Metamorfosis Tak Sempurna
Karya : Sri Handayani
Pernahkah kau perhatikan dia selalu ingin menjadi seperti kupu-kupu? Mengangkat derajatnya dari sebentuk ulat tanpa tulang, lalu terbang dengan sayap indah. Mengitari ranum bunga-bunga mencari madu. Namun, lupa dengan prihatin kepompong. Asik memamah sebagaimana ulat menghabiskan pucuk-pucuk. Sibuk mengisi perut dan perut.
Tidakkah ia lebih mirip seekor kecoak? Dari yang hanya kecil kemudian membesar di selokan-selokan. Perubahannya hanyalah fisik, tapi hatinya tetaplah kotor dan bau. Ya! Dia lebih cocok menjadi kecoak dengan kebohongan dan kecurangan sebagai sayap-sayap yang menyebarkan aroma busuk!
***
“Kemarin Bu Lurah pulang dengan tentengan besar-besar. Sepertinya habis shopping lagi,” entah kenapa kali ini pertanyaanmu membelok setelah melihatku sibuk meracik bahan-bahan jamu.
Kuiyakan sambil terus berkutat melumat kunyit-kunyit di dalam lumpang. Dentingan dasar kayu bertalu seperti ingin menenggelamkan suaramu. Tak ingin hilang konsentrasi, kupegang alu dengan dua tangan mengarahkan pada tumpukan kunyit setengah hancur. Mata terpusat pada dasar lumpang, tangan terus mengayun naik-turun.
Matamu awas menatap ritme gerak tanganku.
Sejak suaminya diangkat dan memenangkan pemilihan, bu lurah begitu antusias memesan jamuku. Katanya ia perlu perawatan khusus tidak hanya dari luar, tapi juga dari dalam tubuh. Tentunya tidak hanya jamu, menu makanan dan selera pakaian bu lurah pun berubah. Perawatannya sekarang terlihat semakin-semakin saja.
Kami memang pernah satu kelas waktu SD. Namun, tak sampai kenal akrab. Karena rupawan, ia tak sempat melanjutkan sekolah. Keburu dipinang pak lurah yang kepincut dengan ayu parasnya. Pak lurah dengan latar kemapanan, tentu sangat sayang jika ditolak. Mereka pun menikah dan memiliki 3 anak.
Campuran jamu pesanan Bu Lurah sudah kuhapal di luar kepala. Empu kunyit, sedikit jahe, manjakani, asam jawa. Tidak terlalu manis dan sudah tentu dengan campuran gula aren asli. Perasan jamu dengan air matang lalu dipanaskan selayang tak sampai pecah.
Lain waktu berganti dengan kunyit asam sirih dicampur dengan perasan bunga kenanga atau melati. Bu Lurah menyebut ia mendapat resep campuran ini dari internet di telepon pintarnya. Sekarang ia terlihat begitu piawai memainkan gawai dan media sosial.
“Namamu tak tercantum lagi?”
“Sepertinya aku harus menjadi lebih miskin agar bisa tembus bantuan apapun dari pemerintah,” suaramu berubah seperti desau daun-daun sawit hingga membuat konsentrasiku buyar.
Mengangkat kepala dan meletakkan perasan jamu setengah jadi di seberang meja tempatmu duduk. Kulihat gurat lelah dan perih di matamu. Tampak gugatan berakar tertindih ketidakberdayaan. Kau perhatikan pias wajah pada pantulan perasan kunyit itu adalah rupamu saat ini.
Kau seperti melempar ingatanku pada hari-harimu terdahulu. Menikah karena utang budi. Lelaki dengan perangai tak selayaknya seorang suami itu justru membuat penatmu bertambah-tambah. Puncaknya suamimu pergi tanpa kabar. Meyatimkan satu bocah yang masih ingusan .
Waktu berlalu dan kapling itu tak lagi mampu menampung kebutuhan. Kau berkeras anakmu harus tetap sekolah agar memiliki gambaran hidup masa depan. Wajar karena sempitnya ekonomi saat ini kau turut cemburu. Kerabat Bu Lurah hilir mudik mengangkat sembako bantuan. Tak selang berapa bulan, kembali dengan kartu-kartu sakti pencetak uang. Bahkan bu lurah sudah dua kali menggelar kenduri besar kawinan anaknya. Dan kau hanya bisa memandang dengan perasaan teremas. Berdamai dengan impitan kemiskinan yang seolah milikmu sendiri.
"Cobalah bicara langsung dengan Pak Lurah."
"Lalu apa setelah bicara dengan Pak Lurah? Mencarinya saja seperti mencari jarum dalam jerami," dengusmu kesal.
Sebenarnya kau sudah berusaha. Mengumpulkan berkas-berkas persyaratan yang juga cukup rumit kau urus di kantor desa. Namun, belakangan pak lurah sangat sulit ditemui. Para pegawai kantor desa hanya bisa memberikan info, tapi kehadiran pak lurah sulit diprediksi.
"Kau terlihat akrab dengan Bu Lurah. Katanya kau dapat sembako dan bantuan penjualan. Apa ini ada hubungannya dengan jamu yang kau buat? Kau beri pengasih?" kini sorot matamu menghakimi.
"Haha! Jangan karena materi lalu tumbuh kesumat dan syak di hatimu. Aku penjual jamu, bukan dukun! Aku dan Bu Lurah hanya teman sekilas masa kecil. Sekarang tak lebih sebatas penjual jamu dan pelanggan."
Kilat gugat di matamu meredup.
Selain kebutuhan keuangan, aku tau ada keadilan yang ingin kau suarakan. Masa-masa begini wajar jika ekonomi semakin sulit. Naiknya bahan kebutuhan pokok dan minimnya lapangan kerja menjadi tersangka utama. Kabar turunnya bantuan dari pemerintah seperti hujan di musim kemarau. Memberi sejuk dan menumbuhkan benih-benih harapan baru penyambung hidup.
Sebagaimana yang sudah-sudah, bantuan turun hanya tinggal kabar saja. Sudah terbagi dan tak ada yang tersisa. Informasi persyaratan sesayup sampai. Entah terputus di mana. RT bilang sudah cukup, RW bilang kurang ini. Sampai di kantor kelurahan harus ada itu.
Pernah Bu Lurah mengunci opini dengan ketidaklengkapan berkas. Tak lupa menegaskan bahwa yang dapat benar-benar memenuhi syarat. Ia mengatakan tepat saat tak sengaja aku memergokinya sedang bersama orang asing. Ia juga berjanji meloloskan namaku untuk satu bantuan khusus.
“Bapak punya banyak kenalan orang dinas. Sudah banyak pihak yang minta bantuan Bapak. Aku bisa meminta beliau memesankan satu tempat untuk promosi jamu yang kamu buat,” kedip mata bu lurah saat itu penuh arti.
Pernyataannya bukan isapan jempol. Tak lama aku mendapat satu paket sembako langsung dari bu lurah saat mengantarkan pesanan jamu. Tentu dengan catatan, ini hanya aku dan dia yang tahu. Namun, pada akhirnya ini bukan rahasia. Ia juga memberikan satu kontak orang dinas yang bisa kuhubungi terkait penjualan jamu. Saat itu aku bergeming. Bimbang dengan nasib sembako dan kartu nama. Lalu kuletak asal di keranjang jualan.
Lain waktu, ada saja yang iseng memuji kecantikan bu lurah. Tanpa segan, bu lurah berkisah. Gelangnya emas murni, baju-baju keluaran terbatas, belum salon, dan tempat-tempat makan. Tak lupa dibeberkan harga-harga fantastis. Belum katanya beliau dapat hadiah-hadiah yang mahal. Bu Lurah sedang bermetamorfosis. Namun, seingatku tak seindah kupu-kupu karena tingkahnya bahkan menggelikan!
Sebelum senja benar-benar purna, kau pamit dengan perasaan luka. Kuselipkan selembar hijau yang awalnya kau tolak, lalu aku memaksa dan matamu mengeluarkan kaca-kaca.
Setelah punggungmu menghilang, kuperhatikan lagi jamu-jamu yang sudah tersusun rapi di botol. Tinggal menyiapkan diri dan segera meluncur ke rumah bu lurah. Mengecek kembali jumlah pesanan dari aplikasi androidku. Akan tetapi ….
***
Aku mematung di luar pagar. Tak jauh dari mobil kedinasan di depan rumah bu lurah. Beberapa warga menyaksikan dari pintu-pintu rumah mereka sambil melihat satu tayangan di ponsel pintarnya masing-masing. Ada yang terang-terangan menonton di halaman rumah dengan gawai di tangan, serta mengabadikan momen.
Mula-mula tampak yang digiring Pak Lurah. Ekspresi raut mukanya sulit ditebak. Menyusul satu orang perempuan berhijab dengan muka tertutup masker yang kuperkirakan bu lurah. Tatapan matanya langsung mengunci netraku seakan menyampaikan kekesalan.
“Kau yang sengaja membeberkannya, kan? Memang tak tahu terima kasih!”
=Selesai=
Catatan:
Lumpang = lesung
Alu = antan
Cerpen Inspirasi
Kiai Amplop karya Sam Edy Yuswanto
Keranda Jenazah Abah Karya Olyrinson
Seragam karya Patrick Kellan
Warung Yu Supi karya Artie Ahmad
Kotak Amal karya Ramli Lahaping
Tidak ada komentar:
Posting Komentar