TIJAH
Senja itu masih jingga. Aroma sungai selalu hadir pada dinding-dinding bisu di ruangan ini. Istana dengan segala kemegahannya yang dibangun dengan pertaruhan darah dan air mata.
“Tijah.”
Suara seorang lelaki memanggilku dengan sederhana. Aku sangat senang dipanggil dengan sebutan itu. Bersahaja. Meski nama sebenarku Sultanah Khadijah binti Daeng Pirani yang lebih dikenal dengan nama Daeng Tijah atau Tengku Puan. Nama yang penuh dengan simbol-simbol identitas kekuasaan di tanah Melayu ini.
“Terasa merakyat, ” ungkapku saat salah satu inang di istana menanyakan alasan penyebutan itu.
Beban berat menyandang nama-nama beraroma strata. Sultanah, daeng, tengku, puan. Semuanya memiliki cerita sejarah tersendiri.
“Dengan dipanggil Tijah, seperti ada kebebasan diriku sebagai seorang perempuan. Aku saat ini sedang berada dalam kebimbangan melihat perebutan tahta yang tak berkesudahan,” tambahku.
Aku ingin bebas seperti perempuan lain yang bisa menikmati keperempuanannya. Bercanda sesama perempuan, memasak dan menghidangkan untuk lelaki terkasih, merapikan dan menghias rumah serta taman, belajar untuk menambah ilmu, dan segala aktifitas lain yang menurutku dilakukan dengan segala kesenangan.
“Dinda, persiapkan segala perbekalan, kita akan meninggalkan istana ini. Kita terusir!” Suara lelakiku, Raja Alam, suara yang harus kupatuhi dan tak boleh dibantah.
Perjalanan sebagai perempuan setia yang wajib mendampingi dan selalu menawarkan senyum kala lelakiku selesai menjalani hari dalam menata ambisinya menjadi Sultan Siak. Aku hanya mengikuti arah kapal berlayar dan rimbunan misteri hutan. Dari Batu Bara, Palembang, Johor, Kalimantan, Siantan dan hidup merayau di Selat Melaka. Tak terbayangkan terombang-ambing dalam perjalanan darat dengan belantara hutan dan gelombang lautan Cina Selatan.
“Aku lelah!” teriak batinku. Hanya dapat kusuarakan lewat batin. Seulas senyum harus kupersembahkan selalu sebagai bentuk tanda setia seorang istri pada suami. Seorang perempuan pada lelaki pilihannya.
“Entahlah,” batinku kembali mempertanyakan. Apakah begitu para lelaki ketika sudah berkeinginan nak berkuasa. Hilang akal dan hilang saudara. Aku tak tau mana yang benar. Apakah pada Raja Alam, lelakiku atau Tengku Buang Asmara, adik iparku.
“Tak terpikirkah Kanda Raja Alam untuk berdamai dengan Tengku Buang Asmara?” tanyaku kala perahu yang membawaku membelah hamparan biru lautan Selat Melaka.
“Masih perlukah Kanda ulang-ulang alasan mengapa Kanda melakukan ini? Jawabannya tetap sama, karena marwah! Sampai saat ini masih terngiang di telinga Kanda bagaimana ucapan ayahanda Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah,”barang siapa yang hidup, itulah anak kita! Kanda ingin membuktikan bahwa Kandalah anak yang hidup itu!” tegasnya dengan menggenggam tangan seerat menggenggam butiran batu yang terburai menjadi pasir.
Nada tegasnya membuatku dalam situasi antara kagum dan bimbang. Kagum akan prinsip hidupnya. Bimbang karena hari-hari yang dilaluinya sejak terusir dari istana hanya ada dendam dan dendam.
“Tijah, bersiaplah. Kita akan ke Siak.” Kalimat seperti itu berarti aku harus bergegas.
Aku tak kan membantah. Aku bersama pengikut setia akan menyiapkan segala detil untuk melanjutkan pelayaran menuju tempat yang akan dituju. Perbekalan kala perjalanan di darat tentunya akan berbeda saat melakukan perjalanan laut. Aku menemani lelakiku saat terusir dengan memasuki hutan. Terbayang suasana hutan kala malam. Aroma misterinya sulit untuk kutebak. Dari Siak ke Minangkabau melanjutkan ke Batu Bara serta lanjut pergi ke Siantan melewati gulungan gelombang Cina Selatan. Aku kembali menemani lelakiku menjadi perampok dan merompak kapal-kapal Kompeni yang melintas di Laut Cina Selatan.
“Harga diri!” Itu alasan yang selalu ditiupkan ke telingaku dan pengikut setia lelakiku, Raja Alam.
“Kita akan ambil hak kita! Dan Kandalah anak yang hidup itu!” ucap lantangnya.
Perlayaran kali ini terasa sunyi. Angin amarah sepertinya mengitari layar yang berkibar diombang-ambing lautan Cina Selatan. Gelombangnya mengikuti irama ambisi lelakiku. Menuju Siak. Kota yang pernah menjanjikan untuknya. Kota yang pernah mengusir dirinya sebagai lelaki bermartabat dan anak yang setia membela keluarga.
Fajar rungsing menyambut di Siak. Berita tentang pengkhiatan di atas pengkhiatan kembali terdengar.
“Cisss! Busuknya permainan! Tuan Vandrig Hansen terbunuh oleh Said Umar dengan keris Jambu Awan. Benar-benar licik. Siasat memberikan barang persembahan dalam peti-peti berkain sutera ternyata berisi keris dan sondang!”
Aku menyaksikan teramat sangat kecewa dari lekuk indra tubuh lelakiku. Tragedi Guntung bagiku meninggalkan kesan teramat. Siasat yang telah disusun lelakiku menjadi poranda karena khianat.
“Sudah kuingatkan Vandrig Hansen, jangan pandang rendah orang Melayu!” Panjang lebar kudengarkan lelakiku meluahkan kekesalannya. Berharap kemenangan sudah di ujung mata tapi sekilas lesap dalam genggaman.
“Tijah!” Tersentak aku dalam lamunan tragedi pilu.
“Apa yang harus Kanda lakukan sekarang? Anak kita Tengku Muhammad Ali pun ikut berkhianat pada Kanda!” Pertanyaan yang membesarkanku sebagai seorang perempuan sekaligus luka sebagai seorang ibu. Aku mencoba memilih kata yang tepat agar tidak melemahkan lelakiku yang sedang perlu sandaran.
“Pilihan Kanda hanya ada dua, mengalah dengan sejarah atau menaklukkan sejarah. Mengalah dengan mundur dari perseteruan tak berkesudahan dengan Tengku Buang Asmara atau menaklukkan dengan merebut yang menjadi hak Kanda serta membuktikan bahwa memang Kandalah anak yang hidup itu. Tentang anak kita Tengku Muhammad Ali, Dinda yakin ada alasan kuat membuatnya berseberangan dengan Kanda,” ucapku diantara semilir angin yang menembus dedaunan sunyi di pinggiran sungai ini.
“Baiklah, kita lihat perjalanan waktu apakah Kanda mengalah atau menaklukkan sejarah,” tegas lelakiku Raja Alam dalam gelisah bertemankan riak sungai di hadapan.
Waktu takkan pernah meninggalkan sejarah. Pada penggalannya yang lelah, sejarah telah memberikan sedikit ruang pada lelakiku untuk menaklukkan sejarah.
“Tijah! Kanda berhasil menaklukkan sejarah! Apakah Dinda bahagia?”
Hanya sebuah senyum terbaik yang dapat aku ulaskan walau lirih batin ini hanya membaitkan satu kata.
“Entah!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar