Benarkah Kepemimpinan Perempuan Lebih Mampu Mencegah Korupsi?
Menjadikan perempuan berperan sebagai agen untuk memberantas korupsi ternyata juga dikampanyekan oleh global, bahkan menjadi bagian dari kampanye kesetaraan gender. Benarkah menjadikan perempuan sebagai pemimpin perusahaan akan mencegah korupsi?
Penulis: Arum Harjanti
Muslimah News, FOKUS — Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir sedang menambah porsi kepemimpinan perempuan di jajaran direksi dan komisaris perusahaan milik negara. Alasannya, kesetaraan gender dapat menjadi bagian dari upaya checks and balances atau kontrol untuk menekan risiko korupsi.
Kesetaraan gender menjadi salah satu langkah Kementerian untuk melakukan transformasi terhadap human capital di ekosistem BUMN. Kementerian BUMN menargetkan 25% kursi pemimpin BUMN terisi perempuan sampai 2023. Hingga akhir 2021, baru 15% direksi BUMN dipegang oleh perempuan yang tersebar di berbagai klaster perusahaan negara,[1] Menteri Erick rupanya sedang membentuk BUMN yang lebih inklusif.
Wakil Menteri BUMN Pahala Nugraha Mansury mengatakan Kementerian BUMN juga membangun komunitas Srikandi sebagai wadah pimpinan perempuan dan para perempuan agar dapat saling mendukung. Ia percaya perempuan bisa dan berhak menjadi apa pun, termasuk pemimpin di BUMN.[2]
Benarkah menjadikan perempuan sebagai pemimpin perusahaan akan mencegah korupsi?
Gerakan Perempuan Antikorupsi
Penambahan porsi kepemimpinan perempuan di BUMN sepertinya sedang menguatkan narasi bahwa perempuan antikorupsi. Jauh sebelumnya, sudah ada program Saya Perempuan Anti-Korupsi (SPAK) yang merupakan program KPK dan dikampanyekan sejak 22/4/2014 dan dicanangkan sebagai gerakan nasional pada 21/4/2015.
Gerakan ini mendorong perempuan melakukan upaya pencegahan korupsi.[3] Fokus utama peran perempuan dalam memberantas korupsi adalah melakukan perubahan, perbaikan diri pada keluarga, serta cara mendorong perilaku yang baik di sekitarnya.
Kemen PPPA dan KPK juga telah menandatangani nota kesepahaman (MoU) tentang penguatan peran perempuan dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.[4] Perempuan dapat menjadi agen-agen pencegahan korupsi agar terwujud Indonesia yang bebas dan bersih dari korupsi dengan menjadi roda penggerak pencegahan korupsi dari lingkungan terkecil, yaitu keluarga.[5]
Menjadikan perempuan berperan sebagai agen untuk memberantas korupsi ternyata juga dikampanyekan oleh global, bahkan menjadi bagian dari kampanye kesetaraan gender. Narasi yang dibangun adalah bahwa korupsi dianggap memberi dampak berbeda terhadap perempuan dan laki-laki. Perempuan sering mengalami diskriminasi sosial, budaya, politik, dan kelembagaan, juga menghadapi lebih banyak represi dan pengucilan sosial dalam masyarakat yang dilanda korupsi.
Oleh karena itu, tindakan antikorupsi perlu responsif gender untuk memfasilitasi kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Ada studi menunjukkan bahwa perempuan yang diberdayakan—yang berkesempatan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan—adalah aktor kuat yang dapat berkontribusi memerangi korupsi.[6]
Hal ini dikuatkan Laporan Bank Dunia 1999 yang menyatakan pemerintahan dengan lebih banyak perwakilan perempuan sering kali lebih kecil kemungkinannya untuk korupsi karena fakta bahwa perempuan “lebih layak dipercaya dan berjiwa publik daripada laki-laki”.
Perempuan dipandang memiliki toleransi yang lebih rendah terhadap korupsi dibandingkan laki-laki karena mereka percaya ada lebih banyak korupsi di sektor publik maupun swasta. [7]
Selain itu, banyaknya pemimpin perempuan dianggap mencerminkan akuntabilitas dan transparansi dalam tata kelola pemerintahan yang lebih demokratis. Pemberantasan korupsi juga menjadi “langkah penting menuju pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan”.[8]
Perempuan dalam Pusaran Korupsi
Nyatanya, perempuan juga pelaku korupsi yang ternyata cukup banyak di Indonesia. Bahkan, politisi muda perempuan pun menjadi tersangka korupsi pada usianya yang masih muda, yakni 24 tahun.[9]
Ada juga Mantan Ketua Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Amarta, Desa Patas, Kabupaten Buleleng, Bali, dengan dugaan melakukan tidak pidana korupsi hingga Rp511,6 juta.[10]
Tahun-tahun sebelumnya ternyata juga ada perempuan menjadi pelaku korupsi, baik pelaku turut serta tindak pidana korupsi suaminya ataupun pelaku utama. Laporan Integrito, majalah yang diterbitkan KPK mencatat 46 perempuan terjerat kasus korupsi sejak 2006—2016 dengan bermacam-macam latar belakang profesi, mulai pejabat pemerintah, anggota DPR, hakim, jaksa, pegawai swasta, hingga ibu rumah tangga.[11]
Yang lebih mengejutkan lagi adalah hasil riset Indonesia Corruption Research (ICR) tentang Indeks Persepsi Perempuan terhadap Kasus Korupsi di Indonesia dalam Survei terhadap Perempuan di 34 Provinsi pada 2021.
Survei tersebut menemukan 46% perempuan Indonesia permisif dengan perilaku korupsi, menilai korupsi adalah hal lumrah dalam budaya bermasyarakat di Indonesia. Bahkan, kepedulian perempuan terhadap pemberantasan korupsi baru mencapai skor 59. Indeks ini menggambarkan masih belum cukupnya kepedulian kaum perempuan terhadap kasus-kasus korupsi yang marak terjadi hingga kini.[12]
Oleh karenanya, harapan pemimpin perempuan mampu mengurangi angka korupsi sepertinya perlu ditelaah lagi. Menggantungkan harapan pemberantasan korupsi pada pemimpin perempuan hanyalah ilusi.
Adalah salah anggapan bahwa kehadiran pemimpin perempuan mampu mencegah korupsi. Apalagi berbagai studi terbaru justru mendapati bahwa pelibatan perempuan dalam politik sebagai alat untuk mengurangi korupsi tampaknya bukan pendekatan yang definitif dan berhasil.[13]
Dengan demikian, peningkatan pemimpin perempuan dalam BUMN bukanlah solusi tepat untuk memberantas korupsi, bahkan sekadar ambisi untuk mengikuti arahan global dalam mewujudkan kepemimpinan perempuan.
Akar Masalah Korupsi
Berbagai kasus korupsi yang terjadi sesungguhnya membuktikan bahwa korupsi bisa dilakukan siapa saja, baik perempuan maupun laki-laki. Oleh sebab itu, upaya untuk mencegah korupsi tidak mungkin terwujud dengan memosisikan perempuan dalam posisi kepemimpinan. Bahkan, tidak boleh mengartikan pemberdayaan perempuan sebagai “obat mujarab” pemberantasan korupsi. Ini karena pada faktanya perempuan tidak selalu kurang korup daripada laki-laki, serta bahwa perempuan sendiri bisa terlibat dalam perilaku korupsi ketika ada kesempatan.[14]
Tindakan korupsi terjadi karena sikap mental materialistis dan konsumtif di masyarakat, serta sistem politik yang masih mendewakan materi. Ada banyak faktor yang saling terkait sehingga korupsi bisa terjadi. Bahkan, terjadinya korupsi tidak bisa terpisah dari faktor internal pelaku dan faktor eksternal yang sangat kompleks, baik sikap masyarakat terhadap korupsi maupun aspek ekonomi dan politik.[15]
Semua itu bermuara pada pandangan hidup sekuler yang menjadi asas kehidupan saat ini. Inilah sejatinya penyebab mendasar korupsi terus terjadi, bahkan di negeri muslim dan banyaknya regulasi tentang korupsi.
Sekularisme mengakibatkan manusia meninggalkan aturan Allah dan menjadikan dirinya sebagai pihak penentu aturan. Sekularisme inilah yang melahirkan segala peraturan mengikuti hawa nafsu manusia, termasuk nafsu serakah menguasai harta yang dikuasakan kepadanya untuk dikelola.
Walhasil, jadilah korupsi—yang sejatinya adalah kejahatan luar biasa—menjadi lumrah, bahkan dilaksanakan secara berjemaah, mulai dari pegawai rendah hingga pejabat pemerintahan, tidak hanya laki-lakim tetapi juga perempuan.
Sekularismelah yang memberikan ruang karena menafikan penerapan aturan Allah dalam kehidupan. Agama hanya ditempatkan dalam ruang privat. Jadilah individu dikuasai kerakusan sehingga menghalalkan segala macam cara.
Pun demikian halnya masyarakat, membiarkan kejahatan merajalela. Sementara, negara menjadikan regulasi sekedar diundangkan, tetapi mandul dalam penerapan, bahkan banyak cara untuk melegalkan kejahatan di mata undang-undang.
Inilah buah demokrasi dan kapitalisme yang lahir dari sekularisme. Oleh karenanya, korupsi tidak akan mampu dilawan dengan kepemimpinan perempuan dan penerapan kesetaraan gender karena sumber masalah ada pada sistem kehidupan yang sedang berjalan saat ini.
Islam Memberantas Korupsi secara Tuntas
Islam mengharamkan segala bentuk korupsi bagi siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan. Korupsi adalah satu kejahatan yang ada sanksinya dari negara dan juga kemaksiatan yang akan dibalas dengan siksa di akhirat.
Allah Swt. berfirman dalam QS Al -Baqarah: 188 yang artinya,
“Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.”
Islam juga memiliki cara jitu untuk mencegah korupsi. Akidah Islam sebagai asas kehidupan akan menjadikan individu bertakwa dan amanah. Akidah ini juga melahirkan kesadaran bahwa setiap kejahatan akan adanya sanksi di akhirat kelak.
Keimanan yang terpancar pada setiap individu akan menjadi benteng yang menghindarkan diri dari kejahatan ini. Setiap individu merasa cukup dengan rezeki yang Allah berikan dan jauh dari sikap rakus dan tamak terhadap harta.
Masyarakat dengan budaya amar makruf nahi mungkar tidak akan membiarkan korupsi terjadi. Di sisi lain, negara juga memiliki sistem kuat dan komprehensif yang mampu menutup semua celah untuk melakukan korupsi.
Selain sanksi yang tegas dan menjerakan, negara memiliki sistem ekonomi yang kuat sehingga setiap kebutuhan hidup individu rakyat tercukupi dan mendapatkan penghasilan layak. Semua itu akan terwujud dengan penerapan aturan Islam kafah oleh negara dalam bangunan Khilafah Islamiah. Wallahualam. [MNews/Gz]
[1] https://bisnis.tempo.co/read/1551394/erick-thohir-sebut-kesetaraan-gender-di-kursi-bos-bumn-bisa-cegah-korupsi/full?view=ok
[2] https://www.google.com/amp/s/amp.wartaekonomi.co.id/berita388004/bukti–nyata–erick–thohir–ciptakan–kesetaraan-gender-di-bumn
[3] https://acch.kpk.go.id/id/berkas/saya-perempuan-antikorupsi/92-mengenal–gerakan–saya–perempuan-anti-korupsi–spak
[4] https://nasional.kompas.com/read/2021/04/21/12503721/kpk-harap-kemen-pppa-kerja-sama-dengan-sayap-perempuan-anti-korupsi.
[5] https://nasional.kompas.com/read/2021/04/21/12062891/kpk-harap-perempuan-jadi-agen-perubahan-dan-roda-penggerak-pencegahan
[6] https://anti-corruption.org/themes/anti-corruption-womens-empowerment/
[7] https://issat.dcaf.ch/Learn/Resource-Library/Policy-and-Research-Papers/Are-Women-Less-Corrupt
[8] https://news.un.org/en/story/2021/12/1107812
[9] https://www.liputan6.com/news/read/4864260/nur-afifah-balqis-bendahara-umum-dpc-demokrat-jadi-koruptor-termuda
[10] https://news.detik.com/berita/d-5909518/eks-ketua-bumdes-amarta-patas-bali-jadi-tersangka-korupsi-rp-5116-juta
[11] https://www.viva.co.id/berita/nasional/1008545-infografik-wanita-wanita-pejabat-terjerat-korupsi
[12] https://www.krjogja.com/berita-lokal/diy/sleman/riset-icr-temukan-fakta-banyak-perempuan-indonesia-korupsi/
[13] https://issat.dcaf.ch/Learn/Resource-Library/Policy-and-Research-Papers/Are-Women-Less-Corrupt
[14] https://www.apec.org/docs/default-source/Publications/2021/4/The-Role-of-Women-Empowerment-in-Anti-Corruption/221_PSU_Policy-Brief-39_Gender-and-Corruption.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar