Pluralisme Makin Masif Berkedok Toleransi dan Kerukunan
Penulis: Najmah Saiidah
Muslimah News, FOKUS TSAQAFAH — Seruan kerukunan dan toleransi terus digaungkan di berbagai daerah di negeri ini. Mereka—para penggaungnya—mengeklaim bahwa toleransi adalah solusi masalah keberagaman di tengah masyarakat. Padahal, ada bahaya nyata ide pluralisme yang sedang mengintai.
Beberapa waktu lalu, tiga perguruan tinggi keagamaan negeri (PTKN) menggelar Seminar Moderasi Beragama di Kabupaten Buleleng, Bali. Solkhah Mufrikhah, dosen UIN Walisongo mengatakan, “Seminar Moderasi ini merupakan bagian dari gelaran Kuliah Kerja Nyata (KKN) Kolaborasi Nusantara antara Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan UIN Walisongo Semarang dalam perkuat semangat persatuan.”
Ia juga mengungkapkan bahwa bangsa Indonesia adalah masyarakat yang majemuk. “Meskipun bukan negara agama, komitmen kebangsaannya menerapkan prinsip beragama berindonesia, berindonesia beragama,” ujarnya. (Situs Kemenag, 08/08/2022).
Sementara itu, pada 10/08/2022 lalu, Menag Yaqut Cholil Qoumas meresmikan rumah toleransi Pengurus Wilayah (PW) Gerakan Pemuda Ansor Jabar. Ia mengatakan bahwa Indonesia ada karena keragaman, baik agama, budaya, ras, maupun suku. “Menjaga tempat ibadah semua agama, bagian cinta kita kepada Indonesia,” katanya. (Situs Kemenag, 10/08/2022).
Pada 12/08/2022, mengutip dari situs resmi Kemenag, Elemen Masyarakat Sultra mendeklarasikan Enam Komitmen Jaga Kerukunan Agama dan Budaya.
(1) Memperkukuh keragaman agama dan budaya dalam bingkai kebinekaan NKRI.
(2) Mengedepankan musyawarah mufakat dalam menyelesaikan setiap permasalahan keagamaan, sosial, dan budaya demi terciptanya kerukunan.
(3) Saling memahami, menghormati, dan menghargai realitas keragaman dan perbedaan suku, adat, ras, dan agama untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang rukun, damai, dan bersahabat.
(4) Tidak terpengaruh oleh berbagai isu provokatif yang dapat memecah belah ikatan persatuan dan kesatuan bangsa.
(5) Menolak segala bentuk kekerasan, anarkisme, dan tindakan yang melanggar hukum dalam NKRI.
(6) Aktif mendukung Pemerintah, TNI, dan Polri dalam hal penegakan hukum demi terciptanya keamanan dan ketertiban masyarakat Sultra.
—
Dari semua itu, tampak jelas aroma pluralisme memang makin masif diopinikan oleh para intelektual, tokoh agama negeri ini, maupun organisasi masyarakat ke tengah umat tanpa pandang bulu. Seolah-olah keberagaman di negeri ini adalah sumber permasalahan, bahkan ada indikasi menganggap Islam sebagai biang keladinya.
Dengan kata-kata manis, mereka mengopinikan bahwa pluralismelah yang bisa menyelesaikan masalah keberagaman negeri ini. Padahal, sesungguhnya ide ini berbahaya bagi umat Islam karena tidak hanya akan menjauhkan umat dari pemahaman Islam itu sendiri, tetapi bisa menghalangi tegaknya Islam ideologis.
Pluralitas Berbeda Jauh dengan Pluralisme
Sepintas lalu, ungkapan tokoh-tokoh itu seperti tidak ada yang salah, semisal, “Bangsa Indonesia adalah masyarakat majemuk, meskipun bukan negara agama, komitmen kebangsaannya menerapkan prinsip beragama berindonesia, berindonesia beragama.” Ataupun “Indonesia ada karena keragaman, baik agama, budaya, ras, dan suku. Menjaga tempat ibadah semua agama, bagian cinta kita kepada Indonesia.”
Juga beberapa isi deklarasi, di antaranya mengedepankan musyawarah mufakat dalam menyelesaikan permasalahan keagamaan, sosial, dan budaya demi terciptanya kerukunan; serta saling memahami, menghormati, dan menghargai realitas keragaman dan perbedaan untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang rukun, damai, dan bersahabat.
Akan tetapi, apabila kita cermati, pernyataan-pernyataan ini sangat berbahaya bagi umat Islam. Ini karena di dalamnya terkandung banyak hal yang bertentangan dengan Islam dan semuanya bermuara pada satu konsep, yaitu pluralisme.
Perkataan ‘menjaga tempat ibadah bersama dan menyelesaikan permasalahan keagamaan dengan musyawarah dan mufakat’ justru makin menguatkan pertentangannya dengan Islam. Urusan agama yang merupakan urusan hukum syarak bukanlah hal yang bisa diambil mufakat, tetapi harus berdasarkan tuntunan Al-Qur’an dan hadis Rasulullah saw..
Islam sendiri tidak pernah memandang buruk adanya keberagaman di tengah masyarakat. Memang pluralitas atau keberagaman merupakan suatu hal yang wajar, sunatullah yang kita terima sebagai suatu kenyataan.
Bahkan, pada masa Rasulullah saw., ketika negara Islam berdiri, masyarakatnya sangat beragam suku dan ada pula nonmuslim yang tinggal di negara Islam—yang kita kenal dengan kafir zimi.
Akan tetapi, pluralitas (keberagaman) berbeda secara diametral dengan pluralisme. Menurut Wikipedia, plural atau pluralitas berarti ‘kemajemukan atau keberagaman’, sedangkan pluralisme adalah ‘kesediaan untuk menerima keberagaman (pluralitas)’. Artinya, untuk hidup secara toleran pada tatanan masyarakat yang berbeda suku, golongan, agama, adat, hingga pandangan hidup, pluralisme mengimplikasikan pada tindakan yang bermuara pada pengakuan kebebasan beragama, kebebasan berpikir, atau kebebasan mencari informasi. (Wikipedia)
Majelis Ulama Indonesia mendefinisikan pluralisme sebagai paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama; kebenaran setiap agama adalah relatif; setiap pemeluk agama tidak boleh mengeklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar, sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan hidup berdampingan di surga. Dalam pluralisme, tidak boleh ada klaim kebenaran bahwa hanya agamanya yang paling benar dan yang lain salah.
—
Dari definisi di atas, sangat jelas bahwa pluralisme bertentangan dengan Islam dan tentu saja harus kita tolak. Setidaknya karena tiga alasan berikut:
Pertama, secara normatif, pluralisme bertentangan secara total dengan akidah Islam. Pluralisme menyatakan bahwa semua agama adalah benar. Ini jelas bertentangan dengan akidah Islam yang menyatakan hanya Islam yang benar (lihat QS Ali Imran: 19) dan selain Islam adalah tidak benar dan tidak diterima oleh Allah Taala (lihat QS Ali Imran: 85).
Kedua, asal-usul paham pluralisme bukanlah dari Islam, melainkan dari sekularisme Barat. Paham ini memisahkan agama dari kehidupan dan mengagungkan kebebasan, di antaranya kebebasan beragama. Dari sinilah lahir pluralisme.
Alasa ketiga, pluralisme diklaim bertujuan untuk menumbuhkan hidup berdampingan secara damai, toleran, dan saling menghormati antarumat beragama sampai-sampai diperintahkan untuk ikut-ikutan merayakan agama lain. Ini jelas merupakan toleransi kebablasan yang tidak diajarkan Islam. Faktanya lagi, rezim sekuler di Barat sendiri justru sering tidak toleran terhadap kaum muslim. Masih segar dalam ingatan kita soal Pemerintah Prancis yang melarang muslimah di sana untuk berkerudung.
Jelaslah, pluralisme bukan hanya bertentangan dengan Islam, tetapi juga berbahaya bagi umat. Ide ini menjauhkan kaum muslim dari pemahaman Islam yang benar dan bisa menghambat terjadinya kebangkitan umat. Para pejuang kebangkitan Islam akan mendapat cap “radikal atau intoleran”. Alih-alih akan membawa kepada kerukunan, yang terjadi justru perpecahan.
Oleh sebab itu, umat Islam tidak membutuhkan paham pluralisme. Cukuplah akidah dan syariat Islam yang menjadi pegangan hidup kita yang akan mampu melahirkan kerukunan umat manusia. Keduanya merupakan sumber kebahagiaan kaum muslim, baik di dunia dan akhirat.
Hanya Islam yang Mampu Menjamin Terwujudnya Kerukunan
Jika Islam dinilai intoleran dan menjadi biang keladi perpecahan atau menghalangi kerukunan umat beragama, tentu saja pendapat ini salah besar. Fakta tidak terbantahkan, selama 14 abad Khilafah Islam menguasai hampir 2/3 wilayah di dunia, tidak pernah terjadi penjajahan ala kapitalis sekuler yang mengeksploitasi warga terjajahnya, memiskinkan dan menjadikan masyarakat terbelakang.
Hal ini sangat berbeda dengan futuhat (penaklukan) oleh Khilafah Islamiah yang menyejahterakan dan membawa kepada keberkahan bagi seluruh umat manusia dengan penerapan Islam kafah.
Islam, saat pertama kali dibawa oleh kaum muslim dari Jazirah Arab, sama sekali tidak memperlihatkan arogansi keagamaan atau kesukuan. Islam malah membawa semangat persaudaraan dan persamaan.
Islam mengakui adanya keberadaan Nasrani dan Yahudi, serta adanya keragaman suku bangsa. Islam meletakkan kemuliaan manusia bukan pada agama, suku bangsa, pendatang atau warga asli, warna kulitnya; melainkan pada ketakwaannya kepada Allah Taala (lihat QS Al-Hujurat [49]: 13).
Kaum muslim—dengan beragam suku bangsa dan agama—hidup rukun dan damai hampir selama 14 abad sebagai satu umat. Wilayah kekuasaan Khilafah Islam yang terbentang dari Afrika sampai Asia berhasil menata persatuan dan kerukunan antarumat manusia.
Persatuan dan kerukunan itu diawali dari persatuan dan kerukunan kaum Muhajirin dan Anshar di Madinah. Berikutnya, di negeri-negeri lain, Islam berhasil melebur perbedaan suku bangsa, agama, warna kulit, maupun bahasa dalam ikatan akidah Islam.
Selama belasan abad, Islam berhasil mempersatukan umat manusia dalam ikatan akidah Islam. Di sisi lain, jiwa dan kehormatan warga nonmuslim senantiasa terpelihara dalam naungan syariat Islam
Beberapa riwayat sahih menceritakan bahwa para khalifah menegakkan hukum secara adil terhadap siapa saja. Ketika ada seorang warga Kristen Koptik di Mesir yang mengadu kepada Amirulmukminin Umar bin Khaththab ra. karena mendapat tindakan kekerasan dari Gubernur Mesir Amr bin ‘Ash ra. dan putranya, palu hukum yang adil pun dijatuhkan.
Khalifah Umar memanggil Gubernur Mesir beserta putranya lalu menjatuhkan sanksi kisasi atas mereka. Setelah sanksi dijalankan, Khalifah Umar ra. menegur keras Gubernur Mesir dengan perkataan, “Sejak kapan kalian memperbudak manusia, sedangkan ibu mereka melahirkan mereka dalam keadaan merdeka?” (Dr. Akram Diya al-‘Amri, ‘Ashr al-Khilafah ar-Rasyidah, 127).
Di bawah naungan Khilafah Islam pula, kaum muslim berhasil menciptakan kesejahteraan yang berkeadilan di tengah umat manusia. Syariat Islam menata agar setiap warga negara (muslim dan nonmuslim) mendapat jaminan kebutuhan pokok, semisal sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Berkat keadilan hukum-hukum Islam inilah, gejolak sosial dan konflik di tengah masyarakat dapat dihilangkan dan kerukunan pun tercipta.
Khatimah
Telah sangat jelas bahwa pluralisme tidak akan mampu mewujudkan kerukunan umat manusia. Pluralisme bertentangan dengan Islam, bahkan berbahaya bagi umat. Oleh karenanya, tidak boleh diadopsi dan dipropagandakan oleh umat Islam.
Sebaliknya, berdasarkan dalil maupun fakta, Islam justru mampu mewujudkan kerukunan manusia. Hal ini tampak ketika Islam diterapkan di muka bumi ini, umat manusia bersatu, hidup rukun berdampingan dalam naungan sistem Islam.
Hukum syarak yang datang dari Allah Taala mampu mempersatukan umat manusia karena hukum Islam datang dari Al-Khaliq al-Mudabbir yang Maha Mengetahui hamba-Nya.
Sungguh, berbagai upaya musuh-musuh Islam untuk menjauhkan umat dari hukum-hukum Islam (seperti seruan pluralisme, Islam moderat, dan sebagainya) harus dijauhkan dari umat Islam. Sebaliknya upaya menyeru umat untuk berjuang bersama menerapkan Islam kafah harus terus digencarkan. Wallahualam bissawab. [MNews/Gz]
Sumber: https://muslimahnews.net/2022/08/23/10341/