Rabu, 14 Desember 2022

BAB 2 QADLA QADAR


Meluruskan Pemahaman Qadla dan Qadar
(ringkasan Bab Qadla dan Qadar kitab Nizhamul Islam – Syaikh Taqiyuddin An Nabhani)

Pembahasan Qadla dan Qadar, secara khusus telah dibahas oleh Syaikh Taqiyuddin An Nabhani dalam satu bab tersendiri, yaitu Qadla dan Qadar dalam kitab Nizhamul Islam. Pembahasan ini sengaja diberikan ruang khusus, karena Syaikh Taqiyuddin An Nabhani ingin menempatkan sesuai dengan proporsinya. Syaikh Taqiyuddin An Nabhani tidak ingin terjebak dalam pembahasan yang melelahkan dan terjebak dalam diskusi yang tidak produktif sebagaimana yang dilakukan para mutakallimin (ahli kalam), termasuk Jabbariyah, Muktazilah, dan Ahlussunnah (versi Abu Hasan Al Asy’ari).

Secara fundamental, Syaikh Taqiyuddin An Nabhani telah meletakkan suatu paradigma baru dalam pembahasan Qadla-Qadar, yaitu membahas perbuatan manusia secara relevan (kaitannya) dengan pahala dan dosa. Atau dengan kata lain, pembahasan ini berkaitan dengan hukum perbuatan manusia. 

Syaikh Taqiyuddin An Nabhani tidak meletakkan pembahasan Qadla dan Qadar sebagaimana paradigma mutakallimin, dimana mereka meletakkan pembahasan Qadla dan Qadar tetapi tidak dikaitkan dengan pahala dan dosa. Para mutakallimin melakukan kesalahan dengan melakukan pembahasan Qadla dan Qadar, tetapi dikaitkan dengan ‘penciptaan’ perbuatan manusia (khalqul af’al) dan tertulisnya perbuatan manusia dalam Lauhul Mahfudz.

Contoh kesalahan:
Kalau seorang koruptor ditanya, “Mengapa kamu korupsi?” tentu si penanya akan pusing jika si pencuri menjawab, “Saya korupsi karena perbuatan saya ini sudah ditetapkan Allah dalam Lauhul Mahfudz.” Atau koruptor itu akan menjawab begini, “Saya korupsi, karena perbuatan saya ini merupakan takdir Allah atas saya.”

Contoh kesalahan lain:
Seseorang telah menjual tambang minyak bumi milik rakyat kepada pihak asing, sehingga rakyat banyak yang kesusahan dikarenakan mahalnya biaya untuk mendapatkan minyak. Lalu ditanyakan kepada orang tersebut, “Mengapa Anda menjual tambang minyak milik rakyat itu kepada pihak asing?” Lalu orang tersebut berkata, “Saya berbuat seperti ini karena sudah menjadi takdir bagi saya untuk berbuat begini.”

Jika hal ini dibahas, yaitu tentang ‘siapa yang menciptakan perbuatan manusia’ tentu tidak akan terpecahkan secara memuaskan dan tidak akan selesai.
 Pembahasan hal seperti ini, sama persis dengan pembahasan Qadla dan Qadar yang dilakukan oleh mutakallimin. Mereka berdebat habis tentang ‘siapa yang menciptakan perbuatan manusia’ dan ‘tertulisnya perbuatan manusia di Lauhul Mahfudz’.

Karena itulah, Syaikh Taqiyuddin An Nabhani tidak menjadikan masalah ‘tertulisnya perbuatan manusia di Lauhul Mahfudz’ atau ‘siapa yang menciptakan perbuatan manusia’ sebagai asas (dasar) pembahasan Qadla dan Qadar. Alasannya, hal itu tidak berhubungan dengan ‘pahala dan dosa’ atau ‘halal dan haram’ bagi manusia. Jadi, harus dicari paradigma (asas) baru yang relevan (nyambung) dengan pahala dan dosa. 

Apa itu? 
Yaitu: Perbuatan manusia itu sendiri!

Syaikh Taqiyuddin An Nabhani kemudian melakukan pengkajian yang mendalam tentang fakta perbuatan manusia dari segi: apakah manusia itu dipaksa untuk berbuat (musayyar) atau diberi kebebasan untuk memilih perbuatan (mukhayyar). Dan setelah dikaji secara mendalam, ternyata ada dua jenis perbuatan manusia:

Pertama:
Adakalanya perbuatan itu musayyar (dipaksa), misalnya manusa tidak bisa terbang dengan tubuhnya sendiri, manusia mengalami suatu kecelakaan di luar kuasanya, dan sebagainya. Segala perbuatan atau fakta saat manusia berstatus musayyar inilah yang (oleh Syaikh Taqiyuddin An Nabhani) disebut dengan Qadla (keputusan Allah). 

Yang menetapkan Qadla adalah Allah, dan manusia tidak akan dimintai pertanggungjawaban tentang hal ini. Tidak ada hitungan pahala dan dosa, atau halal-haram dalam masalah ini.

Kedua:
Adakalanya manusia bebas memilih perbuatan (mukhayyar). Misalnya, makan nasi, minum khamr, mencari nafkah dengan jalan korupsi, bekerja sebagai petani, bekerja sebagai kaki tangan penjajah, dan lain-lain sesuai dengan kehendak atau pilihannya sendiri. Di sinilah manusia memanfaatkan Qadar (ketetapan), yaitu karakter khusus yang melekat pada segala sesuatu.
 
Misalnya, api yang memiliki karakter membakar. Tetapi manusia mau menggunakannya untuk membakar sate atau membakar jasad manusia, itu pilihan manusia. 

Contoh lain, manusia memiliki kecerdasan. Manusia mau memanfaatkan kecerdasannya itu untuk berpihak kepada orang Islam atau orang kafir, itu pilihan manusia. 

Dalam konteks mukhayyar ini, manusia akan dimintai pertanggungjawaban. Yang menetapkan Qadar hanya Allah semata. Api memiliki karakter panas, itu hak Allah. Manusia memiliki kecerdasan, itu juga karena pemberian Allah. Tetapi dalam hal pemanfaatannya, manusia tetap akan dimintai pertanggungjawaban. Tetap akan ada hitungan pahala dan dosa.

Oleh karena itu, berdasarkan hal tersebut, koruptor tadi harus tetap dihukum, sekalipun dia berkeyakinan bahwa perbuatannya tersebut tertulis dalam Lauhul Mahfudz. Sebab, yang ia pertanggungjawabkan adalah perbuatan korupsinya (korupsi merupakan perbuatan dosa), bukan keyakinannya itu. Sebab, keyakinannya itu tidak ada hubungannya dengan pahala dan dosa atau halal dan haram.

Kita akan mengatakan kepada koruptor itu, “Silahkan saja kamu yakin bahwa perbuatan kamu tertulis di Lauhul Mahfudz, tetapi kamu harus tetap dihukum, karena kamu telah berdosa melanggar larangan Allah dan Allah tidak pernah memaksamu melakukan korupsi.”

Berdasarkan pemahaman tersebut, paradigma (asas) baru dalam pembahasan Qadla dan Qadar yang digagas Syaikh Taqiyuddin An Nabhani sangatlah fundamental, karena dapat menghilangkan kesamaran seputar masalah Qadla dan Qadar.

Insya Allah, dengan modal seperti ini, kita tidak akan dibingungkan lagi dengan pertanyaan: perbuatan saya ini sudah ditakdirkan Allah atau tidak ya?

Semua kembali pada hukum perbuatan kita, apakah halal ataukah haram.

Selasa, 13 Desember 2022

EDISI 206 : EUFORIA GILA BOLA


Buletin Teman Surga 206. 
Euforia Gila Bola

Setelah empat tahun menanti, akhirnya gelaran piala dunia 2022 di Qatar bergulir pertengahan November ini. Biasanya hajatan besar sepak bola ini dilaksanakan bulan Juni, tapi lantaran pertengahan tahun bertepatan dengan musim panas di Qatar yang suhunya bisa mencapai 50 derajat celcius akhirnya diundur menjelang akhir tahun. Meski begitu, euforia para gila bola tetep tak terbendung.

Bayangin aja, selama pandemi sekitar 2 tahun semua pagelaran sepakbola minim penonton demi mencegah penularan wabah covid. Kini, kehadiran penonton setelah pandemi mereda ibarat botol minuman bersoda yang dikocok terus dibuka tutupnya, auto membuncah.

Hasilnya, Piala Dunia 2023 yang digelar selama 29 hari ini diperkirakan akan dihadiri 1,5 juta turis mancanegara. Belon lagi yang nonton di rumah-rumah via layar kaca. Termasuk di negeri kita, meski harus beli set top box biar bisa nobar tetep dijabanin. Gaspol!

Sepakbola Tak Sekedar Permainan

Kalo kita ngulik sejarahnya, sepak bola pertama kali ada di Cina sekitar abad ke-3 dan 2 sebelum Masehi di masa Dinasti Han. Saat itu masyarakat China melakukan sepak bola dengan cara digiring dan dimasukkan ke dalam jaring kecil.

Bola yang digunakan pada masa ini terbuat dari kulit hewan. Masyarakat China dahulu menyebut olahraga yang dimainkan di atas bidang persegi ini dengan sebutan tsu chu. Tsu yang memiliki arti menerjang bola dengan kaki. Sementara itu, chu dapat diartikan sebagai sebuah bola yang memiliki lapisan kulit dan berisi.

Sepak bola kemudian berkembang dan menjadi olahraga populer ke seluruh dunia. Sehingga, resmi menjadi salah satu cabang olahraga pertama yang dipertandingkan dalam kompetisi olahraga terbesar di dunia, yaitu Olimpiade. Selanjutnya, piala dunia sebagai kompetisi sepak bola internasional pertama kali dilaksanakan pada tahun 1930 di Uruguay.

Antusias masyarakat terhadap sepakbola memancing berbagai kompetisi di berbagai tempat. Dari tingkat desa, hingga piala dunia. Tak ayal, pertandingan antar klub, daerah atau negara telah melahirkan fanatisme antar suporter. Fenomena kaya gini sering dianggap wajar sebagai ekspresi dari sebuah cinta atas dasar rasa se-tanah air, sebangsa, senegara, atau sebuah komunitas semu (fans club). Padahal, sikap ashobiyah ini gampang memancing kerusuhan yang dilakukan suporter.

Yang terbesar, sekaligus yang terburuk di Eropa mungkin adalah Tragedi Heysel, pada laga antara Liverpool kontra Juventus di Final Liga Champions, 29 Mei 1985. Para Liverpudlian yang tak terima tim kesayangannya kalah 0-1 dari Juve, melancarkan serangan ke pendukung ‘Bianconeri’ dan mengakibatkan 39 orang tewas serta 600 orang luka.

Sementara di Mesir, tercatat 74 orang meregang nyawa dan sekitar seribu orang mengalami luka-luka akibat kericuhan antarsuporter usai pertandingan antara klub Al Masry dengan Al Ahly, di Kota Port Said, Rabu 1 Februari 2012.

Selain memancing kerusuhan, ashobiyah juga melahirkan sikap rasisme atau merendahkan orang lain karena perbedaan ras atau warna kulit. Nuansa rasisme ini kental sekali di English Premier League. Sebuah survei yang dilakukan ICM Research dan hasilnya dipublikasikan BBC pada Mei 2004 memperlihatkan 51% dari responden menyatakan kalau Inggris adalah negara yang rasis.

Selain tawuran, pasar taruhan selama ajang piala dunia juga cukup menggiurkan. Nilai taruhan pada Piala Dunia 2022 kini tembus US$35 miliar atau setara dengan Rp550 triliun. Menurut analis Barclays, jumlah ini meningkat 65 persen dari pertandingan Piala Dunia yang diadakan di Rusia pada 2018 silam.

Terakhir yang sering luput dari perhatian remaja. Aksi nobar alias nonton bareng ajang piala dunia yagn sering digelar di cafe atau rumah makan. Laki perempuan campur baur kaya jemuran. Nggak sedikit yang memanfaatkan untuk mojok berduaan. Nggak ketinggalan, godaan setan pun berkeliaran menggoda setiap pasangan untuk bermaksiat. Dari sekedar nonton, ikut taruhan, sampe mabuk-mabukan. Parah!

Hati-Hati, Permainan yang Melalaikan

Dalam Islam, olahraga maupun permainan hukumnya mubah. Akan tetapi, Islam juga ngingetin jangan sampai aktivitas mubah ini berubah menjadi kegiatan lahwun munadhamun (kesia-siaan yang terorganisasi).

Kata lahwun berasal dari kata laha yang berarti perbuatan yang dapat memalingkan seseorang dari kewajibannya, perbuatan yang menyibukkan seseorang dan dapat membuatnya berpaling dari kebenaran.

Imam Asy-Syathibi menyatakan, “Hiburan, permainan, dan bersantai adalah mubah atau boleh, asal tidak terdapat suatu hal yang terlarang.”

Selanjutnya beliau menambahkan, “Namun demikian, hal tersebut tercela dan tidak disukai oleh para ulama. Bahkan, mereka tidak menyukai seorang lelaki yang dipandang tidak berusaha untuk memperbaiki kehidupannya di dunia dan tempat kembalinya di akhirat kelak karena ia telah menghabiskan waktunya dengan berbagai macam kegiatan yang tidak mendatangkan suatu hasil duniawi dan ukhrawi.”

Setiap aktivitas olahraga maupun permainan yang menyebabkan manusia lalai dari tugas utamanya sebagai abdullah yang harus beribadah kepada Allah Swt. dan lalai untuk menyibukkan diri dari kewajiban menuntut ilmu dan berdakwah amar makruf nahi mungkar. Maka, sejatinya telah terjerumus pada hal yang sangat berdosa. Hati-hati!

Apalagi permainan yang terorganisir itu bikin umat Islam terjerumus dalam kemaksiatan. Terbiasa mengumbar aurat, baik pemain maupun penonton; menunda atau malah meninggalkan salat; saling menghina, mengejek dan memancing perselisihan antara pemain maupun suporter.

Inilah gambaran jelas lahwun munadhamun, kesia-siaan yang terorganisasi dan berdampak buruk bagi kehidupan seorang muslim di dunia terlebih di akhirat kelak. Allah Swt. telah mengingatkan di dalam firmannya;

“Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah permainan dan senda gurau.…” (QS. Al-An’am: 32)

Jadi, kalo kamu suka nonton sepak bola, nikmati saja permainannya. Bukan sikap ashobiyahnya. Kalo kamu ngefans ama satu tim, bagusnya simpan dalam hati saja. Nggak perlu ditunjukkan dalam ekspresi berlebihan. Apalagi sampai sewot gak karuan karena tim kesayangan menelan kekalahan. Woles aja cuy!

Yang perlu kita sadari, ajang kompetisi sepakbola seperti piala dunia selain menyuburkan ashobiyah juga bisa banyak menyita waktu dan perhatian umat. Akibatnya, umat nggak peduli lagi dengan masalah yang menimpanya selain urusan sepakbola.

Padahal, Rasulullah saw mengingatkan kita agar ketika bangun di pagi hari auto mikir kondisi umat Islam bukan skor pertandingan. “Barangsiapa yang bangun pagi tetapi dia tidak memikirkan kepentingan umat Islam maka dia bukan bagian dari mereka (umat Nabi Muhammad saw ).” (HR. Muslim)

Umat nggak ngeh kalo lagi dijajah secara budaya dan pemikiran melalui gegap gempita ajang kompetisi olahraga yang diadakan secara periodik. Makanya tugas kita untuk menyadarkan umat akan bahaya ajang olahraga yang melenakan dan bersama-sama untuk aktif ikut ngaji dan terjun dalam aktifitas dakwah. Dijamin tak akan melalaikan tapi justru memuliakan. Yuk![]

Minggu, 11 Desember 2022

BUKU KE 7 : MY HUSBAND IS MY BESTFRIEND


Tema : My Husband is My Best Friend

Dia Bilang Aku Bidadari 

Oleh : Yenni Sarinah, S.Pd (Penulis, Pegiat Literasi Islam, Selatpanjang - Riau)

Memiliki pasangan yang terikat pada satu aturan, satu pemikiran dan satu perasaan adalah impian setiap wanita yang berusaha memperbaiki diri dan bergeliat membantu syiar-syiar agama Allah Swt. dalam agenda-agenda dakwah. Ketika ketetapan itu menyambangi pintu rumah orangtuaku, sungguh itulah kejutan yang sedikit banyak membuat kakiku tak kokoh berdiri. 


Lamaran yang datang dari tempat jauh, dari seseorang yang selalu menjauhiku, dan dari keberanian dirinya - yang selalu membuang muka ketika berpapasan denganku di kampus - untuk membawa orang tuanya menempuh pelayaran dari provinsi hingga ke tanah kabupaten yang asing bagi dia sekeluarga, kota kelahiranku. Walaupun orang tuanya ragu dengan pilihannya atas diriku - tak pernah kenal, tak pernah bertemu - dia dengan bahasa sederhana meyakinkan kedua orangtuanya untuk membantu proses lamaran itu.


Kamis, 12 Oktober 2013, seorang pemuda pemalu datang bersama orang tuanya dari jauh mengetuk rumah orang tuaku. Ibuku bertanya apa tujuan mereka. Bapakku tersentak memegang degup jantungnya yang mulai tidak karuan rasanya. Pemuda ini bukanlah orang yang lazim ia lihat wajahnya. Membawa lamaran untuk putri pertama, putri kesayangannya. Seakan waktunya telah tiba, takdir lajangku sudah diambang pintu bahtera. Sudah waktunya berlayar bersama nahkoda yang dipilihkan Tuhan untukku.


Pelayaranku sore itu menuju kota kelahiranku, disambut dengan deringan telepon dari bapak. Dengan nada sedikit dingin, bapak bertanya dengan lembutnya. 

"Nak, siapa gerangan pemuda yang datang ke kediaman kita ini nak? Ia berkata hendak melamar engkau nak." ucap bapak dengan nafas agak sesak, seakan menahan kecemasannya. 


Ibu juga nimbrung dan berkata, "Nak, wajahnya seiras Ricky Harun nak. Cocok sekali dengan tipe pemuda yang kamu suka sejak remaja." 

Kudengar gemuruh bahagia dari ibuku yang selalu tahu tentang aku.


Mendengar nama yang disebut oleh ibuku, aku kenal siapa dia. Seorang pemuda yang pernah bertanya padaku, dimana alamat rumahku, tanpa memandangku, dan selalu menundukkan kepalanya. 

"Siapkah anti jika ana lamar ke rumah orang tua anti?" ucapnya dingin. 

Aku pikir pemuda ini hanya bercanda. Pasalnya aku hanya mengenalnya sebatas dia adalah ketua komunitas dakwah kampus di fakultas kami. 


Jantungku berpacu tak bernyali, resah, takut, bimbang, bercampur haru. Pasalnya dia adalah sosok yang jadi perbincangan teman-temanku yang senang dengan pemuda yang loyal terhadap dakwah Islam. Dari sekian banyak wanita yang memimpikan menjadi pendampingnya, justru aku yang tak pernah duduk berdua dengannya yang  dilamar langsung ke orang tuaku.


Jum'at, 13 Oktober 2013, aku tiba dirumah orangtuaku dengan rasa lelah usai melintasi lautan selama 14 jam lebih. Sebentuk cincin diletakkan di depanku dengan tatapan wajah serius. 


"Nak, ini jalan hidupmu, bapak tidak akan mengekangmu. Usiamu sudah 24 tahun. Sudah saatnya engkau menikah." ucap bapak dengan mata berkaca-kaca. 

"Lantas mengapa bapak bersedih, pak." sambil kusandarkan kepalaku di pundak bapak.

"Bapak senang nak, makanya bapak begini."

Air matanya jatuh bersama dekapan hangat yang khas.


Sabtu, 14 Oktober 2013, lamaran pun dilangsungkan. Dengan jeda 4 bulan, 16 februari 2014 kami menikah dengan akad yang disaksikan keluarga terdekat saja. Dan 16 juni 2014, pesta besar dipersiapkan orang tuaku di kota kelahiranku. Dengan seketika pun, seminggu setelahnya aku dibawa menetap di Provinsi tempat kami menuntut ilmu.


Tahun pertama berlalu dan lahirlah seorang anak laki-laki pada 31 Maret 2015 dengan proses lahiran normal, BB 2,375 gr, TB 52 cm. Kami beri nama Ananda Abdullah. Di tahun depannya lahir lagi seorang anak laki-laki pada 21 Maret 2016 dengan proses seksio sesarea, BB 2,250 gr, TB 44 cm. Kedua putra kami lahir pada bulan ke 8 dengan status bayi prematur. Kami beri nama Ananda Abdurrahman Dawa.


Sungguh inilah fase terberatku membersamai kedua putra prematurku tanpa bantuan orang tua, saudara, maupun baby sitter. Murni hanya kami berdua saja yang menjaga kedua bayi mungil ini. Dalam kesibukannya dakwah dan bekerja di dua tempat siang dan malam, dia selalu hadir menjadi sahabat dekat dalam fase-fase aku terpapar baby blues. Dia yang menguatkan hati dan pundaknya sebagai sandaran tangisku yang tak terbahasakan, dan obat lelah yang tak berkesudahan. 


Kemana aku pergi, ia siaga mengantarkan. Kumpul bersama rekan kajian, dia siap menunggu jika ada waktu luang. Dan ketika aku butuh fokus dalam menuntut ilmu syarie, tak jenuh dia mengambil peran menjaga dua batita kami yang sudah mulai aktif geraknya. 


Hingga di usia pernikahan ke 6 tahun, kami dianugerahi kehamilan ketiga dengan kondisi yang amat lemah. Tepat di bulan ke 4, pendarahan tak diduga, aku mulai lemah, anak-anakku diungsikan ke rumah kerabatnya. Aku langsung dibawa ke RSIA dan dengan kecemasan yang hampir merenggut nyawa ibu dan janin, putra ketiga kami berpulang pada 17 Desember 2020. Muhammad Aga ibn Beni Desrizal, namanya terukir di pusara.


Haruku membiru, isakku kian bisu. Ada luka batin yang tak mampu kusebut, tak mampu kutumpahkan. Mengenang rasa sakit yang bertubi-tubi, rasa sakit usai keguguran, serta rasa kosong jiwa ketika kehilangan seorang putra. Dia hadir mendekap hangat dan berkata, "Tenanglah sayang, anak surga kita sudah dijemput takdirnya. Ikhlaskan."


Dalam tabahku, ia duduk mendampingiku di ranjang pasien. Banyak dzikir dan nasihat yang dia lontarkan akan takdir, hingga aku yang terluka batin, perlahan sembuh dari duka panjang. 


Seketika ia mengizinkanku pulang ke kota kelahiranku untuk menghibur diri. Padahal disana hanya tersisa pusara bapak yang berpulang ke rahmatullah 1 bulan sebelum anak keduaku lahir. Namun demi kembali pulihnya aku, ia antarkan aku dengan anak-anak untuk liburan di kota kelahiranku. 


Sebulan sekali dia datang mengunjungiku hingga aku benar-benar pulih. Hingga disuatu ketika aku turun dari kapal, dan lisannya yang selalu berkata baik itu terucap "Kau Bidadari yang turun dari kapal". Hatiku meleleh. Pundakku seakan ringan setelah sebelumnya begitu beban batin dan duka menyelimuti hariku bersama dua orang putra.


Diperantauan, dia selalu siaga menjaga dan menghibur aku dan anak-anak agar tangguh menghadapi luka batin. Dengan agenda dakwah yang kami geluti bersama, dengan aturan, pemikiran dan perasaan yang sama. Kami nikmati hari-hari indah mendampingi dua putra yang kami infaqkan mereka untuk menjadi estafet kemenangan Islam kelak.


Memang, menjadi sahabat padahal tak pernah saling kenal sebelum akad nikah adalah anugerah terindah bagi kami yang juga menyerahkan jiwa dan raga kami untuk memperjuangkan agama ini. Tidak ada kata, tak kenal maka tak cinta. Tapi cintailah apa yang menjadi takdir kita atas pilihan-pilihan terbaik kita. Karena persahabatan sepasang suami-istri esensinya adalah takwa.


Terimakasih kekasihku, ayah dari anak-anak kami, semoga engkau selalu diberikan kesehatan, keberkahan rezeki, dan dipanjangkan umurmu untuk mensukseskan agenda-agenda besar medan dakwah kita semua. Aamiin, Allahumma Aamiin. 


“Rabbanaa hablanaa min azwaajinaa wa dzuriyyatinaa qurrota a'yun.” 


Artinya: “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan dan keturunan dari kalangan kami sebagai penenang hati.” (QS Al-Furqan: 74).



YENNI SARINAH, S.Pd dengan nama pena HAZIMAH KHAIRUNNISA', seorang penulis aktif karya fiksi puisi dan cerpen, serta karya non-fiksi berupa opini dan beberapa antologi pemikiran ideologis. Alumni mahasiswi Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan (FKIP) Jurusan Pendidikan Biologi di Universitas Islam Riau (UIR), Alumni Wartawan, Divisi Sirkulasi Tabloid, dan Redaktur Pelaksana di PERS AKLaMASI UIR. Ibu dari 3 orang mujahid, berasal dari Kota Sagu, Selatpanjang Timur, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau. Saat ini aktif menulis bersama beberapa komunitas : FLP cabang Pekanbaru, Komunitas Riau Sastra, Komunitas Tirastimes 2.0., dan mengelola agenda dakwah bersama rekan-rekan di Komunitas Muslimah Bangkit Meranti di Riau. Berkontribusi membina penulis baru di Tim Menulis Mahaliy Pekanbaru. Pernah menjadi Penggiat Literasi di Mahaliy Bukit Raya dan Mahaliy Bengkalis. Beberapa karya yang sudah cetak 2021-2022, berjudul : MENJADI PENGGERAK OPINI DI ERA DIGITAL (2021), REFLEKSI DAN RESOLUSI (2022), BARA PENA (2022), ETSA DAN KISAH (2022), APA YANG ANDA PIKIRKAN SELAIN UANG? (2022), KALAM HIKMAH, CERITA KELUARGA ISLAMI (2022). Kontributor Opini Ideologis di Media Online : LINIMASA NEWS, TREN OPINI, CENDEKIA POS, TINTA SIYASI, VISI MUSLIM, DATARIAU, RIAU NEWS, TINTA MUSLIMAH, AKURAT NEWS. Kontributor Cerpen dan Puisi di Media Online : RIAU SASTRA, LINIMASA NEWS, TINTA MUSLIMAH, TIRASTIMES, RIAU POS, TRIBUN PEKANBARU, HALUAN RIAU, AKLaMASI UIR. 


Penulis bisa dihubungi melalui :

e-Mail: yennianada@gmail.com

Whatsapp: 0821-7223-2384

Telepon: 0822-6810-4345

Facebook: https://www.facebook.com/hazimah.khairunnisa

Blog: https://yennisarinah1989.blogspot.com



Sejarah, Akar Masalah, dan Cara Islam Tuntaskan HIV/AIDS

*Sejarah, Akar Masalah, dan Cara Islam Tuntaskan HIV/AIDS* Oleh: Yenni Sarinah, S.Pd (Aktivis Pendidikan Kelahiran Selatpanjang, Riau) ...