Hukum Berpuasa pada
Pertengahan Akhir Syakban.
__________________________________
Penulis: K.H. M. Shiddiq Al Jawi
.
Muslimah News, FIKIH – Tanya: Saya berpuasa Senin-Kamis tidak dawam, tetapi sering, bolehkah diteruskan pada pertengahan akhir bulan Syakban?
Jawab:
Terdapat ikhtilaf di kalangan ulama dalam hal hukum berpuasa sunah (tathawwu’) pada pertengahan akhir dari bulan Syakban. Ada tiga pendapat: membolehkan, memakruhkan, dan mengharamkan.
Jumhur ulama membolehkan. Namun ada yang memakruhkan, seperti Imam Ar-Rauyani dari ulama Syafi’iyah; dan ada pula ulama yang mengharamkan, seperti pendapat banyak ulama Syafi’iyah (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, I/249; Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, II/583; Imam Shan’ani, Subulus Salam, II/171; Imam Syaukani, Nailul Authar, Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000, hal. 889).
Menurut pen-tarjih-an kami, wallahualam, berpuasa sunah pada pertengahan akhir Syakban hukumnya adalah haram, kecuali jika seseorang sudah terbiasa melakukan puasa sunah sebelumnya. Inilah pendapat para ulama Syafi’iyah, seperti Imam Syirazi sebagaimana dalam kitabnya Al-Muhadzdzab Juz I hal. 189.
Dalil keharamannya adalah sabda Nabi saw., “Jika bulan Syakban telah sampai pertengahan, maka janganlah kamu berpuasa hingga datang Ramadan!” (idzaa [i]ntashofa Sya’baanu falaa tashuumuu hattaa yakuuna ramadhaanu) (HR Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidziy, An-Nasa`i, dan Ibnu Majah; dari Abu Hurairah ra).
Hadis ini sahih menurut Ibnu Hibban, dan hasan menurut Imam Suyuthi. (Lihat Imam Shan’ani, Subulus Salam, II/171; Imam Suyuthi, Al-Jami’ush Shaghir, I/21).
Hadis Abu Hurairah ra. itulah yang menjadi dalil keharaman menurut para ulama mazhab Syafi’i. Meski demikian, ada ulama yang menganggap hadis itu lemah (dhaif), seperti Imam Ahmad rahimahullah sehingga berpuasa sunah pada pertengahan akhir Syakban tidaklah haram menurut beliau. Karena menurut Imam Ahmad pada hadis itu ada perawi yang lemah, yaitu al-‘Ala` bin Abdurrahman.
Imam Ahmad dan Ibnu Ma’in berkata, ”Sesungguhnya hadis itu mungkar.” (innahu munkar). (1) (Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 889). Namun, kami lebih condong kepada pendapat ulama yang menghasankan hadis tersebut. Imam Shan’ani berkata, “Dan dia [Al-‘Ala` bin Abdurrahman] termasuk perawi-perawi hadis Imam Muslim.” (wa huwa min rijaal muslim).
Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata dalam kitabnya At-Taqrib, ”Sesungguhnya dia [Al-‘Ala` bin Abdurrahman] adalah orang yang jujur meski kadang-kadang berbuat waham (mempunyai persangkaan yang lemah).” (innahu shaduq wa rubbama wahama). (Imam Shan’ani, Subulus Salam, II/171).
Maka dari itu, hadis di atas dalam pen-tarjih-an kami adalah hadis hasan, yang dapat dijadikan hujah (yuhtajju bihi). Imam Suyuthi menghasankan hadis tersebut (Lihat Imam Suyuthi, Al-Jami’ush Shaghir, I/21).
Dengan demikian jelaslah bahwa dengan dalil hadis tersebut, berpuasa sunah setelah pertengahan Syakban hukumnya adalah haram. Kecuali jika seseorang sudah terbiasa berpuasa sunah sebelumnya, maka hukumnya tidak haram.
Imam Shan’ani berkata, “Hadis di atas adalah dalil larangan berpuasa setelah pertengahan Syakban. Akan tetapi larangan itu muqayyad (ada dalil lain yang membatasinya/mengecualikannya), yaitu hadis Nabi, ”Kecuali bertepatan dengan puasa yang sudah biasa dilakukannya” (illa an yuwafiqa shauman mu’tadan). (Imam Shan’ani, Subulus Salam, II/171).
Sebelum kami akhiri, kami tambahkan satu penjelasan untuk menambah faidah. Yaitu diskusi (munaqasyah) mengenai pendapat ulama yang membolehkan puasa sunah setelah pertengahan Syakban. Mereka berdalil antara lain dengan hadis dari Ummu Salamah ra. bahwa Nabi saw. tidak pernah berpuasa satu bulan penuh dalam setahun kecuali pada bulan Syakban yang bersambung pada bulan Ramadan (anna an-nabiyya shallallahu ‘alaihi wa sallama lam yakun yashuumu min as-sanati syahran taamman illaa sya’baana yashilu bihi ramadhaana). (HR Khamsah) (Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 879; hadis no.1722).
Kami tidak sepakat dengan pendapat yang membolehkan itu, karena hadis Ummu Salamah ini bertentangan (ta’arudh) dengan hadis Abu Hurairah di atas. Padahal dalam ushul fikih terdapat kaidah bahwa hadis qauli (ucapan Nabi) lebih diutamakan daripada hadis fi’li (perbuatan Nabi).
Hadis Abu Hurairah sebagai hadis qauli (ucapan Nabi) lebih diutamakan daripada hadis Ummu Salamah yang merupakan hadits fi’li (perbuatan Nabi). (Imam Shan’ani, Subulus Salam, II/171). Sejalan dengan itu, menurut kami, pertentangan (ta’arudh) kedua hadis di atas hakikatnya hanyalah pada lahiriahnya saja. Artinya, masih dimungkinkan melakukan kompromi (jama’) di antara kedua hadis tersebut.
Jika bertentangan hadis qauli dengan hadis fi’li pada suatu perbuatan, dalam keadaan tidak diketahui mana dari keduanya yang lebih dulu, maka menurut Imam Taqiyuddin an-Na’bhani, rahimahullah, berarti bahwa hadis qauli itu berlaku untuk umat Islam, sedang hadis fi’li berarti merupakan hukum khusus (khususiyat) bagi Nabi saw. (Lihat Imam Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, Juz III (Ushul Fiqih), pada Bab At-Ta’arudh Bayna Fi’lin An-Nabiy wa Qaulihi, hal. 107-110).
Dengan demikian, kedua hadis tersebut dapat dijamak dengan menghasilkan satu pemahaman, bahwa kebolehan berpuasa setelah pertengahan Syakban adalah merupakan khususiyat bagi Nabi saw. saja, sedangkan bagi umat Islam, hukumnya adalah haram. Inilah pendapat yang rajih (lebih kuat) menurut kami. Wallahualam. [MNews/Rgl]
Catatan : (1) Hadis Mungkar adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang dhaif, menyalahi apa yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah (definisi Ibnu Hajar Al-Asqalani). Definisi kedua, hadis munkar adalah hadis yang dalam isnad-nya ada perawi yang banyak kesalahannya [dalam menyampaikan hadis], atau banyak kelengahannya [dalam menerima hadis], atau jelas kefasikannya (Lihat Mahmud Ath-Thahhan, Taysir Musthalah Al-Hadits, hal. 95-96; Fatchur Rahman, Ikhtishar Musthalahul Hadits, hal. 158-159).
Sumber: fissilmi-kaffah.com
Sumber foto: Istock
Tidak ada komentar:
Posting Komentar