*BULETIN DAKWAH KAFFAH – 220*
20 Rabiul Akhir 1443 H/26 November 2021 M
*MUI: KHILAFAH BAGIAN DARI ISLAM, JANGAN DISTIGMA NEGATIF*
Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI ke-7 yang digelar pada tanggal 9-11 November di Jakarta resmi ditutup Menteri Agama Yaqut Cholil Qaumas pada Kamis (11/11).
Perhelatan rutin tiga tahunan ini menyepakati 17 poin bahasan. Salah satunya tentang hukum jihad dan khilafah. Intinya, dalam salah satu rumusannya dinyatakan bahwa jihad dan khilafah adalah bagian dari ajaran Islam. Karena itu Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI tersebut lalu merekomendasikan agar masyarakat dan Pemerintah tidak memberikan stigma negatif terhadap makna jihad dan khilafah (_Mui.or.id_, 14/11/2021).
*Ijmak Ulama Aswaja*
Tentu fatwa MUI tentang Khilafah dan jihad sebagai bagian dari ajaran Islam sangat tepat. Di tengah berbagai upaya kriminalisasi terhadap ajaran Khilafah dan jihad, fatwa MUI tersebut juga amat relevan.
Khusus terkait Khilafah, sebetulnya tanpa fatwa MUI pun, para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja) telah lama bersepakat bahwa Khilafah adalah kewajiban syariah. Dengan kata lain kewajiban menegakkan Khilafah telah menjadi ijmak ulama Aswaja sejak lama. Seluruh ulama Aswaja sepakat bahwa adanya Khilafah—dan upaya menegakkannya ketika tidak ada—hukumnya wajib. Syaikh Abdurrahman al-Jaziri (w. 1360 H) menuturkan:
]إِتَّفَقَ اْلأَئِمَّةُ رَحِمَهُمُ اللهُ تَعَالىَ عَلىَ أَنَّ اْلإِمَامَةَ فَرْضٌ[
_Para imam mazhab (yang empat) telah bersepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah wajib…_ (Lihat: Al-Jaziri, _Al-Fiqh ‘ala al-Madzâhib al-Arba’ah_, V/416).
Hal senada ditegaskan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani, “Para ulama telah sepakat bahwa wajib mengangkat seorang khalifah dan bahwa kewajiban itu adalah berdasarkan syariah, bukan berdasarkan akal.” (Ibn Hajar, _Fath al-Bâri_, XII/205).
Pendapat para ulama terdahulu di atas juga diamini oleh para ulama _muta’akhirîn_ (Lihat: Syaikh Abu Zahrah, _Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyah_, hlm. 88; Dr. Dhiyauddin ar-Rais, _Al-Islâm wa al-Khilâfah_, hlm. 99; Dr. Abdul Qadir Audah, _Al-Islâm wa Awdha’unâ as-Siyâsiyah_, hlm. 124; Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani, _Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah_, 2/15; Dr. Mahmud al-Khalidi, _Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm_, hlm. 248).
Ulama Nusantara, Syaikh Sulaiman Rasyid, dalam kitab fikih yang terbilang sederhana namun sangat terkenal berjudul _Fiqih Islam_, juga mencantumkan bab tentang kewajiban menegakkan Khilafah.
*Ijmak Sahabat*
Selain telah menjadi ijmak seluruh ulama Aswaja, kewajiban menegakkan Khilafah ini sejak awal telah menjadi Ijmak Sahabat. Imam al-Haitami menegaskan:
]أَنَّ الصَّحَابَةَ رِضْوَانُ اللهِ عَلَيْهِمْ أَجْمَعُوْا عَلَى أَنَّ نَصْبَ اْلإِمَامِ بَعْدَ اِنْقِرَاضِ زَمَنِ النُّبُوَّةِ وَاجِبٌ، بَلْ جَعَلُوْهُ أَهَمَّ الْوَاجِبَاتِ حَيْثُ اِشْتَغَلُّوْا بِهِ عَنْ دَفْنِ رَسُوْلِ اللهِ[
_Sungguh para Sahabat—semoga Allah meridhai mereka—telah bersepakat bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah zaman kenabian berakhir adalah wajib. Bahkan mereka menjadikan upaya mengangkat imam/khalifah sebagai kewajiban paling penting. Faktanya, mereka lebih menyibukkan diri dengan kewajiban itu dengan menunda (sementara) kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah saw._ (Al-Haitami, _Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah_, hlm. 7).
*Haram Menyalahi Ijmak*
Jelas, kewajiban menegakkan Khilafah telah menjadi Ijmak Sahabat. Kedudukan Ijmak Sahabat sebagai dalil syariah—setelah al-Quran dan as-Sunnah—sangatlah kuat, termasuk dalil yang _qath’i_. Karena itu para ulama ushul menyatakan bahwa menolak Ijmak Sahabat bisa menyebabkan seseorang murtad dari Islam. Dalam hal ini, Imam as-Sarkhasi [w. 483 H] menegaskan:
]وَمَنْ أَنْكَرَ كَوْنَ الإِجْمَاعُ حُجَّةً مُوْجِبَةً لِلْعِلْمِ فَقَدْ أَبْطَلَ أَصْلَ الدِّيْنِ… فَالْمُنْكِرُ لِذَلِكَ يَسْعَى فِي هَدْمِ أَصْلِ الدِّيْنِ[.
_Siapa saja yang mengingkari kedudukan Ijmak sebagai hujjah yang secara pasti menghasilkan ilmu berarti benar-benar telah membatalkan fondasi agama ini… Karena itu orang yang mengingkari Ijmak sama saja dengan berupaya menghancurkan fondasi agama ini_ (Lihat: Ash-Sarkhasi, _Ushûl as-Sarkhasi_, I/296).
Karena itu Ijmak Sahabat yang menetapkan kewajiban menegakkan Khilafah tidak boleh diabaikan atau dicampakkan, seakan tidak berharga, hingga dikalahkan oleh “ijmak” para pendiri bangsa. Padahal Ijmak Sahabat hakikatnya mengungkap dalil yang tak terungkap (Lihat: As-Syaukani, _Irsyadu al-Fuhul_, hlm. 120 dan 124).
*Hanya Khilafah*
Pertanyaannya: Betulkah Khilafah bukan satu-satunya sistem pemerintahan yang diakui di dalam Islam?
Dalam nas-nas syariah kita tidak menemukan sistem lain, selain Khilafah. Pemangkunya disebut Khalifah. Allah SWT berfirman:
﴿وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً﴾
_Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat, “Sungguh Aku menjadikan khalifah di muka bumi.”_ (QS al-Baqarah [2]: 30).
Di dalam kitab tafsirnya, Imam al-Qurthubi [w. 671 H] menyatakan, _“Ayat ini merupakan asal (dasar) dalam pengangkatan Imam dan Khalifah yang wajib didengarkan dan ditaati titahnya. Dengan itu suara kaum Muslim menyatu. Dengan itu pula hukum-hukum tentang Khalifah bisa diterapkan. Tidak ada perbedaan di antara umat dan para imam mazhab mengenai kewajiban tersebut, kecuali apa yang diriwayatkan dari al-‘Asham, yang memang tuli tentang syariah.”_
Dalam konteks Nabi Muhammad saw., Allah SWT berfirman:
﴿وَأَنِ احْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ﴾
_Hendaklah kamu [Muhammad] menerapkan hukum di antara mereka mengikuti wahyu yang Allah turunkan dan janganlah Engkau mengikuti hawa nafsu mereka_ (QS al-Maidah [5]: 49).
Ayat ini jelas berisi perintah Allah SWT kepada Nabi Muhammad saw. agar beliau memerintah umat manusia berdasarkan wahyu (syariah)-Nya, sekaligus larangan untuk mengikuti hawa nafsu mereka.
Dalam melaksanakan titah-Nya, Nabi saw. kemudian mendirikan negara di Madinah. Nabi sendiri yang menjadi kepala negaranya, Abu Bakar dan ‘Umar ra. sebagai _wazir_ (pembantu)-nya.
«وَأَمَّا وَزِيْرَايَّ مِنْ أَهْلِ الأَرْضِ فَأَبُوْ بَكْرٍ وَعُمَرُ»
_Dua pembantuku dari penduduk bumi adalah Abu Bakar dan ‘Umar_ (HR at-Tirmidzi).
Nabi saw. tidak hanya menunjuk Abu Bakar dan ‘Umar sebagai pembantu, tetapi juga para Sahabat yang lain. Ada yang menjadi anggota Majelis Syura, Wali, Qadhi, Panglima Perang, Penulis Wahyu, Pemungut Zakat, dan sebagainya. Nabi saw. telah memerintah Daulah Nubuwwah ini selama 10 tahun di Madinah. Islam pun tegak sebagai peradaban dan sistem kehidupan secara _kaffah_. Menebar rahmat ke seluruh penjuru dunia.
Sebelum wafat, Nabi saw. bersabda:
«كَانَتْ بَنُوْ إِسْرَاِئيْلَ تَسُوْسُهُمُ الأَنْبِيَاءُ، كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ، وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَ بَعْدِيْ وَسَتَكُوْنُ خَلَفَاءُ فَتَكْثُرُ»
_Dulu Bani Israil telah diperintah oleh para nabi. Ketika seorang nabi wafat, ia digantikan oleh nabi yang lain. Sungguh tidak ada lagi nabi setelahku. Yang ada adalah para khalifah. Jumlah mereka banyak_ (HR Muslim).
Nabi saw. dengan jelas tidak menyebut penggantinya dengan sebutan yang lain, selain Khalifah, bentuk jamaknya, _Khulafa’_. Institusi yang menggantikan Daulah Nubuwwah ini disebut oleh Nabi saw. sendiri dengan istilah, Khilafah _‘ala Minhaj an-Nubuwwah._
Tidak hanya menyebut pemangku dan institusinya. Nabi saw. pun berpesan untuk memegang teguh “tuntunan” tersebut dan tidak melepaskannya. Beliau bersabda:
«عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّينَ مِنْ بَعْدِيْ، عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ»
_Kalian wajib menggenggam Sunnahku dan sunah para Khalifah Rasyidin yang mendapatkan petunjuk setelahku. Gigitlah ia (Sunnahku dan Sunnah mereka) dengan gigi geraham_ (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).
Karena itu, begitu Nabi saw. wafat, para Sahabat sudah tahu apa yang harus mereka lakukan, yakni mengangkat khalifah sebagai pengganti Nabi saw. (sebagai kepala negara, _red_.). Akhirnya, disepakatilah Abu Bakar as-Shiddiq ra. sebagai khalifah. Beliau menggantikan Nabi saw. dalam mengurus urusan agama dan dunia (Ibn Hisyam, _As-Sirah an-Nabawiyyah_, IV/664).
Sejak Abu Bakar memerintah, kemudian ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali dan al-Hasan ra. mereka disebut _Khulafa’ Rasyidun._ Institusinya disebut Khilafah Rasyidah.
Dari semua dalil syariah baik al-Quran as-Sunnah maupun Ijmak Sahabat, juga penjelasan para ulama _mu’tabar_, jelas bahwa tidak ada sistem pemerintahan lain di dalam Islam, kecuali Khilafah. Pemangkunya disebut _Khalifah_, _Imam_ dan _Amirul Mukminin_. Karena itu _Imamah_ tidak lain adalah _Khilafah_. Keduanya sinonim (Lihat: An-Nawawi, _Rawdhah at-Thalibin_, X/49).
Hanya saja, dalam praktiknya memang ada penyimpangan. Pada era Khilafah Umawiyah, ‘Abbasiyah hingga ‘Utsmaniyah, misalnya, suksesi kepemimpinan dilakukan dengan sistem waris, sebagaimana yang dipraktikkan dalam sistem Monarki. Ini merupakan kesalahan dalam menerapkan sistem Khilafah. Bukan berarti tidak lagi menggunakan sistem Khilafah.
Adapun penerapan sistem Monarki, Republik, Demokrasi dan sebagainya, pasca keruntuhan Khilafah, hingga saat ini baru terjadi setelah era penjajahan negara-negara Barat di negeri kaum Muslim. Itu pun setelah mendapatkan justifikasi dan legalisasi dari para intelektual yang telah mengenyam pendidikan Barat. Mereka menyatakan bahwa Islam tidak bertentangan dengan Monarki, Republik, Demokrasi. Padahal faktanya tidak demikian. Monarki, Republik dan Demokrasi jelas tidak bersumber dari Islam, bahkan bertentangan dengan Islam. Karena itu tidak ada satu nas dan dalil syariah pun yang bisa digunakan untuk membuktikan keberadaan sistem tersebut di dalam Islam.
_WalLahu a’lam._ []
*Hikmah:*
Sayidina Umar bin al-Khaththab ra. berkata:
ثَلَاثٌ لَأَنْ يَكُونَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيَّنَهُمْ لَنَا أَحَبُّ إِلَيَّ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا: الْخِلَافَةُ، وَالْكَلَالَةُ وَالرِّبَا
_Ada tiga perkara, yang jika Rasulullah saw. menerangkannya kepada kami, lebih aku sukai daripada dunia dan seisinya, yakni: Khilafah, al-kalalah dan riba._ (HR al-Hakim, Abu Dawud ath-Thayalisi dan al-Baihaqi). []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar