Karya : Sri Handayani
Sudah dua hari Siti begitu resah. Pekan depan ia mendapat giliran menerima majelis taklim di rumah. Pengajian yang dilakukan selama dua pekan sekali itu mendadak membuatnya risau. Bagaimana tidak? Ia bahkan tidak punya simpanan sedikit pun untuk membeli hidangan. Jangankan menyiapkan hidangan yang pantas, untuk makan sehari-hari saja ia harus memutar otak. Upah menggosok yang ia terima tiap akhir pekan juga langsung ludes untuk membayar utang di kedai Mak Inah.
“Bang, pengajian ibu-ibu pekan depan di rumah kita. Siti bingung mau menghidangkan apa.”
“Ya, kalau tidak ada apa-apa, kita hidangkan air putih saja, Dek.”
“Malu lah, Bang. Masa Cuma air putih. Di rumah ibu-ibu yang lain mereka menghidangkan macam-macam makanan.”
“Pengajian itu kan mencari ilmu dan silaturahim, Dek. Bukan ajang pamer makanan, kan?”
“Berbagi makanan pada tamu kan juga bagian dari sedekah, Bang.”
Ahmad, suami Siti, tak menanggapi sanggahan sang istri. Ia mahfum jika istrinya tentu ingin menghidangkan dan menjamu teman-teman majelis taklimnya dengan layak. Atau ingin bisa bersedekah dengan yang lebih baik dari ibu-ibu yang lain. Namun, apa daya. Penghasilan Ahmad sebagai supir ojek online juga tak seberapa karena banyaknya saingan. Ia tak pernah absen menyerahkan hasil kerjanya kepada Siti. Uang inilah yang diputar Siti untuk belanja dan keperluan anak-anak. Itu pun lebih sering kurang. Makanya Siti turun tangan bekerja untuk membantu pengeluaran keluarga.
Sebenarnya pengajian memberi uang bantuan konsumsi yang diambil dari iuran wajib anggota. Tapi jumlahnya tak seberapa. Siti menimbang-nimbang besaran uang yang dibutuhkan untuk menghidangkan makanan setengah berat seperti mie goreng dan sedikit buah atau puding. Dengan jumlah anggota lima puluh-an orang, sepertinya cukup banyak uang yang dibutuhkan. Siti menghela napas berat. Ia akan berusaha menjamu dengan hidangan yang terbaik. Bukankah memuliakan tamu juga dianjurkan oleh nabi?
Hari-hari menjelang pekan pengajian, Siti rajin menawarkan jasa menggosok kepada warga kampung. Untuk menambah penghasilannya, ia mematok tarif. Kalau biasanya ia terima saja berapa yang diberi tuan rumah, sekarang Siti yang menentukan harganya. Kecuali Bu Syarif yang memang sudah biasa menggunakan jasanya.
“Wah, mulai pasang tarif menggosok sekarang kamu, Ti?” goda Mirah, teman satu pengajiannya sore itu selepas ia menyelesaikan gosokan di rumah Bu Dian.
“Iya Mir. Biar seragam aja bayarnya.”
“O ya, pekan besok pengajian di rumahmu, kan Ti? Wah, makan enak kita dong?”
“Amiin.. mudah-mudahan ya, Mir.”
“Iyalah… sekali-sekali, Ti. Kemarin aja sehabis pengajian di rumahku, ibu-ibu majelis taklim pada puas banget. Katanya hidangannya enak. Aku sengaja pesan online, lho”
Siti tersenyum kecut. Memang saat pengajian di rumah Mirah, hidangan yang disajikan cukup mewah. Padahal kondisi ekonomi Mirah dan Siti tak jauh beda. Mirah punya dua anak sekolah. Suaminya buka bengkel sepeda motor yang menurut cerita Mirah, penghasilan suaminya sekarang sedang lesu. Sedangkan Mirah hanya di rumah saja. Ah, Siti tak mau memikirkan lebih lanjut. Ia khawatir akan berburuk sangka pada sahabatnya itu.
“Oya, Ti. Kamu belum nyicil tabungan jalan-jalan majelis taklim kita, ya? Masa kamu nggak ikut, Ti? Sudah lumayan banyak yang setor sama aku, ni.”
“Enggak dulu, Mir. Aku lagi fokus sama biaya sekolah anak-anak.”
“Kamu kan bendahara simpan pinjam. Bisa tu dipinjam dulu uangnya. Sekalian beli HP sama seragam. Tinggal kamu ni yang belum masuk grup majelis taklim kita. Nanti juga kalau ada acara, bisa ikutan pake seragam, Ti.”
“Doakan aku banyak rezeki, ya Mir.” Siti menjawab dengan perasaan perih.
***
Siti menghitung kembali lembaran-lembaran merah di pangkuannya. Jumlahnya sangat lumayan. Ia teringat ucapan Mirah untuk memakai dulu uang simpan pinjam ini. Nanti kalau sudah ada uang, baru diganti. Kalau cuma untuk menyiapkan hidangan yang pantas, ditambah puding, buah, dan air minum kemasan, sepertinya masih lebih. Lagian uang simpan pinjam ini memang belum digunakan oleh anggota majelis taklim. Ditambah dengan membeli telepon genggam yang murah saja dan baju seragam majelis taklim, sepertinya pun uang ini masih cukup.
Benar juga kata Mirah. Dia sudah jauh tertinggal. Ibu-ibu yang lain semua sudah melek gawai. Padahal usianya ada yang di atas Siti. Siti yang masih muda, malah terkesan gaptek. Walaupun sesekali diajarkan Anggi, anaknya, tapi Siti lebih sering lupa. Anggi yang mulai masuk SMP memang membutuhkan gawai untuk info sekolah. Ah, bagaimana dengan tabungan jalan-jalan? Perempuan itu mendadak lesu. Sekarang kegiatan majelis taklim pun berkembang pesat. Tidak hanya sekadar membaca yassin, silaturahim, dan kegiatan sosial seperti menjenguk anggota sakit, melahirkan, atau menyelenggarakan kifayah bagi yang kemalangan, sebagaimana zaman ibu Siti dulu. Sekarang sudah bermacam-macam program yang digagas. Kadang Siti ingin keluar dari perkumpulan ini karena jujur saja ia merasa minder. Namun, mempertimbangkan bahwa ia harus tetap bersosialisasi, maka sampai sekarang masih bertahan.
Acara pengajian tinggal dua hari lagi. Uang hasil menggosok hanya tersisa berapa ribu ditambah uang konsumsi, jumlahnya masih minim. Penghasilan Ahmad pun setali tiga uang. Hati Siti bertambah tak karuan. Ke mana akan dicari tambahannya?.Lagi-lagi pandangan Siti tertuju pada lembaran merah di pangkuannya.
***
“Alhamdulillah, kita ucapkan terima kasih tak terhingga kepada ahlul bait, Ibu Siti, yang telah menerima kita dengan senang hati dan jamuan yang meriah. Semoga Allah membalas dengan berlipat kebaikan.” Mbak Ina sebagai pembawa acara pengajian hari ini menyudahi agenda.
“Amiin…”
Ibu-ibu yang hadir bergiliran pamit dan menyalami Siti serta mengucapkan terima kasih. Beberapa tetangga dekat ada yang tinggal membantu merapikan piring dan sisa hidangan.
“Terima kasih soto dan pudingnya, Dek Siti. Rasanya enak. Kamu pitar masak ternyata, ya?” puji Bu RT. Siti hanya menjawab dengan senyum dan binar cerah di matanya.
Tamu hanya tinggal beberapa. Mata Siti mencari-cari, tapi ia tak menemukan Mirah. Ke mana sahabatnya itu? Biasanya dia yang paling heboh kalau Siti punya acara.
“Mbak Dina, kok saya nggak nampak Mirah, ya? Tumben nggak datang.”
“Lho, kamu belum dapat kabar, ya? Mirah kabur dari rumah karena banyak tunggakan utang di bank. Ternyata uang tabungan piknik majelis taklim kita pun juga sudah habis digunakan untuk keperluan pribadi. Sekarang Bu Ketua kita sedang mendiskusikan ke depannya bagaimana. Mira juga dicari-cari debt collector. Sekarang rumahnya sudah diberi plang dari bank mau disita.”
Siti tertegun dan tak percaya kalau Mirah berbuat begitu. Nyalinya tiba-tiba ciut dan tubuhnya gemetaran mendengar penuturan Mbak Dina. Beruntung ia masih punya iman di hati. Siti teringat kata-kata Wak Haji Ibrahim saat menyampaikan ceramah ramadhan. Barang apa pun yang bukan milik kita, jika kita ingin memakai, maka harus atas izin si pemilik. Termasuk uang yang diamanahkan kepada kita. Karena itu, ia urung mengikuti saran Mirah untuk memakai uang simpan pinjam.
Hari itu saat ia akan pulang dari menggosok, bu Syarif memanggilnya. Beliau menawarkan agar Siti membantu masak soto untuk acara pesta pernikahan anaknya. Bu Syarif tahu persis keahlian Siti dalam membuat soto. Perempuan yang menjadi langganan menggosok itu juga memberikan uang lelah yang cukup banyak, sehingga bisa dimanfaatkan untuk menjamu ibu-ibu majelis taklim hari ini. Bahkan, uangnya masih bersisa dan rencananya Siti akan membeli seragam majelis taklim.
*selesai*
Cerpen Inspirasi:
Surau karya Artie Ahmad
Salawat dedaunan karya Yanusa Nugroho
Mister Masbuk karya Zainal Radar T
Sedekah minus karya Sinta Yudisia
Kotak amal karya Wayan Sunarta
Demi baju lebaran karya Sam edy Yuswanto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar