Aqila menengok jam dinding. Jarum pendek hampir menuju angka 4. Jarum panjang telah berada di angka 9. Artinya, 15 menit lagi ia harus sampai di Masjid Al Muttaqin. Ada tema unik yang akan dibahas Ustaz Haris.
Jemari lentiknya sibuk menghidupkan motor. Bibirnya komat-kamit berdoa agar perjalanannya lancar. Kenyataan tak seindah yang diinginkannya. Tergesa-gesa membuatnya kurang konsentrasi dan motor hampir saja menyerempet gerobak bakso. Untung dia cepat mengerem, sehingga tabrakan parah bisa dihindari.
“Mbak, itu bisa nyetir motor atau nggak sih? Nyetir itu pakai mata Mbak! Jangan melamun! Saya punya anak istri Mbak. Kalau saya mati bagaimana? Mbak mau nanggung anak istri saya?”
Pedagang bakso muntap. Sambil membenahi dagangannya yang berantakan karena sempat sedikit oleng ia terus mengomeli Aqila.
“Maaf Pak! Maaf! Saya tergesa-gesa sampai kurang konsentrasi.” Gadis itu terus memohon maaf sambil berusaha membantu tapi ditolak.
“Mbak, itu nggak sayang nyawa apa?”
Pertanyaan retoris dari penjual bakso membuat Aqila hanya bisa menelan ludah. Tentu ia sangat menyayangi nyawanya. Ia tak siap jika harus mati. Bekal menghadap Allah masih kurang banyak.
“Untung hanya sedikit oleng. Kalau sampai gerobak saya roboh Mbak punya uang untuk mengganti?”
Pedagang bakso telah selesai menata kembali dagangannya. Ia hendak pergi meninggalkan Aqila yang masih berdiri lemah. Ia menahannya.
“Maaf Pak, apa yang bisa saya lakukan agar Bapak rida dan mau memaafkan saya!”
“Udah tidak perlu ganti apa-apa. Saya dan gerobak bakso ini tidak apa-apa. Mbak, segera pergi saja! Katanya tadi ada acara.”
“Ya Allah, terima kasih ya Pak! Semoga dagangan Bapak laris manis!” Ucap Aqila dengan senyum tulus.
Pedagang bakso mengamini dan berlalu meninggalkan Aqila. Ia pun segera menaiki motornya dan melajukan dengan sangat hati-hati.
Benar apa yang diduga gadis berkerudung merah jambu itu. Saat ia sampai Ustaz Haris sudah memulai materinya.
“Bapak, Ibu, dan saudara-saudari, siapa yang tak yakin kalau kita semua ciptaan Allah?”
Hadirin menggeleng. Semua menyahut, “yakin”.
“Yakin semua ya? Ada yang tahu buktinya?”
Bapak-bapak ada yang mengangkat tangannya siap menjawab. Di barisan ibu-ibu sudah mulai terdengar suara kasak-kusuk saling membandingkan jawaban. Sedangkan, yang single tetap cool tak berkutik. Bahkan, ada yang sibuk dengan gawai dalam genggaman tangannya. Sibuk memotret sudut sana-sini.
“Sudah dari kecil Ustaz, kita diajarkan oleh orang tua kita, kalau kita ciptaan Allah.
Jawaban pertama dari seorang bapak berusia empat puluhan tahun.
“Ya, mau siapa lagi Ustaz yang menciptakan? Masak iya Emak Bapak kita? Mereka kan cuma usaha kalau malam, toh tetap saja yang tetap saja jadi anak atau tidaknya terserah Allah. Bukan begitu Pak, Bu?”
Jawaban seorang laki-laki bersarung kotak-kotak biru sontak membuat yang lainnya tertawa. Selanjutnya, jawaban-jawaban yang tak kalah unik sahut menyahut terdengar.
“Terima kasih atas jawabannya. Sekarang ikuti saya untuk tahu jawabannya.”
Ustaz Haris berdiri. Ia meminta tangan kanan di angkat ke depan dengan posisi punggung tangan menghadap muka. Saat itu pula di layar putih tampak punggung tangan telah digambar lafaz Allah. Alif di jari kelingking. Jari manis, tengah, dan telunjuk membentuk huruf lam, dan jempol membentuk huruf ha’.
“Maasyaallah.” Aqila bergumam kagum. Ini ilmu baru baginya.
“Sekarang hadapkan kedua telapak tangan ke muka. Coba cek di garis telapak tangan itu ada angka berapa dan berapa? Angka Arab lho ya, bukan angka latin.”
Layar putih berganti. Sebuah gambar telapak tangan yang kanan bertuliskan 18. Delapan seperti huruf V terbalik. Sedangkan, tangan kiri 81.
“Berapa jika keduanya dijumlahkan?”
“Sembilan puluh sembilan.”
Ucap para peserta lantang.
“Jumlah apakah itu?”
“Asmaul Husna.”
Aqila kembali terkesima. Selama ini ia tak menyadari bahwa garis-garis yang ada di telapak tangannya itu memiliki arti khusus. Bahkan, telinganya pun terus mendengarkan penjelasan bahwa jumlah angka yang ada di telapak tangan adalah perbandingan antara kebaikan dan keburukan.
“Perbandingannya delapan belas orang-orang yang lurus dalam kebaikan dan delapan puluh satu yang memilih keburukan. Beruntung bapak ibu memilih berada di antara orang-orang yang sedikit itu. Barakallah!”
Semua peserta sontak mengamini.
“Nah, sekarang lihat telinga kiri anak ini! Garis-garis di telinga ini membentuk tulisan apa?”
“Allah.” Semua menjawab kompak.
“Baik. Jika ketiga ciri ini saja dimiliki, berarti semua di sini manusia asli ya bukan KW?” Ustaz Haris tersenyum lebar.
“Nah, jika mau meneliti. Semua manusia baik yang mau menyembah Allah atau kafir pasti dia ciptaan Allah. Betul tidak?”
“Tapi Ustaz, kemajuan teknologi saat ini dengan adanya bayi tabung merupakan cara manusia menyaingi Allah lho. Manusia sudah mulai bisa menciptakan manusia selain dirinya.”
Seorang pemuda berkaca mata yang berada duduk tepat di depan Ustaz Haris membuka suara.
“Sekarang saya mau tanya pada anak muda, apakah semua bayi tabung berhasil? Benarkah manusia yang menciptakan diri mereka sendiri? Bukankah bahan utama untuk membuat bayi tabung yakni sel telur dan sperma Allah juga penciptanya?”
Bukan jawaban yang disampaikan Ustaz dengan tinggi 170 cm itu. Pertanyaan demi pertanyaan yang menggiring pada jawaban dilemparkan kembali pada peserta dan si penanya. Semua mengangguk-angguk tanda membenarkan apa yang ia sampaikan.
“Oh ya, Mahabaiknya Allah tak pernah Dia marah dan langsung membuat cacat tubuh kita ketika tak mau taat pada-Nya. Coba saya tanya ibu-ibu.” Pandangan Ustaz Haris beralih ke barisan muslimah.
“Apakah setelah ghibah, membicarakan tetangga lidah ibu-ibu langsung terpotong?”
“Tidak Ustaz,” jawab para muslimah kompak sambil senyum cengengesan.
“Lalu, apa kalau ibu-ibu keluar rumah tak mau menutup aurat, tiba-tiba bagian badan ibu-ibu ada yang terpotong?”
Aqila begidik ngeri membayangkan bagaimana jadinya jika apa yang dikatakan laki-laki berilmu di depannya itu menjadi kenyataan. Hingga, ketika yang lain berucap tidak, ia hanya diam membisu.
“Pastinya jika hukumannya tampak seperti yang saya tanyakan tadi, tentu semua manusia akan beriman pada-Nya. Sayangnya pahala dan dosa itu sifatnya abstrak. Tak tampak. Itu semata-mata untuk menguji manusia. Mau tidak mereka beriman pada-Nya?”
Ustaz Haris mengacungkan jari telunjuknya ke atas.
“Ingat! Setan tidak akan membiarkan kita taat pada Allah. Ada seribu satu cara bahkan lebih untuk membuat manusia tergelincir pada kesalahan.”
“Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 169
اِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوْۤءِ وَالْفَحْشَاۤءِ وَاَنْ تَقُوْلُوْا عَلَى اللّٰهِ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ
Sesungguhnya (setan) itu hanya menyuruh kamu agar berbuat jahat dan keji, dan mengatakan apa yang tidak kamu ketahui tentang Allah.”
Aqila tertunduk. Ia mendapatkan insight baru untuk menata kembali imannya. Ia mau menjadi manusia sejati dengan taat pada Allah, bukan menjadi pengikut setan yang terkutuk.
Batu, 2 Maret 2022
SUMBER : https://tintamuslimah.com/2022/03/07/manusia-kw/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar