Awang Kelapa Mandi Safar
”Kelapa bulat kelapa kukur, ketiga dengan kelapa loji
Apa buat adik di dapur, siapkan kopi angkat kemari”
Menjual pantun untuk secangkir kopi, itulah fiilnya. Orang-orang menyebutnya Awang Kelapa. Seorang pemuda yang gemar sekali melantunkan pantun setiap kali berkunjung ke rumah tetangga atau pun saudaranya. Bukan sebab berpantun orang-orang memanggilnya begitu, tetapi karena setiap berpantun, kelapa selalu menjadi objek sampirannya, tak pernah tinggal. Sampai orang-orang menyematkan kata kelapa di belakang namanya.
Bukan tanpa alasan bibir Awang sajuh1 dengan kata kelapa, semua itu tak lain karena Datuk, yang mewariskan dua perkara kepadanya. Pertama, sebidang kebun kelapa yang kini menjadi sumber pencariannya. Yang kedua, adalah kebiasaan berpantun. Sewaktu kecil dulu, Awang selalu ikut kemana datuknya pergi, saat lelaki tua itu berpantun, di situlah otak Awang menyerap tentang kata-kata yang berima itu.
Dulu, di kampung melayu ini, tak sah bicara jika tak berpantun, namun sejak satu-persatu uwan2, aki3, datuk, nenek dan orang-orang tua telah tiada, pantun pun melawas, hanya terbunyi di pesta atau acara kenduri saja. Mungkin Awang, dialah satu-satunya anak muda yang kini masih berpantun dalam sehari-hari.
***
Hari itu, mentari telah condong ke barat, sinarnya yang tadi menyengat, perlahan-lahan mulai meredup, pertanda tak lama lagi ia akan masuk ke peraduannya. Awang yang sudah seharian membersihkan kebun kelapa, masih belum beranjak dari kebunnya. Perun4 yang dibuatnya dari pelepah kelapa kering itu pun, masih mengepulkan asap. Tak hanya untuk membuat kebun jadi bersih atau untuk mengusir nyamuk, kata Awang, asap juga dapat membuat kelapa lebih lebat buahnya.
1terbiasa atau hal yang dilakukan terus-menerus hingga menjadi sebuah kebiasaan
2nenek
3kakek
4timbunan kayu atau daun yang akan dibakar
Awang baru saja selesai mengupas buah kelapa, melepaskan sabut dari tempurungnya. Ia mulai memasukkan satu-persatu tumpukan kelapa yang sudah tak bersabut itu, ke dalam keranjang. Kelapa itu akan dibawanya pulang, untuk dijual atau diantarkan kepada pemesannya.
”Awang, di kebun dikau5 ada pucuk kelapa?”
”Pucuk kelapa? Nak buat apa, Yong?” Tanya Awang balik.
”Untuk acara tolak bala besok, tadi budak-budak sudah mencari, tapi daunnya banyak dimakan kumbang, payah betul mencari pucuk kelapa sekarang, itu lah Pak Yong ke kebun dikau, barangkali ada.”
”Oh,” Awang baru ingat, bahwa besok adalah hari mandi safar, sebuah prosesi tolak bala. ”Tadi aku lihat-lihat waktu membersihkan kebun, sekitar 3 atau 4 pokok ada pucuknya, Yong. Tapi tak tahulah, entah elok entah tidak.”
”Tak usah banyak-banyak, Wang. Dua pelepah saja cukup. Hanya untuk syarat, buat anyam jari lipan6 di pintu gerbang,” kata Yong Katan. ”Sekarang sudah terlalu petang, besok pagi mengambilnya juga tak apa, Wang.”
”Baiklah, Pak Yong. Besok pagi, Awang antarkan ke Balai Desa”.
”Terima kasih ya, Wang. Jangan lupa nanti malam, sama-sama kita ke masjid, membaca yasin sesudah isya.”
Awang menjawab dengan mengangguk.
Mengikut tradisinya, pada malam rabu terakhir bulan safar, para tetua, tokoh dan masyarakat akan membacakan Yasin, Zikir dan doa-doa penolak bala. Mereka membawa secerek air putih untuk dibacakan doa-doa, lalu airnya akan diminumkan pada keluarga. Masyarakat kampung melayu percaya bahwa pada malam rabu terakhir di bulan safar, Allah Swt. akan menurunkan banyak bala di muka bumi. Oleh itu, Mereka, pada malamnya membacakan surah-surah Alquran dan doa penolak bala, lalu dilanjutkan prosesi adat tolak bala mandi safar esok harinya.
***
5 kamu
6 daun kelapa yang masih muda dianyam seperti jari lipan
Mak Awang meniup-niup kayu bakar yang mengeluarkan sedikit asap di atas dapurnya. Ia mau menghidupkan api, untuk menjerang air. Perempuan tua itu agak kewalahan, sebab kayunya sedikit basah terkena tempias hujan malam tadi.
”Kalau mak menjerang air nak membuat kopi, titiplah buatkan kopi Awang sekali.”
Mak memandang heran kepada anaknya itu. ”Hai, Wang. Tak pernah umur kau minta buatkan kopi pada mak. Biasanya, asal nak mengopi saja, cus ke rumah Una, Imah ataupun Ida, menjual pantun. Dah tak laku lagi pantun kau tu?” Mak menyindir Awang.
”Bukan begitu, Mak. Awang takut tak sempat, ini nak pergi ke kebun mengambil pucuk kelapa untuk gerbang jari lipan nanti.”
”Jangan lagi pergi, Wang. Batang kelapa masih licin, tertimpa hujan tadi malam. Nanti tak pasal pulak kau tergelincir. Kalau untuk pintu gerbang, tak usah dikau risau, kan anak dara sudah membuatkan bunga manggar, cukuplah tu,” kata Mak Awang.
”Kata Pak Yong Katan, daun kelapa tu untuk syarat, apalah makna adat, kalau tak cukup syarat, Mak?” Kata Awang. Setelah meminum kopi, ia pun pergi ke kebunnya.
***
Mentari telah lebih dulu hadir, satu-persatu orang kampung mulai berdatangan, mengenakan baju terbaik yang mereka punya. Para tetua dan tokoh masyarakat memakai baju khas melayu, baju kurung cekak musang atau baju kurung teluk belanga. Pakaian mereka tampak serasi dengan kain samping yang diikat dari pinggang sampai lutut, lengkap pula dengan kopiah atau tanjak di kepala.
Pada hari rabu itu, semua masyarakat kampung akan hadir di prosesi adat ini. Mereka akan berbondong-bondong datang, meninggalkan sejenak hutan, laut dan segala pekerjaan mereka. Mandi safar bukan hanya ritual adat, tetapi juga menjadi wadah mereka bersilaturahmi dan menikmati sajian seni dan permainan rakyat yang telah disiapkan untuk seharian penuh.
Ritual mandi safar pagi ini, akan dimulai dengan pawai dari halaman masjid menuju ketempat acara pembukaan di panggung terbuka balai desa, lalu pawai akan dilanjutkan ke pantai, tempat acara mandi safar dilaksanakan.
Dalam keriuhan dan kesibukan menyambut tamu, Yong Katan tiap sebentar menoleh ke sebelah kiri, memandang pintu gerbang yang masih polos, belum juga ada anyam jari lipan berjurai-jurai. Yong Katan terus mengulurkan waktu, disuruhnya satu orang untuk menghubungi Awang, tapi belum juga ada kabarnya. Saat mentari makin meninggi, pawai tak bisa ditunda lagi. Pemuda mulai menabuh kompang kulit kambing yang diikat lingkar kayu leban itu, dengan pola khas untuk mengiringi pawai. Mereka menyanyikan lagu dari kitab barzanji.
Bunyi kompang dan kebana dari pangkal sampai ujung barisan sambut-menyambut, membuat kecut hati Yong Katan. Saat mereka melewati pintu gerbang, beberapa tetua yang paham adat, mereka juga merasakan ada yang kurang dengan ritual kali ini. Bagi mereka, kelapa adalah simbol kehidupan, selalu ada disetiap apapun acara peringatan. Ini adalah pertama kali, tak ada daun kelapa dalam acara tolak bala.
Acara pembukaan dimulai, tarian zapin makan sirih mulai dilenggangkan, sementara Yong Katan masih hanyut dengan kekhawatiran dalam pikirannya sendiri. Rasa pedas dan sepat, sirih pinang yang diberikan penari zapin pembawa tepak itu, mampu sedikit menenangkan Yong Katan. Ia tersadar bahwa semua itu hanyalah prasangka, tak ia biarkan syaitan berlama-lama meniupkan was-was dalam hatinya. ”Perbanyak doa-doa dan selesaikan prosesi adat ini seperti biasa, Insyaallah tidak terjadi apa-apa.” Gumam lelaki tua itu dalam hati.
Rentetan acara ritual memasuki bagian inti. Rombongan pawai mulai diarak ke pantai. Di tepi pantai itu, di tempat permandian yang bersusun tempayan-tempayan berisi air yang diberikan wafak7, Yong Katan memimpin ritual dengan melakukan tepuk tepung tawar. Tepung cair itu diusapkan ke peserta mandi safar, menggunakan kuas dari daun sepulih, daun ganda rusa dan daun senduduk yang diikat dengan daun ribu-ribu. Kemudian Yong Katan menebarkan beras putih, beras kuning dan bertih8. Tahap akhir dari prosesi ini, ditandai dengan menyirami air wafak.
7Kertas yang dituliskan ayat alquran dan doa-doa yang diletakkan di dalam wadah air untuk
mandi safar
8beras yang disangrai di kuali sampai kulitnya pecah meletup
Pada tahap akhir ini, Yong Katan mendengar sayup-sayup dari mulut ke mulut mengatakan tentang kelapa. Pada mulanya tidak begitu jelas, lambat laun reaksi orang-orang semakin heboh. Beberapa dari mereka juga bubar dari pantai dan kembali naik ke daratan.
”Ada apa gerangan?” Tanya Yong Katan.
”Awang kelapa meninggal dunia.”
Awang Kelapa, pelantun pantun kelapa dan pemilik kebun kelapa itu, jatuh dari pohon kelapa, meninggal dunia di hari tolak bala.
Berdesau darah Yong Katan. Ritual hari itu dibuat cepat saja. Air tempayan yang diberi wafak bertuliskan doa-doa pada kertas itu, dibawa untuk memandikan jenazah Awang kelapa.
”Kelapa, adalah lambang hidup orang melayu dari dulu-dulu,” gumam Yong Katan.
-TAMAT-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar