Krisis Ukraina disikapi dunia Islam dengan menunjukkan sikap netral dan dorongan penyelesaian damai. Sepatutnya merujuk pada islam untuk menyikapinya dengan membongkar apa kepentingan (ekonomi-politik) negara besar (Rusia dan AS) dalam konflik ini dan bagaimana dampak bagi rakyatnya khususnya bagi muslim.
Pada Kamis (24/2/2022) krisis Ukraina mencapai puncaknya. Atas perintah Presiden Vladimir Putin, Rusia mulai menyerang Ukraina. Ledakan-ledakan besar pun terus terdengar di berbagai wilayah yang ada di perbatasan Eropa Timur-Rusia itu. (muslimahnews.net, 01/03/2022)
Hingga awal maret ini, kondisi Ukraina benar-benar mengerikan. Ribuan rakyat sipil terluka dan ratusan di antaranya meninggal dunia. Pada saat yang sama, jutaan orang pun mulai mengungsi ke berbagai tempat di luar Ukraina, termasuk warga negara Indonesia yang menetap di sana.
Dari kisruh dua negara ini (Ukraina VS Rusia), masyarakat dunia mulai khawatir akan dampaknya, apakah perang Ukraina akan membuka jalan bagi perang dunia ketiga?
Meski bukan negara pertama, Ukraina dan Rusia termasuk negara pemilik senjata nuklir terbesar di dunia. Apalagi kasus Ukraina berkaitan dengan kepentingan negara Eropa, bahkan Amerika.
SEJARAH RUSIA - UKRAINA
Hubungan Rusia-Ukraina sudah sejak lama tidak harmonis, bermula dari keruntuhan Soviet pada lebih dari 30 tahun yang lalu. Ketika itu Ukraina dan negara-negara pecahan Soviet lainnya memutuskan menjadi negara merdeka, memisahkan diri dari Wilayah kekuasaan Rusia.
Rusia sendiri merasa layak menjadi pewaris tunggal Uni Soviet dengan berusaha menarik seluruh negara itu ke wilayah kekuasaannya, termasuk Ukraina. Terlebih Ukraina menempati posisi strategis sebagai teras depan dan sumber kekayaan bagi Rusia, bahkan termasuk salah satu lumbung pangan dunia saat ini.
Namun apa yang dikhawatirkan Rusia pun terjadi, pada era berikutnya Ukraina lebih condong kepada Uni Eropa dengan menjalin kedekatan bersama Amerika terutama kedekatan dengan NATO-nya. Untuk itulah, Rusia melakukan berbagai manuver dan mendukung kekuasaan yang pro kepadanya.
Pada 2014, Viktor Yanukovych, Presiden Ukraina pro Rusia, berhasil digulingkan pihak oposisi yang pro kepada Barat. Rusia menyebut mereka sebagai kelompok ekstremis yang menginginkan genosida atas penduduk Rusia, serta dituding melakukan Nazifikasi terhadap Ukraina.
Dari alasan itulah, pada 2014, Rusia mencaplok wilayah Krimea, sebuah wilayah strategis di sebelah timur Ukraina dan mendirikan pangkalan militer di sana. Bahkan Rusia terus mendukung gerakan-gerakan perlawanan atas pemerintahan yang pro-Barat Ukraina, termasuk pemerintahan Volodymyr Zelensky yang terpilih pada 20/5/2019.
Sejak beberapa bulan terakhir terjadi peningkatan kepentingan politik (eskalasi politik) kian memanas saat Rusia melakukan berbagai manuver di perbatasan timur Ukraina. Di antaranya, membatalkan kesepakatan damai 2015 dengan mendukung dua wilayah yang memerdekakan diri dari Ukraina pada 21/02/2022, yakni kota Donetsk dan Luhansk.
Puncak dari manuver ini adalah terbitnya dekrit Presiden Vladimir Putin tentang operasi militer khusus di wilayah Ukraina atas nama usaha mempertahankan diri dari ancaman Ukraina modern. Dari sinilah Presiden Putin melihat upayanya menarik Ukraina dengan cara biasa ternyata telah sia-sia.
MEDAN KONFLIK NEGARA ADIDAYA
Jika dicermati, terlihat sudah bahwa Ukraina sejatinya telah lama menjadi medan persaingan bagi negara-negara adidaya. Tidak hanya Rusia, di sana berkumpul pula berbagai kepentingan Amerika melalui Uni Eropa, bahkan Cina sebagai sekutu politik dan ekonomi Rusia.
Dari sisi geostrategi, Ukraina memang memiliki wilayah terbesar kedua di Eropa setelah Rusia. Posisinya ada di Eropa Timur bagian tengah, bersisian dengan Laut Hitam dan Laut Avoz, serta beberapa negara Eropa Timur lainnya seperti Polandia, Slovakia, Hongaria, Belarus, Rumania, dan Moldova.
Kemudian, Ukraina bagi Rusia merupakan benteng atau garis merah, sekaligus teras depan yang bisa melindunginya dari ancaman Uni Eropa dan NATO (AS). Apalagi saat dalam kepemilikan Uni Soviet, Ukraina menjadi gudang penyimpanan nuklir terbesar setelah Rusia.
Dari sisi ekonomi, kekayaan alam yang melimpah ruah di Ukraina, serta posisinya sebagai jalur pipa gas ke Eropa, menjadi sebab utama mengapa Rusia begitu serius mempertahankan pengaruhnya di sana.
Itulah sebab Ukraina pun menjadi incaran para pesaing politik Rusia, terutama Amerika yang kini masih berposisi sebagai negara pertama dan menginginkan pengaruhnya kian kukuh di kawasan Eurasia. Apalagi sebelumnya Rusia diketahui berkolaborasi dengan Cina untuk menggoyah kekuatan ekonomi Amerika. Rusia membuka wilayahnya untuk proyek jalur sutra dan menggunakan uang lokal dalam perdagangan di antara keduanya.
Amerika pun tak tinggal diam dan berusaha mencegah pengaruh Rusia dengan cara mendekati dan memanfaatkan Ukraina. Amerika terus menggelontorkan dana untuk membantu ekonomi dan militer, serta mendorong demokratisasi di Ukraina.
Hingga pada akhirnya Ukraina lebih dekat kepada Amerika dan aliansi-aliansinya, yakni NATO dan Uni Eropa. Ketika Rusia pada KTT Amerika-Rusia (7/12/2021) yang menuntut banyak hal tentang Ukraina, seperti meminta Amerika mengakui garis merah yang dirumuskannya di Ukraina, namun Amerika tidak menghiraukannya.
Bahkan Syekh ‘Atha’ Abu Rasytah dalam analisisnya menyebutkan, Amerika cenderung terus memanaskan situasi di Ukraina agar menjadi jebakan tersendiri bagi Rusia. Beliau juga menyebutkan bahwa sejak sebelum KTT, Amerika telah dengan halus mengancam Rusia dengan sanksi yang tidak disangka sebelumnya, yakni berupa pemotongan jalur pipa gas ke Jerman yang bersekutu dengan Amerika, dan memotong jalur pengiriman uang dari bank-bank utama Rusia ke luar Rusia.
Rusia pun seperti kehilangan akal sehatnya. Dengan mengambil risiko besar menyerang Ukraina agar kembali padanya. Ibarat istri yang berselingkuh dan menjadikan selingkuhannya sebagai juru selamat. Keputusan ini diprediksi akan merugikan Rusia dan malah inilah yang diinginkan Amerika. Selain akan menguras biaya dan energi, situasi konflik Ukraina - Rusia akan dengan mudah dimanfaatkan Amerika melalui NATO untuk membawa kembali Uni Eropa ke dalam dekapannya dengan dalih melawan agresi Rusia. Dengan konflik ini juga Amerika bisa menekan Rusia untuk mengurangi hubungan baiknya dengan Cina yang kini sedang menjadi ancaman bagi ekonomi Amerika.
DALANG PENDERITAAN
Perilaku negara adidaya memang begini sejak dahulunya. Mereka terus berkonflik demi merebut posisi negara pertama dan berebut kekayaan alam di negeri-negeri lainnya. Ideologi kapitalisme inilah kunci masalah yang merasuki tubuh mereka untuk melakukan segala macam cara. Termasuk menciptakan perang yang memunculkan penderitaan bagi rakyat tidak berdosa.
Krisis Ukraina tentu bukan yang pertama. Konflik-konflik yang terjadi Timur Tengah, Afrika, Asia Tengah, dan Asia Tenggara dari masa ke masa selalu saja melibatkan mereka, meskipun tentu saja aktornya bisa berubah tergantung kuat lemahnya posisi politik mereka di kancah dunia internasional.
Sejak selesai Perang Dunia Kedua, Amerika berhasil menggeser kedudukan Inggris dan negara-negara Eropa. Lalu bersama Uni Soviet mengendalikan dunia dalam dua blok yang saling bertentangan dan menciptakan ketakutan secara global. Blok Barat dengan ideologi kapitalismenya dan Blok Timur dengan ideologi sosial komunismenya.
Namun, sejak Soviet runtuh, Amerika pun hadir sebagai penguasa tunggal dunia. Negara-negara lainnya, terbagi menjadi negara pengekor yang siap mendukung keinginannya. Adapun Rusia, tetap berusaha membangun kekuasaan, setidaknya di negara-negara bekas jajahan Uni Soviet yang diklaim telah diwarisinya, bersama dengan negara-negara yang masih bisa diajak kerja sama.
Amerika berusaha memengaruhi dunia dengan berbagai cara. Misalnya, mengikat dengan berbagai perjanjian dan undang-undang internasional. Targetnya menjadikan negara lain di dunia, khususnya negeri-negeri lemah namun kaya, sebagai budak jajahan yang mengabdi pada kepentingan politik ekonomi mereka.
Di luar cara itu, mereka juga menciptakan berbagai perang dan meneror dunia dengan ketakutan. Perang Ukraina menjadi salah satu dari berbagai perang yang penuh kepalsuan. Amerika hanya tampil sebagai pihak yang menjadikan pihak lain untuk melayani nafsu keserakahan negara-negara besar.
SIKAP DUNIA ISLAM
Atas krisis Ukraina, beragam kecaman datang dari berbagai pemimpin negara di dunia, termasuk pemimpin dunia Islam, seperti Indonesia. Mereka rata-rata menyebut perang ini akan menyengsarakan umat manusia dan membahayakan dunia. Namun, mereka lebih memilih bersikap netral alias cari posisi aman.
Pihak Pemerintah Indonesia misalnya, menyatakan mengecam invasi Rusia ke Ukraina. Seraya menegaskan agar semua pihak mengedepankan perundingan dan diplomasi untuk menghentikan konflik dan mengutamakan penyelesaian damai. Hal ini karena Indonesia dikenal berhubungan baik dengan Rusia maupun Ukraina.
Walaupun sekedar mengecam, Indonesia tidak berani mengambil langkah spesifik baik pemberian sanksi atau pun sikap lain terhadap Rusia. Pemerintah malah menyatakan akan melihat dinamika hubungan internasional akibat serangan Rusia ke Ukraina. Indonesia pun akan berupaya ikut membantu penyelesaian, meski tidak jelas seperti apa solusi penyelesaian yang diambil, bahkan terkesan basa-basi saja.
Semestinya para pemimpin muslim dunia merujuk pada ajaran Islam. Meski Ukraina dan Rusia sama-sama negara kafir dan perang ini tidak ada hubungan langsung dengan umat Islam sehingga haram bagi umat Islam terlibat di dalamnya atau mendukung salah satunya, tetapi perang-perang semacam ini dan konspirasi di sebaliknya akan menjerumuskan dunia, termasuk umat Islam, pada kehancuran.
Sepatutnya para pemimpin muslim mengambil sikap aktif dengan cara membongkar motif ekonomi-politik negara besar (Rusia dan AS) sekaligus menjelaskan kerusakan ideologi yang mereka emban. Serta menjelaskan bagaimana dampak perang dan ideologi ini bagi masyarakat dunia, khususnya umat Islam.
Namun, apalah daya negeri muslim? Sikap para pemimpin muslim ini memang setara dengan posisi mereka yang tidak punya posisi internasional. Mereka hanyalah pengekor yang menggantungkan nasib kepemimpinan dan negaranya kepada negara adidaya. Dan sekedar berusaha berlindung dari dampak buruk konflik ini agar tak terimbas dalam politik luar negerinya dengan negara-negara terkait.
Bahkan mereka tidak sungkan menjadi antek/boneka bagi penjajahan dan penjarahan harta kekayaan milik rakyatnya sendiri. Ini terjadi karena mereka mencampakkan Islam sebagai ideologi negara, dan malah mengadopsi dengan cantik ideologi racun sekularisme kapitalisme yang rusak dan merusak.
DUNIA INTERNASIONAL BUTUH KHILAFAH
Dalam Islam, tugas pemimpin dalam negara Islam (yakni Khilafah) adalah menegakkan kewibawaan Islam dengan menjadikan ideologi Islam sebagai satu-satunya asas dalam pengaturan seluruh urusan rakyatnya. Khilafah berfungsi sebagai pengurus sekaligus sebagai pelindung bagi rakyatnya.
Khilafah akan memiliki kekuatan dalam menghadapi setiap tantangan dan mampu membangun posisi tawar dalam hubungan politik internasional. Khilafah bahkan tampil sebagai problem solver (pemberi solusi) dan dengan kekuatannya akan mampu mencegah kezaliman yang dilakukan oleh negara-negara adidaya lainnya.
Itulah yang terjadi saat Khilafah tegak sebagai negara pertama di masa keemasan Islam. Khilafah berhasil membebaskan rakyat Palestina dari kezaliman kekuasaan politik Romawi, dan mampu membebaskan rakyat Andalusia dari kezaliman penguasa Visigoth. Di setiap tempat yang ada kezaliman, kehadiran tentara Khilafah senantiasa dinantikan. Dunia pun sejahtera di bawah naungan Khilafah Islam.
Penting menjadi bahan renungan bahwa Dunia justru terus menerus jatuh dalam penderitaan sejak Khilafah dihancurkan. Kembalinya Khilafah semestinya menjadi cita-cita seluruh umat Islam. Terlebih ini merupakan kewajiban syar’i bagi kaum muslim yang beriman. Memperjuangkannya adalah kewajiban utama. Semoga umat muslim dunia tergerak memilih kepemimpinan yang satu ini (al khilafah) sebagai pionir kesejahteraan dan keselamatan dunia dan akhirat.
Oleh : Yenni Sarinah, S.Pd (Penulis Ideologis Riau)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar