[Fikrul Islam] Kesalahan Pemahaman Tawakkal
Kaum muslim saat ini, terutama setelah budaya materialistis dan hedonistik menguasai diri, mereka menjadi pragmatis. Pemikirannya menjadi dangkal dan pemahamannya menjadi lemah.
Penulis: Ustaz Hafidz Abdurrahman
Muslimah News, FIKRUL ISLAM – Tawakal berasal dari lafaz “tawakkala, yatawakkalu, tawakkulan”, yang berarti menjadikan pihak lain sebagai wakil atau zat yang mewakili diri seseorang dalam urusan tertentu. Tawakal adalah lafaz yang diambil dari lafaz “wakâlah”.
Ada juga orang yang menggunakan “wukkila amruhû ilâ fulân” (urusannya diserahkan kepada si polan). Orang yang diserahi urusan tersebut bisa disebut wakil, sedangkan orang yang menyerahkan urusan disebut muttakil ‘alayh dan mutawakkil ‘alayh, yaitu ketika orang tersebut merasa puas pada pihak yang mewakilinya, memercayainya, dan tidak mempunyai persepsi bahwa pihak yang mewakilinya itu mempunyai kekurangan. Artinya, orang tersebut mempunyai keyakinan bahwa pihak yang mewakili tersebut tidak mempunyai kelemahan atau kekurangan. Itulah pengertian tawakal secara etimologis.
Tawakal ini merupakan ungkapan kalbu kepada Al-Wakîl (Zat Yang Mahakuasa untuk mewakili segala urusan). Atau dengan kata lain, tawakal merupakan kepasrahan hati secara bulat pada Allah terhadap kemaslahatan yang ingin diraih, serta mudarat yang ingin dihindari, baik dalam masalah dunia maupun akhirat.
Al-Alûsi mendefinisikan tawakal sebagai sikap menampakkan kelemahan dan ketergantungan pada yang lain, serta merasa cukup hanya kepadanya dalam melakukan aktivitas yang diperlukannya.
Al-Ghazâli menjelaskan, “Keadaan orang yang bertawakal pada Allah adalah seperti keadaan bayi dengan ibunya. Bayi tidak pernah mengetahui yang lain, serta tidak pernah menyerahkan urusannya kecuali pada ibunya. Ibulah orang yang pertama kali dia bayangkan ketika dia membayangkan yang lain. Ini menuntut untuk meninggalkan doa dan meminta kepada yang lain selain Allah karena keyakinannya pada kemuliaan dan kasih sayang-Nya.” Inilah definisi, pengaruh, dan buah tawakal.
Dengan demikian, tawakal ini merupakan buah keimanan; suatu keyakinan kalbu bahwa Allahlah satu-satunya Zat Yang Maha Segala-galanya. Lemahnya tawakal pada Allah Swt. juga terpengaruhi oleh lemahnya keimanan kepada-Nya sebagai satu-satunya Zat Yang Maha [Segalanya].
Al-Ghazâli dalam Ihyâ’ Ulûmuddîn-nya mengaitkan antara tauhid dan tawakal dalam satu pembahasan karena tawakal ini merupakan masalah hati, pikiran, dan keyakinan. Sementara, keteguhan hati dan kekuatan iman seseorang ditentukan kejelasan “makna pemikiran” mengenai Zat yang ia yakini, baik yang mengenai Zat maupun Sifat-Nya.
Dengan demikian, usaha untuk membangun sikap tawakal yang benar dan kuat adalah dengan memperjelas “makna pemikiran” tersebut. Makna pemikiran itulah yang bisa disebut mafhum tawakal.
Inilah konsepsi tawakal yang telah dipahami dengan benar oleh kaum muslim generasi pertama. Mereka memahami konsep tawakal tersebut dengan pemahaman yang benar sehingga mampu melakukan tuntunan tawakal tersebut dengan benar pula. Mereka akhirnya mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan besar dan memecahkan berbagai masalah yang sangat sulit.
Berbeda dengan kaum muslim saat ini, terutama setelah budaya materialistis dan hedonistik menguasai diri mereka sehingga mereka menjadi pragmatis. Pemikirannya menjadi dangkal. Pemahamannya menjadi lemah.
Mereka jauh dari pemahaman yang benar mengenai tawakal sehingga keyakinan tawakal mereka ibarat ungkapan kosong yang tidak mempunyai nilai dalam diri mereka. Pemikiran mengenai tawakal tersebut lebih tidak bermakna lagi ketika salah menafsirkan hadis “mengikat unta” sehingga mafhum tawakal tersebut makin lemah.
Hadis ini justru tidak dipahami supaya asumsi tawakal bahwa dengan tawakal seseorang tidak perlu lagi melakukan hukum kausalitas dengan menjadikan hukum sebab akibat sebagai bagian dari tawakal, dan tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya.
Sebaliknya, hadis tersebut justru menjadi justifikasi bahwa setelah tawakal, seseorang tidak perlu lagi berikhtiar. Akibatnya, cita-cita kaum muslim menjadi lemah, kemauannya juga tidak kukuh, pandangan hidupnya juga menjadi sempit.
Akhirnya, tebersit dalam benak mereka bahwa kemampuan mereka terbatas, serta tidak bisa melakukan sesuatu kecuali yang tampak di depannya. Akibat pemikiran seperti inilah, kaum muslim saat ini tidak bisa maju dan meraih cita-cita besar yang Islam perintahkan.
Memang, mafhum tawakal pada Allah Swt. yang sahih tidak bisa dicapai oleh seseorang jika melihat kekuatannya terbatas pada kekuatan manusia semata. Namun, jika mereka meyakini bahwa di balik kekuatan manusia, alam, dan kehidupan yang tampak tersebut ada Zat Yang Mahakuasa—yang menguasai seluruhnya dan yang mampu membantu mereka merealisasikan cita-cita mereka—pemahaman ini akan mampu membangkitkan keyakinannya dalam merealisasikan seluruh cita-citanya.
Dengan pemahaman seperti ini, seseorang akhirnya merasa tidak terbatas ketika ia berkeyakinan bahwa ada kekuatan di luar dirinya yang bisa membantunya untuk mencapai yang ingin diraihnya.
Bahkan, orang yang tidak beriman pada Allah Swt. dan tidak mempunyai konsep tawakal kepada-Nya saja bisa memercayai bahwa ada kekuatan di luar dirinya yang mereka sebut dengan “kekuatan alam” yang bisa membantu mereka sehingga mereka mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan besar yang menantang. Mereka sering menyebutnya sebagai miracle (mukjizat).
Lalu, mengapa umat Islam yang mempunyai keyakinan pada Allah dengan dalil kuat, baik mengenai wujud maupun Zat-Nya dengan keyakinan yang bulat dan bisa dibuktikan berdasarkan realitas yang ada, tidak seperti mereka? Padahal, orang kafir yang tidak percaya pada Tuhan dan tidak mempunyai konsepsi tawakal bisa melakukan seperti itu.
Masalahnya adalah karena mafhum tawakal umat ini memang sangat lemah. Oleh karena itu, pemikiran mengenai tawakal ini merupakan pemikiran yang sangat mendesak untuk dibersihkan. [MNews/Rgl]
Sumber: Hafidz Abdurrahman, Islam Politik dan Spiritual
Tidak ada komentar:
Posting Komentar