Senin, 19 Juni 2023

Cerpen Budaya 5

Cerpen Budaya
Sandiwara
Karya : Sri Handayani 

Datuk Ngah masih berkutat dengan jampi dan rumpun halia. Di hadapannya, gadis Mak Piah menggerung-gerung rancu dengan mata melotot. Namun, gerakannya sudah cukup tenang, tak menghentak-hentak seperti tadi. Ia terbaring di atas tikar anyam lusuh. Dari pelipis kiri hingga pelipis kanan melintang pilis kunyit dan ramuan buatan Datuk Ngah. Sementara Mak Piah duduk tergugu. Meratapi polah si gadis sambil terus mengusap ubun-ubunnya yang panas.
“Mengucap Midah. Mengucap, Nak. Astaghfirullahal’adzim..,” Mak Piah mendekatkan ucapnya ke telinga Midah berkali-kali. 
“Bantu dia minum,” Datuk Ngah memecah ketegangan.
Mak Piah membetulkan belitan kain sarungnya yang hampir lolos. Ia menyambut gelas air jampi dari sang Datuk. Dibantu seorang tetangga, Mak Piah mengangsurkan gelas yang disambut semburan dari mulut Midah.
“Brfff!! Jangan menjadi duri. Enyahhhh..!!” Midah berontak dan menyemburkan kalimat kasar.
Mak Piah susah payah membuat Midah meneguk air itu. Tak lama, entah karena pengaruh jampi atau karena lelah, Midah memejamkan mata. Napasnya terlihat tenang. Anak-anak rambut berhamburan di dahi. Mak piah memijit lembut lengan si gadis sembari menunggu titah Datuk Ngah. Para tetangga sudah banyak undur diri. Tinggalah mbak Tari, tetangga sebelah rumahnya yang masih setia membantu mengipas tubuh Midah. Keringat tampak bergulir dari sela-sela anak rambut sang gadis.  
“Mak Piah, apa ada peristiwa penting sebelum hari ini?”
Mak Piah membisu.
“Nanti kalau sudah bangun, balurkan param ini di kaki dan tangannya. Jangan boleh ke sungai atau tempat sepi sendirian. Usahakan juga tidak mandi malam,” Datuk Ngah berkata sambil pamit. 
Tak lama, mbak Tari pun ikut pamit sambil menyelipkan sebuah amplop. Mak Piah mengucapkan terima kasih, lalu menatap bimbang pada buah hatinya. 
***
Mak Piah sudah lama menjanda. Tinggal bersama seorang anak gadis hasil pernikahannya dengan Asnawi, pemuda kampung sebelah. Masa mudanya mestilah sangat bahagia karena ia merupakan bunga kampung. Nahas, untung bukan milik si molek Piah muda. Asnawi hanya baik saat Piah masih segar. Setelah melahirkan Midah, lelaki itu justru jadi beban. Malas bekerja, hobi judi gaple, ngumpul dengan kawan-kawan hingga larut, dan pulang selalu dengan aroma tuak.
Piah muda menua sebelum waktunya. Ia harus berganti peran dari tulang rusuk menjadi tulang punggung. Beruntung, dulu kedua orang tuanya mengajarkan hidup mandiri. Meskipun sang ayah adalah penghulu kampung, Piah bukanlah sosok gadis yang manja. Saat dalam ekonomi sulit, hendak mengadu nasib pada orang tua pun, tak sampai mulutnya berucap. Rasa malu adalah petuah paling tinggi yang ditanamkan kedua orang tuanya. Baginya, mengadu masalah isi periuk rumah tangga adalah sebuah aib. Terlebih, Asnawi adalah pemuda pilihannya setelah berlusin pemuda datang meminang Piah pada abah. 
Peruntungan ternyata belum berpihak pada keikhlasan Piah. Tahun-tahun suram bersama kekasaran dan kemalasan Asnawi masih ia jalani. Piah adalah perempuan kuat yang memegang teguh janji pernikahan. Itulah sebabnya, ia sandarkan kekuatannya pada Tuhan. Demi status bapak dan rumah tangga yang utuh bagi seorang Midah. Saat Midah beranjak remaja, lelaki itu menghilang tak tentu rimbanya. Meninggalkan utang judi menggunung. 
“Mak, biarlah Midah tak usah lagi sekolah. Midah akan bantu emak mengangsur utang Abah,” ungkap Midah suatu malam.
“Tidak, Midah. Masalah utang tak perlu kau ikut campur. Selesaikan sekolahmu. Kau tak boleh turut menanggung derita. Kelak, jadilah orang besar biar tak jadi beban bagi orang lain.”
“Iya, Mak.” 
“Ingat Midah, pulang sekolah langsung ke rumah. Kau sudah beranjak dewasa. Kemarin Wak Ramzi datang meminangmu. Meminta kau jadi bini mudanya setelah lulus sekolah. Tapi, Mak tak hendak segera menikahkanmu. Jadi, kau harus benar-benar menjaga diri. Wak Ramzi tampaknya marah karena penolakan Mak.” 
“Baik, Mak.”
“Sudah, segera bantu Mak menyiapkan makan malam kita. Lepas itu, lanjutlah tidur. Esok bukannya kau ada praktik drama katamu?”
Midah beranjak ke dapur. Malam ini terasa lebih khidmat. Namun, hati Midah dilanda gulana akan nasib ia dan sang ibu ke depan. 
***
“Kalau tak bisa juga, terpaksa rumah ini akan kami sita, Mak.” 
“Tolong, saya akan usahakan. Tinggal ini tempat berteduh dan harta yang kami miliki.” 
Mak Piah menyeka keringat di dahi dengan ujung tekuluknya yang lusuh. Pikirnya melayang-layang. Mencari celah jalan mengumpulkan pundi-pundi. Amplop pemberian tetangga kemarin sudah habis untuk keperluan dapur dan lainnya. Malu rasanya terus menengadah pada tetangga.
“Aku sudah lebih banyak menenggang. Janjinya sudah bertahun, Mak. Pekan lalu aku ke sini, tapi Mak sedang sedih. Jadi aku pulang saja. Sudah pula kena marah bos. Kalau tidak mengingat Mak adalah orang baik, sudah kusita rumah ini dari dulu,” lelaki berjaket lusuh itu berujar sambil membuang muka. Seperti menahan nyeri yang mencubit hatinya.
“Bagi saya tempo satu pekan lagi. Saya akan usahakan mencicil.”
“Maaf, Mak. Aku kasih tempo 3 hari saja. Sekarang, akan kuambil barang …”
“Aarrghhh..!!!”
Mak Piah dan lelaki yang ternyata suruhan rentenir tempat Asnawi mengutang uang judi itu terkejut. Dari dalam rumah terdengar jerit Midah. Mak Piah berkejar masuk. Sementara lelaki itu tampak kecut dan mengintip di depan pintu. 
“Pergii..! Pergi..! Aku tak mau ikuutt!!”
Di ruang tamu berlantai tanah itu Midah memeluk lutut. Tangannya menunjuk-nunjuk ke arah pintu dengan rambut sudah menutup separuh wajah. Napasnya turun naik dengan netra melotot tak berkedip. Lagi-lagi dia berteriak. Mak Piah hampir panik. Namun, segera menguasi diri dan memeluk anaknya. Membisikkan kalimat-kalimat istighfar dan lantunan ayat suci di telinga Midah. 
Teriakan Midah sontak mengundang lagi para tetangga. Kali ini mereka datang dengan kondisi lebih tenang karena ini sudah yang kesekian kali Midah begitu. Sebagian yang datang hanya untuk memenuhi rasa ingin tahu. Tidak seperti saat pertama kali Midah keteguran. Walau pun, ada juga yang datang tulus karena prihatin dengan keadaan Mak Piah dan anak gadisnya. Salah satunya Mbak Tari. Ia datang setelah mengabari Datuk Ngah terlebih dahulu.
 “Hrgg!! Pergi..! Pergi! Ini rumahku! Kau nak rumahku berhantu? Pergi..!! Hahaha..!!” 
Midah meronta. Tangannya menunjuk-nunjuk lagi ke arah pintu. Dia hendak berlari. Namun, mbak Tari dan Mak Piah sigap memegang tubuh gadis itu. Tetangga yang datang saling pandang. Di depan pintu, lelaki suruhan rentenir itu salah tingkah. Tak menunggu lama, ia mengegas motor menjauh dari rumah Mak Piah. 
Seketika para tetangga mulai saling selisik. Membuat simpulan-simpulan yang menambah keruh suasana. Tuduhan mereka dari yang awalnya dari si Ramzi berbelok pada lelaki tadi yang mungkin saja mendatangkan jembalang untuk mengganggu anak gadis Mak Piah. Sudah menjadi rahasia umum kalau Mak Piah harus melunasi utang-utang suaminya. 
Dibantu Mak Piah, Datuk Ngah membuat pilis di kening, lipatan tangan, telapak tangan, dan kaki Midah. Suhu badannya meninggi. Karena terus meronta, lelaki separuh baya itu menyembur ubun-ubun Midah dengan air jampi. Seketika Midah terkulai. 
“Boleh kita bicara sebentar?” Datuk Ngah menatap Mak Piah. Mereka lalu beriirangan menuju dapur sempit di belakang.
Para tetangga segera membubarkan kerumunan. Sementara Mbak Tari mendekati Midah. Midah membuka mata dan seketika bangkit dari tidur. Memeluk erat mbak Tari. Tersengguk-sengguk dalam dekapannya.
“Maafin Mbak, ya Dik. Ternyata malah membuatmu dan Mak lebih menderita begini. Sudah ya, cukup saja sampai di sini. Kamu pasti capek, kan?” 
Air mata mbak Tari menyusup dari kelopak mata. Mengimbangi isak tangis Midah yang belum reda.
“Makasih, Mbak sudah banyak membantu. Midah cuma ingin meringankan beban Mak, Mbak. Tapi Midah tak punya cukup cara. Kasihan Mak dikejar-kejar rentenir.”
“Mungkin kita bisa coba cara lain, Dik.” 
Mbak Tari mengusap pipi Midah dan menyeka air mata dengan sebelah tangannya. Di pintu arah ke dapur, Mak Piah berdiri dengan air mata bergulir. Mbak Tari sedikit gamang melihat tatapan Mak Piah. Perlahan, wanita bertekuluk lusuh itu menghampiri dan meraup keduanya dalam pelukan.
Datuk Ngah membuang muka. Berusaha menyembunyikan netranya yang berembun.

***


Catatan:
Keteguran: kesambet, diganggu hantu
Jembalang : hantu penunggu suatu tempat

Cerpen inspirasi:
Merantau ke kampung sendiri karya Anton WP
Pendar Zapin di Negeri Istana karya Listi Mora Rangkuti
Cinta terlarang tradisi karya Patrick Kellan
Dikir karya Joni Lis Efendi
Kesurupan karya Meiska

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sejarah, Akar Masalah, dan Cara Islam Tuntaskan HIV/AIDS

*Sejarah, Akar Masalah, dan Cara Islam Tuntaskan HIV/AIDS* Oleh: Yenni Sarinah, S.Pd (Aktivis Pendidikan Kelahiran Selatpanjang, Riau) ...