Gulungan Uang
Karya : Febrio Rozalmi Putra
Cahaya kemerah-merahan muncul dari ufuk timur. Pak Marjo mendorong gerobak tua menuju TPS (Tempat Pembuangan Sementara). Di kepalanya terpasang sebuah senter. Hiruk pikuk suara kendaraan belum terdengar, belasan orang berkumpul di sepanjang tumpukan sampah pinggir jalan Soekarno Hatta, Pekanbaru.
Pak Marjo dan pemulung lainya mencari barang bekas yang bisa untuk dijual, seperti plastik, besi, kertas, atau kardus. Ia harus cepat dari pemulung lainya. Tiap bungkusan sampah ia buka, berharap ada barang yang bisa ia rupiahkan. Selain itu ia juga dikejar waktu. Karena pukul setengah tujuh, mobil dinas kebersihan kota akan membawa semua tumpukan sampah itu ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir).
Pekerjaan ini sudah ia lakoni lebih dari lima tahun. Ia tidak ada pilihan. Sejak ditinggal istri tercinta, yang telah menghadap pada Allah dan dua anaknya pergi merantau untuk mengadu nasib. Kepalanya yang memutih dan kulit yang keriput, membuat orang enggan untuk mempekerjakannya. Ia berpantang untuk menunggu belas kasihan orang atau meminta-minta untuk dikasihani. Selagi jiwa dikandung badan, selagi kesehatan memungkinkan, ia akan berusaha untuk mencari uang.
Dua bulan lagi, umat Islam akan merayakan kemenangan kedua setelah Idulfitri. Pak Marjo membaca pengumuman biaya hewan kurban di Masjid tempat ia tinggal. Biaya kurban sapi untuk satu orang dipatok dua juta sembilan ratus ribu, sedangkan untuk kambing dua juta tiga ratus ribu rupiah. Tahun lalu Pak Marjo gagal ikut berkurban, ia bertekad tahun ini harus terlaksana.
Hari-hari ia semangat mencari barang bekas. Demi ikut berkurban. Hanya hujan yang bisa membatasi tubuhnya yang tua itu untuk berangkat mengelilingi rumah warga, mencari rongsokan yang bernilai baginya. Selain itu ia berhemat. Ia membeli makan siang tanpa lauk, hanya nasi dan sayur. Untuk mencapai tujuan yang kita impikan, semua terasa ringan dan penuh keikhlasan. Apalagi itu tujuan dalam menjalankan perintah agama.
Cahaya temaran lampu lima watt, menerangi tempat peristirahatan Pak Marjo yang beralaskan kasur palembang itu. Ia menghitung lembaran uang tabunganya. Ia senyum sambil mengikat uang itu dengan karet.
Suara pukulan pintu terdengar jelas dari kamar Pak Marjo.
“Pak Marjo… Pak Marjo… Pak… tolong saya, Pak!” kata Pak Mardi dengan napas yang tak beraturan dan wajah cemas.
“Kenapa, Pak?”
“Anu…anu, Pak. Istri saya sakit. Jantungnya kumat lagi. Boleh saya pinjam uang, Pak. Saya mau bawa dia ke rumah sakit, tolong…tolonglah, Pak!”
Pak Marjo terdiam. Ia tak ingin berbohong, dengan mengatakan tidak punya uang pada Pak Mardi tetangganya, teman satu profesi dengan dia itu. Tapi ia juga tak mau gagal lagi ikut berkurban tahun ini. Pak Marjo melihat wajah Pak Mardi. Ia teringat almarhumah istrinya. Istrinya meninggal dunia karena terlambat dibawa ke rumah sakit. Ia bisa merasakan perasaan Pak Mardi.
“Pak Mardi, saya tidak ada uang untuk dipinjamkan, Pak.” Penolakan itu terasa pahit bagi Pak Mardi. Ia pulang dengan wajah kesal.
Matahari bersinar terik, Pak Marjo berdiri di belakang rumah. Bayangannya tepat berada di bawah kakinya. Ia memasukkan semua barang bekas hasil memulungnya beberapa hari ini ke dalam karung besar dan menumpuknya ke gerobak. Ia akan menjualnya.
“Berapa kilo semua punya saya, Pak?” tanya Pak Marjo sambil melihat timbangan.
“Sebentar, saya hitung.”
Pak Marjo senyum melihat kertas kecil yang ia terima. Dalam kertas itu terinci berat dari kardus, besi, dan botol plastik miliknya yang baru saja ditimbang. Pak Marjo menolehkan pandangannya ke kumpulan barang bekas yang menggunung di sekelilingnya. Ia menunggu untuk menerima uang.
Hasil penjualannya kembali ia gabungkan dengan uang simpanan itu dalam ikatan yang berbeda. Pak Marjo membaringkan raganya untuk sejenak beristirahat. Matanya terfokus pada sebuah foto yang ada di dinding. Ia berkaca-kaca. Dia merindukannya. Impian terakhir belum terwujud. Ia pernah berencana dengan istrinya untuk bisa baik haji. Memang nekat. Tapi Pak Marjo menawar impian istrinya itu dengan ikut memeriahkan Iduladha di tanah air saja. Dengan seekor kambing atau seekor sapi yang dipertujuh. Impian itu terkubur dengan raga istrinya hingga kini.
“Pak Marjo, Pak…,” teriak Bu Dewi dari luar rumah.
“Siapa yang menggangu di siang bolong ini?” ucap Pak Marjo sambil berjalan keluar dari kamarnya.
“Pak, bantu saya Pak, besok anak saya akan ujian, ia belum bayar uang sekolah, bantu pinjamkan saya uang Pak,” wajah Bu Dewi memelas.
Pak Marjo tempat para tetangganya untuk mengadukan desakan hidup. Karena tetangganya tahu, jika Pak Marjo tidak ada lagi kebutuhan seperti menyekolahkan anak, memberi belanja istri, dan lainnya. Para tetangganya sudah biasa meminjam uang padanya. Walau tak dapat sepenuhnya minimal Pak Marjo akan meminjamkan separuhnya. Tapi kali ini Pak Marjo tak bisa seperti itu lagi. Ia sedang berjuang untuk mewujudkan impian dia dan alhamarhuma istrinya.
“Bu Dewi, saya mohon maaf. Saya memang ada uang. Tapi saya mohon Bu Dewi untuk memahami, bahwa saya juga butuh uang itu untuk ikut berkurban beberapa minggu lagi. Ini cita-cita saya dengan alhamarhuma istri saya.”
Selepas perginya Bu Dewi, Pak Marjo tak mau menunggu hingga uangnya genap dua juta sembilan ratus ribu. Ia bertekad setelah shalat Magrib nanti langsung mendaftar untuk ikut peserta kurban tahun ini. Uang yang ada akan dia serahkan ke panitia, sehingga jika ada tetangganya yang ingin meminjam, ia sudah punya jawaban yang melegahkan hatinya.
Azan Magrib berkumandang hingga ke rumah kontrakkannya. Ia bersiap. Kain sarung, peci hitam, dan sajadah sudah melekat di tubuhnya. Ia membuka lemari dan mengambil uang simpanannya. Setiap lipatan kain ia raba dengan tangan, tapi tak merasakan gulungan uang. Ia bongkar isi lemari itu dengan memindahkan semua lipatan kain satu per satu keluar sambil memperhatikannya. Tak kunjung ia temukan. Ia berpindah ke bantal. Semua bantalnya ia periksa dan buka sarungnya, tapi uang itu tidak ada. Ia periksa lagi di bawa kasur palembang tempat ia beristirahat. Hanya debu yang ia temukan.
Kamar itu bagai kapal pecah. Pak Marjo tersandar pada dinding kamarnya. Ia berpikir keras, mencoba mengingat letak uang itu. Pikirannya buntu. Semua kemungkinan sudah ia periksa. Namun tak menemukan lembaran rupiah itu. Ia berprasangka buruk. Apakah Pak Mardi yang mengambil uangnya, karena ia sedang butuh, atau Bu Dewi yang menyelinap masuk ke kamarnya saat ia tidur sore tadi?
Pak Marjo mendatangi rumah Pak Mardi. Tapi ia tak jumpa. Hanya anak Pak Mardi di rumah. Anaknya itu menjelaskan, jika Pak Mardi di rumah sakit, menjaga istrinya yang sedang dirawat. Anak itu juga bercerita bahwa Pak Mardi mendapat pinjaman dari tetangga lain. Pak Marjo pasrah tapi tak rela. Ia tak mau lagi berandai-andai atau bahkan menuduh orang lain. Ia menyalahkan dirinya yang tak mau menolong orang lain yang sedang susah. Mungkin ini teguran dari Allah padanya. Ia berucap dalam hatinya, meminta maaf pada alhamarhum istrinya karena tahun ini masih belum bisa berkurban.
Gema takbir bersautan. Hari raya Iduladha menghampiri. Pak Marjo bersiap berangkat shalat Id. Ia memakai baju koko putih, sarung putih dan peci hitam. Hatinya sedih karena impian itu belum bisa terwujud lagi tahun ini. Ia memakai sendal bekas hari raya Idulfitri lalu yang ia simpan ke kotaknya.
“Alhamdulillah Ya Allah,” Pak Marjo kaget melihat gulungan uang itu di dalam kotak sendal.
Referensi
Sunlie Thomas Alexander “Keluarga Kudus”
Zulfa Muntafa “Idul Adha dan Seekor Tikus”
Andre Abidin “Merajut Mimpi Sang Tholabul Ilmi”
Asyifa Riyani “Sobekan Kertas Kecil”
Putri
Kirana “Nu’aiman dan Suwaibith”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar