Oleh: Yenni Sarinah, S.Pd.
(Penulis Ideologis Riau, Alumni PERS Mahasiswa AKLaMASI Universitas Islam Riau, Anggota Forum Lingkar Pena Pekanbaru, Riau)
Linimasanews.com—The power of netizen membawa isu Wadas ke kancah perdebatan massal. Perjuangan warga Wadas dalam mempertahankan desa mereka agar tetap asri malah dibenturkan dengan aparat sipil yang menyeret paksa pemuda Wadas ke jeruji duka, tanpa dosa apa-apa. Wadas bersuara, kepemimpinan demokrasi abaikan suara mereka dengan ambisi yang tidak ramah lingkungan.
Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah telah jadi perbincangan di media sosial. Penolakan warga desa terhadap pengalihan lahan yang akan dialokasikan untuk tambang batu andesit berujung ricuh. Batu tersebut sedianya akan digunakan dalam pembangunan Bendungan Bener yang masih berlokasi di Kabupaten Purworejo. Dikhawatirkan proyek tersebut bukan dibuat untuk warga, tapi akan merusak alam Desa Wadas dan mengganggu mata pencaharian warga yang mayoritas adalah petani (Kompas.com, 10/02/2022).
Bendungan Bener akan menampung kurang lebih 100 juta meter kubik air yang akan menopang Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) sebagai sistem jaringan energi di Kabupaten Purworejo. Bendungan Bener adalah salah satu proyek strategis nasional yang didasarkan pada Peraturan Presiden nomor 56 tahun 2018 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Juga berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah nomor 590/41/2018.
Di masa kepemimpinan demokrasi ala Joko Widodo, pembangunan memang begitu masif dilakukan. Sayangnya, pembangunan tidak menyenangkan semua pihak. Ada pihak yang dirugikan dan ada yang diuntungkan. Pada kasus Wadas, warga menolak karena alasan kuat, yaitu Desa Wadas bukan untuk area tepat untuk pertambangan karena di sana adalah kawasan penyangga. Jika dilakukan aktivitas tambang, longsor bisa saja terjadi, akan menghilangkan nyawa warga Wadas.
Warga pun menuding pemerintah sudah melanggar aturan yang dibuatnya sendiri dengan mengubah tata ruang (media.indonesia.com, 10/02/2022).
Jelas kebijakan tersebut tidak berpihak kepada petani. Padahal, setiap 10 meter persegi tanah di bukit Desa Wadas adalah tempat tumbuhnya aneka tanaman yang bisa menghasilkan banyak keuntungan. Hal ini menjadi poin penyesalan warga Wadas terhadap pemerintah. Katanya, pemerintah mau mengurangi kemiskinan, tetapi malah menindas petani dan mengambil tanah petani.
Ditambah lagi, terjadi penangkapan terhadap 66 warga yang dianggap menghalangi kegiatan pengukuran tanah. Ini menunjukkan gaya kepemimpinan demokrasi yang merepresif, menindas rakyat dengan mengatasnamakan kepentingan pembangunan.
Pendekatan represi cenderung dilakukan karena banyak keputusan diambil bukan berdasarkan kepentingan rakyat, tapi kemauan segelintir pihak, hingga adu argumen bukan menjadi pilihan. Inilah kerugian rakyat yang tak memiliki kepemimpinan khilafah yang mengayomi dan mengedepankan kemaslahatan rakyat.
Kepemimpinan Khilafah ISLAM
Sumber daya alam (SDA) adalah potensi sumber daya yang terkandung di dalam bumi, air, maupun di udara. Di dalam al-Qur’an disebutkan pula bahwa bumi sebagai tempat tinggal manusia, langit sebagai atap, dan air hujan yang turun serta buah-buahan sebagai rezki untuk manusia.
SDA merupakan faktor penting bagi kehidupan umat manusia. Sayangnya, saat ini dikuasai oleh negara-negara penjajah, baik secara langsung maupun melalui korporasi-korporasi mereka. Karena itu, untuk mengembalikan kedaulatan umat atas kekayaan SDA yang mereka miliki harus ditempuh dengan menegakkan Khilafah.
Di dalam Al-Qur’an juga ditegaskan bahwa Allah SWT telah menjadikan segala yang ada di bumi untuk manusia. Dengan demikian, SDA sendiri telah menjalankan fungsinya sebagai sarana penunjang kehidupan manusia di dunia, sekaligus menjadi sumber penghidupan.
Begitu pula dengan lingkungan Desa Wadas yang dirampas dengan dalih pembangunan. Padahal, pembangunan ini malah merugikan lebih banyak dan mengancam nyawa warga Wadas, bukan malah mendapatkan untung.
Jika keuntungan didapat dengan mengorbankan nyawa, terutama Muslim, maka ini bertentangan keras dengan syari’at Islam yang memandang jiwa seorang Muslim lebih tinggi nilainya daripada dunia dan seisinya. Islam sangat menghargai nyawa manusia.
Karena itu, Islam sangat memperhatikan penjagaan nyawa manusia. Allah SWT berfirman:l,
مَن قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا
“Siapa saja yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Siapa saja yang memelihara kehidupan seorang manusia, seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya (TQS al-Maidah [5]: 32).
“Nabi SAW. pun pernah bersabda,
لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ
Sungguh dunia ini hancur lebih ringan di sisi Allah daripada seorang Muslim yang terbunuh (HR an-Nasa’i, at-Tirmidzi dan al-Baihaqi).
Para ulama menempatkan upaya memelihara nyawa (hifzhu an-nafsi) sebagai salah satu tujuan syariah. Syariah mewujudkan hifzhu an-nafsi melalui berbagai hukum, semisal hukuman qishash atau diyat dalam pembunuhan, diyat dalam serangan terhadap organ, dan sebagainya. Juga larangan atas segala hal yang menyebabkan dharar (bahaya) dan mengancam keselamatan baik bagi diri sendiri, orang lain atau masyarakat.
Islam juga menempatkan penjagaan atas harta (hifzhu al-mâl) pada posisi yang tinggi. Penjagaan terhadap harta kepemilikan bahkan disandingkan dengan penjagaan terhadap nyawa. Jika seseorang, demi mempertahankan hartanya, sampai menemui kematian, dia dinilai syahid akhirat.
Dalam keadaan normal, kedua maksud syariah itu, yakni penjagaan atas nyawa dan harta, bisa dilaksanakan secara berbarengan dan beriringan. Namun, dalam keadaan tertentu, yang satu harus diutamakan atas yang lain. Allah SWT berfirman:
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ
“Siapa saja yang terpaksa (memakan yang haram), sementara dia tidak ingin (memakan yang haram itu) dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa bagi dirinya.” (TQS al-Baqarah [2]: 173).
Imam ath-Thabari di dalam kitab tafsirnya, Jâmi’ al-Bayân, menjelaskan, “Siapa saja yang tertimpa darurat kelaparan hingga terpaksa memakan apa yang diharamkan itu maka tidak ada dosa bagi dirinya.”
“Imam al-Qurthubi menyebutkan, jika orang yang tertimpa darurat itu menemukan bangkai dan makanan milik orang lain yang di dalamnya tidak ada penyakit, maka dia tidak halal makan bangkai, tetapi boleh memakan makanan milik orang lain itu. Tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm).
Semua itu mengisyaratkan bahwa jika penjagaan atas nyawa dan penjagaan harta tidak bisa dilaksanakan sekaligus, maka penjagaan atas nyawa lebih dikedepankan daripada penjagaan atas harta. Patokan itu berlaku dalam perkara individu maupun urusan masyarakat.
Bahkan, dalam urusan masyarakat, mesti lebih diperhatikan lagi. Sebab, jika yang terancam adalah kelangsungan kehidupan dan keselamatan masyarakat banyak, tentu dampaknya akan jauh lebih besar.
Dalam sistem Khilafah, politik dalam Negeri adalah melaksanakan hukum-hukum Islam sedangkan politik luar Negeri menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia. Dalam kepemilikan sumber daya alam (SDA), Rasulullah SAW pernah mengambil kebijakan untuk memberikan tambang kepada Abyadh bin Hammal al-Mazini.
Namun, kebijakan itu ditarik kembali oleh Rasulullah SAW setelah mengetahui tambang yang diberikan kepada Abyadh bin Hammal laksana air yang mengalir. Dan ini memberi gambaran, jika SDA itu bisa dinikmati oleh masyarakat banyak, maka kepemilikannya harus dikembalikan kepada Negara untuk kepentingan umat. Jika SDA yang akan dikeruk justru mengancam nyawa, khilafah wajib mencari pengalihan kebutuhan pembangunan dengan yang lain, bukan menjadikan nyawa rakyat sebagai tumbal pembangunan.
Bencana alam yang menimpa manusia merupakan qadha dari Allah SWT. Namun, di balik qadha tersebut ada fenomena alam yang bisa dicerna. Termasuk, ikhtiar untuk menghindarinya sebelum bencana alam terjadi. Dalam suatu kejadian bencana alam ada domain yang berada dalam kuasa manusia dan yang berada di luar kuasa manusia.
Peristiwa alam yang menghasilkan bencana alam tidak dapat dicegah ataupun dihilangkan. Namun, untuk masalah desa Wadas yang mengkhawatirkan penambangan batu akan mengakibatkan longsor, maka harus maksimalkan segala usaha untuk menghindari bencana longsor itu terjadi dan inilah termasuk ke dalam upaya manajemen dan mitigasi bencana alam.
Sudah seharusnya Pemerintah lebih peka dan mengesampingkan hasrat semangat membangun jika taruhannya adalah nyawa rakyat banyak.
Khilafah Islam akan bertindak tegas dalam aspek pengaturan tata guna lahan dalam pemanfaatan lahan yang di sana telah ada pemukiman warga dengan pertimbangan boleh dilakukan penambangan atau tidak. Karena alokasi suatu proyek haruslah menimbang mengenai potensi bahaya yang ada di daerah itu dan potensi kerugian yang mungkin diderita ketika terjadi bencana alam. Maka yang dikedepankan adalah keselamatan rakyat, bukan kepentingan pembangunan dan penambangan.
Dalam sistem Islam, khilafah sangat besar mengambil porsi dalam mencegah kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan timbul kelak. Sudah jelas bentrok Desa Wadas, solusinya hanyalah dengan kembali pada petunjuk Allah SWT, yakni dengan menerapkan syariah Islam secara kaffah secara sistemik bukan parsial semata.
Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []
SUMBER : https://linimasanews.com/wadas-bersuara-kepemimpinan-demokrasi-abai-oleh-yenni-sarinah/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar