ekonomi. Saat yang sama, untuk berbagai keperluan rakyat berkali-kali harus melakukan tes kesehatan yang tidak gratis. Mereka harus membayar. Bahkan dengan harga sangat mahal. 

Pada awal pandemi layanan tes PCR mencapai jutaan rupiah. Kini, setelah banyak diprotes, harganya turun ke kisaran ratusan ribu rupiah. Itu pun masih dianggap mahal. Sebagian kalangan menyebut tes PCR bisa hanya puluhan ribu rupiah saja. Yang pasti, berapapun harganya, sudah seharusnya semua itu ditanggung Negara. Artinya, rakyat seharusnya bisa memperoleh layanan kesehatan, termasuk tes PCR, secara gratis. 

Namun, yang terjadi tidak demikian. Rakyat harus membayar mahal layanan tes PCR. Bukan kepada negara, tetapi kepada pihak swasta. Ironinya, sebagian perusahaan swasta penyedia layanan kesehatan tes PCR itu dimiliki oleh segelintir pejabat negara. Mereka yang membuat kebijakan. Mereka juga yang jualan dan menikmati _cuan_ besar-besaran. Tentu semua itu adalah hasil dari “merampok” uang rakyat dengan memanfaatkan kebijakan wajib tes PCR yang mereka buat sendiri. Sangat tidak bermoral!


*Nikmat Kesehatan*

Di antara nikmat besar yang Allah SWT karuniakan kepada manusia adalah kesehatan. Betapa besarnya nikmat kesehatan dinyatakan oleh Rasulullah saw. dalam sabda beliau:

»مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ مُعَافًى فِي جَسَدِهِ آمِنًا فِي سِرْبِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا «

_Siapa saja di antara kalian yang masuk waktu pagi dalam keadaan sehat badannya, aman dalam rumahnya dan punya makanan pokok pada hari itu maka seolah-olah seluruh dunia dikumpulkan untuk dirinya_ (HR Ibnu Majah).

Karena itu Islam memerintahkan kaum Muslim untuk menjaga kesehatan. Jangan sampai seorang Muslim mengabaikan kesehatan walaupun dengan alasan ibadah kepada Allah SWT. Rasulullah saw. pernah menegur Sahabat Abdullah bin Amru bin al-Ash ra. yang beribadah terus-menerus:

»فَإِنَّكَ إِذَا فَعَلْتَ ذَلِكَ هَجَمَتْ عَيْنُكَ وَنَفِهَتْ نَفْسُكَ وَإِنَّ لِنَفْسِكَ حَقًّا وَلِأَهْلِكَ حَقًّا فَصُمْ وَأَفْطِرْ وَقُمْ وَنَمْ «

_Sungguh jika kamu melakukan hal itu terus-menerus maka nanti matamu letih dan jiwamu lemah. Sungguh untuk dirimu ada haknya. Keluargamu juga punya hak. Karena itu berpuasalah dan berbukalah; bangunlah (untuk shalat malam) dan tidurlah_ (HR al-Bukhari).

Kaum Muslim juga diperintahkan untuk menghindari wabah penyakit. Nabi saw. bersabda:

»فِرَّ مِنَ الْمَجْذُوْمِ فِرَارَكَ مِنَ الأَسَدِ«

_Larilah dari wabah penyakit kusta seperti engkau lari dari singa_ (HR Muslim).

Jika sakit, kaum Muslim diperintahkan untuk berobat. Nabi saw. bersabda:

»إِنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ وَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءً فَتَدَاوَوْا وَلَا تَدَاوَوْا بِحَرَامٍ«

_Sungguh Allah telah menurunkan penyakit dan obat. Dia telah menjadikan bagi setiap penyakit ada obatnya. Karena itu berobatlah dan jangan berobat dengan sesuatu yang haram!_ (HR Abu Dawud).


*Bisnis Kesehatan*

Pada faktanya, rakyat membutuhkan peran Negara untuk menjaga kesehatan dan pengobatan. Apalagi pada masa wabah, pelayanan kesehatan secara menyeluruh semisal tes Covid-19 dan perawatan serta jaminan hidup tidak mungkin dapat dipenuhi warga secara mandiri. Negara seharusnya hadir untuk memberikan pelayanan kesehatan secara gratis dan perlindungan kepada rakyatnya.

Namun, dalam sistem kapitalisme, kesehatan dan nyawa manusia justru menjadi komoditi bisnis. Dalam kasus pandemi Covid-19 ini, misalnya, Negara terbukti membiarkan para pengusaha berlomba-lomba mengambil keuntungan besar dari bisnis di bidang kesehatan. Ironisnya, bisnis layanan kesehatan berupa tes PCR sebagian dipegang oleh perusahaan milik pejabat negara. 

Yang lebih ironis, layanan tes PCR di Tanah Air pernah mencapai Rp 2 juta. Jauh di atas harga pokok produksi. Padahal, sebagai perbandingan, di Tokyo Haneda tes PCR adalah US 17 dolar atau sekitar Rp 241 ribu rupiah. Di Mumbai lebih murah lagi, tes PCR US 8 dolar atau hanya sekitar Rp 113 ribu! (_Kompas.com_, 14/08). 

Belakangan, Aiman Witjaksono, seorang jurnalis melakukan investigasi terhadap biaya tes PCR, ternyata ia menemukan harganya bisa hanya 10 ribu rupiah saja (_Kompas.com_, 9/11)! Sungguh keterlaluan! Karena itu ICW memperkirakan keuntungan yang diperoleh perusahaan-perusahaan tersebut bisa mencapai lebih dari Rp 10 triliun (_Pikiran-rakyat.com_, 4/11).

Yang makin membuat geram dan marah, tak ada sanksi hukum apapun terhadap para pejabat negara dan koleganya yang membisniskan layanan kesehatan ini. Padahal terlihat jelas mereka telah melakukan penyimpangan kekuasaan. 


*Kewajiban Negara* 

Dalam Islam, pelayanan kesehatan termasuk kewajiban Negara. Ini sesuai dengan sabda Rasul saw.:

»الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ«

_Pemimpin Negara adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus_ (HR al-Bukhari). 

Salah satu tanggung jawab pemimpin negara adalah menyediakan layanan kesehatan dan pengobatan bagi rakyatnya secara cuma-cuma alias gratis. Dalilnya adalah kebijakan Nabi Muhammad saw.—dalam posisi beliau sebagai kepala negara—yang pernah mengirim dokter gratis untuk mengobati salah satu warganya, yakni Ubay bin Kaab, yang sakit. Diriwayatkan, ketika Nabi saw. mendapatkan hadiah seorang dokter dari Muqauqis, Raja Mesir, beliau menjadikan dokter itu sebagai dokter umum bagi masyarakat umum (HR Muslim). 

Dalam riwayat lain disebutkan, serombongan orang dari Kabilah ‘Urainah masuk Islam. Mereka lalu jatuh sakit di Madinah. Rasulullah saw. selaku kepala negara kemudian meminta mereka untuk tinggal di penggembalaan unta zakat yang dikelola Baitul Mal di dekat Quba’. Mereka diperbolehkan minum air susunya secara gratis sampai sembuh (HR al-Bukhari dan Muslim). 

Kebijakan ini pun dilanjutkan oleh para khalifah sepeninggal Rasulullah saw. Sepeninggal Khulafaur Rasyidin, perhatian Negara Islam pada layanan kesehatan, pengobatan, juga riset kesehatan dan obat-obatan semakin pesat. Misalnya sekitar tahun 1000 M, Ammar ibn Ali al-Mawsili menemukan jarum hypodermic. Dengan itu dia dapat melakukan operasi bedah katarak pada mata. Ada pula Abu al-Qasim az-Zahrawi. Ia dianggap bapak ilmu bedah modern. Pasalnya, ia menemukan berbagai hal yang dibutuhkan dalam bidang pembedahan, termasuk plester dan 200 alat bedah. 

Sepanjang sejarahnya Khilafah Islam juga membangun banyak rumah sakit yang berkualitas untuk melayani rakyat secara gratis. Rumah sakit pertama dalam peradaban Islam dibangun atas permintaan Khalifah Al-Walid (705-715 M) pada era Khilafah Bani Umayah. Pada masa berikutnya beragam rumah sakit di berbagai kota dibangun dengan fasilitas yang bermutu. Bahkan sebagian dilengkapi sekolah kedokteran dan perpustakaan yang lengkap. Untuk melayani warga di pedalaman, para khalifah membangun rumah sakit keliling. Ini terjadi seperti pada masa Sultan Mahmud (511-525 H). 

Jaminan kesehatan dalam Islam itu memiliki empat sifat. _Pertama_: Universal. Artinya, tidak ada pengkelasan dan pembedaan dalam pemberian layanan kepada rakyat. _Kedua_: Bebas biaya alias gratis. Rakyat tidak boleh dikenai pungutan biaya untuk mendapat pelayanan kesehatan. _Ketiga_: Seluruh rakyat bisa mengakses layanan kesehatan dengan mudah. _Keempat_: Pelayanan mengikuti kebutuhan medis, bukan dibatasi oleh plafon seperti halnya JKN atau BPJS. Negara menanggung semua biaya pengobatan warganya.

Pemberian jaminan kesehatan seperti itu tentu membutuhkan dana sangat besar. Pembiayaannya bisa dipenuhi dari sumber-sumber pemasukan negara yang telah ditentukan oleh syariah. Di antaranya dari hasil pengelolaan harta kekayaan umum seperti hasil hutan, berbagai macam tambang, minyak dan gas, dan sebagainya. Juga dari sumber-sumber lain seperti _kharaj, jizyah, ghanîmah, fa’i, ‘usyur_, pengelolaan harta milik negara dan sebagainya. Semua itu lebih dari cukup untuk bisa memberikan pelayanan kesehatan secara memadai, berkualitas dan gratis untuk seluruh rakyat.

Karena itu haram membisniskan layanan kesehatan. Apalagi dilakukan oleh para pejabat negara dengan memanfaatkan jabatannya. Islam melarang keras pemimpin atau pejabat negara menipu rakyat untuk kepentingan bisnis mereka. Sebabnya, seharusnya pejabat negara menjadi pelayan rakyat, bukan malah mengeksploitasi mereka demi keuntungan pribadi. 

Syariah Islam tegas melarang para pejabat negara dan kerabatnya berbisnis ketika mereka menjadi penguasa. Khalifah Umar bin Khaththab ra. pernah merampas kambing-kambing harta perniagaan milik putranya, Abdullah, karena digembalakan di padang rumput milik Baitul Mal. Hewan-hewan itu lalu dijual. Lalu sebagian hasilnya dimasukkan ke Baitul Mal. Khalifah Umar menilai itu sebagai tindakan memanfaatkan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi. 

Semua itu tentu merupakan tuntunan sekaligus tuntutan syariah Islam. Karena itu penerapan seluruh syariah Islam, termasuk di bidang layanan kesehatan, adalah harga mati. Tidak bisa ditawar-tawar. Hal itu hanya bisa diwujudkan di bawah sistem yang dicontohkan dan ditinggalkan oleh Nabi saw., lalu dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin dan generasi selanjutnya. Itulah sistem Khilafah ar-Rasyidah yang mengikuti _manhaj_ kenabian. Inilah yang harus diperjuangkan oleh—sekaligus menjadi tanggung jawab—seluruh umat Islam.
_WalLaahu a’lam._ []


*Hikmah:*

Nabi saw. bersabda:

مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ

_Siapa saja yang diberi amanah oleh Allah untuk mengurus rakyat, lalu ia mati dalam keadaan menipu rakyatnya, niscaya Allah mengharamkan surga atas dirinya._ (HR Muslim). []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sejarah, Akar Masalah, dan Cara Islam Tuntaskan HIV/AIDS

*Sejarah, Akar Masalah, dan Cara Islam Tuntaskan HIV/AIDS* Oleh: Yenni Sarinah, S.Pd (Aktivis Pendidikan Kelahiran Selatpanjang, Riau) ...