#OPINI
HARGA CABAI PETANI INDONESIA ANJLOK, APA SOLUSINYA?
Rabu, 15 September 2021
Oleh : Yenni Sarinah, S.Pd
OPINI — Viral beberapa video yang beredar di media sosial baru-baru ini memperlihatkan seorang petani cabai mengamuk dan merusak kebun cabai miliknya. Kemarahan petani diduga akibat harga cabai di pasaran turun. Harga cabai yang anjlok di pasaran menandakan adanya masalah internal negeri ini yang seharusnya menjadi perhatian serius dari pemerintah. Pemerintah harus hadir melindungi petani Indonesia.
Jangan hanya berpikir impor terus, sementara nasib petani kita semakin sengsara. Impor cabai di semester I 2021 sebesar 27,851 ton. Naik 54 persen dibanding tahun 2020 sebesar 18.075 ton. Angka tersebut meningkat jika dibandingkan dengan realisasi impor pada Semester I-2020 yang hanya sebanyak 18.075,16 ton dengan nilai US$ 34,38 juta. Cabai yang diimpor pemerintah pada umumnya adalah cabai merah, termasuk juga cabai rawit merah. Ini menunjukkan betapa pemerintah memang tidak berpihak kepada petani kita. (Radar Tegal, 29/08/2021)
Saking rendahnya harga jual cabai dari petani, mereka akhirnya membagi-bagikan cabai gratis ke masyarakat sebagai bentuk keprihatinannya komoditas cabai yang dengan susah payah ditanam dihargai amat murah. Jangankan untung, untuk balik modal saja sudah jauh sekali hitungannya. Ibarat kata “Sudah jatuh tertimpa tangga”, kalimat yang tepat untuk menggambarkan malangnya nasib petani. Anjloknya harga cabe disebabkan sepinya pasar (akibat PPKM) dan impor komoditas cabai ini sudah dilegalkan pemerintah. Ketika masa panen tiba pemerintah malah ugal-ugalan dalam mengimpor demi keuntungan kolega-kolega bisnis mereka yang membiayai dana kampanye mereka dan memberi keuntungan materi kala mereka menjabat.
Jelang panen harga cabai rawit di tingkat petani anjlok. Pesanan cabai ke ibu kota selama PPKM ditenggarai jadi penyebab merosotnya harga cabai. Para distributor cabai hanya berani menawar rendah hasil panen cabai. Untuk cabai besar jenis TW, distributor hanya berani membeli di kisaran angka Rp5.000 per kilogramnya. Kalau cabai besar yang jenis imperial cuma ditawar Rp6.000 per kilogram. Penurunan harga dua jenis cabai besar ini terbilang signifikan. Setidaknya harga cabai besar turun sekitar 50 persen pasca Idul Adha. Harga cabai besar mulai jatuh pasca Idul Adha. Padahal saat Idul Adha harga cabai besar masih diatas Rp12.000 per kilogram. (semarang.bisnis.com, 30/07/2021)
Negara sebenarnya bisa memfasilitasi pengembangan industri-industri olahan cabai dan juga membangun sistem atau teknologi penyimpanan cabai agar tahan lama, tetapi tidak pernah dilakukan. Dalih pemerintah bahwa impor untuk menstabilkan harga hanya alasan untuk lepas tanggung jawab mengurusi petani. Terbukti bahwa rezim demokrasi gagal mengurus pemenuhan kebutuhan rakyat karena lebih berorientasi untuk mengembalikan modal politik dan mempertahankan kursi. Di era modern ini begitu sulit menemukan pemimpin yang benar-benar mencintai dan berpihak kepada rakyatnya. Bagaimana tidak, jika mereka berkuasa dengan jalan menggelontorkan harta, maka saat menjabat yang terpikir bukan lagi amanah mengurusi rakyat, tapi bagaimana caranya dari dia berkuasa ini bisa mengembalikan modal politiknya dan bisa memodali politiknya di periode ke depan.
Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Yogyakarta Hempri Suyatna menyayangkan kebijakan adanya impor cabai yang dilakukan pemerintah Indonesia pada saat pandemi. Berdasarkan data yang dihimpunnya, pada bulan Januari-Juni 2021 ini, Indonesia melakukan impor cabai yang mencapai 27.851,98 ton atau senilai Rp8,58 triliun. Adapun India sebagai pemasok paling besar. (cendekiapos.com, 29/08/2021)
Buruknya nasib petani di dalam sistem demokrasi terjadi karena lemahnya posisi petani akibat kurangnya sokongan dari pemerintah. Petani dibiarkan dalam segala kesulitannya, seperti keterbatasan lahan, kurang modal, kurang cakap teknologi pertanian, atau lemahnya posisi petani di hadapan para tengkulak. Akar masalah semua problem ini adalah karena negara menerapkan sistem kapitalisme neoliberal dalam tata kelola pertanian. Sistem ini menihilkan peran negara sebagai pengatur utama (regulator) pengelolaan pertanian dari hulu hingga hilir. Swasta bisa berperan sebebas-bebasnya dalam menguasai dan mengelola aset-aset vital yang berhubungan dengan tata kelola pertanian. Korporasi-korporasi besar yang menguasai modal itulah yang menjadi pemain utama. Bagaimana dengan petani kecil? Petani miskin makin susah dan akhirnya banyak yang berpindah profesi menjadi TKI dan tidak mau menjadi petani. Indonesia yang memiliki potensi agraris pun akhirnya ditinggalkan oleh bangsanya sendiri dan mengais rezeki dari menjadi kuli bangsa lain.
Hanya segelintir orang yang ternyata menguasai sebagian besar lahan pertanian di Indonesia. Indeks gini ratio penguasaan tanah pertanian di Indonesia sangat tinggi yaitu berada di angka 0,68. (sajogyo-institute.org, 1/7//2020). Artinya, hanya sekitar 1% penduduk yang menguasai 68% tanah pertanian. Siapa lagi kalau bukan para kapitalis korporat pemegang modal besar? Petani gurem (petani kecil) makin terpinggirkan.
Rezim demokrasi gagal mengurus pemenuhan kebutuhan rakyat karena lebih berorientasi untuk mengembalikan modal politik dan mempertahankan kursi politiknya. Sistem kapitalis sekuler dalang dalam setiap permasalahan yang ada. Sistem ini memisahkan agama dari kehidupan yang berasaskan manfaat belaka. Menjadi wajar bila segala keputusan yang diambil jika mendatangkan manfaat, menambah harta dan mempertahankan tahta, maka keputusan itu menjadi prioritas mereka dan jika bisa dikebut disahkan walaupun ditengah malam buta saat rakyat negeri ini buta akan politik. Keberpihakan pada rakyat hanya fiksi semata. Pemimpin yang dirindukan tak kunjung tiba bila kita masih bertahan dalam sistem buatan manusia, demokrasi. Sudah saatnya kita kembali dalam Sistem Islam. Hanya islam solusi tuntas dalam setiap lini kehidupan.
Rezim demokrasi menggantungkan pemenuhan kebutuhan rakyat kepada impor. Impor yang terlalu besar menjadikan pemerintah ketergantungan terhadap stok barang dari negara lain dan tentunya cenderung mematikan produsen dalam negeri jika tidak dilakukan antisipasi atau proteksi terhadap produk lokal. Geliat ekonomi di dalam negeri juga bisa turun jika terus-menerus mengandalkan impor.
Demokrasi itu sistem politik transaksional yang mahal. Dalam proses pengambilan dan peralihan kekuasaannya, memerlukan biaya yang begitu mahal. Korupsi menjadi buah demokrasi yang sulit untuk diberantas. Miliaran bahkan triliunan rupiah digelontorkan demi memenangkan pemilihan pemimpin.
Akibat lain dari penerapan sistem demokrasi kapitalisme yaitu orientasi kekuasaan bukan untuk mengurus pemenuhan kebutuhan rakyat, akan tetapi lebih berorientasi untuk mengembalikan modal politik dan mempertahankan kursi. Jiwa para pemimpin kosong dari keinginan me-riayah (mengurusi) rakyat. Sistem sekuler ini tidak menjamin kebutuhan dasar rakyat, baik pangan, pendidikan, maupun kesehatan. Semua harus dibayar dengan biaya yang mahal.
Berbeda dengan sistem Islam kafah. Pemimpinnya bertanggung jawab memberikan pelayanan penuh kepada rakyat untuk ketiga kebutuhan mendasar tersebut. Hal ini juga terkait dengan cara memilih pemimpin dalam sistem Islam yang murah dan tidak berbelit-belit. Kegemilangan pemerintahan Islam bisa kita lihat pada masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Rakyatnya sejahtera pada zamannya. Kemakmuran umatnya merata, mulai dari wilayah Afrika hingga ke seluruh wilayah kekuasaan Islam, seperti Irak dan Basrah. Demikianlah jika Islam diterapkan secara kafah, keberkahan dari Allah melimpah dari langit dan bumi.
Sebagaimana Allah Swt berfirman,وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ وَلٰكِنْ كَذَّبُوْا فَاَخَذْنٰهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَArtinya: “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan (QS. AL-A’raf: 96).”Wallahu a’lam bish-shawwab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar