Hujan turun membasahi bumi. Air hujan keluar dari celah-celah rumah sederhana Pak Udin. Rumah yang sudah lama termakan usia, mulai lapuk. Saat hujan deras turun, rumah tak ubahnya seperti kali asat. Semua atap bocor tak ada yang bisa digunakan untuk berteduh.
Pak Udin bekerja sebagai buruh bangunan. Upahnya tak seberapa belum lagi pekerjaannya yang tak menentu. Terkadang ada pekerjaan tapi tak jarang Pak Udin harus menganggur. Hidup dalam keterbatasan bisa makan saja, keluarga Pak Udin sudah sangat bersyukur.
Beberapa tahun, Pak Udin tidak bekerja karena kecelakaan kerja. Saat itu Pak Udin tidak sengaja kesetrum saat bekerja di lantai dua. Tubuhnya terjatuh dengan ketinggian sekitar 20 meter. Pak Udin selamat tapi kakinya kini lumpuh. Sudah berobat ke banyak dokter, tapi Pak Udin masih lumpuh.
Istrinya berusaha menopang ekonomi keluarga, dengan bekerja sebagai buruh cuci pakaian di loundry tetangganya. Pak Udin mempunyai dua putra, Hasan dan Ihsan. Hasan masih SMP dan adiknya masih kelas 1 SD.
“Buk.” Panggilan Pak Huda dari kamar, membuat istrinya di dapur tergopoh segera mendatanginya ke kamar.
“Ya Pak ada apa? Bapak memerlukan apa?”
“Tidak Bu, Bapak tidak memerlukan apa-apa. Bapak hanya ingin berbicara pada Ibu saja.”
“Oalah Pak, tak kira ada apa Pak. Bapak ingin bicara apa?”
“Rumah kita bocor semua ya Bu. Maafkan Bapak ya Bu. Tak bisa memberi tempat berteduh yang layak seperti rumah orang tua Ibu. Waktu itu jika saja bapak mau menerima rumah dan tanah pemberian mertua, mungkin Ibu sekarang tidak akan kesusahan seperti sekarang!” Pak Udin berbicara penuh penyesalan.
Dari matanya tersirat kesedihan yang sangat dalam. Pak Udin merasa semenjak menikah belum bisa membahagiakan istri dan anak-anaknya.
“Pak … kenapa Bapak berbicara seperti itu? Kenapa Bapak mengungkit yang sudah terjadi Pak? Ibu bangga pada Bapak, karena Bapak bertanggung jawab pada keluarga, tidak mengandalkan harta orang tua apalagi mertua. Kata siapa rumah kita ini tidak layak Pak? Ibu sangat bersyukur Pak, kita masih mempunyai tempat untuk berteduh, mempunyai anak yang salih, dan kita masih bisa makan meskipun hanya seadanya.” Istrinya berbicara lugas, tak ingin suaminya sedih. Pak Udin hanya diam, masih merasa bersalah.
“Ya Bu, hidup dalam cengkraman kapitalis memang sulit. Ekonomi hanya dikuasai segelincir orang yang bermodal besar, rakyat miskin dibuat semakin miskin. Apalagi kondisi bapak seperti ini, tidak bisa mencari nafkah, kondisi kita semakin sulit.”
“Ya Pak, semoga cahaya Islam segera terwujud. sekarang, apapun keadaan kita sekarang, kita tetap harus bersyukur Pak, masih banyak orang yang kondisinya lebih memprihatinkan dari kita. Banyak orang kaya memiliki rumah tingkat, mobil banyak tapi tidak bersyukur maka semuanya akan terasa sempit. Bukan rumah mewah, kendaraan atau jabatan yang membuat kita miskin, tetapi hati kita yang membuatnya miskin dan sempit. Bukankah Allah sudah menjelaskan, jika kita bersyukur maka Allah akan menambahkannya tetapi saat kita kufur nikmat maka azab itu sangat pedih.”
“Iya Bu.” Sejenak Pak Huda merenungkan kata-kata istrinya.
“Bu, apakah Ibu tidak menyesal memiliki suami yang lumpuh. Ibu itu masih muda, cantik masih bisa mencari laki-laki lain. Namun Ibu masih setia menemaniku. Jika Ibu menginginkan pisah, bapak rela Bu, demi kebahagiaan Ibu dan anak-anak.” Bapak memegang tangan Ibu penuh kasih. Kembali bertanya pada istrinya untuk memastikannya.
“Bapak ini ngomong apa lagi. Jika Ibu dalam kondisi seperti Bapak, apakah Bapak juga akan meninggalkan Ibu?” Tanya istrinya membuat Pak Huda terdiam. Istrinya kemudian melanjutkan berkata.
“Sudah kewajiban Ibu mengabdi dan melayani Bapak. Semua orang pasti diuji keimanannya. Dan bagaimana kita bersyukur dengan apa yang diberikan Allah pada kita. Sudah, Bapak jangan berfikir macem-macem. Bagaimanapun keadaan bapak, Ibu akan tetap bersama bapak. Semoga Allah mengumpulkan kita di akhirat nanti ya Pak.” Jawab Ibu lugas matanya mulai sembab. Mendengar jawaban istrinya seketika Pak Udin menitikkan air mata. Pak Udin yakin bahwa istri yang dicintainya selama ini memang istri salihah. Istri yang selalu meneguhkan iman suaminya.
“Terimakasih Bu. Ibu masih setia sama Bapak dan mau menopang ekonomi keluarga kita. Maafkan salah bapak selama ini ya Buk.” Pak Udin berkata penuh kasih lalu mencium kening istrinya. Istrinya meneteskan airmata.
“Iya Pak, Ibu juga minta maaf banyak salah.”
“Aku memaafkan dan ridho sama Ibu.”
“Terimakasih Pak.”
Adzan Magrib berkumandang syahdu. Memanggil hamba-Nya yang ingin bermunajad. Sore itu, Pak Udin ingin salat berjamaah bersama istri dan anak-anaknya di rumah. Pak Udin meminta istrinya untuk memanggil kedua anaknya. Hasan yang sudah SMP dan adiknya Ihsan masih kelas 1 SD.
Hasan bergegas membawakan air ke kamar untuk berwudhu bapaknya. Hasan lalu membantu membangunkan bapaknya yang rebahan untuk berwudhu. Disela-sela berwudhu, bapaknya menasehati Hasan.
“Nak, Bapak ingin melihat kamu jadi anak yang salih. Rajinlah beribadah dan menuntut ilmu, dan selalu berbakti pada ibumu ya Nak.”
“Njih Pak, mohon do’anya ya Pak.”
“Iya Nak, Bapak akan selalu mendo’akanmu. Jaga Ibumu ya Nak, yang gemati sama Ibu dan didik adikmu.” Pak Udin berkata sambil menepuk-nepuk punggung Hasan.
“Njih Pak, Insyaallah.”
Hasan membaca iqomat sebelum salat berjama’ah dimulai. Pak Udin menjadi imam berada di atas kasur sementara Istri dan anak-anaknya salat berjama’ah di samping ranjang Pak Udin.
Pak Udin memimpin berdzikir setelah salat, mengucapkan kalimat thoyibah, termasuk membaca syahadat. Namun lama-kelamaan suaranya Pak Udin semakin mengecil, akhirnya tidak terdengar lagi. Mereka menyangka Pak Udin hanya tertidur. Bu Ifa bangun dari duduknya lalu menghampiri suaminya yang diam. Wajahnya putih bersih tersenyum seperti memancarkan cahaya.
“Bapak … bapak ….”
Bu Ifa berusaha membangunkan suaminya, tapi Pak Udin hanya diam tak merespon. Bu Ifa meletakkan jarinya di depan lubang hidung, tapi tidak ada hembusan udara. Lalu menyentuh pergelangan tangan, tapi tak terdengar denyut nadinya, lalu melanjutkan menyentuh kaki yang mulai dingin.
“Innalillahi wa innailaihi roji’un, Bapakmu sudah meninggal dunia, Nak.” Bu Ifa berurai airmata. “Ya Robb, inikah pesan terakhir suamiku.”
Klaten, 2 Maret 2022.
SUMBER : https://tintamuslimah.com/2022/03/03/pesan-terakhir/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar