Membaca Yudi dalam Puisi: Kepada Al
Oleh. Reni Juniarti
Puisi merupakan ungkapan hati paling dalam dan paling jujur. Dikarenakan puisi merupakan ungkapan hati maka suasana puisi berkaitan erat dengan perasaan pengarangnya. Hal ini senada dengan pendapat Putu Arya Titawirya, yang mengatakan bahwa puisi adalah seni sastra yang mengungkapkan perasaan seseorang atau penyair sehingga hal yang ditulis sangat tergantung pada kondisi penyair. H.B Jassin juga menyampaikan puisi adalah karya yang melibatkan perasaan di dalamnya. Begitu juga halnya dengan puisi Kepada Al.
Puisi Kepada Al, merupakan sebuah karya yang indah dan jujur, tentu kemahiran penulis dalam memilah diksi merupakan salah satu faktor pendukungnya. Keindahan diksi ini bisa kita nikmati pada setiap rangkaian kalimat, kita juga ‘dimanja’ dengan banyaknya diksi yang tidak biasa bahkan mungkin kita butuh kamus untuk mencari arti kata tersebut, namun sama sekali tidak mengurangi keindahan puisi ini.
Kemampuan penyair muda asal Riau ini memang sudah tidak diragukan lagi dalam menulis puisi, dan tentu hal ini bukanlah kemampuan yang dimiliki dengan mudah dan simsalabim abracadabra. Tentu Yudi mengalami banyak pergolakan batin, melakukan perjalanan panjang serta latihan sehingga menulis puisi tidak hanya sebagai karya untuknya melainkan wujud perasaan yang sesungguhnya.
Membaca puisi Kepada Al, kita langsung disuguhkan pada sebuah pertanyaan, siapa Al? Apa hubungan penulis dengan Al? Akan tetapi semakin kita penasaran dengan sosok Al, sejatinya kita sedang membaca siapa Yudi? Puisi ini ditulis ringkas namun penuh dengan kata yang tidak biasa, seperti Yudi yang sederhana namun sulit ditebak. Sosoknya tidak sesederhana yang terlihat, ada banyak pergolakan batin yang sedang dialaminya.
Bisa dipastikan Al tidak sesederhana yang tertulis. Hal ini sudah tergambar bahkan sejak kalimat pertama.
Semenjak kau pergi, orang-orang di sini menjelma pusam. Aku sepi dan muram. Tak satu pun tempat bisa dijadikan simpam. Ceritamu silam menemaniku memeluk malam. Meski sempat suam, aku tak mau semua ini akan menjadi dendam. Al, tanpamu aku hampir padam (Kepada Al)
Pada bagian ini terlihat suasana hati yang tidak baik-baik saja, dan kata yang paling menarik adalah ‘simpam’. Yudi begitu cerdas memilih kata ini, entah kenapa saya seperti diajak untuk melirik lagi lokadrama Bayu Skak. Berkali-kali membaca dan berusaha memahami keduanya. Barangkali simpam adalah tempat pulang. Namun tentu Yudi tidak sesederhana itu, tempat pulang pasti tidak hanya merujuk pada tempat, bisa jadi maksudnya adalah suasana atau seseorang.
Semenjak kau pergi, hari-hariku menjadi rinai. Rindu berderai. Airmata tersipai. Luka berkecai. Namamu terus dirangkai dan diringkai. Kenanganmu aku rantai pada pigura akan bersepai. Al, adakah doaku sampai?
Al, jika nanti aku ke sana, akankah kau menemuiku?
Seperti Tuhan yang akan menemui kita. (Kepada Al)
Jika pada bagian pertama kita disuguhi sebuah karya yang indah hampir luput dari sebuah kekurangan, namun pada bait berikutnya penulis terlihat sedikit bingung dalam mengurai perasaan. Hal ini biasanya terjadi ketika menulis sesuatu yang belum ‘matang’. Seperti ada keraguan pada setiap kalimatnya, dan puncaknya pada kalimat Kenanganmu aku rantai pada pigura akan bersepai. Kalimat ini terasa sedikit dipaksa untuk hadir dalam puisi ini. Seperti ada sekat yang kosong dan diisi paksa oleh penulis.
Kebingungan ini seakan diperkuat dengan kalimat berikutnya, Al, adakah doaku sampai?. Ini seperti sebuah kalimat yang dengan terpaksa dihadirkan untuk menutupi makna kehadiran kalimat sebelumnya. Akan tetapi, bukan Yudi jika tidak mampu membalikkan keadaan, terbukti pada dua kalimat terakhir, keduanya seperti senjata pamungkas yang mengalihkan perhatian pada dua kalimat ‘memaksa’ di atasnya. Terakhir, puisi ini seperti Yudi, sederhana namun membingungkan. Ini tidak hanya tentang rindu dan kehilangan tapi lebih kepada ketidakberdayaan.
Mengenai siapa Al? Yudi seolah menyerahkan kepada kita pembaca. Apakah sahabat, kekasih, saudara, orang tua yang sudah tiada. Dan entah kenapa aku memilih Al sebagai Al Qur’an.
Pasir Pengaraian, 22 Juli 2023.
Kepada AI
Karya : Yudi Muchtar
Semenjak kau pergi, orang-orang di sini menjelma pusam. Aku sepi dan muram. Tak satu pun tempat bisa dijadikan simpam. Ceritamu silam menemaniku memeluk malam. Meski sempat suam, aku tak mau semua ini akan menjadi dendam. Al, tanpamu aku hampir padam
Semenjak kau pergi, hari-hariku menjadi rinai. Rindu berderai. Airmata tersipai. Luka berkecai. Namamu terus dirangkai dan diringkai. Kenanganmu aku rantai pada pigura akan bersepai. Al, adakah doaku sampai?
Al, jika nanti aku ke sana, akankah kau menemuiku?
Seperti Tuhan yang akan menemui kita.
Sungai Jepun, 21 Juli 2023.
14.30 Wib
Tidak ada komentar:
Posting Komentar