Selasa, 28 Maret 2023

No 4

NOMOR 4
RAYA ZORA UNTUK MAK
 Rindu mencabik-cabik hatiku, memaksa bening kristal melewati garis mata. Mati-matian ku tahan, bukankah menangis itu memalukan untuk seorang lelaki sepertiku? Himpitan duka menciptakan luka di dadaku. Ah, kenapa rasa sakit ini menghampiri? Kerinduan yang ku rasakan pada sosok wanita bersahaja itu membuatku ingin menjerit sekuat mungkin. Ku pandang foto wanita setengah baya di layar gawaiku, wanita dengan kerudung putih, ada andeng-andeng di pucuk hidungnya, matanya tegas tapi lembut seolah-olah sedang menatapku, tersenyum penuh kasih. Aku menarik napas panjang, berharap nyeri sedikit berkurang. Perlahan aku hembuskan napas melalui mulut ada sedikit celah dari himpitan duka yang masih saja bertahta.
 “Tak balek, Nak?” 
 Sungguh, aku merindukan pertanyaan ini, pertanyaan yang tak pernah berubah sejak aku bekerja di Pasir Pengarayan. Hampir setiap penghujung minggu, apalagi ada libur, Mak, wanita yang aku sayangi itu akan semakin sering menanyakan hal yang sama. Aku biarkan kenangan menyeretku kemudian menghempaskan ingatanku pada waktu yang pernah aku sia-siakan. Meski sebenarnya, aku tidak pernah sengaja melepas waktu dan mengabaikan permintaan Mak.
 “Baleklah, Nak, kalau dulu-dulu kau tak mau hari raya zora, tahun ini baleklah. Bapak kau dah tak ada, dia dah terbaring di kuburan tu!” Nada suara Mak meninggi, seakan sedang menahan buncahan emosi. 
 Hatiku bergetar, Mak benar ini adalah lebaran pertama setelah Bapak tiada. Aku memang mau pulang, Pasir ke Kampar tidaklah terlalu jauh. 
 “Iya, Mak, Amir pasti balek, tapi untuk hari raya zora Amir tak janji, soalnya Amir harus kerja, Mak.”
 “Alasan kau selalu kerja, kalau tak bisa beraya zora, tak usah kau balek!” 
 Tuut...tuut...tuut...
 Mak mematikan sambungan telepon, aku tahu Mak pasti marah. Aku menarik napas panjang sambil memainkan gawai di tangan. Entah kenapa Mak selalu menyuruhku pulang untuk mengikuti hari raya zora. Hanya ziarah ramai-ramai, bukankah sebelum puasa kami juga sudah ziarah?
 Hari raya zora, konon adalah hari raya setelah puasa enam di bulan syawal, tidak ada ritual aneh menurutku, hanya ziarah bersama-sama orang sekampung, berangkat bersama-sama dari mesjid dan pulangnya juga ke mesjid karena akan ada makan bersama. Dulu, saat aku masih kanak-kanak momen makan-makan ini yang paling aku tunggu. Tapi sejak duduk di sekolah menengah atas sampai sekarang aku tak lagi pernah mengikuti tradisi tersebut.
 “Abang, kita pulang aja ya, ikuti keinginan Mak, lagian nggak ada salahnya ‘kan kalau kita ikut. Sekalian ziarah ke makam Bapak.”
 Lembut suara Dinda, istri yang aku nikahi dua tahun lalu membelai gendang telingaku. Aku menoleh dan mendapatkan senyum manis penuh keikhlasan di wajah teduhnya. Dia mengangguk meyakinkan.
***
 “Assalamu’alaikum, Mak.”
 “Wa’alaikumussalam.”
 Suara Mak selalu merdu menyentuh gendang telingaku, bahkan ketika Mak merepet sekalipun. Seketika aroma masakan Mak menyerbu hidungku membuat cacing-cacing perutku menabuh gendang dengan riang minta jatah.
 “Ha, balek akhirnya kau, Mir? Sempat tak balek Mak jemput kau ke Pasir sana. Kalau perlu Mak ngomong dengan atasan kau tu, apa namanya Kadis? Ah, namanya kok aneh, tinggal ganti a dengan u, jadi kudislah dia tu.”
 Aku tertawa melihat ekspresi Mak ketika menyebut kudis. Aku menyalam Mak dan mencium tangannya. Ku peluk wanita yang telah melahirkanku tiga puluh tahun silam itu, rindu mengurai indah. Dulu ada Bapak duduk di kursi yang terbuat dari kayu jati itu, yang bahkan tempatnya belum bergeser sejengkalpun. Tiba-tiba aku merasa mataku menghangat, dalam pelukan Mak aku selalu menjadi cengeng. 
 “Heh, dah bebini masih aja cengeng! Tak malu sama bini kau?”
 “Nggak, biar dia aja yang malu.”
 “Eh, kok bisa?”
 “Iya, malu punya suami cengeng kayak aku, Mak.”
 Mak memukul lembut punggungku, kemudian mengusapnya, sungguh aku merasa damai. Kemudian dia merenggangkan pelukannya, ku lihat dia menatap menantunya dengan senyum menghias wajahnya yang sudah mulai senja.
 “Dinda, terima kasih sudah menjaga anak, Mak.”
 “Bang Amir yang jaga Dinda, Mak, terima kasih sudah melahirkan lelaki hebat yang sekarang menjadi suami Dinda.”
 Dua wanita yang menempati hatiku di posisi yang berbeda tetapi sama pentingnya itu berpelukan. Dinda memang terbiasa menyusun kalimat yang menurutku bisa membius seseorang. Tidak heran memang, istriku ini adalah seorang penulis yang terbiasa bermain dengan kata-kata. 
 Tidak lama berselang, saudara mara berdatangan. Suasana rumah jadi ramai oleh canda tawa. Mak adalah anak tertua di keluarganya, begitu juga dengan Bapak, jadi tidak heran kalau banyak yang mengunjungi rumah kami. Tahun kemaren aku melewatkan ini, karena aku dan Dinda sudah sepakat untuk lebaran bergantian setiap tahunnya, tahun kemaren giliran kami lebaran di rumah orang tua Dinda.
 Sungguh, suasana seperti ini selalu aku rindukan, masa kanak-kanak dulu, aku akan panen uang meski setelahnya Mak akan membagikan kembali ke anak-anak tetangga dan kerabat yang datang. Aku tersenyum mengenang masa itu, aku yang merajuk, bapak yang menghiburku dan Mak, tak menjelaskan apa-apa. Bertahun-tahun kemudian aku baru tahu alasan Mak mengambil semua uangku, katanya biar aku tidak terbiasa menerima pemberian. Tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah, begitu petuah Mak.
***
 Hari demi hari berlalu, suara takbir yang bergema menggetarkan setiap sudut hati orang beriman telah berlalu. Rumah Mak sudah mulai sunyi, aku tidak pernah selama ini di sini. Satu minggu penuh! Hari ini adalah hari ke delapan di bulan Syawal, berarti hari ini adalah hari raya zora, atau hari raya ziarah. Hari raya ini dilakukan setelah puasa enam hari berturut-turut.
 “Masyarakat kita selalu merayakan ini, Mir, ini salah satu budaya kita yang dilakukan secara turun temurun.”
 “Mak, sebenarnya semua ini tidak terlalu penting, ... “
 Belum sempat aku selesaikan kalimat ku, kepalaku langsung mendapat jitakan gratis dari Mak. Aku mengusap kepalaku dan menatap mata Mak yang melotot, ah, di mata Mak aku selalu menjadi anak kecil. Ku lirik Dinda yang menahan tawa, ku pelototi wanita itu, dia malah tertawa dan masuk ke kamar. Aku kembali tidur di pangkuan Mak.
 “Raya zora ini penting, Mir, selalu merayakan ini, sehingga terbentuk pola bagi generasi muda Kampar untuk selalu menghormati perkuburan orang tua masing-masing dan perkuburan persukuan atau perkuburan kampung.”
 “Kalau Cuma itu aja, kita juga udah ziarah sebelum puasa ‘kan, Mak?”
 “Tidak Cuma itu, Mir, zora ini juga bisa untuk saling mengenal saudara mara kita yang kebetulan pergi merantau macam kau tu. Besok bisalah bertemu, bisa mempererat tali silaturrahim. Kau paham?”
 Aku mengangguk meski pikiranku sebenarnya jauh ke Pasir Pengarayan, tempatku bertugas, berkhidmat pada negeri. Aku meninggalkan tugasku demi permintaan Mak yang berlebihan menurutku.
   “Cepatlah bersiap dan pergi ke masjid, semua berkumpul di sana, nanti barulah sama-sama ke perkuburan.”
 Tidak menunggu perintah dua kali aku langsung masuk ke kamar dan bersiap, begitu juga dengan Dinda. Tetapi begitu kami keluar Mak sudah tidak ada di ruang tengah. Kami memanggil dan mencarinya tetapi tetap tidak bisa menemukan Mak.
 “Mungkin Mak duluan, Bang, kelamaan nunggu kita.”
 Aku mengangguk karena akupun berpikiran yang sama. Kami melangkah menuju mesjid. Sesampainya di mesjid ternyata sudah banyak orang, aku bergabung dengan laki-laki sedang Dinda menuju tempat perempuan. Benar kata Mak, di sini aku banyak bertemu dengan teman-teman masa kecil dulu. Setelah matahari agak tinggi, kami berangkat ke pekuburan. 
 Luar biasa, ramai-ramai mendoakan handai taulan yang lebih dulu di panggil Sang Pencipta, Allah yang Maha Kuasa. Kami juga membersihkan perkuburan setelah itu kami kembali ke mesjid. Ternyata sudah ada hidangan untuk makan siang, makan bersama. Aku ingat kata Mak, hari raya zora akan diakhiri dengan makan bersama. Suasana penuh keakraban tercipta, senda gurau, tawa dan canda dengan teman yang sudah lama tidak bersua. Tengah asyik bercerita dengan Leman, Atuk Hasan mendekatiku. Cepat aku berdiri menyambut beliau dan menyalaminya.
 “Amirullah bin Sahrudin, Atuk senang akhirnya keluargamu ada yang mengikuti tradisi kita ini.”
 Dan penjelasan Atuk Hasan membuat kepalaku dipenuhi tanya, kenapa Mak sibuk betul menyuruhku ikut raya zora kalau ternyata beliau bahkan Almarhum Bapak pun tidak pernah ikut merayakan hari raya zora ini. Akupun menyadari, Mak memang tidak ada di sini sekarang.
 Berbulan-bulan kemudian, aku akhirnya tahu kalau Mak memang tidak pernah mengikuti raya zora, dia memaksaku ikut karena mendengar banyak ibu-ibu yang menceritakan keluarga kami yang tak pernah beraya zora. Mak marah karena mereka mengatakan keluargaku tak tahu adat kampung, karena itu beliau ingin membuktikan kalau anak kesayangannya ini adalah anak yang tahu adat dan tahu sopan santun. Dan terbukti setelah kejadian itu tak ada lagi yang membicarakan Mak dan keluarga kami. Kepalaku pening! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sejarah, Akar Masalah, dan Cara Islam Tuntaskan HIV/AIDS

*Sejarah, Akar Masalah, dan Cara Islam Tuntaskan HIV/AIDS* Oleh: Yenni Sarinah, S.Pd (Aktivis Pendidikan Kelahiran Selatpanjang, Riau) ...