BASMI SISTEM KOTOR RAMAH KORUPTOR
Oleh : Yenni Sarinah, S.Pd (Penulis, Penggiat Literasi Islam, Selatpanjang - Riau)
OPINI - Sistem Demokrasi terbukti menjadi sistem kotor yang kian ramah dengan koruptor. Pasalnya, sistem ini menggiring petinggi negeri, baik terpaksa maupun suka rela untuk melakukan korupsi. Dan sistem ini pula yang melonggarkan hukuman bagi para koruptor dengan berbagai dalih remisi. Layakkah sistem ini dipertahankan?
Diberitakan sebelumnya, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) telah menerbitkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) Nomor 7 tahun 2022. Aturan baru ini adalah hasil akhir putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan PP Nomor 99 Tahun 2012 (dikenal dengan PP pengetatan remisi koruptor). Pada aturan itu disebutkan bahwa bagi koruptor yang ingin mendapatkan remisi bebas bersyarat harus memenuhi persyaratan, yaitu wajib sudah membayar denda dan uang pengganti. (news.detik.com, 07/09/2022)
Dan Publik kini disuguhkan pula dengan eks napi korupsi atau koruptor yang ternyata masih bisa menjadi calon anggota legislatif (caleg) di DPR, DPRD, dan DPRD pada Pemilu 2024 mendatang. Alasannya, UU Pemilu tidak melarang eks koruptor untuk kembali menjadi caleg. (beritasatu.com, 28/08/2022)
Ini hanya tentang cara dan sumber perkara. Di sistem Demokrasi, kontes politisasi menuntut permodalan yang tidak sedikit. Hampir 345 Milyar digelontorkan pemenang kontes PDI P di pemilu sebelumnya. (cnbcindonesia.com, 02/05/2019)
Cara ini menggiring pemenang untuk membayar dahulu modal mereka dengan beragam dalih yang kian canggih. Mulai dari menaikkan harga BBM berkali-kali tanpa memikirkan efek dominonya ke sektor lain, serta mengusung kembali antek-antek perpolitikan mereka yang korup sebagai politik balas budi. Tentunya ini akan menambah kemahiran mereka dalam memanipulasi cara mereka untuk korupsi agar tidak diketahui.
Namun, Rabb semesta alam yang Maha Pembuat makar telah menampakkan bukti-bukti kelalaian mereka dalam mengurusi rakyat melalui hacker bjorka. Yang darinya aparat negara lantas berargumen konyol dengan meminta hacker bjorka untuk tidak menyerang, bukan malah memperkuat pertahanan.
Hingga kini hacker Bjorka diduga telah meretas data pelanggan Indihome, data registrasi SIM Card, data KPU RI, data pejabat negara dan sejumlah dokumen surat menyurat milik Presiden Joko Widodo, termasuk surat yang dikirim oleh Badan Intelijen Negara (BIN). (m.kontan.co.id, 15/09/2022)
MEMBASMI KORUPSI
Korupsi adalah musuh besar kemanusiaan bagi semua manusia. Di negara mana pun, pemberantasan korupsi menjadi salah satu agenda besar negara. Karena Korupsi adalah kejahatan yang luar biasa, tentu untuk membasminya diperlukan upaya yang juga luar biasa. Solusinya adalah sistem yang benar-benar anti korupsi serta pemimpin yang mampu memberi teladan.
Pemberantasan korupsi sangat ditentukan oleh sistem apa yang tepat untuk diterapkan. Dan akan terus menerus memberi harapan kosong jika sistem politik sekular demokrasi yang korup saat ini masih menjadi primadona.
Pemberantasan korupsi bisa terealisasi jika sistem yang terbukti korup dan gagal memberantas korupsi ini segera kita tinggalkan. Dengan mengadopsi dan menerapkan kembali sistem yang benar-benar anti korupsi, yaitu dengan sistem Islam dengan pemerintahan yang dipegang oleh orang-orang yang bertakwa dan bebas dari dana politisasi yang fantastis.
Di sistem Islam menihilkan adanya politik dengan biaya tinggi. Celah bagi kolusi dan upeti dalam pemilihan pejabat juga akan ditutup sedemikian rupa. Tidak seperti sistem sekarang ini. Melanggengkan segala cara untuk mencari sebanyak-banyaknya teman yang sebatas kepentingan sesaat yang kian sesat.
Dalam sistem Islam, hukum juga tidak bisa diutak-atik. Apalagi ditetapkan sesuka hati oleh penguasa. Sebabnya, hukumnya adalah hukum buatan Allah SWT. yang bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah, kemudian di-istinbath (perumusan hukum) dengan istinbath syar’i yang sahih (benar).
Dalam sistem Islam, perubahan hukum atau UU untuk melemahkan pemberantasan korupsi, termasuk melemahkan kewenangan lembaga pemberantas korupsi, yaitu KPK dan Kepolisian justru tidak akan terjadi. Masih banyak lagi aspek mendasar dalam sistem Islam yang menjamin sistem ini benar-benar anti korupsi.
Secara praktis, pemberantasan korupsi dalam sistem Islam di antaranya dilakukan melalui beberapa upaya penting sebagai berikut ini:
Pertama: Penanaman iman dan takwa, terutama kepada pejabat dan pegawai. Ketakwaan menjadi standar utama dalam pemilihan pejabat. Ketakwaan itu akan mencegah pejabat dan pegawai melakukan kejahatan korupsi.
Rasul saw. mencontohkan hal itu. Tidak ada yang meragukan ketakwaan Sahabat Muazd bin Jabal ra. Namun, tatkala Rasul saw mengutus Muadz ke Yaman menjadi ‘amil (kepala daerah setingkat bupati) dan ia sudah dalam perjalanan, Rasul saw. memerintahkan seseorang untuk memanggil Muadz agar kembali. Lalu Rasul saw. bersabda kepada Muadz, “Tahukah kamu mengapa aku mengirim orang untuk menyusulmu? Janganlah kamu mengambil sesuatu tanpa izinku karena hal itu adalah ghulûl (khianat). Siapa saja yang berkhianat, pada Hari Kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu (TQS Ali Imran [3]: 161). Karena inilah aku memanggilmu. Sekarang, pergilah untuk melakukan tugasmu.” (HR at-Tirmidzi dan ath-Thabarani).
Kedua: Sistem penggajian yang layak sehingga tidak ada alasan untuk berlaku korup.
Ketiga: Ketentuan serta batasan yang sederhana dan jelas tentang harta ghulul serta penerapan pembuktian terbalik. Rasul saw bersabda:
« مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ »
Siapa saja yang kami angkat untuk satu tugas dan telah kami tetapkan pemberian (gaji) untuk dia maka apa yang dia ambil setelah itu adalah harta ghulul (HR Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah dan al-Hakim).
Berdasarkan hadis ini harta yang diperoleh aparat, pejabat dan penguasa selain pendapatan (gaji) yang telah ditentukan, apapun namanya (hadiah, fee, pungutan, suap, dsb), merupakan harta ghulul dan hukumnya haram.
Hadis ini mengisyaratkan: transparansi pendapatan pejabat dan aparat amat diperlukan sehingga mudah diawasi. Harta pejabat dan aparat harus dicatat, bukan hanya mengandalkan laporan yang bersangkutan. Harta kekayaan pejabat itu harus diaudit. Jika ada pertambahan harta yang tak wajar, yang bersangkutan harus membuktikan hartanya diperoleh secara sah. Jika tidak bisa, hartanya yang tidak wajar disita sebagian atau seluruhnya dan dimasukkan ke kas negara.
Keempat: Hukuman yang bisa memberikan efek jera dalam bentuk sanksi ta’zîr. Hukuman itu bisa berupa tasyhir (pewartaan/ekspos), denda, penjara menahun lamanya sampai hukuman mati, sesuai dengan tingkat dan dampak korupsinya. Sanksi penyitaan harta ghulul juga bisa ditambah dengan denda. Gabungan keduanya ini sekarang dikenal dengan pemiskinan terhadap para koruptor.
Perlakuan itu bukan hanya diterapkan kepada diri pejabat, tetapi bisa juga diterapkan kepada orang-orang dekatnya. Ini sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. dan disetujui oleh para Sahabat. Pencatatan kekayaan, pembuktian terbalik dan sanksi, termasuk pemiskinan yang memberikan efek jera dan gentar ini, sangat afektif memberantas korupsi.
Beliau adalah contoh pemimpin yang memiliki ketakwaan. Rasa takutnya kepada Allah SWT dan siksa-Nya telah menghujam dalam kalbunya. Hal ini akan membuat dia konsisten dan konsekuen menjalankan hukum dan pemerintahan. Dia akan sangat keras menjaga harta rakyat dan negara. Bagi dia, tidak boleh ada harta rakyat dan negara yang hilang atau tersia-sia apalagi dikorupsi.
Pemimpin yang menjaga harta rakyat dan negara ini antara lain adalah Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. Beliau pernah mengejar unta zakat yang lepas, lalu ditegur oleh Sayidina Ali bin Abi Thalib ra. Khalifah Umar menjawab, “Jangan engkau mencelaku, wahai Abul Hasan. Demi Tuhan Yang telah mengutus Muhammad saw. dengan kenabian, andaikan ada anak domba (zakat) hilang di tepi Sungai Eufrat, pasti Umar akan dihukum karena hal tersebut pada Hari Kiamat. Sebab, tiada kehormatan bagi seorang penguasa yang menghilangkan (hak) kaum Muslim.” (Abu Laits as-Samarkandi, Tanbîh al-Ghâfilîn, hlm. 383-384).
Pemimpin teladan hanya akan menunjuk dan memilih pejabat dari orang-orang terbaik, yang bertakwa serta memiliki kapasitas dan profesionalitas. Dia tidak akan menunjuk pejabat karena kedekatan, hubungan, kekerabatan, kolega, pertemanan dan kelompok. Termasuk dalam menunjuk orang yang mengurusi harta dan badan usaha milik negara. Dan tidak akan ada bagi-bagi jabatan sebagai balas jasa politik.
Rasul saw bersabda:
«مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ الْمُسْلِمِينَ شَيْئًا فَأَمَّرَ عَلَيْهِمْ أَحَدًا مُحَابَاةً فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ لَا يَقْبَلُ اللَّهُ مِنْهُ صَرْفًا وَلَا عَدْلًا حَتَّى يُدْخِلَهُ جَهَنَّمَ »
Siapa saja yang dipercaya mengurus suatu urusan kaum Muslim, lalu dia mengangkat seseorang sebagai pemimpin mereka karena kecintaan, maka bagi dia laknat Allah; tidak diterima dari dia pengampunan dan tidak pula tebusan sampai Allah memasukkan dia ke Neraka Jahanam. (HR Ahmad).
Pemimpin yang baik akan bersikap tegas kepada siapapun, bahkan terhadap orang-orang dekatnya sekalipun. Dia tidak akan melindungi pejabat, kolega, kelompoknya atau siapapun yang terjerat korupsi. Dia tidak akan rela meloloskan aturan, termasuk aturan administratif yang menghambat atau melemahkan pemberantasan korupsi ataupun memberikan celah untuk perilaku korupsi. Dia juga tidak akan membuat kebijakan, memilih pejabat dan melakukan upaya yang melemahkan upaya pemberantasan korupsi.
Pemimpin yang baik itu memiliki ketegasan seperti dicontohkan oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. Jika Umar ra. mendapati kekayaan seorang wali atau 'amil (kepala daerah) bertambah secara tidak wajar, beliau meminta pejabat tersebut menjelaskan asal-usul harta tambahan tak wajar tersebut. Jika penjelasannya tidak memuaskan, kelebihannya disita atau dibagi dua. Separuhnya diserahkan ke Baitul Mal. Hal ini pernah beliau lakukan kepada Abu Hurairah, Utbah bin Abu Sufyan juga Amr bin al-‘Ash (Ibnu ’Abd Rabbih, Al-’Iqd al-Farîd, I/46-47).
Khalifah Umar pun bersikap tegas terhadap keluarganya sendiri. Ketika melihat unta milik Abdullah bin Umar paling gemuk di antara unta yang digembalakan di padang gembalaan umum, beliau menyuruh Abdullah bin Umar menjual unta itu. Lalu kelebihan dari modalnya dimasukkan ke kas negara. Khalifah Umar menilai, unta itu paling gemuk karena mendapat rumput terbaik mengingat Abdullah bin Umar adalah putranya ketika ia menjabat sebagai Khalifah.
Pemimpin yang baik itu sederhana hidupnya. Dia bukanlah pemimpin yang kekayaannya bertambah banyak ketika menjabat. Pemimpin yang baik itu seperti Khulafaur Rasyidin. Abu Bakar ash-Shidiq ra., misalnya, menjelang wafat berwasiat agar jika ada kelebihan harta dari hartanya sebelum menjabat khalifah dikembalikan ke Negara. Ketika diperiksa, tambahan hartanya hanyalah unta yang biasa digunakan untuk menyirami kebun, seorang hamba sahaya dan selembar selimut beludru seharga lima dirham (Muhammad bin Al-Hasan bin Muhammad bin Ali bin Hamdun, At-Tadzkirah al-Hamdûniyyah, I/139).
Pemberantasan korupsi tentu akan menjadi lebih sempurna jika disertai dengan kontrol dari masyarakat, khususnya para ulama.
Demikianlah pemberantasan korupsi hanya akan berhasil dalam sistem Islam. Sebaliknya, sulit sekali bahkan mustahil terwujud dalam sistem sekular seperti sekarang ini. Karena itu, tegaknya penerapan syariah Islam secara menyeluruh dan totalitas harus disegerakan. WalLâh A’lam bi ash-shawâb. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar