CERPEN : LELAKI TUA DAN PURNAMA
Purnama, kiranya telah lama kami sekeluarga betah terpaku pada sekumpulan kerikil mungil berselimutkan hijaunya rerumputan yang namanya mengingatkanku pada negeri sejuk bertaburan sakura, ya Jepang. Ya, rumput jepang. Kursi kayu yang kokoh menopang berat jasad yang riuh riang, menikmati malam terang bersama tawa ringan anak kecil yang sedang mengenal purnama.
Seketika tawa renyah itu pecah. Menikmati lautan cahaya dan seonggok bara yang memecah kesunyian, kebekuan yang kian larut kian sejuk. Berteman desir angin sepoi-sepoi melambaikan niur hijau di pojok pagar halaman bak kipasan dayang-dayang yang senyap sentap menarik mata untuk kedip-kedip lesu mengundang kantuk. Pekik jangkrik pun menyemai nada - nada indah sembari lelaki tua itu berkisah.
Di sandaran kursi kayu yang dibangun beberapa langkah saja dari depan pintu rumah dan hanya bercahayakan pendaran purnama. Dan seketika itu tangan renta dan hangat turut merangkul tubuh mungil anak kecil yang tak pernah letih dengan tanya. "Mbah, kenapa purnama itu sangat besar sekali? " tanyanya polos.
Dipangkuan yang tak goyah sedikit pun, kehangatan itu kian membekas sepanjang usia. Sesekali menyapa Purnama, dengan segelas kopi hitam hangat yang sesekali diserumput di atas piring kecil dan dengannya malam berselimut aroma kopi hitam yang khas. Kali ini lintingan tembakau pun terjeda kepulannya. Entahlah. Mungkin itu tanda sayang pada anak kecil.
Lelaki yang gagah perkasa, kumis tebal merenda di bibir hitamnya, mata mungil yang penuh kehangatan cinta, dan suara halus malu - malu tapi tetap berwibawa. Tak menampik betapa rambutnya telah memutih seutuhnya. Tua bukanlah penanda semangat menghilang. Tapi pemantik bagi yang muda untuk mengenal dunia dari lisan dan ingatannya yang tersisa cukup kuat.
Setiap purnama selalu ada wejangan hangat, kisah kala ia masih remaja, kisah kala ia meninggalkan desanya. Di tapak gunung merapi pacitan yang katanya sejuk lagi damai. Jauh dari berisiknya kendaraan dan keramaian. Itulah malam-malam yang indah untuk dikenang dan juga momen akhir penutup bab dari seorang perantau yang rindu kampung halaman, rindu untuk berpulang.
Hening malam menyisakan banyak tanya. Benarkah purnama itu seindah kisah yang begitu sendu diceritakan oleh banyak kalangan pujangga? Entahlah. Hanya mendengar lirih angin malam berbisik. Purnama itu memang indah adanya.
Kenikmatan surgawi mana, ketika malam menjelang penuh rasa takut. Purnama hadir memberi keberanian untuk tetap berlari-lari kecil di atas rerumputan seketika itu pula.
****
Pada malam yang sejuk dan berpendar cahaya Purnama, duduklah ia bersama cucu perempuan kesayangannya. Ia pun tak pernah lepas dari hujanan tanya yang siap untuk ditengadah meminta jawaban. Walau raganya lelah setelah bertempur dengan terik panas dan pundak yang gontai menahan sakit. Namun semua sirna bersama purnama dan seketika menghilang disibak suara riuh anak manja yang rajin menyapa keheningan.
"Mbah, kenapa purnama itu kadang datang, kadang pergi?" tanya anak itu dengan begitu masifnya.
"Dia ada, hanya saja sesekali. Lalu malu - malu dan tertutup awan hitam" sebutnya kala itu, dengan sepuntung rokok linting yang tetibanya batal mengepul.
"Mbah, kenapa purnama terkadang begitu besar dan membuat bibirku ikut besar. Lalu mengecil namun masih membuat bibirku besar juga?" tanyanya lagi dengan lugunya.
"Tidak apa-apa. Purnama memberi tanda laut sedang pasang. Juga penanda cucuku ini anak pintar." begitu pujuknya mengundang senyum yang merekah.
Ya, fenomena tak biasa. Ketika Purnama, bibir anak itu mulai bengkak. Namun ketika Purnama pergi, kembali ia ke situasi semula. Kata dokter, tidak perlu khawatir. Itu hanya reaksi alam yang tak terdefinisikan di dalam ilmu kedokteran. Ketika ia dewasa, semua akan normal kembali. Maka usailah bimbang sang ibu kala itu setelah menyiapkan batin untuk mengobati kejadian aneh pada anaknya. Tapi kata mereka, itu karma bagi pemancing. Ada benarnya, ayah anak itu pemancing ulung, walaupun ia masih dikandung ibunya. Tapi entahlah, ucapan itu tidak berdalil.
Kemudian lelaki tua itu berbisik. "Purnama itu penanda pasang laut tiba. Artinya gunung merapi di Pacitan akan bersenandung dengan Purnama. Puncaknya gagah, purnamanya indah. " jelasnya dengan mata yang berpijar kerinduan akan desanya yang puluhan tahun ia tinggalkan.
Entahlah, mata itu berkaca-kaca sesekali menyeka sedak yang tak biasa. Entah karena duka, entah karena sisa asap yang sering terbakar dalam lintingan dan memenuhi ruang dadanya hingga tetibanya mengundang sesak.
***
Pak tua itu adalah perantau dari Desa Pacitan, Jawa Timur. Berlayar dan bermuara di Pulau Sumatera mencari penghidupan yang layak. Terdampar di Kota Sagu bernama Selatpanjang. Menguli dari pagi hingga siang. Memanggul bergantang-gantang goni yang masuk di pelabuhan. Lelah adalah kesehariannya. Namun perjuangan tidak berhenti dengan duka semata. Ia ingat, anak cucunya butuh diperjuangkan.
Tak membuatnya lelah ataupun menyerah. Dengan sepeda hitam tua sebagai peneman pergi paginya dan pulang ketika matahari terik membakar ubun-ubun dan rambut putihnya. Ia gagah, tak kalah raganya dengan binaragawan. Ia penyayang, tawanya lebih mahal dari seonggok rupiah yang berulang terus ia kumpulkan dan semampunya ia bagikan seratus ataupun lima ratus rupiah pada zamannya.
Ia tak banyak suara. Satu tanya dijawab satu jua. Semua orang senang dengannya. Sosok sederhana, rajin, dan tak pernah peduli akan kesulitan hidup. Baginya takdir dilukis oleh sosok yang maha adil. Tidak ada yang terlupa dari goresan tintanya. Susah ataupun senang, adalah asam garam kehidupan. Tanpa ujian, maka hidup akan bias tak memiliki arti.
***
Kini, melihat selimut jepang yang menghijau di halaman rumah tua itu menjadikan kerinduan akan sosoknya kian membuncah. Dalam senggang waktu senjanya, sebelum berangkat membersihkan musholla senja itu. Masih sempat ia menyiangi rerumputan liar yang merusak hijau dan bersihnya halaman rumah kala itu.
Rumput jepang yang rimbun. Kaki mu akan dimanja dengan kelembutan. Tanpa beralas kaki pun engkau akan merasakan kehangatannya. Aromanya yang khas, segar, suasana sejuk. Apalagi teduh dengan rindangnya pohon mangga yang menjulang tinggi dan lebat buahnya.
Banyak anak yang bermain di atas rerumputan itu. Berbaring, berguling-guling, berlari, melompat-lompat sesekali meraih buah mangga yang rimbunnya hingga menyentuh tanah. Menjadi semakin riuh, semakin ramai. Memang saat itu mangga matang berguguran ketika sesekali angin menyapa dengan lembut dan sedikit hangat di pendar terik mentari.
Sungguh, inikah surga yang ia persiapkan dengan sangat sederhana? Entahlah. Mata-mata mereka yang melewati halaman itu seakan iri. Walaupun sapa dari mereka seakan santun. Namun lirik mata tak mampu berdusta. Rumah boleh tua, tapi halaman yang asri adalah kesenangan semua mata yang memandang.
Melihat kokohnya pohon mangga dan lembutnya halaman rumah itu yang sejuk dan luas. Serta sesekali berguguran mangga matang yang manisnya masih bisa diingat hingga belasan tahun lamanya. Rindupun membuncah. Tahun itu tahun kami menatap purnama tanpanya. Ia berpulang dengan senyap. Terbaring kaku di atas dipan yang biasa ia rehatkan raganya ketika lelah menyita sedak dan ngilu pada pundak-pundak kokoh yang mahir memikul gantangan isi kapal.
***
Purnama datang lagi. Seketika raga itu rindu dipangku dan didekap hangat. Dalam hening malam air matanya pun tertumpah. Betapa kerinduan itu benar adanya. Anak itu telah kehilangan seorang yang menyemat banyak Cinta purnama padanya.
Setelah sekian purnama ia terbaring kaku di pusaranya. Yang tersisa hanyalah, lembutnya selimut kerikil yang ia banggakan. Dan segelas kopi hitam hangat peneman malam. Serta purnama yang kembali pulang dan kemudian pergi lagi. Namun ia, tak akan lagi kembali menemani.
Seketika purnama menyapa dengan belaian yang dingin lagi sepi. Terdengar sayup seorang lelaki yang mulai menua, memanggil anak gadisnya pulang.
"Sudah tengah malam, nanti kau kedinginan. Pulanglah." ajak lelaki itu di depan pintu rumah kayu sembari menatap dingin ke arah anaknya yang beranjak dewasa.
Dan kerinduan itupun terjeda. Saat hujan rintik-rintik mulai menari-nari di halaman yang rindang dan di sebalik purnama yang malu-malu berpamitan pulang dijemput awan hitam.
____
Ditulis di Pekanbaru, 10 April 2022.
Hazimah Khairunnisa' (Yenni Sarinah), seorang perempuan berdarah Jawa Timur titisan Kakek dan Nenek dari Jalur ibu yang lahir di Kaki Gunung Merapi Pacitan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar