Schommelstoel Antik
Luna merasa seperti menjelma makhluk asing. Kendati di huisje inilah tempat ia dilahirkan—20 tahun silam. Udara beku yang menyelimuti Schiedam, Holland Selatan akhir-akhir ini begitu menyesakkan dadanya. Asma yang dideritanya tiba-tiba kambuh. Langkahnya terhuyung. Luna menghampiri schommelstoel yang tergeletak di depan kamar Oma Aleen.
Sreettt…! Tiba-tiba saja schommelstoel itu bergeser dengan sendirinya! Luna terbelalak panik. Untung saja Oma Aleen cepat menyambar tubuhnya lalu memapahnya ke sofa di ruang keluarga.
“Oma, kenapa schommelstoel itu bisa bergeser sendiri?”
Oma Aleen bergeming.
“Oma...”
“Udara di Schiedam memang dingin. Nanti Oma telepon Dokter Mick untuk memeriksa asmamu. Kamu tunggu sebentar, ya?”
Luna menghela napas. Memusatkan pandangan. Memerhatikan schommelstoel itu dengan saksama. Ukiran-ukiran berbentuk wajah seorang ratu dari kerajaan Mesir kuno, lengkap dengan taburan mutiara serta batu-batu safir yang menghiasi seluruh permukaan rambutnya, Luna dapati di schommelstoel antik itu. Kedua pegangannya juga diukir membentuk kepala king cobra yang menganga. Persis seperti singgasana, namun kusam tak terawat.
Luna sungguh penasaran, ingin sekali rasanya duduk di atas schommelstoel antik itu. Luna berjingkat-jingkat mendekatinya.
“Luna, Dokter Mick sudah datang. Ayo masuk ke kamarmu, biar diperiksa.” Suara Oma Aleen sungguh mengagetkan.
Luna menoleh kikuk. Memandang Dokter Mick dengan mata membulat. Ya ampun, Dokter Mick tampan sekali! Luna mematung seperti patung batu. Hasratnya untuk duduk di atas schommelstoel itu lenyap seketika.
Tetapi, ada hal yang membuat Luna tercengang. Dokter Mick ternyata memiliki sebuah tato di pergelangan tangan kirinya. Dan, setelah Luna perhatikan, tato tersebut menyerupai sketsa wajah seorang ratu dari kerajaan Mesir kuno—Cleopatra.
***
Tatapan dan senyuman Dokter Mick begitu teduh. Pundaknya yang kekar seperti singgasana kokoh yang diciptakan untuk tempat wanita bersandar dengan nyaman. Luna tak menyangka jika akhirnya ia bisa sedekat ini dengan lelaki yang sangat ia kagumi itu.
“Yang paling ingin aku ketahui sejak awal pertemuan kita adalah tato di pergelangan tangan kirimu ini.” Luna mengelus-elus tato itu dengan lembut.
Dokter Mick tersenyum. “Mama dan istriku sangat mengagumi kecantikan Cleopatra. Mereka sama-sama gemar mengoleksi pernak-pernik berasal dari Mesir, Timur Tengah, terutama yang berhubungan dengan Cleopatra. Alasan itulah yang akhirnya membuatku memutuskan untuk mengabadikannya dalam tato di lengan kiriku ini.”
Luna mendesah lirih. Ternyata, Dokter Mick sudah beristri. “Semoga saja aku bisa bertemu dengan mama dan istrimu suatu hari nanti...” Luna tak tahu harus berkata apa lagi.
“Kau ingin bertemu mereka?” Dokter Mick tertawa, “aku sendiri saja kesulitan bertemu dengan mereka. Kecuali jika kerinduan di benakku benar-benar tak mampu dibendung lagi. Maka, mereka akan datang menemuiku melalui mimpi-mimpi.”
“Melalui mimpi-mimpi?”
“Alam kami sudah berbeda. Sejak mereka tiada, kami hanya bisa terhubung melalui mimpi.” Tiba-tiba Dokter Mick terisak.
“Oh, mafkan aku! Aku tak tahu kalau…”
“Tak perlu minta maaf, Luna. Justru aku yang salah, kenapa jadi lelaki terlalu cengeng?” Dokter Mick tersenyum kecut.
“Sebenarnya, masih ada yang ingin aku tanyakan padamu, tapi…”
Dokter Mick memandang wajah Luna. “Tentang schommelstoel antik itu?”
Mata Luna membulat.
“Schommelstoel itu bisa bergeser sendiri, bukan?”
“Oh, jadi kau juga pernah melihat schommelstoel itu bergeser sendiri?”
“Schommelstoel itu, schommelstoel antik. Tak sembarang orang bisa mendudukinya.”
“Kau pernah menduduki schommelstoel itu?”
“Duduk di schommelstoel antik itu sama halnya dengan mengantarkan nyawa.”
“Hah?”
Dokter Mick bergeming. “Kau harus tahu, papa dan opamu meninggal dunia setelah duduk di schommelstoel itu.”
“Bagaimana kau bisa tahu?”
“Mereka kerap mengunjungiku dan bercerita banyak hal padaku melalui mimpi…”
***
“Semalam Oma bercerita banyak hal pada papa, mama, serta opamu di dekat perapian ini.” Oma Aleen duduk di dekat perapian yang menyala.
Luna mendekat. “Apa saja yang Oma ceritakan pada mereka?”
“Banyak sekali. Salah satunya tentang hujan.”
“Hujan?”
Oma Aleen mengangguk.
“Kenapa hujan?”
“Karena hujan mengukir banyak kenangan manis sekaligus pahit di huisje ini. Papamu, dan kau dilahirkan saat hujan. Tetapi, papa dan opamu juga meninggal saat hujan.” Air mata Oma Aleen menetes. “Mereka meninggal di atas schommelstoel antik itu...”
Luna menelan ludah.
“Jangan khawatir. Schommelstoel itu bukan malaikat pencabut nyawa. Tuhanlah yang telah mentakdirkan mereka meninggal dunia di atas schommelstoel itu. Yang jelas, saat ini, mereka sudah hidup tenang di surga. Oya, semalam Oma juga sempat bercerita tentangmu kepada mereka.”
“Benarkah?”
Oma Aleen mengangguk lalu tersenyum. “Ya.”
“Apakah Oma bercerita pada mereka melalui mimpi-mimpi?”
“Bukan,” Oma Aleen tersenyum. “Oma bercerita pada mereka melalui bayang-bayang yang bersemayam di tubuh Oma.”
Bayang-bayang? Ah, keganjilan seperti apa lagi itu?
“Coba kau lihat di sana.” Oma Aleen menunjuk ke arah dinding. “Perhatikan baik-baik, lalu hitung, berapa jumlah bayangan yang ada di sana?”
Luna memusatkan pandangannya lalu mulai menghitung. “Satu, dua, tiga, empat, lima, enam…” Enam?! Luna terbelalak tak percaya. Bukankah di sini hanya ada dia dan Oma Aleen saja? Seharusnya bayangan yang memantul di dinding itu hanya ada dua.
“Ya Tuhan, bagaimana mungkin?!”
“Sudah Oma duga, kau pasti terkejut melihatnya. Dulu, waktu pertama kali Oma melihatnya, Oma juga tidak percaya. Tetapi, lama kelamaan, Oma akhirnya memercayainya juga. Karena bayangan-bayangan itu benar-benar nyata!”
Luna menggeleng kuat-kuat. Ia tetap tak pecaya. Sejak awal ia datang ke huisje ini, semua menjadi terasa begitu ganjil dan aneh. Dokter Mick dengan mimpi-mimpinya, lalu Oma Aleen dengan bayangan-bayangannya. Semuanya sungguh sangat membingungkan dan sulit diterima akal sehat.
“Dulu, ketika kau berumur delapan tahun, kau pernah mengalami depresi usai melihat mamamu tewas tertabrak mobil saat akan melintasi jalan raya,” Oma Aleen mendesah lirih, “sejak itu kau dibawa ke pusat rehabilitasi untuk dirawat.”
“Kau bohong! Aku tak pernah dirawat di pusat rehabilitasi. Apalagi sampai mengalami depresi!” Luna hampir memekik, “kenapa kau tega memerangkapku di dunia ilusi yang serba aneh ini?!”
“Luna, kau bicara apa, sayang?” suara Oma Aleen bergetar. “Ini dunia nyata, Luna. Bukan ilusi. Kau harus tahu, di huisje inilah kau dulu dilahirkan dan dibesarkan. Di kelilingi orang-orang yang sangat mencintai dan menyayangimu; mamamu, opamu, juga Oma. Apakah kau telah melupakan semua itu?”
“Kau bohong! Kembalikan aku ke duniaku! Kembalikan aku!” Luna mengguncang-guncang tubuh Oma Aleen.
Air mata Oma Aleen menetes.
Luna berlari keluar, meninggalkan huisje. Luna terus berlari, di bawah guyuran hujan yang semakin menderas.
***
Dari kejauhan, Luna melihat mama dan opa sedang bercengkerama di dekat kincir angin dan taman bunga yang indah. Perlahan, Luna melangkah menghampiri mereka.
“Luna? Kenapa kau bisa ada di sini?” tanya Mama keheranan.
Opa menoleh, lalu senyumnya terkembang. “Apa kabar, Luna? Duh, Opa kangen sekali sama kamu.”
Luna menghambur memeluk opa, lalu mamanya bergantian. “Aku juga sangat merindukan kalian!” Luna sesengukkan.
Di tepi sebuah kanal beraih jernih, Luna melihat Dokter Mick sedang bersimpuh di samping sebuah pusara. Matanya sembab digenangi air mata. “Sampai kapan pun, aku akan selalu mencintaimu, istriku,” lirih Dokter Mick sembari mengecup foto mama dengan penuh rasa cinta. Setangkai mawar ia letakkan di bawah batu nisan itu. Senyumnya merekah.
“Aku juga akan selalu mencintaimu, suamiku. Meskipun rohmu masih terperangkap dalam tubuh dokter itu,” bisik Mama sembari menyusut genangan air matanya.
***
“Luna, kenapa kau tinggalkan Oma?” Ratapan Oma Aleen memenenuhi huisje. Sebujur jasad terbaring beku di hadapannya. Beberapa pelayat berusaha menenangkannya. Namun tangisnya kian pecah.
Oma Aleen melangkah tertatih, sempoyongan, lalu duduk di atas schommelstoel antik itu. “Tuhan... penderitaanku telah genap kini. Orang-orang yang kucintai telah pergi. Aku kini sendirian…” Oma Aleen merintih.
Di antara gumpalan awan putih yang diembus angin, Luna melihat dinding huisje dengan perapiannya yang menyala. Di sana ia melihat bayangan Oma Aleen telah bertambah lagi, menjadi tujuh bayangan. Bayangan-bayangan itu seperti hendak bercerita dengan mimik paling sempurna. Bercerita banyak hal; tentang kepergian, tentang kesunyian, tentang cinta, juga tentang hujan yang membawa kebahagiaan sekaligus kepedihan.
Schommelstoel antik itu tampak bergoyang-goyang. Oma Aleen memejamkan mata. Ia seperti hendak terbang ke suatu tempat yang jauh.
Note
1. Rumah tradisional Belanda
2. Kursi Goyang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar