“Mi, lulus MTs ini aku lanjut kemana ya?”

“Kamu sendiri ingin lanjutkan kemana?”

“Gak tahu, pinginnya sekolah yang gak ada PR nya”

Bukan tanpa alasan jika anakku ini ingin sekolah yang tanpa PR, karena selama ini dia sudah kenyang dibombardir dengan apa yang namanya PR itu.

Ada guru yang selalu ketika masuk kelas menyuruh merangkum satu bab, tanpa pernah menerangkan.
Ada yang sekali memberi tugas langsung 3 bab menjawab pertanyaan latihan-latihan.
Ada yang menerangkan sebentar kemudian dilanjutkan latihan, sementara gurunya main HP.

Intinya anakku ini sudah jenuh. Menginginkan suasana yang berbeda. Aku sebelumnya tidak ada bayangan untuk menyarankan lanjut kemana.
Hanya mengerti betul kegundahan dia dan sebetulnya jauh di lubuk hati menginginkan anakku ada yang menjadi ahlullah. Menjadi keluarga Allah dengan menghafal Al-Qur’an.

“Bagaimana kalau mondok?” tanyaku.

“Kenapa mondok?”

“Ya kalau di pondok, kamu gak ada PR. Pondok Tahfiz menghafal Al-Qur’an.”

“Mondok dimana?”

Ganti aku yang terdiam. Pondok pesantren sekarang biayanya tidak kalah dengan sekolah umum. Bahkan untuk beberapa sekolah Islam, biaya justru lebih mahal.
Betul-betul harus diperhatikan, karena anakku semuanya lima, jadi harus tercover semua, bukan hanya di satu anak.

Pendidikan itu nomor satu, meski kami bukan kaya raya, semua anak insyaallah mendapatkan pendidikan, baik anak laki-laki maupun perempuan, tiada beda.

Setelah searching disana sini, mendaftarlah Zulfa di sebuah pondok tahfidz yang terafiliasi ke Turki.

“Gimana Zul, sudah mantap di pondok ini?”

“Ini berlaku sistem gugur ya Mi?” tanya Zulfa ragu-ragu.

Tadi memang sempat dijelaskan sedikit oleh guru bagaimana proses pendaftaran sampai penerimaan dan MOS (masa orientasi santriwati). Salah satunya adalah sistem gugur bagi santriwati yang tidak bisa memenuhi target.

Alhamdulillah Zulfa diterima dan memulai hari-hari lebih dekat dengan Al-Quran. Ternyata tidak mudah. Ada banyak tantangan yang harus dihadapi. Mulai dari kedisiplinan, adab terhadap guru dan target hafalan yang tentunya berat bagi orang yang belum pernah mondok.

“Bila ada guru lewat, tidak boleh melihat, harus tundukkan kepala”

” Gak boleh ada yang berjalan di depan guru”

“Gak boleh mendahului guru”

“Kalau ada guru lewat, harus minggir”

“Tidak boleh duduk bersila atau kaki selonjor, itu tidak sopan namanya”

Yang ditegur diam menunduk.

Di lain waktu..

“Kamu setorannya sedikit sekali, coba perbaiki manajemen waktu. Coba setelah salat subuh ditambah jam hafalannya.”

“Tidak bisa guru, ini yang saya mampu”

“Katanya ingin menghadiahkan mahkota emas untuk orang tua, kamu pasti bisa perbaiki waktumu”

“Menghafal Al-Qur’an itu amalan penduduk surga, coba ditambah. Kalau seperti ini kamu tidak akan mencapai target.”

“Baik guru, saya coba”

Yang lebih bikin minder adalah kebanyakan dari teman-teman yang masuk pondok ini rata-rata sudah hafal Al-Quran, sehingga mereka hanya tinggal murojaah saja. Sementara Zulfa memulai dari nol.


Satu-persatu santriwati mulai berkurang, dikeluarkan karena pondok ini memberlakukan sistem gugur. Ada yang karena pelanggaran hukum syara seperti mencuri, lesbian atau pun tidak memenuhi target hafalan. Tak urung hal ini membuat Zulfa down.

“Abi aku gak mau lanjut lagi”

“Kenapa?”

“Gak pa-pa. Pingin keluar aja”

“Gak pa-pa kok pingin keluar”

“Iya pingin sekolah diluar aja”

“Sekolah dimana, tanggung ini kamu sudah tingkat dua, kurang setahun lagi dah lulus”

“Tapi aku sudah gak sanggup menghafal”

“Iya terus dimana? Cari sekolah sekarang gak gampang. Entar bayar lagi. Kamu mulai dari tingkat satu lagi”

“Lulusnya malah tambah lama lagi lho”

“Coba pikir-pikir lagi dah”

Zulfa hanya bisa diam. Memikirkan nasehat Abinya. Diam-diam dia menangis. Sudah gak kuat di pondok, ingin keluar.
Satu sisi benar juga yang dibilang Abinya. Kalau keluar cari sekolah lagi, bayar lagi dan mulai dari awal lagi. Malah lebih lama.

Ahh dilema…namun di relung hatinya, ada keinginan kuat untuk menuntut ilmu sampai ke Turki, dan itu bisa tercapai bila dia hafal Al-Quran, sebagai syarat untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya. Di sisi lain, target-target hafalan itu terasa sangat membebaninya.

Astaghfirullah.. mengapa menjadikan Al-Quran sebagai beban? Bukankah berulang kali dia tilawah Al-Quran sampai pada ayat :

وَلَقَدۡ يَسَّرۡنَا الۡقُرۡاٰنَ لِلذِّكۡرِ فَهَلۡ مِنۡ مُّدَّكِرٍ

Dan sungguh, telah Kami mudahkan Al-Qur’an untuk peringatan, maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran. (QS Al Qomar 22)

Allah tidak pernah ingkar janji. Allah pasti menepati janji-Nya. Bila Allah bilang mudah, pasti mudah. Astaghfirullah.. selama ini dia terperangkap dalam penjara pikirannya sendiri, prasangkanya sendiri.

Akhirnya Zulfa salat tobat, minta ampun karena tidak yakin kepada Allah. Padahal keraguan itu datangnya dari setan yang tidak ingin dia bermesraan dengan Al-Quran.


Tak terasa waktu cepat berlalu. Tiga tahun serasa tiga hari. Sepertinya baru kemarin kaki ini menjejakkan di pondok mengantarkan Zulfa pendaftaran. Sekarang tibalah saatnya wisuda, tanda kelulusan.

Wisuda dilaksanakan malam hari setelah salat Isya, di lapangan luas di tengah-tengah pondok. Lapangan ini sudah disulap seperti aula.

Aku datang terlambat, acara sudah dimulai.
Segera duduk di kursi yang masih kosong. Di panggung sudah ada para wisudawati yang menyanyikan himne orang tua sepertinya, aku lupa tapi lirik lagunya ucapan terimakasih kepada orang tua.

Mendengar lagu itu jadi terharu, banyak ibu yang menitikkan air mata. Ibu di sampingku bahkan menangis, sangat menghayati. Bolak balik mengambil tisu, mengusap air matanya.

Setelah menyanyikan lagu himne orang tua itu, para wisudawati turun panggung kemudian menemui ibunya masing-masing untuk menyerahkan sekuntum mawar merah.

Aku dan Zulfa saling berpelukan, sama-sama meneteskan air mata. Ada rasa bahagia, terharu dan bersyukur. Betul-betul momen yang tak terlupakan.


SUMBER : https://tintamuslimah.com/2022/03/07/mahkota-untuk-ibu/