[Nafsiyah] Ketika Hijab Bukan Sekadar Kewajiban Apalagi Fesyen
14 Maret 2022
Penulis: K.H. Hafidz Abdurrahman
Muslimah News, NAFSIYAH — Istilah “Hijab” telah mengalami metamorfosis. Dari konotasi tabir (penutup); purdah, konotasi “Hijab” kini populer sebagai pakaian muslimah yang menutup aurat. Maka, ada istilah “Hijabers” untuk komunitas pemakai “Hijab”. Ada lagi istilah “Hijab Syar’i” yang bermakna pakaian Muslimah yang memenuhi kriteria syarak karena model dan bentuknya beragam.
Bagi kaum hawa, seluruh tubuhnya adalah aurat. Nabi saw. menyatakan,
اَلْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ فَإِذَا خَرَجَتْ اِسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ [رواه الترميذي وصححه الألباني]
“Wanita itu aurat. Ketika dia keluar (dari rumahnya), maka setan pun mengagungkannya.” (HR At-Tirmidzi)
Nabi menyebutnya dengan “aurat” karena wanita merupakan kehormatan (kemuliaan) yang harus dijaga. Jika ia dilepas keluar, maka ia akan digunakan seitan sebagai perangkap untuk memerangkap lawan jenisnya. Pandangan mata dan syahwat tertuju kepadanya.
Begitu luar biasa Islam menempatkan kaum perempuan. Ia ditempatkan pada kedudukan yang terhormat dan betul-betul dimuliakan. Sampai-sampai ketika seseorang terbunuh karena membela kehormatannya dinyatakan syahid. Nabi bersabda,
مَنْ قُتِلَ دُوْنَ عَرَضِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ [رواه الترميذي]
“Siapa saja yang terbunuh karena membela kehormatannya, maka dia mati syahid.” (HR At-Tirmidzi)
Karena itu, Islam menggariskan bahwa kehormatan wanita harus dijaga dan dilindungi, baik oleh pemilik kehormatan itu sendiri, keluarga, masyarakat, maupun negara. Islam kemudian mewajibkan kaum perempuan menutup auratnya dari ujung rambut hingga kakinya, kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Menutup dengan kain yang memang layak menjadi penutup, yang bisa menutupi kulitnya dari pandangan lawan jenis.
Maka, ketika Asma’ binti Abu Bakar masuk ke rumah Nabi saw. dengan pakaian tipis, baginda saw. membuang pandangannya, lalu menasihati Asma’, “Wahai Asma’, jika wanita itu sudah haid (dewasa), maka tidak boleh nampak darinya, kecuali ini dan ini (sambil menunjuk ke wajah dan telapak tangan Nabi).” (HR Abu Dawud)
Sikap Nabi membuang pandangan membuktikan bahwa menutup aurat bukan sekadar berpakaian, tetapi pakaian yang bisa menutupi warna kulit. Pakaian yang tidak tembus pandang. Jika tidak, maka meski berpakaian, tetapi aurat yang menjadi kehormatannya tetap saja bisa dilihat orang lain.
Islam tidak saja menjaga dan melindungi kehormatan wanita dengan mewajibkan menutup seluruh auratnya, tetapi juga melarangnya untuk berpakain yang bisa menarik perhatian lawan jenis. Meski, seluruh auratnya sudah tertutup. Itulah yang dinyatakan Allah,
وَلاَ تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الأُوْلَى [سورة الأحزاب: 33]
“Dan hendaknya perempuan-perempuan itu tidak melakukan tabarruj sebagaimana tabaruj yang dilakukan orang-orang Jahiliah dahulu.” (QS Al-Ahzab: 33)
Tabaruj itu menampilkan dandanan yang bisa menarik perhatian lawan jenis. Di zaman Jahiliah, kaum perempuan memakai gelang kaki, yang mana ketika mereka berjalan, terdengarlah suara gelang kakinya. Tujuannya untuk menarik kaum pria yang ada di sekitarnya, pun telinga dan matanya tertuju kepadanya. Begitulah, dahulu orang-orang Jahiliah melakukan tabaruj.
Karena itu, Islam tidak saja melarang tabaruj, tetapi juga mewajibkan kaum perempuan menutup seluruh auratnya. Tidak hanya sampai di situ, Islam kemudian menyempurnakan perlindungannya terhadap kaum perempuan dengan mewajibkannya berjilbab. Jilbab adalah jubah. Allah berfirman,
ياَ أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ المُؤْمِنِيْنَ يُدْنِيْنَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيْبِهِنَّ [سورة الأحزاب: 59]
“Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, serta perempuan kaum Mukmin, agar mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka.” (QS Al-Ahzab: 59)
Tidak hanya itu, Allah juga berfirman,
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوْبِهِنَّ [سورة النور: 31]
“Hendaknya kaum perempuan itu mengulurkan kerudungnya hingga ke dada-dada mereka.” (QS An-Nur: 31)
Jilbab (pakaian wanita) dan himar (kerudung) ditetapkan sebagai pakaian wajib kaum perempuan ketika berada di luar rumah. Semuanya itu untuk menjaga dan melindungi kehormatan wanita.
Begitulah Islam menempatkan wanita, sebagai kehormatan yang wajib dilindungi dan dijaga, bahkan dengan taruhan nyawa.
Lihatlah, bagaimana sikap Nabi saw., saat seorang wanita muslimah yang ujung jubahnya diikat orang Yahudi Bani Qainuqa’ di pasar Madinah, hingga saat wanita itu meninggalkan lapak Yahudi itu, dia pun terjatuh, jubahnya tersingkap, dan auratnya terlihat. Dampak dari peristiwa ini, Nabi saw. pun murka. Yahudi Bani Qainuqa’ pun akhirnya diperangi dan diusir dari Madinah.
Lihatlah, bagaimana Khalifah al-Mu’tashim saat memenuhi jeritan wanita yang memanggil namanya, “Waa Mu’tashimah!” (Wahai al-Mu’tashim, di manakah Engkau!). Khalifah agung itu pun mengerahkan tentaranya untuk menuntut kehormatan seorang wanita nahas yang jilbabnya telah ditarik tentara Romawi.
Maka, 30.000 tentara Romawi tewas dan lainnya menjadi sabaya (semacam tawanan). Benteng Amuriah yang angker itu pun berhasil ditaklukkan oleh Khalifah yang agung itu (Ibn Katsir, al-Bidayah, I/1601).
Begitulah Islam memandang kehormatan wanita. Apapun dipertaruhkan untuk menjaga dan melindunginya. Maka, ketika ada wanita yang mengumbar auratnya, dia tidak saja melawan perintah dan larangan Allah Swt., tetapi juga menjatuhkan martabat dan kehormatannya sendiri. Siapa saja yang melecehkannya, tidak saja melecehkan kehormatan wanita, tetapi telah melecehkan Zat Sang Pentitah, Allah Swt..
Maka, berhijab bukan sekadar kewajiban, apalagi fesyen. Tetapi lebih dari itu, ia merupakan kehormatan dan kemuliaan yang diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya. Begitulah cara Allah menjaga dan melindungi martabat dan kehormatan wanita.
Semoga Allah melindungi kita semua, anak-anak, istri, dan saudara Muslimah kita. [MNews/Nsy]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar