Tema 1: Lingkungan
Riwayat Sungai
Karya : Sri Handayani
Matahari mulai rebah di kaki langit. Bias cahayanya menyembul melewati mendung, membentuk garis arsir samar. Suara burung sore riuh berebut sarang di pucuk-pucuk pohon. Jerit siamang di kejauhan seperti mengkhidmatkan senja yang segera berlalu.
Aku baru selesai menyimpan peralatan menjala. Sembari memastikan tambatan sampan sudah kuat dan aman, kulongok ikan yang meringkuk pasrah di dalam bubu. Hanya beberapa ekor tawes dan ikan pantau kecil terjaring di dalamnya. Padahal, biasanya baung, cucut, dan tapah akan turut beramai-ramai terperangkap. Jika beruntung, induknya pun tak absen kubawa ke rumah Wak Rusli, juragan niaga yang memiliki toko besar di tengah kampung. Cukup untuk menebus 5 kg beras dan beberapa rupiah untuk ibu. Tentu juga untuk menambah sangu si bungsu ke sekolah.
Ada sesak yang mulai memenuh rongga. Beberapa bulan terakhir, hasil menjala semakin sepi. Ikan-ikan seperti hilang ditelan bumi.
Kuperhatikan sekeliling. Namanya Sungai Jake. Sungai yang menemani masa-masa kecil. Jangan ditanya bagaimana bahagia kala itu. Setiap libur sekolah bulan puasa tiba, kami tak pernah mangkir berkunjung. Meski harus kami korbankan lelah telapak kaki berjalan sepanjang empat kilo dan menahan haus karena puasa. Namun, semua terbayar ketika sampai di sini. Air jernih dengan riak lembut serta ikan-ikan menghampiri ramah kecipak kaki-kaki kecil kami. Hilang sudah segala penat dan tertunda lapar dahaga karena puasa. Kami akan dengan cekatan merogoh balik-balik tunggul yang menyembul ke permukaan sungai dan akar-akar pandan. Jika nasib baik, kami dapat membawa pulang yuyu atau udang, atau beberapa ekor ikan hasil nggrebek, cara menangkap ikan dengan menggiringnya beramai-ramai ke pinggir sungai, lalu ditangkap dengan seser, serupa jaring kecil, atau dengan tangan.
Pandanganku melebar ke parit-parit di pinggir jalan. Dulu, dengan riang kami akan berebut mencari genjer, tumbuhan sejenis enceng gondok, yang banyak tumbuh liar di sepanjang parit dan pucuk-pucuk pakis muda untuk dijual. Kami sengaja membawa goni untuk wadah. Saat mentari mulai ditutup pucuk pohon sawit, kami akan menyudahi perburuan tanpa lupa menceburkan badan dan berbilas sebelum pulang. Dengan beban segoni sayuran dan beberapa ikan kecil, kami mulai letih menapaki jalan pulang. Namun, tak dapat dipungkiri kepuasan yang terpancar di wajah-wajah kecil itu. Saat itu mulai terasa perut melilit minta diisi. Rasa tak sabar sampai di rumah, berbuka dengan tumis genjer dan goreng ikan.
Mengingat masa itu, aku tak mampu menahan senyum. Masa-masa kecil yang tak akan terulang kembali, karena setelahnya, kami mulai menentukan nasib masing-masing. Keterbatasan ekonomi menuntutku mengubur harapan bersekolah tinggi. Cukup sampai lulus SD. Sebagai anak lelaki tertua dari lima bersaudara, aku cukup tahu diri untuk tetap membantu bapak menjaga agar dapur tetap mengepul dan adik-adik melanjutkan mimpinya mengenyam pendidikan. Sungai Jake inilah penyambung harapan kami.
"Sungai ini sumber penghidupan yang patut kita syukuri, Nak. Lihatlah, dengan kuasa-Nya, Allah memberikan segala kebaikan dari seisi sungai. Kita dapat menikmatinya dengan gratis. Jangan sekali-kali abai. Arif-ariflah menjaga alam agar alam pun tetap menjaga kita," nasihat sederhana bapak ini yang selalu kutanamkan. Hingga setelah kepergian bapak menghadap-Nya, sungai Jake inilah teman karibku. Aku seperti sudah hapal setiap tepiannya. Kecuali muara yang nun jauh menginduk ke sungai Kuantan.
“Le1, apa enggak pengen cari pekerjaan yang lain? Biar ibu minta tolong sama Pak Herman, toke sawit depan rumah kita. Dan segeralah menikah.” Suatu kali ibu menguji setiaku pada sungai.
“Nanti tak pikirkan lagi, Bu,” hanya itu jawabku. Bagaimana aku berpaling. Sungai Jake sudah mengajarkanku banyak hal. Tentang kesederhanaan, tentang kesabaran, tentang rasa syukur yang tak terhingga. Dari perutnya aku dapat membantu meneruskan perjuangan bapak mengentaskan sekolah adik-adikku dan membantu perekonomian keluarga. Tidakkah itu suatu pencapaian yang besar? Tentang pernikahan, aku belum berani berpikir kembali tentang itu.
Tapi, Sungai Jakeku tak selalu tangguh. Ia tak mampu mengelak ketika warga yang tak sabar mendapat banyak tangkapan ikan, meracuninya dengan potas, peledak, dan seminim-minimnya dengan setrum listrik. Tak sangggup membayangkan seluruh isinya menggelepar ke permukaan air. Kemudian mereka beramai-ramai mengepung dan menangkap ikan yang sudah tak berdaya. Setelah merasa cukup, maka tersisalah bangkai ikan yang kecil-kecil, lalu membusuk dan meninggalkan aroma anyir sepanjang sungai. Pernah kutemui seekor induk tapah besar terapung dengan separuh ekor hilang. Kemungkinan baru mati beberapa hari setelah peristiwa yang mengerikan itu. Jika sudah demikian, sungai akan sepi. Tubuhnya tercemar dan makhluk enggan menjadikannya tempat bernaung beberapa waktu. Aku hanya bisa menahan mata yang panas, tanpa mampu berbuat banyak.
Kepak kelelawar membuyarkan lamunan. Hari sudah semakin gelap. Aku pun bergegas menuju motor dibantu cahaya senter. Ibu bisa khawatir jika aku pulang larut. Kutinggalkan sejenak segala kenang tentang Sungai Jake. Sepanjang perjalanan, tampak kerlip lampu di kejauhan. Lampu dari lapak-lapak yang beberapa waktu ini membuat dadaku nyeri.
***
“Le, tadi Paklik Slamet kemari. Meminta ibu menawarimu pekerjaan.”
“Pekerjaan macam apa yang ia tawarkan, Bu? Nguli di rakitnya?” Aku menebak dengan raut tak enak.
“Bagi hasilnya lumayan. Kemarin anggotanya dapat seujung jari kelingking. Masing-masing bisa dapat satu juta.”
“Mereka dapat banyak dengan merusak sungai, Bu. Kita hanya bisa menunggu karma apa yang akan terjadi,” tak mau berdebat dengan ibu, aku memilih mengambil jala yang kemarin robek tersangkut kayu dan menambalnya di samping rumah. Aku tahu ada raut kecewa di wajah ibu..
Paklik Slamet adalah satu dari sekian banyak masyarakat yang membuat dadaku bergemuruh. Hampir dua tahun ini, Paklik Slamet ikut menambang emas di Sungai Jake. Entah siapa yang memulainya. Bahkan karena berjayanya, ia sudah memiliki tiga rakit dan lebih dari sepuluh anggota. Menurut ibu, ia akan membuka rakit keempat dan memberiku kesempatan lagi untuk bergabung, setelah tawarannya dulu kutolak mentah-mentah.
“Man, apa lagi yang kamu harapkan dari hasil menjala? Hasil sungai tak seperti dulu ketika bapakmu masih ada. Kamu juga nggak mau pake potas. Hasilmu tentu semakin sedikit. Man, Zaman sudah berubah. Kamu bisa kaya kalau ikut nambang2 dan nggak perlu capek-capek njala3 lagi.” Bujuknya berapi-api.
“Setidaknya aku tidak merusak sungai, Paklik,” sengakku. Aku enggan melayani bujukannya.
“Anakmu pancen4 keras kepala, Yu. Belagu dan sok suci,” gerutunya seraya meninggalkan rumah.
Aku hampir tak mampu menahan geram. Jika tidak karena menghargai dia sebagai adik ibu, mungkin aku sudah meninjunya. Kesal dengan kecongkakannya yang memanfaatkan kerusakan sungai sebagai lahan kekayaan. Sudah menjadi rahasia umum, aktivitas penambangan liar di sepanjang Sungai Jake kian marak. Tidak mengherankan jika hampir sepanjang sungai dipenuhi rakit-rakit darurat beratap tenda biru atau seng-seng bekas tempat para penambang beraktivitas. Termasuk rakit milik Paklik Slamet yang kata orang-orang selalu membawa tuah karena sering mendapatkan emas mentah sebesar ujung ibu jari. Makanya Paklik Slamet sangat percaya diri menawariku menjadi anggotanya sebelum ia mengimpor anggota baru dari Jawa.
Apa orang-orang seperti Paklik Slamet peduli dengan kekesalanku? Tidak sama sekali. Mereka hanya peduli dengan kantong sendiri. Mereka tak pernah memikirkan bahwa air raksa yang mereka pakai mencari butiran emas bisa mencemari makhluk-makhluk kecil dan air sungai. Dan mesin-mesin penyedot pasir itu sudah membuat Sungai Jake kehilangan alirannya. Tersisa hamparan pasir serta air sungai yang kini menyerupai kubangan dengan air coklat keruh di beberapa titik. Tentu imbasnya bisa mengganggu kestabilan alam. Ah, aku yang hanya tamat SD ini tentu terlalu bodoh untuk menyimpulkan hal begini dibandingkan dengan orang-orang pintar berijazah sarjana seperti Paklik Slamet.
“Man! Rohman.., Ibu tinggal dulu, ya. Ibu mau ke rumah Bulik Har,” ibu keluar tergesa-gesa sambil membetulkan posisi jilbabnya.
“Ada apa dengan Bulik Har, Bu? Apa Bulik Har sakit?” Aku penasaran.
“Barusan si Sandra telepon. Katanya Bulikmu nangis gulung-gulung di rumah karena dengar kabar semua rakitnya dibakar polisi dan Paklikmu kena tangkap bersama beberapa anggotanya. Rupanya mereka tidak tahu kalau polisi sedang razia. Yo wis, Ibu tinggal dulu. Assalamu”alaykum..”
Ibu berlalu meninggalkanku yang berdiri mematung. Jarak rumah Bulik Har memang tak terlalu jauh. Hanya sekitar lima menit jalan kaki.
Aku kembali mengambil jala yang sedang kutambal. Kuhela napas panjang. Antara sedih atau gembira. Sedih karena Paklik Slamet adalah adik kandung ibu. Gembira karena sungaiku, setidaknya kamu dapat beristirahat beberapa hari ke depan. Ada harapan besar aparat akan terus patroli dan aktivitas penambangan itu segera berakhir.
“... Jangan sekali-kali abai. Arif-ariflah menjaga alam agar alam pun tetap menjaga kita,” terngiang kembali kata-kata bapak. Tanpa sadar, aku tersenyum seakan menemukan kemenangan.
*Selesai*
Catatan:
Le : Panggilan untuk anak laki-laki Jawa
Nambang : menambang (mencari emas mentah)
Njala : mencari ikan dengan jala
Pancen : memang
Cerpen inspirasi
Tanah karya Aliela
Kisah di Tengah Ilalang karya Murparsaulian
Katasfora karya Mashdar Zainal
Segenggam Tanah Air karya Artie Ahmad
Laut ini, Pernah Marah! Karya Saifuddin Abdullah
Pipa Air Mata karya M. Badri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar