Minggu, 11 Desember 2022

BUKU KE 7 : MY HUSBAND IS MY BESTFRIEND


Tema : My Husband is My Best Friend

Dia Bilang Aku Bidadari 

Oleh : Yenni Sarinah, S.Pd (Penulis, Pegiat Literasi Islam, Selatpanjang - Riau)

Memiliki pasangan yang terikat pada satu aturan, satu pemikiran dan satu perasaan adalah impian setiap wanita yang berusaha memperbaiki diri dan bergeliat membantu syiar-syiar agama Allah Swt. dalam agenda-agenda dakwah. Ketika ketetapan itu menyambangi pintu rumah orangtuaku, sungguh itulah kejutan yang sedikit banyak membuat kakiku tak kokoh berdiri. 


Lamaran yang datang dari tempat jauh, dari seseorang yang selalu menjauhiku, dan dari keberanian dirinya - yang selalu membuang muka ketika berpapasan denganku di kampus - untuk membawa orang tuanya menempuh pelayaran dari provinsi hingga ke tanah kabupaten yang asing bagi dia sekeluarga, kota kelahiranku. Walaupun orang tuanya ragu dengan pilihannya atas diriku - tak pernah kenal, tak pernah bertemu - dia dengan bahasa sederhana meyakinkan kedua orangtuanya untuk membantu proses lamaran itu.


Kamis, 12 Oktober 2013, seorang pemuda pemalu datang bersama orang tuanya dari jauh mengetuk rumah orang tuaku. Ibuku bertanya apa tujuan mereka. Bapakku tersentak memegang degup jantungnya yang mulai tidak karuan rasanya. Pemuda ini bukanlah orang yang lazim ia lihat wajahnya. Membawa lamaran untuk putri pertama, putri kesayangannya. Seakan waktunya telah tiba, takdir lajangku sudah diambang pintu bahtera. Sudah waktunya berlayar bersama nahkoda yang dipilihkan Tuhan untukku.


Pelayaranku sore itu menuju kota kelahiranku, disambut dengan deringan telepon dari bapak. Dengan nada sedikit dingin, bapak bertanya dengan lembutnya. 

"Nak, siapa gerangan pemuda yang datang ke kediaman kita ini nak? Ia berkata hendak melamar engkau nak." ucap bapak dengan nafas agak sesak, seakan menahan kecemasannya. 


Ibu juga nimbrung dan berkata, "Nak, wajahnya seiras Ricky Harun nak. Cocok sekali dengan tipe pemuda yang kamu suka sejak remaja." 

Kudengar gemuruh bahagia dari ibuku yang selalu tahu tentang aku.


Mendengar nama yang disebut oleh ibuku, aku kenal siapa dia. Seorang pemuda yang pernah bertanya padaku, dimana alamat rumahku, tanpa memandangku, dan selalu menundukkan kepalanya. 

"Siapkah anti jika ana lamar ke rumah orang tua anti?" ucapnya dingin. 

Aku pikir pemuda ini hanya bercanda. Pasalnya aku hanya mengenalnya sebatas dia adalah ketua komunitas dakwah kampus di fakultas kami. 


Jantungku berpacu tak bernyali, resah, takut, bimbang, bercampur haru. Pasalnya dia adalah sosok yang jadi perbincangan teman-temanku yang senang dengan pemuda yang loyal terhadap dakwah Islam. Dari sekian banyak wanita yang memimpikan menjadi pendampingnya, justru aku yang tak pernah duduk berdua dengannya yang  dilamar langsung ke orang tuaku.


Jum'at, 13 Oktober 2013, aku tiba dirumah orangtuaku dengan rasa lelah usai melintasi lautan selama 14 jam lebih. Sebentuk cincin diletakkan di depanku dengan tatapan wajah serius. 


"Nak, ini jalan hidupmu, bapak tidak akan mengekangmu. Usiamu sudah 24 tahun. Sudah saatnya engkau menikah." ucap bapak dengan mata berkaca-kaca. 

"Lantas mengapa bapak bersedih, pak." sambil kusandarkan kepalaku di pundak bapak.

"Bapak senang nak, makanya bapak begini."

Air matanya jatuh bersama dekapan hangat yang khas.


Sabtu, 14 Oktober 2013, lamaran pun dilangsungkan. Dengan jeda 4 bulan, 16 februari 2014 kami menikah dengan akad yang disaksikan keluarga terdekat saja. Dan 16 juni 2014, pesta besar dipersiapkan orang tuaku di kota kelahiranku. Dengan seketika pun, seminggu setelahnya aku dibawa menetap di Provinsi tempat kami menuntut ilmu.


Tahun pertama berlalu dan lahirlah seorang anak laki-laki pada 31 Maret 2015 dengan proses lahiran normal, BB 2,375 gr, TB 52 cm. Kami beri nama Ananda Abdullah. Di tahun depannya lahir lagi seorang anak laki-laki pada 21 Maret 2016 dengan proses seksio sesarea, BB 2,250 gr, TB 44 cm. Kedua putra kami lahir pada bulan ke 8 dengan status bayi prematur. Kami beri nama Ananda Abdurrahman Dawa.


Sungguh inilah fase terberatku membersamai kedua putra prematurku tanpa bantuan orang tua, saudara, maupun baby sitter. Murni hanya kami berdua saja yang menjaga kedua bayi mungil ini. Dalam kesibukannya dakwah dan bekerja di dua tempat siang dan malam, dia selalu hadir menjadi sahabat dekat dalam fase-fase aku terpapar baby blues. Dia yang menguatkan hati dan pundaknya sebagai sandaran tangisku yang tak terbahasakan, dan obat lelah yang tak berkesudahan. 


Kemana aku pergi, ia siaga mengantarkan. Kumpul bersama rekan kajian, dia siap menunggu jika ada waktu luang. Dan ketika aku butuh fokus dalam menuntut ilmu syarie, tak jenuh dia mengambil peran menjaga dua batita kami yang sudah mulai aktif geraknya. 


Hingga di usia pernikahan ke 6 tahun, kami dianugerahi kehamilan ketiga dengan kondisi yang amat lemah. Tepat di bulan ke 4, pendarahan tak diduga, aku mulai lemah, anak-anakku diungsikan ke rumah kerabatnya. Aku langsung dibawa ke RSIA dan dengan kecemasan yang hampir merenggut nyawa ibu dan janin, putra ketiga kami berpulang pada 17 Desember 2020. Muhammad Aga ibn Beni Desrizal, namanya terukir di pusara.


Haruku membiru, isakku kian bisu. Ada luka batin yang tak mampu kusebut, tak mampu kutumpahkan. Mengenang rasa sakit yang bertubi-tubi, rasa sakit usai keguguran, serta rasa kosong jiwa ketika kehilangan seorang putra. Dia hadir mendekap hangat dan berkata, "Tenanglah sayang, anak surga kita sudah dijemput takdirnya. Ikhlaskan."


Dalam tabahku, ia duduk mendampingiku di ranjang pasien. Banyak dzikir dan nasihat yang dia lontarkan akan takdir, hingga aku yang terluka batin, perlahan sembuh dari duka panjang. 


Seketika ia mengizinkanku pulang ke kota kelahiranku untuk menghibur diri. Padahal disana hanya tersisa pusara bapak yang berpulang ke rahmatullah 1 bulan sebelum anak keduaku lahir. Namun demi kembali pulihnya aku, ia antarkan aku dengan anak-anak untuk liburan di kota kelahiranku. 


Sebulan sekali dia datang mengunjungiku hingga aku benar-benar pulih. Hingga disuatu ketika aku turun dari kapal, dan lisannya yang selalu berkata baik itu terucap "Kau Bidadari yang turun dari kapal". Hatiku meleleh. Pundakku seakan ringan setelah sebelumnya begitu beban batin dan duka menyelimuti hariku bersama dua orang putra.


Diperantauan, dia selalu siaga menjaga dan menghibur aku dan anak-anak agar tangguh menghadapi luka batin. Dengan agenda dakwah yang kami geluti bersama, dengan aturan, pemikiran dan perasaan yang sama. Kami nikmati hari-hari indah mendampingi dua putra yang kami infaqkan mereka untuk menjadi estafet kemenangan Islam kelak.


Memang, menjadi sahabat padahal tak pernah saling kenal sebelum akad nikah adalah anugerah terindah bagi kami yang juga menyerahkan jiwa dan raga kami untuk memperjuangkan agama ini. Tidak ada kata, tak kenal maka tak cinta. Tapi cintailah apa yang menjadi takdir kita atas pilihan-pilihan terbaik kita. Karena persahabatan sepasang suami-istri esensinya adalah takwa.


Terimakasih kekasihku, ayah dari anak-anak kami, semoga engkau selalu diberikan kesehatan, keberkahan rezeki, dan dipanjangkan umurmu untuk mensukseskan agenda-agenda besar medan dakwah kita semua. Aamiin, Allahumma Aamiin. 


“Rabbanaa hablanaa min azwaajinaa wa dzuriyyatinaa qurrota a'yun.” 


Artinya: “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan dan keturunan dari kalangan kami sebagai penenang hati.” (QS Al-Furqan: 74).



YENNI SARINAH, S.Pd dengan nama pena HAZIMAH KHAIRUNNISA', seorang penulis aktif karya fiksi puisi dan cerpen, serta karya non-fiksi berupa opini dan beberapa antologi pemikiran ideologis. Alumni mahasiswi Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan (FKIP) Jurusan Pendidikan Biologi di Universitas Islam Riau (UIR), Alumni Wartawan, Divisi Sirkulasi Tabloid, dan Redaktur Pelaksana di PERS AKLaMASI UIR. Ibu dari 3 orang mujahid, berasal dari Kota Sagu, Selatpanjang Timur, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau. Saat ini aktif menulis bersama beberapa komunitas : FLP cabang Pekanbaru, Komunitas Riau Sastra, Komunitas Tirastimes 2.0., dan mengelola agenda dakwah bersama rekan-rekan di Komunitas Muslimah Bangkit Meranti di Riau. Berkontribusi membina penulis baru di Tim Menulis Mahaliy Pekanbaru. Pernah menjadi Penggiat Literasi di Mahaliy Bukit Raya dan Mahaliy Bengkalis. Beberapa karya yang sudah cetak 2021-2022, berjudul : MENJADI PENGGERAK OPINI DI ERA DIGITAL (2021), REFLEKSI DAN RESOLUSI (2022), BARA PENA (2022), ETSA DAN KISAH (2022), APA YANG ANDA PIKIRKAN SELAIN UANG? (2022), KALAM HIKMAH, CERITA KELUARGA ISLAMI (2022). Kontributor Opini Ideologis di Media Online : LINIMASA NEWS, TREN OPINI, CENDEKIA POS, TINTA SIYASI, VISI MUSLIM, DATARIAU, RIAU NEWS, TINTA MUSLIMAH, AKURAT NEWS. Kontributor Cerpen dan Puisi di Media Online : RIAU SASTRA, LINIMASA NEWS, TINTA MUSLIMAH, TIRASTIMES, RIAU POS, TRIBUN PEKANBARU, HALUAN RIAU, AKLaMASI UIR. 


Penulis bisa dihubungi melalui :

e-Mail: yennianada@gmail.com

Whatsapp: 0821-7223-2384

Telepon: 0822-6810-4345

Facebook: https://www.facebook.com/hazimah.khairunnisa

Blog: https://yennisarinah1989.blogspot.com



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sejarah, Akar Masalah, dan Cara Islam Tuntaskan HIV/AIDS

*Sejarah, Akar Masalah, dan Cara Islam Tuntaskan HIV/AIDS* Oleh: Yenni Sarinah, S.Pd (Aktivis Pendidikan Kelahiran Selatpanjang, Riau) ...