IDE :
Kenangan kehidupan kakek dan cucu perempuannya tentang purnama beserta kerinduan cucu itu pada kakek kesayangannya sepeninggal beliau. Dan kisah cucu perempuan yang ketika purnama, bibirnya membengkak tanpa diketahui sebab pasti dari sudut pandang ilmu kedokteran.
LEAD :
Malam itu, tepat di pertengahan bulan hijriah, terbit dengan amat sempurna purnama yang gagah dengan pancaran sinarnya, menghadirkan hangat pada pojok halaman yang rimbun dikelilingi pohon kelapa berbuah kuning, serta hamparan rumput jepang yang menghijau segar dan sejuk. Berdiri pula dengan kokoh beberapa jenis pohon pisang yang sedang lebat-lebatnya berbuah, pisang emas, pisang kepok, pisang ambon. Dan di tengah pekarangan menjadi pembatas dua rumah yang dipagar menjadi satu halaman luas, pohon mangga menjulang tinggi sebagai peneduh di siang hari, yang berbuah amat lebat, dan berdaun rimbun.
ENDING :
Betapa kecewanya keluarga besar mereka mendengar pengakuan Pak Mala yang selama ini bersekutu dengan makhluk gaib dan mengabdi ilmu hitam. Kakek pun berlaku bijaksana. Semua masalah pasti ada jalan keluarnya. Kakek meminta menantunya untuk segera melaksanakan sholat taubat. Pasalnya hanya dengan bertaubat, ilmu hitam yang menghantui menantu dan keturunannya itu bisa lepas.
Sekarang bukan hanya Sari yang berobat dengan orang alim. Pak Mala pun turut berobat juga untuk melepas ilmu hitam itu. Beberapa kali, Pak Mala juga merasakan sakitnya ketika di ruqyah. Dadanya sesak dan terasa terbakar. Namun demi kesembuhan anaknya, ia jalani proses ruqyah itu hingga jiwanya benar-benar bersih dari gangguan makhluk ghaib.
Dengan dukungan keluarga besar Ibu Yani, akhirnya penyakit anak mereka berangsur sembuh. Dan Pak Mala menjadi sosok pribadi yang lebih baik dari sebelumnya. Pak Mala tidak lagi menolak ketika Kakek mengajaknya berjama’ah di Masjid dekat rumah mereka, walaupun dulu begitu tabu, karena Masjid itu mayoritas jama’ahnya dari suku Jawa perantauan. Dan Sari bisa leluasa menikmati purnama setiap bulannya bersama Kakek kesayangannya tanpa lagi takut menjadi monster berbibir besar di keesokan harinya.
Dari perjalan hidup inilah Sari masih mengenang semua nasihat dari Kakek sepanjang terbitnya purnama di hidupnya. Namun, purnama di usia ia remaja tak seindah dulu ketika Kakek masih ada. Semua jadi kenangan, semua menyisakan rindu yang teramat dalam. Di tengah pendaran purnama, Sari duduk kembali di kursi kayu di halaman itu sambil menatap purnama dan bergumam, “Kek, Sari rindu.”
KUTUKAN PURNAMA
Oleh : Hazimah Khairunnisa’ - Yenni Sarinah, S.Pd
Malam itu, tepat di pertengahan bulan hijriah, terbit dengan amat sempurna purnama yang gagah dengan pancaran sinarnya, menghadirkan hangat pada pojok halaman yang rimbun dikelilingi pohon kelapa berbuah kuning, serta hamparan rumput jepang yang menghijau segar dan sejuk. Berdiri pula dengan kokoh beberapa jenis pohon pisang yang sedang lebat-lebatnya berbuah, pisang emas, pisang kepok, pisang ambon. Dan di tengah pekarangan menjadi pembatas dua rumah yang dipagar menjadi satu halaman luas, pohon mangga menjulang tinggi sebagai peneduh di siang hari, yang berbuah amat lebat, dan berdaun rimbun.
Dua rumah kayu sengaja di jejerkan dalam satu bidang tanah luas. Yang paling besar adalah rumah utama yang dihuni oleh kakek Kateno, istri dan anaknya yang masih lajang, sedangkan satunya lagi rumah anak perempuan sulungnya, menantu dan cucu perempuannya. Dengan halaman yang senantiasa asri, tentunya ada tangan-tangan yang rajin merawatnya. Lelaki tua itu sudah sepuh, namun hatinya selalu terpaut dengan halaman itu. Surga dunia yang disediakan untuk cucu kesayangannya. Setiap senja tangan tua itu menyisir rumput liar yang merusak bentangan rumput jepang yang rimbun.
Di sudut depan rumah, terpajang kursi dan meja kayu yang sengaja dibuat sebagai tempat berkumpul menikmati santap sore berupa sajian pisang goreng dan secangkir kopi hitam dan juga teh hangat manis. Namun ketika malam purnama, di sana pula semua raga keluarga itu meleha-leha menikmati pendaran cahaya purnama. Sedikit atap rimbun dari daun rumbia tegak pada setiap bagian kursi kayu agar tak rapuh diguyur hujan ketika musim penghujan itu tiba. Dengan posisi satu kursi panjang menghadap ke timur dan depannya terbentang juga meja panjang sebagai tempat meletakkan cemilan ketika berkumpul.
***
Malam pun menjelang, purnama sedang menampakkan kemegahannya. Aroma harum kopi pun kian mengundang beberapa jiwa untuk berkumpul di kursi kayu itu. Nenek Rina membawa satu nampan berisi pisang goreng dan beberapa gelas kopi hitam legit dari dapur rumah utama. Dan Ibu Yani membawa satu teko kecil teh manis untuk putrinya dari rumah kedua. Sungguh riuh malam itu. Namun Nenek Rina tak bisa berlama-lama. Karena ia harus menyiapkan menu jualan untuk dijajakan di kantin sekolah besok pagi. Sarapan ala anak sekolah dasar, berupa lontong sayur dan puding santan berwarna merah muda dari tepung terigu dan tapioka.
Dari dalam rumah, mengepul asap rokok menandakan Pak Mala telah duduk sendirian di teras depan rumah. Kakek Kateno pun turut hadir duduk bersama Ibu Yani di kursi kayu yang kokoh berada di atas rimbunan rumput jepang yang lembut. Dan suara riuh putri kecil kesayangan keluarga pun turut hadir, namanya Sari.
“Sari, kemarilah. Yuk kita lihat purnama lagi.” Sapa Ibu Rina kepada anaknya Sari.
“Tapi Bu, Bapak bilang tidak boleh main ke sana.” ucap Sari sambil melirik Bapaknya yang duduk di teras dengan sebatang rokok yang mengepul.
“Kemari lah nak, tidak apa-apa.” ucap Ibu Rina meyakinkan anaknya.
Dengan wajah iba, Sari menatap Bapaknya untuk meminta izin. Setiap purnama, entah alasan apa, Bapak selalu memperingatkan Sari untuk menjauhi cahaya purnama.
“Pak, boleh Sari duduk samping Ibu di halaman, Pak?” tanya Sari pada Bapaknya.
Pak Mala hanya diam, tak menjawab. Ia pun berlalu pergi dengan sepeda motornya keluar dari rumah menuju tempat tongkrongan rekan-rekannya di kedai kopi tepi laut. Ya, dia sangat gemar memancing. Apalagi ketika purnama, biasanya ikan di laut amat banyak.
Melihat menantunya begitu dingin, Kakek Kateno langsung menggendong cucu perempuannya dari teras rumah ke kursi halaman. Memang, Sari tidak sedang baik-baik saja setelah purnama. Keesokan paginya bibir mungilnya akan membesar. Dan ini terjadi setiap purnama sejak ia lahir.
“Sudah, biarkan bapakmu pergi. Kita lihat purnama dulu yuk.” ucap Kakek Kateno menghibur Sari yang begitu sedih melihat Bapaknya mendiamkannya.
Sari memang sudah berulang kali di larang keluar rumah ketika purnama, karena kata Bapak, Sari dari kecil seperti anak yang mendapatkan kutukan purnama. Namun kenyataan itu dibantah oleh Kakek Kateno. Kakek bilang Sari baik-baik saja. Urusan bibir yang membesar ketika purnama hanya persoalan biasa.
***
Di pinggir laut, Pak Mala menyapa rekan-rekannya yang memang sesama pemancing ulung. Sambil memanggil pramusaji kedai kopi agar segera menghidangkan mereka beberapa cangkir kopi dan beberapa piring mie sagu goreng khas Kepulauan Meranti.
“Apa kabar keluargamu kawan.” Sapa Pak Ujang sambil menyodorkan umpan andalannya, pumpun. Orang luar selatpanjang mengenalnya dengan sebutan cacing nipah.
“Ya begitulah, anakku masih saja dengan kutukan purnamanya.” ucap Pak Mala dengan nada kesal.
“Bawalah anak itu berobat ke dokter anak. Bisa jadi itu bukan gangguan gaib.” ucap Pak Ujang memberi saran yang berbeda dari rekan pemancing kebanyakan.
Semua pemancing memang sudah paham dengan perkara gaib yang diceritakan ke mereka secara turun temurun. Boleh saja dipercayai, boleh saja tidak. Pada awalnya Pak Mala enggan mempercayai kutukan purnama itu. Pasalnya anak itu dari kandungan tidak memiliki masalah kesehatan yang kronis. Semua baik-baik saja. Hingga suatu ketika anak itu lahir dengan cacat di bibirnya seperti bibir ikan yang robek terkait kail pancing. Dan keadaan anak itu setiap purnama tiba yang selalu mengubah bibir mungilnya menjadi besar lagi dan lagi setiap purnamanya.
***
Di atas kursi kayu, Kakek memangku Sari dan bercerita tentang kehidupannya di masa kecil. Kakek selalu teringat akan desanya di pulau Jawa. Di lereng gunung merapi jantan daerah pacitan. Ia terkenang betapa desa itu juga riuh dengan tawa anak-anak kecil ketika purnama sedang bersinar terang. Dahulunya desa itu amat terisolir, jangankan listrik. Memiliki penerangan dari minyak tanah saja sudah sangat mewah. Kehidupan Kakek ketika kecil amatlah sulit. Hingga ketika ia beranjak remaja dan berkesempatan menjadi buruh migrasi, ia pun berlayar bersama Nenek menuju pulau Sumatera. Dan akhirnya menetap di Selatpanjang, Kabupaten Kepulauan Meranti.
“Lihatlah purnama itu, dulu Kakek dan teman-teman kakek senang berlarian di lapangan desa kakek menikmati malam yang terang seperti ini.” cerita Kakek ringkas.
“Wah… pasti seru kan, Kek. Punya banyak teman.” balas Sari dengan wajah takjub.
“Nanti, kalau Sari punya adik, Sari akan punya banyak teman bermain di halaman yang luas ini.” ucap Kakek menyemangati Sari.
Memang di lingkungan itu, tidak banyak anak yang dibiarkan orangtua mereka bermain keluar rumah ketika purnama. Apalagi ibu hamil, sangat pantang keluar malam ketika purnama. Warga di sana aslinya adalah dari suku melayu yang amat meyakini akan kutukan purnama. Karena dari kalangan mereka sebagiannya mengabdi ilmu gaib dari seorang Datuk tua berambut putih yang amat dikenal sebagai bomoh yang mampu mengobati orang sakit secara mistis.
Namun, Kakek Kateno yang berasal dari tanah Jawa tidak sejalan dengan tradisi di lingkungan itu. Ia meyakini perkara gaib itu ada, namun jika Allah tidak berkehendak perkara gaib itu menyarang di tubuh manusia, maka tidak akan membawa celaka apapun pada pemilik tubuh itu. Keyakinan ini ia tanam ke dalam keluarga intinya agar kelak tidak terbawa keyakinan yang membatalkan syahadat keislaman seisi keluarga. Begitu gigihnya Kakek menjaga generasinya agar tetap berjalan di atas jalan kebenaran yaitu Islam.
***
Di tengah malam, sebelum jam 12, Pak Mala telah pulang membawa seikat ikan segar yang ditusuk dengan untaian benang. Itulah hasil pancingannya malam itu. Dari ikan kurau yang amat digemari karena dagingnya yang enak, hingga ikan sembilang yang juga nikmat, ikan keting yang identik dengan daging gurih namun sengat sirip duri tajamnya mematikan, dan ikan kitang hitam yang menyerupai ikan bawal. Kesemuanya nikmat bila dihidangkan dengan bumbu asam pedas khas Selatpanjang.
Ibarat ritual saja, setiap malam setelah pulang memancing, Pak Mala selalu mandi tepat di jam 12 malam. Ibu Rina mencurigai rutinitas suaminya ini sejak menikah. Pasalnya, tanpa pulang memancing pun, di setiap tengah malam Pak Mala selalu mandi. Kecurigaan ini ditepis oleh Pak Mala, katanya udara malam bagi tubuhnya memicu gerah yang teramat sangat. Dan hanya dengan mandi di tengah malam jam 12 barulah badannya tidak terasa terbakar seperti siang hari yang terik.
Seusai mandi, Pak Mala duduk berbincang dengan istrinya yang sedang menyimpan ikan pancingan malam itu di Lemari Es. Pak Mala risau dengan kondisi anaknya yang tak kunjung ada perubahan. Pak Mala ingin mereka membawa Sari ke Dokter Spesialis Anak besok pagi.
“Rin, bila lah Sari sembuh dari kebiasaan bulanannya itu. Abang risau lah Rin. Besok kita bawa lah anak itu pergi cek kesehatan.” ucap Pak Mala pada istrinya.
“Abang tak usah lah risau, tidak mengapa itu. Sari baik-baik saja lah bang. Kalaupun abang yakin membawa Sari ke Dokter spesialis, besok lah kita berangkat.” ucap Ibu Rina sembari berkemas dan beranjak tidur malam.
***
Pagi itu, Sari telah dipersiapkan oleh Ibu dengan gaun bunga yang indah. Sangat bagus suasana pagi itu, tidak begitu dingin. Ibu dan Bapak mengajak Sari ke Rumah Sakit. Di sana mereka berjumpa dengan Dokter yang menyambut kelahiran Sari dahulu kala.
“Ada yang bisa saya bantu Bu?” Sapa Dokter Anton dengan wajah ramah dan senyum merekah yang khas.
“Anak saya ini lahirnya normal, hanya saja bibirnya ini kan seperti tersayat kan Dok, nah sejak ia berusia 3 bulan ke atas, setiap purnama anak ini bibirnya membesar Dok, saya sudah pernah periksa ke Dokter Umum, hasilnya tidak ada masalah yang kronis.” ucap Ibu Rina sambil duduk menghadap meja dokter.
Pak Mala duduk di samping Ibu Rina sambil memangku Sari dan mendengarkan dengan seksama. Memang pemeriksaan yang dilakukan Dokter Umum kala itu sudah melalui pemeriksaan yang signifikan. Secara medis, tidak ditemukan indikasi penyakit kronis pada bibir Sari. Karena kejadian ini berulang terus setiap purnama, dan disiang harinya juga berlanjut, wajar jika sebagai orang tua Sari, mereka risau tak berkesudahan.
Setelah dilakukan pengecekan memang tidak ada masalah medis pada anak ini. Dan dokter menyarankan orang tua Sari untuk tetap tenang melalui fase-fase ini. Dokter meyakinkan bahwa ini bisa jadi bukan penyakit di alam manusia. Dokter menyarankan orang tua Sari untuk menanyakan hal ini kepada orang alim.
Sepulangnya mereka ke rumah, Kakek terlihat gelisah melihat Sari di bawa ke Rumah Sakit. Sari pun di gendong dan di bawa bermain ke rumah utama tempat tinggal Kakek. Nenek pun merisaukan keadaan cucunya. Hingga pada akhirnya Kakek memanggil orang alim datang ke rumah mereka untuk melihat kondisi cucunya.
Orang alim itu pun datang melihat kondisi Sari. Ia membacakan ayat-ayat Ruqyah sambil mengelus kepala Sari. Sari yang ketakutan dengan orang alim itu langsung berlari mendekap Kakeknya. Orang alim itu berpesan, agar Sari diajarkan dzikir pagi dan petang. Karena menurut pendapat orang alim itu, Sari terkena gangguan makhluk gaib. Orang alim juga meminta keluarga tidak membiarkan Sari keluar di waktu maghrib sendirian. Memang dengan keadaan dua rumah yang diapit oleh satu halaman, Sari sering berjalan di waktu maghrib dari rumahnya menuju rumah kakeknya di sebelah sendirian tanpa pengawasan.
Mengikuti pendapat orang alim itu, setiap pagi setelah subuh Kakek berkunjung ke rumah Sari mengajak Sari melafadzkan dzikir pagi, dan ketika sore dzikirnya dilafadzkan bersama Nenek. Ibu dan Bapaknya belum terbiasa dengan dzikir pagi dan sore. Mereka pun turut melafadzkannya bersama Sari. Ini menjadi agenda yang mengesankan. Ketika keluarga berkumpul demi kesembuhan Sari. Sungguh, inilah kenangan terindah Sari.
***
Suatu ketika rekan dari Bapak Sari berkunjung ke rumah mereka. Mendengar keadaan Sari yang terkena penyakit aneh. Pak Husen mengingatkan Pak Mala tentang kutukan yang akan diterima anak turunannya jika tidak mengamalkan ilmu hitam itu.
“Aku dengar anakmu sakit, La. Ingatkah engkau akan perbualan kita dengan tok guru Jamal? Sekali bertaut ilmu hitam ini di kita, anak keturunan kita akan mendapat balanya.” ucap Pak Husen mengingatkan kembali perjanjian mereka dengan Tok Jamal.
“Itulah yang aku risaukan, Husen. Anakku ini berulang kali berobat yang tidak kunjung diketahui sebab penyakitnya.” ucap Pak Mala risau.
“Ilmu kotor itu butuh makan. Jangan-jangan anak engkau ini terkena kutukan purnama. Kan Tok Jamal pernah sebut, lepas ilmu ini kita semua perlu mandi air masin di bawah purnama.” ucap Pak Husen.
“Aku tak yakin lah dengan ritual itu. Aku melepas ilmu kotor ini pun sebab ilmu ini membuat aku tak nyenyak tidur malam, dan memakan dalam. Tidakkah kau merasa panas dada engkau. Aku saja sekali tidak membuat ritual, dadaku rasanya terbakar dan muntah darah.” ucap Pak Mala.
“Minta bantu orang alim lah untuk sakit anakmu ini.” ucap Pak Husen yang kemudian pamit melanjutkan perjalanannya ke kota seberang.
Memang ilmu hitam ini ada pantang larangnya. Dahulu ketika muda, Pak Mala dan kawan-kawannya mengambil ilmu hitam ini untuk menjaga fisiknya agar tahan dari tebasan senjata tajam. Karena dulunya Selatpanjang bukanlah kota yang aman. Selalu saja ada pertikaian antar suku yang menghanguskan Pasar pusat kota Selatpanjang. Dan perlunya mereka para pemuda melayu untuk mencari perisai diri dari serangan suku lain.
Mendengar dari balik pintu perbualan Pak Husen dan suaminya, Ibu Rina marah bercampur sedih, dengan mata berkaca-kaca ia menghampiri suaminya.
“Tega kau, Bang. Anak yang kubesarkan dengan susah payah menjadi sasaran kutukan ilmu hitammu.” ucap Bu Rina, Ibunya Sari.
“Maafkan aku.” ucap Pak Mala menyesali perjanjian terkutuknya di masa muda.
Mendengar kegaduhan dan isak tangis putrinya, Kakek pun bergegas meninggalkan rumahnya menuju rumah anaknya yang tepat di samping rumah besarnya. Kakek menanyakan dengan tegas dan lugas kepada menantunya kenapa anaknya terisak menangis histeris begitu.
“Ini semua salahku di masa lalu, Pak. Maafkan menantumu ini, Pak.” ucap Pak Mala sambil meraih tangan bapak mertuanya.
Betapa kecewanya keluarga besar mereka mendengar pengakuan Pak Mala yang selama ini bersekutu dengan makhluk gaib dan mengabdi ilmu hitam. Kakek pun berlaku bijaksana. Semua masalah pasti ada jalan keluarnya. Kakek meminta menantunya untuk segera melaksanakan sholat taubat. Pasalnya hanya dengan bertaubat, ilmu hitam yang menghantui menantu dan keturunannya itu bisa lepas.
Sekarang bukan hanya Sari yang berobat dengan orang alim. Pak Mala pun turut berobat juga untuk melepas ilmu hitam itu. Beberapa kali, Pak Mala juga merasakan sakitnya ketika di ruqyah. Dadanya sesak dan terasa terbakar. Namun demi kesembuhan anaknya, ia jalani proses ruqyah itu hingga jiwanya benar-benar bersih dari gangguan makhluk ghaib.
Dengan dukungan keluarga besar Ibu Yani, akhirnya penyakit anak mereka berangsur sembuh. Dan Pak Mala menjadi sosok pribadi yang lebih baik dari sebelumnya. Pak Mala tidak lagi menolak ketika Kakek mengajaknya berjama’ah di Masjid dekat rumah mereka, walaupun dulu begitu tabu, karena Masjid itu mayoritas jama’ahnya dari suku Jawa perantauan. Dan Sari bisa leluasa menikmati purnama setiap bulannya bersama Kakek kesayangannya tanpa lagi takut menjadi monster berbibir besar di keesokan harinya.
Dari perjalan hidup inilah Sari masih mengenang semua nasihat dari Kakek sepanjang terbitnya purnama di hidupnya. Namun, purnama di usia ia remaja tak seindah dulu ketika Kakek masih ada. Semua jadi kenangan, semua menyisakan rindu yang teramat dalam. Di tengah pendaran purnama, Sari duduk kembali di kursi kayu di halaman itu sambil menatap purnama dan bergumam, “Kek, Sari rindu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar