Senin, 19 Juni 2023

Cerpen Budaya 4

BATOBO
Karya : Febrio Rozalmi Putra 

Tuai…nak padi…dituai…
Oi sipuluik nak…dibuek pokan
Tuai…nak sayang amak sayang padi dituai
Amak mangai nak sayang, manca’i makan
Layang-layang tobang malayang
Kain sasugi nak, pamagau bonia
Layang-layang tobang malayang nak sayang 
Kain sasugi nak oi sayang
Pamagau bonia
Mo basamo poi ka ladang
Mananam padi sayang
Mananam bonia…1

“Omak poi lu, jago adiok yo2!” kata Omak3 padaku sambil menutup pintu.
Sinar kemerahan di cakrawala, perlahan-lahan, menyusup di antara celah awan, membawa kehidupan ke alam semesta yang baru terbangun. Warnanya begitu lembut, seperti sentuhan sutra yang memancar dari balik kabut pagi. Jalanan sunyi. Omak melangkahkan kaki ke luar rumah dengan topi campingya. Baju samping lusuh melekat di tubuhnya. Tanganya memegang tas dari kain yang berisikan bekal makan siang. Omak pergi batobo4.
Omak senang bisa ikut batobo. Kegiatan batobo meringankan beban dan biaya untuk warga Desa Birandang, Kampar. Tradisi batobo ini sudah sejak dulu dan masih dilestarikan hingga kini. Warga secara bergantian bergotong royong membantu menamam padi. Anggota batobo akan mendapat giliran di sawahnya masing-masing. Hal ini sama dengan arisan. Omak selalu diajak warga untuk batobo, karena cekatan dalam bekerja. Bagi Omak, dia hanya mengharapkan upah dari batobo, sebab ia tidak punya sawah. Upah yang diterima dalam bentuk uang, terkadang juga beras. Tidak masalah. Semua itu bisa untuk menyambung kehidupan dengan dua orang anaknya.
Ketika Omak pergi batobo, biasanya adikku dititipkan ke Mak Minah, tetanggaku. Tapi jika hari Minggu, akulah yang menjaga adik. Aku kunci pintu rumah dari dalam, agar adikku tidak main keluar. Di rumah semi permanen ini, aku mengajak adikku untuk main mobil-mobilan, membuang rasa bosan. 
Cahaya matahari memancar dengan kuat dan menerangi segala sesuatu di sekitarnya. Langit cerah dan jernih. Rasa lapar membawa aku berjalan ke dapur dan membuka tudung nasi. Aku tahu, Omak sudah menyiapkan makan siang kami. 
“Ocu…ocu…olah mokan?”5 teriak Mak Minah dari luar.
“Olah, Uwo”.6
Rumahku dan Mak Minah berdekatan. Tetangga sekelilingku masih ada ikatan darah dari denganku. Mereka paham dengan kondisi keluargaku. Omak berpesan kepada tetangga sekitar untuk sesekali melihat aku dan adik di rumah ketika Omak pergi.
Kulihat jam dinding sudah menunjukan pukul tiga. Di luar awan tebal menutupi langit. Suara gemuruh terdengar dari langit. Omak belum pulang. Biasanya Omak pergi batobo hanya setengah hari. Adikku bosan main dalam rumah. Ia menangis di depan pintu sambil memanggil Omak. Kucoba menenangkan adik dengan bernyanyi, tapi ia tak peduli. 
Mak Minah datang. Mungkin karena mendegar suara kencang tangisan adikku. Mak Minah dengan sigapnya menggendong adikku seraya mengayun-ayunkan. Ia terlelap dalam pangkuan Mak Minah. Ia menyampaikan padaku, mungkin Omakku terkurung oleh hujan di sawah. Aku sedikit legah. Mak Minah meletakan adikku di atas kasur. Aku masih menunggu Omak pulang sambil melihat dari jendela.
Langit gelap. Suara azan Magrib terdengar samar-samar diantara gemericik hujan. Perutku lapar. Nasi dan lauk habis dimakan siang tadi. Kulihat ember tempat penyimpanan beras, kosong. Mataku berkaca-kaca. Menahan rasa lapar dan kecemasan Omak yang belum pulang. Kuintip ke luar rumah, hujan makin deras. Aku ingin ke rumah Mak Minah untuk meminta nasi. Tapi aku tak tega meninggalkan adikku sendirian di rumah. Selain itu kilat yang menyambar membuat aku surut untuk melangkah keluar. 
Tanganku memegang erat perut. Air mataku jatuh. Lapar yang teramat ini begitu terasa menyakitkan. Jika ayah masih hidup, aku tak akan menderita begini. Gaji ayah sebagai buruh sawit, tak pernah membuatku kekurangan makanan. Setidaknya ada toples yang selalu terisi dengan makanan ringan. Aku rindu ayah. 
Lamunanku terhenti. Sayup-sayup suara sirine ambulan di telingaku. Makin lama makin kuat terdengar. Adikku terbangun. Sirine itu memekak telinganya. Pikiranku tak karuan. Perihnya rasa lapar yang kutahan, semakin dalam karena sirine itu. Kupegang tangan adikku, kuintip ke luar. Ambulan itu tepat berada di depan rumahku. Gerimis di sudut mataku jatuh. Ada apa dengan Omak? Apakah Omak meninggalkanku? Belum hilang sedihnya kehilangan ayah, akankah aku tersayat lagi kehilangan Omak? 
Kubuka pintu rumah, warga dengan payung sudah ramai mengerumuni ambulan itu. Pikiranku makin kacau. Apakah nasibku yang yatim ini akan bertambah dengan piatu? Kondisi yatim ini saja sudah membuat aku menahan lapar, apalagi jika yatim piatu. Bapak-bapak berpakaian putih itu membuka pintu belakang ambulan. Mereka mengeluarkan tandu yang terbungkus kain putih dan dibawa ke rumah Mak Minah. Penglihatanku tak menemukan sosok Omak diantara keramain itu. 
Tangisanku makin kencang. Kupeluk erat adik, ia juga menangis. Itu jenazah Omak yang dibawa masuk ke rumah Mak Minah, karena rumahku kecil. Biasanya jika ada acara keluarga selalu di sana. Gumamku dalam hati. 
“Omak…Omak…Omak….”teriakku sambil berlari ke rumah Mak Minah.
Semua mata tertuju padaku. Seakan aku mengejutkan mereka. Kupegang jenazah yang sudah terbaring itu dengan isak tangis yang menjadi-jadi. Sebuah tangan lembut memegang pundaku dari belakang. Tangan itu mengoyang-goyangkan tubuhku. Kutolehkan wajahku ke belakang. Tatapanku tajam. Omak memelukku.
Syair melayu yang biasa digunakan untuk tarian batobo
Dialog Kampar : “Ibu pergi, jaga adikmu”
Ibu
Tradisi masyarakat Kampar bekerjasama dalam mengerjakan sawah
Dialog Kampar : “Apakah kamu sudah makan?”
Dialog Kampar : “Sudah, Nek”

Referensi
Lubuk dan Pelabi : Ahmad Ijazi H
Penabur Ragi : Ilham Fauzi
Mancokau : Bambang Kariyawan Ys
Bakaroh : Yudi Muchtar
Pelangi di Sungai Subayang : Mulyati Umar
Langkah Lama : Pamula Trisna Dewi


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sejarah, Akar Masalah, dan Cara Islam Tuntaskan HIV/AIDS

*Sejarah, Akar Masalah, dan Cara Islam Tuntaskan HIV/AIDS* Oleh: Yenni Sarinah, S.Pd (Aktivis Pendidikan Kelahiran Selatpanjang, Riau) ...