Selasa, 10 Mei 2022

Hidup Indah dalam Naungan Khilafah


Hampir seratus satu tahun setelah penghapusannya, nyaris tiada lagi di dunia saat ini yang pernah melihat realitas Negara Khilafah.  Banyak orang yang bicara tentang Khilafah. Mirip orang-orang buta meraba gajah yang belum dikenal seutuhnya.  Yang meraba kakinya mengira gajah itu mirip pohon.  Yang meraba perutnya mengira gajah itu mirip dinding.  Yang meraba ekornya mengira gajah itu mirip cambuk.  Demikianlah seterusnya.

Pertama: Ada yang mengira Khilafah sekadar mekanisme pergantian kekuasaan (suksesi).  Karena Nabi saw. tak memberikan petunjuk bagaimana memilih penggantinya, maka tak ada prosedur baku suksesi ini. Berarti caranya terserah kita. Mau monarki boleh. Mau demokrasi tak masalah. Semuanya islami.  Ini diyakini oleh KH Ma’ruf Amin dan Prof. Mahfud MD.

Kedua: Ada yang menganggap Khilafah itu hanya ada di kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Aswaja), karena tak diakui kalangan Syiah.  Karena Aswaja itu yang beraqidah Asy’ariyah atau Maturidiyah, maka mereka yang tak jelas berakidah Asy’ariyah atau Maturidiyah, bila bicara Khilafah, tak perlu digubris.  Ini sepertinya keyakinan Buya Yahya.

Ketiga: Ada yang berpegang pada dalil bahwa Khalifah itu hak Quraisy.  Jadi Turki saja tidak sah. Apalagi kita. Jadi tidak usah dibahas. Itu bukan urusan kita.  Ini antara lain sikap Prof. Azyumardi Azra.

Keempat: Sikap di atas dipersempit lagi dengan dalil lain bahwa Khilafah itu cuma 30 tahun. Setelahnya adalah kerajaan.  Jadi menurut mereka, tak ada jejak khilafah di Nusantara, karena dari Umayah, Abbasiyah hingga Utsmaniyah itu bukan Khilafah.  Ini antara lain sikap Prof. KH Said Agil Siradj, meski bertentangan dengan kata pengantar beliau pada Ensiklopedi Tematik Islam karya Dr. Syafi’i Antonio tahun 2012.

Kelima: Sejumlah ahli hukum tata negara seperti Prof. Jimly Asshidiqie menyebut Khilafah adalah theokratik. Theokratik adalah semua sistem pemerintahan yang didasari agama.  Menurut dia, sistem theokratik tak lagi dapat mengikuti modernitas. Makin ditinggalkan. Jadi bicara khilafah itu setback ke masa lalu.

Keenam: Khilafah adalah negara non nation-state dengan pemerintahan non demokratik.  Karena itu sistem ini jelas anti Pancasila, karena bertentangan dengan asas negara bangsa (diklaim ada di sila-3) dan asas demokrasi (diklaim ada di sila-4).  Ini antara lain pendapat Wiranto sewaktu menjadi Menkopolhukam. Karena itu ormas yang mempropagandakan Khilafah layak dibubarkan.

Ketujuh: Khilafah adalah sistem pemerintahan yang mewujudkan maqashid syari’ah.  Ini antara lain pendapat Prof. Ahmad Zahro dari UIN Sunan Ampel.  Namun menurut dia, NKRI sudah mewujudkan seluruh maqashid syari’ah itu. Jadi hakikatnya NKRI sudah Khilafah.

Kedelapan: Khilafah itu adalah negeri yang berdiri berdasarkan tauhid.  Jadi yang penting kuatkan tauhid dulu, bersihkan dari bid’ah-bid’ah. Insya Allah Khilafah akan tegak dengan sendirinya. Jadi tidak usah bicara Khilafah dulu.  Ini sikap sebagian kalangan salafi.

Kesembilan: Khilafah itu janji Allah. Pasti akan tegak kembali.  Tetapi janji itu ya tidak harus tergesa-gesa. Dulu bisyarah Nabi saw. bahwa Konstantinopel akan ditaklukkan juga realisasinya baru 830 tahun kemudian. Jadi tak usah ngotot harus sekarang. Tergesa-gesa itu tidak baik.  Ini antara lain pendapat KH Bahauddin Nursalim (Gus Baha).

Kesepuluh: Khilafah itu kemanusiaan, karena Allah ciptakan Adam sebagai Khalifatul fil Ardh (QS 2:30), pemimpin kemanusiaan.  Jadi jangan memusuhi Khilafah, karena itu misi penciptaan manusia di bumi.  Ini pendapat Emha Ainun Najib (Cak Nun).

Kesebelas: Khilafah itu negara besar ideologis multinasional.  Jadi bila sekarang ada ‘Kekhilafahan’ Amerika atau ‘Kekhilafahan’ Eropa, mengapa tak boleh memperjuangkan Kekhilafahan Islam?  Ini pendapat Prof. Daniel M Rasyid, cendekiawan Muslim yang juga guru besar ITS Surabaya.

Aneka persepsi ini sering menyebabkan diskusi tidak “nyambung”. Berlanjut ke debat kusir. Bahkan ke intimidasi dan persekusi.

Dalam tulisan ini, penulis ingin menggunakan deskripsi berikut ini:

 

Khilafah adalah sistem penerapan seluruh syariah Islam yang terkait dengan publik yang fardhu kifayah, yang hanya berjalan efektif dengan kehadiran negara. Khilafah sekaligus metode mempersatukan umat Islam sedunia dan menyebarkan rahmat ke seluruh alam. Di dalamnya ada berbagai sistem seperti sistem ekonomi, pendidikan, pergaulan, hubungan internasional, dll. Jadi tak cuma sistem pemerintahan, apalagi cuma suksesi. Kekuasaan dalam Khilafah ada pada umat. Keamanan negara di tangan kaum Muslim. Khalifahlah yang bertanggung jawab memilih dan menerapkan salah satu pendapat fikih Islam yang paling kokoh dalil syar’i maupun manat al-hukmi-nya. Semua ditujukan untuk kebaikan seluruh alam. Tak hanya bangsa tertentu, golongan tertentu, bahkan tak hanya untuk manusia.

 

“Epistemologi Turats”

Kita wajib berpikiran terbuka. Tidak terjebak pada “epistemologi peraba gajah”.  Kita tak boleh berhenti pada gambaran Khilafah seperti dalam sejarah bani Umayah hingga Utsmaniyah, yang mungkin saja bias pemuja atau pencela.  Kita wajib merujuk pada warisan Nabi saw. dan salafus shalih yang ada dalam kitab-kitab turats. Menemukan konsep yang komprehensif dan memproyeksikan di kehidupan modern.  Inilah “epistemologi turats”.  Dengan metode ini kita akan menyimpulkan bahwa hanya Khilafahlah negara yang ideal.

Pertama: Khilafah adalah satu-satunya negara saat seluruh syariah Islam diterapkan secara kaffah. Umat beragama lain pasti dilindungi.  Islam pasti diterapkan karena ini menyatu dalam definisi.  Khilafah adalah negara yang menerapkan syariah Islam. Kekuasaannya di tangan kaum Muslim.  Begitu Islam disingkirkan, atau kedaulatannya tergadai kepada asing, maka otomatis negara itu tak lagi disebut Khilafah.  Ketika suatu hukum Islam yang qath’i dihapus, Khalifah juga kehilangan legitimasinya dan wajib dipecat.

Dalam Khilafah umat beragama lain (ahlul dzimmah) pasti dilindungi. Ini adalah perintah syariah. Namun demikian, kewajiban negara menjaga agama (Hifzh ad-Din). Termasuk menjaga agama adalah:  memfasilitasi dakwah; memfasilitasi dan memberi kesempatan shalat fardhu bagi setiap Muslim di manapun; memfasilitasi shaum Ramadhan; menarik dan mendistribusikan zakat; memfasilitasi haji dan umrah; mencegah munculnya kasta rahbaniyah (kerahiban Islam); memperlakukan sesuai syariah orang-orang murtad, yaitu dengan menyadarkannya, dan bila perlu hingga menghukumnya mati.  Dengan cara ini tak ada lagi yang berani menista agama, atau mengolok-olok Nabi saw., dengan alasan apapun.

Kedua: Menjaga harta (Hifzh al-Mal) kaum Muslim. Ini berarti ekonomi yang diberlakukan juga hanya ekonomi syariah. Bukan lagi “dual sistem”, yakni ekonomi syariah dan konvensional (kapitalis atau sosialis) bersama-sama.

Ekonomi syariah berlaku tak hanya dalam perbankan, pegadaian dan asuransi; tetapi seluruh aktivitas ekonomi.  Dari pengelolaan sumberdaya alam (air, tanah, udara, energi, mineral, hutan, laut); pengumpulan modal (pembentukan perusahaan, perbankan, investasi, pasar modal); ketenagakerjaan, sistem perdagangan domestik dan internasional, hingga moneter (sistem & alat pembayaran) dan fiskal (sistem penganggaran & perpajakan).

Yang ingin diciptakan adalah ekonomi real yang terdistribusi adil, mengayomi orang-orang majinal, serta sejahtera berkelanjutan.  Urusan pangan, sandang dan papan yang minimal dan layak dijamin oleh Negara.  Negara bekerja keras agar setiap lelaki akil balig yang sanggup bekerja, juga sehat, terdidik dan merasa aman. Dengan itu mereka bisa mencari nafkah dan mencukupi keluarganya.  Baru bila mereka tak mampu, Negara hadir, langsung maupun tidak.

Infrastruktur produksi dan distribusi ekonomi adalah kewajiban Negara.  Mekanisme non ekonomi seperti nafkah, zakat, infak dan wakaf juga digiatkan dan didukung negara melalui infrastruktur adminsitrasinya. Negara memiliki informasi akurat tentang siapa dan di mana bertanggung jawab atas siapa saja; atau siapa dalam tanggungan siapa.

Bila ada suami meninggalkan istrinya begitu saja, atau ayah menyia-nyiakan anaknya, Negara pasti menemukannya dan memaksa memenuhi tanggung-jawabnya. Ini jejaring keluarga yang dioptimalkan Negara.  Baru bila ada yang memang sebatang kara, atau seluruh kerabatnya miskin juga, maka Negara membantu langsung.  Negara juga membantu ketika ada orang yang kesulitan mengembalikan barang temuannya, menagih piutangnya, atau melaksanakan wasiat maupun hak warisnya.

Harta juga dilindungi dari seluruh distorsi, baik distorsi yang bisa dikehendaki seperti riba dan judi, maupun yang umumnya tidak dikehendaki seperti korupsi, pencurian dan perampokan.  Negara menerapkan pembuktian terbalik atas penyelenggara Negara yang kekayaannya di luar kewajaran.  Namun, hukuman yang keras pada pelaku kriminal ini adalah langkah terakhir dari syariah untuk melindungi harta.

Ketiga: Pergaulan sosial yang diberlakukan tidak hanya sebatas asesori dengan busana syar’i.  Menjaga nasab (Hifzh an-Nasab) secara terhormat adalah kewajiban syariah yang juga dibebankan pada Negara.  Bahkan Negara dengan informasi kependudukan yang dimiliki, dapat menjembatani rakyatnya yang ingin menikah, dan membantunya hingga memiliki keluarga yang utuh dan menghasilkan generasi yang shalih.  Negara bahkan memfasilitasi perempuan yang ingin fokus pengasuhan anak (hadhanah), menyiapkan tempat khusus menyusui, atau memberikan tunjangan pengasuhan.

Media massa didorong mempromosikan keluarga yang sakinah, hidup bertetangga dan keluarga besar yang saling silaturahmi. Bukan mengekspos perselingkuhan, skandal-skandal artis atau kekerasan di rumah tangga.  Negara menjaga kehormatan (Hifzh al-Iffah) setiap warga, Muslim maupun ahludz-dzimmah.

Negara mempromosikan sikap menahan diri meski benar, sikap menutupi aib pribadi setiap warga, sikap sabar pada cobaan, sikap tawadhu’ meski berprestasi, hingga sikap kesatria atas kesalahan.  Negara juga memfasilitasi konsultasi warga yang menghadapi masalah.

Negara memberikan sanksi kepada orang yang mengolok-olok; bahkan mengancam hukuman berat kepada para pelaku perzinaan, penuduh perzinaan yang tak sanggup membawa 4 saksi, perkosaan, LGBT, bahkan pembuat dan penyebar pornografi dan pornoaksi.

Keempat: Dalam administrasi pemerintahan, diberlakukan sistem yang mudah, murah dan cepat.  Pelayanan terhadap rakyat bersifat pro-aktif. Tidak hanya menunggu keluhan atau laporan.  Kontrol umat atas para penguasa didorong, dengan semangat yang sama seperti para Sahabat mengawasi Khulafaur Rasyidin.

Khilafah adalah negara dengan kedaulatan hukum ada pada Asy-Syari’ (Allah SWT), kekuasaan eksekutif ada pada umat melalui penguasa pilihannya, dan aktivitas koreksi atas eksekutif adalah jihad terbaik.  Ini aktivitas menjaga negara (Hifzh ad-Dawlah).

Negara bisa menerapkan cara-cara modern dalam menjaring tokoh-tokoh yang mewakili umat dalam Majelis Umat, bahkan menggunakan teknologi tercanggih yang praktis dalam Pemilu calon khalifah.  Yang jelas seluruh calon khalifah wajib memenuhi syarat-syarat in’iqad, yaitu: Muslim, laki-laki, aqil (tidak gila), balig (dewasa), adil (tidak fasiq), merdeka (bukan budak/boneka) dan mampu (memiliki kompetensi minimum dan bersedia).

Negara menjaga kesatuan negeri Islam dengan memperlakukan semuanya dengan baik. Tidak rasis atau elitis.  Negara mempromosikan dan memfasilitasi musyawarah, memfasilitasi munculnya partai-partai politik berasas Islam, dan memfasilitasi ijtihad baik dalam hukum maupun teknologi untuk memberikan solusi aneka persoalan baru.

Negara menerapkan politik dakwah terhadap negara kafir, baik dengan hardpower maupun softpower.  Untuk itu Negara mengembangkan industri pendukung jihad, membantu berhijrah kaum tertindas di negeri lain, hingga berjihad untuk membebaskan negeri-negeri yang terjajah.

Kelima: Dalam hukum & peradilan.  Tak ada yang lebih diharapkan dalam sebuah negara kecuali kepastian hukum yang adil.  Dalam demokrasi, parlemen atau legislatif dapat mengubah UU apapun, bahkan UUD sesuai hawa nafsu mereka.  Namun dalam Islam, hal-hal qath’i yang tertanam dalam al-Quran dan hadis mutawwatir tak bisa diubah siapapun.  Perubahan hanya dimungkinkan pada penafsiran yang berbeda pada hal-hal yang zhann, atau ijtihad pada berbagai persoalan baru.  Adapun seperti hak-hak minoritas (ahludz-dzimmah) itu tidak bisa dibatalkan hingga Hari Kiamat.

Dengan hukum yang baik, negara akan menjaga akal sehat (Hifzh al-‘Aql).  Ketika seluruh rakyat terdidik, baik dalam syakhsiyah Islam maupun sains dan teknologi, maka tugas negara menegakkan hukum jauh lebih mudah.  Saat iklim rasional berkembang di masyarakat, negara meninggalkan segala yang tidak memiliki dalil atau dasar ilmiah, suara ulama dan ilmuwan didengar, maka angka kepatuhan hukum akan meningkat.

Segala hal yang bertentangan dengan akal sehat seperti khamr, narkoba, pornografi dan perdukunan diberantas sampai ke akar-akarnya.

Keenam: Dalam aspek keamanan, diberlakukan perlindungan yang menyeluruh, baik di dalam maupun di luar negeri, atas setiap warga negara dan seluruh Muslim.  Setiap warga negara Khilafah yang dalam perjalanan di dalam maupun di luar negeri tidak perlu memikirkan asuransi.  Negara yang menjaminnya. Demikian pula warga asing yang dibolehkan berkunjung ke negeri Khilafah.  Bahkan perlindungan ini juga dinikmati oleh Muslim warga negara asing, sebagaimana dulu terjadi pada masa Abassiyah.  Kalau mereka dilecehkan, apalagi disakiti, bala tentara Khilafah siap datang menyelamatkannya.

Khilafah juga mengantisipasi terhadap segala bencana yang mungkin terjadi di seluruh wilayahnya. Negara proaktif mengecek bangunan-bangunan publik agar tahan gempa, bebas banjir, aman dari kebakaran, dan juga potensi bencana lainnya.  Bahkan bencana iklim global yang nyaris luput dari perhatian, yang berakibat punahnya flora dan fauna, juga diperhatikan.  Rakyat juga terus dibimbing untuk selalu peduli dan tanggap bencana.

Menjaga kehidupan (Hifzh an-Nafs) itu kewajiban negara.  Dengan sistem ekonomi, negara menjamin setiap penduduk bebas dari kelaparan.  Dengan sistem kesehatan negara melindungi rakyat dari ancaman penyakit.  Dengan Qadhi Hisbah juga mengawasi agar pangan yang beredar hanya yang halal dan thayyib.

Bahkan anak yatim, kaum lansia, penyandang diffabilitas, serta dhuafa dan fakir-miskin semua dipastikan kehidupan dan keamanannya agar tidak terlantar atau dieksploitasi para penjahat, termasuk mafia organ tubuh.

Di dalam negeri negara juga menjaga keamanan (Hifzh al-Amn) dengan mendamaikan perselisihan/konflik horizontal, memfasilitasi persaksian yang benar saat dibutuhkan, tetap berlaku adil sekalipun terhadap orang-orang yang dibenci, menyediakan peradilan yang fair, menghukum pengacau/teroris, hingga mengatasi pemberontakan (bughat) dengan cara-cara persuasif.

Seperti inilah gambaran Khilafah yang dicita-citakan.

WalLahu a’lam bi ash-shawab. [Prof. Dr. Fahmi Amhar]

Media Al-Wa'ie

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sejarah, Akar Masalah, dan Cara Islam Tuntaskan HIV/AIDS

*Sejarah, Akar Masalah, dan Cara Islam Tuntaskan HIV/AIDS* Oleh: Yenni Sarinah, S.Pd (Aktivis Pendidikan Kelahiran Selatpanjang, Riau) ...