Sungguh sesak dada ini melihat pasien kritis harus menempuh birokrasi panjang demi mendapatkan pelayanan kesehatan. Tidak lama saat mengurus pembuatan KTP-el (sebagai syarat pelayanan BPJS Kesehatan), seorang pasien lansia ambruk dan dinyatakan meninggal. Apa solusi dari buruknya pengurusan ini?
-
Menyoal “Nyawa Melayang” dalam Buruknya Pelayanan Kesehatan BPJS
https://muslimahnews.net/2022/03/19/2954/
-
Penulis: Kanti Rahmillah, M.Si.
Muslimah News, OPINI — Viralnya video tentang seorang pasien meninggal dunia saat mengurus KTP-el telah menambah catatan kelam birokrasi BPJS Kesehatan. Bukan kali ini saja nyawa melayang akibat buruknya pelayanan kesehatan, padahal kesehatan adalah kebutuhan publik yang wajib negara berikan dengan sebaik-baik pengurusan.
-
Wafat Saat Membuat KTP-el
-
Amiluddin (54), wafat saat proses perekaman KTP-el di Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Bulukumba, Sulawesi Selatan. Pengurusan KTP-el tersebut ia lakukan sebagai syarat pelayanan BPJS Kesehatan karena akan menjalani operasi akibat penyumbatan usus.
Dari video yang beredar, terlihat kondisi Amiluddin yang sudah lemah dan kritis dituntun keluarganya untuk mengikuti sederet birokrasi. Hingga ia terjatuh dan dinyatakan meninggal saat melakukan perekaman KTP-el. (CNN Indonesia, 16/3/2022).
Sungguh sesak dada ini melihat pasien kritis harus menempuh birokrasi panjang demi mendapatkan pelayanan kesehatan. Mahalnya biaya operasi membuat pihak keluarga memilih mendaftarkannya ke BPJS, sedangkan syarat BPJS harus memiliki KTP-el. Jadilah pihak keluarga membawa Amaluddin—yang masih perawatan—ke Disdukcapil setempat.
Sebelumnya, pihak rumah sakit (RS) memang telah menawarkan penggunaan surat keterangan tidak mampu dari pemerintah setempat, tetapi pihak keluarga tidak menggunakan itu. Diduga, birokrasi yang sering kali rumit menjadi alasan surat keterangan tidak mampu sulit didapat. Publik pun kerap mendapati pelayanan kesehatan yang berbeda antara pasien “gratisan” dan “berbayar”. Subhanallah.
-
Buruknya Pelayanan Kesehatan
-
Amiluddin bukan yang pertama meregang nyawa akibat buruknya birokrasi pelayanan kesehatan. Sebelumnya, banyak kasus serupa, misalnya saja pada 2020, pasien BPJS Kesehatan Kelas III wafat di selasar RS Abdul Moeloek, Lampung. Pasien miskin tersebut kritis akibat tidak mendapatkan pertolongan segera karena ruang perawatan yang penuh.
Selama ini, masalah ruangan masih menjadi misteri RS. Publik sering mendapati pasien yang tidak mendapat ruangan, padahal masih banyak yang kosong. Ada dugaan hal itu karena ruangan sudah diatur sedemikian rupa berdasarkan kelasnya.
Ruangan Kelas III, misalnya, jumlahnya sangat banyak dan pasti banyak pula yang memperebutkannya. Sedangkan Kelas I, apalagi VIP, yang jumlahnya tidak sebanyak Kelas III akan dibiarkan kosong meskipun pasien sudah mengantre untuk mendapatkan ruangan.
Bayangkan, pelayanan kesehatan terhadap pasien dengan surat keterangan tidak mampu tentu akan lebih termarginalkan. Diskriminasi seolah menjadi satu dari sekian persoalan yang diidap akut oleh pelayanan kesehatan BPJS.
Selain diskriminasi, ada pula persoalan iuran yang terus naik dengan denda jika terlambat setor. Rakyat miskin berupah harian tentu sangat berat menyisihkan iuran BPJS Kelas III—kini sebesar Rp35.000/bulan. Bagi mereka, untuk memenuhi kebutuhan perut saja belum tentu tercukupi.
Oleh karenanya, sekiranya pernyataan Eko Prasetyo dalam bukunya (Orang Miskin Dilarang Sakit) bahwa pelayanan kesehatan adalah barang mewah yang (hanya) bisa terbeli rupiah, masih relevan pada kondisi sekarang.
-
Liberal Kapitalistik
-
Persoalan yang terus berkelindan pada BPJS sejatinya lahir dari tata kelola bercorak liberal kapitalistik. Sedari awal BPJS dibentuk, spirit yang tampak adalah pengalihan urusan kesehatan dari negara ke swasta. BPJS sendiri adalah BUMN yang sebagian sahamnya dimiliki swasta.
Konsekuensinya, rakyatlah yang harus menanggung sendiri biaya kesehatannya. Siapa yang mampu membayar, ia akan terlayani. Siapa yang tidak sanggup, maka bukan urusan negara.
Adapun surat keterangan tidak mampu yang menjadi jalan rakyat miskin untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, sering kali tersendat birokrasi. Apalagi jika berbicara APBN negara yang selalu defisit, menyebabkan alokasi dana untuk kesehatan warga miskin makin menipis.
Kemiskinan yang makin tinggi menyebabkan tunggakan makin besar dan hal itu menurunkan penerimaan BPJS. Pada saat yang sama, kemiskinan telah menurunkan kualitas hidup masyarakat yang menyebabkan orang sakit bertambah banyak. Hal ini turut menyebabkan pengeluaran BPJS meningkat.
Selain itu, premi terus naik dan keanggotaan BPJS makin banyak karena kini pemerintah menerapkan kebijakan baru. Beberapa pelayanan mensyaratkan keanggotaan BPJS, seperti untuk membuat SIM, STNK, SKCK, keperluan jual beli tanah, KUR, dan jemaah haji/umrah.
Sedangkan kondisi BPJS yang terus defisit membuat pasien miskin makin terdiskriminasi. Kondisi ini menjadi permasalahan besar yang melahirkan banyak kemudaratan, mulai dari fasilitas kesehatan yang makin tidak mencukupi, hingga tertundanya insentif bagi nakes yang bekerja ekstra. Namun ternyata, penyebab defisit sesungguhnya adalah karena dana yang terhimpun—sebelum kembali pada rakyat—justru dipakai untuk investasi.
Belum bicara soal korupsi. Jamak kita ketahui, dalam sistem demokrasi kapitalistik, BUMN kerap menjadi sapi perah para elite untuk mendulang keuntungan demi kepentingan pribadi dan partainya. Inilah wujud sebenarnya negara bercorak demokrasi kapitalistik yang menyerahkan seluruh urusan rakyatnya pada swasta.
Jika sudah di tangan swasta, tentu bukan kesehatan warga fokus utamanya, melainkan seberapa besar keuntungan yang bisa perusahaan dapatkan. Kesehatan sekadar menjadi jasa yang dikomersialkan, yakni yang bisa membelinya yang akan mendapatkannya.
Bagi sistem ini, “nyawa melayang” tersebab tidak bisa membeli sejumlah pelayanan bukanlah persoalan besar. Hal demikian dianggap konsekuensi logis karena tidak mampu membayar pelayanan.
-
Pelayanan Kesehatan dalam Islam
-
Dalam sistem Islam, negara menjamin penuh pelayanan kesehatan. Negara merupakan institusi yang berkuasa penuh terhadap berjalannya sistem kesehatan dalam negerinya. Swasta boleh berpartisipasi, tetapi sepenuhnya dalam pengarahan negara. Ini karena kesehatan adalah kebutuhan pokok masyarakat yang wajib negara penuhi.
Ketika pelayanan kesehatan ada dalam kendali negara, bukan profit tujuan utamanya, melainkan pelayanan kesehatan yang maksimal bagi seluruh rakyatnya. Diskriminasi tidak akan terjadi antara si kaya dan miskin sebab pelayanan ditujukan untuk seluruh warga negara. Dengan kesehatan yang prima, masyarakat akan optimal beribadah dan produktif bekerja. Terciptalah masyarakat yang sehat fisik dan jiwanya.
Sistem pemerintahan yang berlandaskan akidah Islam jelas akan melahirkan penguasa dan para pegawai negara yang mencintai rakyatnya. Semua aturan akan dibuat sedemikian rupa agar rakyat mudah melaksanakannya. Alhasil, tidak akan ada birokrasi yang menyebabkan rakyat sulit mengurus dan mengakses pelayanan kesehatan.
Semua ini turut ditunjang Baitulmal sebagai kas negara yang kuat dan stabil. Jika dalam sistem demokrasi kapitalistik defisit APBN menjadi sumber masalah, justru dalam Islam, Baitulmal akan menjadi solusi permasalahan.
Dengan kekuatan anggaran ini, negara tidak butuh lembaga seperti BPJS untuk mengelola pelayanan kesehatan. Kesehatan akan langsung negara kelola tanpa menghimpun iuran dari rakyat sebab melimpahnya anggaran Baitulmal yang berasal dari fai, kharaj, kepemilikan umum, dan sedekah. Semua ini tentu karena Baitulmal ada di bawah kendali sistem pemerintahan Islam (Khilafah) yang menerapkan Islam kafah.
Sistem Islam juga mengharamkan swasta menguasai kepemilikan umum. Aturan ini menjadikan pemasukan negara melimpah sehingga seluruh kebutuhan umat terpenuhi. Ini yang menyebabkan kesejahteraan merata pada seluruh rakyat.
Oleh karenanya, wahai kaum muslim, harus kita sadari bahwa demokrasi kapitalistik telah terbukti menjadi jalan penderitaan umat yang tidak bertepi. Sungguh, ketiadaan Khilafah di muka bumi menjadi sebab utama kemudaratan umat. [MNews/Gz]
#Opini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar