JARAN
Terik sinar matahari menyengat kulitku yang gelap semakin terlihat gelap. Debu beterbangan memberikan aroma tanah yang khas. Deru kaki kuda masih terdengar meski telah menjauh. Riuh sorak sorai para penonton memanggil jagoannya terdengar dari ujung barat hingga timur tribun.
“Main jaran”, itu sebutan bagi orang-orang sini. Hari ini kusaksikan dengan mata kepalaku bagaimana para anak-anak menjadi joki. Mereka biasa menyebutnya “Juki”, seorang bocah yang menunggang kuda untuk lomba pacu. Umur mereka antara lima hingga sepuluh tahun, bisa dibayangkan betapa beraninya mereka memegang cambuk diatas kuda yang lari dengan sangat kencang. Kuda yang mereka tunggangi memang lebih kecil dibanding kuda pacuan yang biasa dipakai untuk pacuan kuda di daerah lain.
Bagian wajah hingga leher kuda dihiasi dengan tali-talian berwarna warni, jombe. Juki memakai penutup kepala (ketopang) dan helm, pakaian serta celana panjang ditambah kaos kaki. Mereka juga mengenakan rompi bertuliskan angka sesuai dengan nomor lomba. Cambuk yang digunakan terbuat dari rotan dan alas duduknya terbuat dari alang-alang atau daun pisang kering. Orang sini menyebytnya lapek.
Kuda satu dengan yang lain saling berkejaran. Riuh tepuk tangan dan terikan kembali menggema saat salah satu kuda mendekati tribun. Namun tiba-tiba ada kuda terjatuh, beberapa orang menjerit, seorang lelaki segera berlari menolong. Akupun ikut mendekat, melewati kerumunan penonton yang masih teriak-teriak dan tidak peduli dengan salah satu juki yang terjatuh tadi.
“Beang mo, kam ada sandro,[1]” kata salah satu penonton kepada penonton lainnya. Nampaknya hal seperti ini sudah biasa, kulihat para penonton tetap asik berteriak di tengah-tengah kecelakaan yang terjadi. Hanya beberapa orang yang peduli, mungkin keluarga atau teman si juki dan pemilik kuda. Setiap main jaran harus ada sandro yang bertugas menjaga kuda dan juki. Sandro adalah seorang yang memiliki ilmu supranatural yang biasanya menggunakan baju serba hitam.
Kuabaikan pacuan yang masih berlangsung dan melihat apa yang akan dilakukan sandro. Ia meniup kepala, kemudian memberikan minum air putih yang telah dia lafalkan doa-doa. Luar biasa, bocah itu kembali naik ke atas kuda dan melanjutkan perlombaan. Sungguh mental pemberani, anak sekecil itu seakan tidak punya rasa takut, hanya satu yang mereka pikirkan, menang.
Aku kembali ke tribun berbaur dengan penonton lain, gerombolan anak-anak berdiri di tribun paling depan kedua memukul-mukul boto kosong. Kudekati salah satu dari mereka, bocah berbaju merah dengan celana pendek motif kotak-kotak, rambutnya paling lucu diantara yang lain.
“Nde me jagomu?[2]” tanyaku memakai bahasa daerah sana. Lima tahun di kabupaten Sumbawa membuatku bisa berbahasa daerah sini walaupun tidak terlalu lancar. Apalagi mengajar di kampung, anak-anak lebih sering menggunakan bahasa daerah daripada bahasa Indonesia, ditambah guru-guru sini pun lebih sering berkomunikasi menggunakan bahasa daerah, sehingga aku bisa cepat dan mudah memahaminya.
“De nomer sai. Juara ten perap nya,[3]” jawabnya mantap.
Teriakan semakin kencang, kuda nomor satu hampir masuk finish namun dibelakangnya ada kuda lain dengan jarak kira-kira hanya satu meter. Para penonton tegang menunggu kuda mana yang menjadi pemenangnya. Tebakan bocah itu benar, kuda nomor satu menang. Bocah itu bersorak riang bersama teman-temannya kemudian mereka berlarian menuju juki yang baru saja turun dari kuda. Sepertinya mereka teman-teman si juki pikirku, aku pun mengikuti jejak anak-anak itu. Tak kusangka si juki adalah adik dari bocah tadi, dia juga pernah menjadi juki untuk kuda yang sama dengan adeknya pada perlombaan satu tahun yang lalu.
Rasa penasaranku tak terbendung, kuputuskan untuk ikut pulang ke rumahnya. Menjadi perantauan yang masih bujang beginilah serunya, bebas kemanapun pergi. Desa Penyaring ini tidak jauh dari kos, hanya saja jalannya berkelok dan masih banyak bebatuan. Andai kata nanti terlalu larut untuk pulang semoga diizinkan menginap oleh kedua orang tua anak itu.
“Ta nya Bapak kami, Abang e [4]” kata bocah itu sambil memegang lengan seorang lelaki berbadan tegap berkulit sawo matang yang sedang mengelus-elus kuda. Aku tersenyum menyapanya dan menyampaikan niatku untuk silaturahmi ke rumahnya. Ia dengan senang hati mempersilakan. Masyarakat sini memang ramah-ramah dan baik, apalagi desa ini sering dikunjungi oleh wisatawan. Mereka datang untuk membeli susu kuda liar atau permen susu kuda.
Kulepas sepatu kemudian menaiki tangga yang terbuat dari papan. Rumah panggungnya cukup luas. Beberapa foto bersama kuda terpampang disana. Kuamati satu persatu foto, ada satu buah foto yang masih berlatar hitam putih, seorang anak diatas kuda dengan memamkai penutup kepala tanpa helm dan memegang cambuk.
“Itu saya empat puluh tahun yang lalu,” kata Pak Suhardi mengagetkanku.
Ia membawakan kopi hitam panas dan mempersilakanku duduk. Kedua anaknya Joni dan Doni menyusul membawa pisang goreng. Pak Suhardi memulai bercerita tentang kisahnya. Dulu ia adalah seorang juki dan beberapa kali menang dalam pacuan kuda. Kecintaannya pada kuda membuatnya menjadi perawat dan pelatih kuda. Joni, anak pertamanya yang kini berusia sembilan tahun beberapa kali menjadi pemenang setiap mengukuti perlombaan. Perlombaan terakhirnya membuat ia tidak bisa menjadi juki lagi kemudian digantikan oleh adiknya.
“Saya sudah melarang Doni untuk ikut main jaran, tapi bapaknya kekal[5]5,” sahut seorang wanita dari balik tirai, istri Pak Suhardi.
Pak Suhardi menyeruput kopi dan mempersilakanku minum kemudian menyalakan rokok dari daun lontar yang dikeringkan, namanya rokok jontal.. Wanita itu meminta Joni dan Doni masuk untuk belajar kemudian ia duduk dan bercerita bersama kami.
“Joni jarang masuk sekolah karena banyak lomba, kami khawatir dia tinggal kelas. Tetapi bukan karena itu Joni berhenti jadi juki, Bang. Saat pertandingan terakhir Joni terjatuh dari kuda. Badannya tertindih oleh kuda sehingga tulang pinggungnya cedera. Sampai sekarang punggungnya belum sembuh total. Saya tidak mau itu terjadi juga dengan Doni,” kata wanita itu seolah ingin mengadu kepadaku.
“Kam masak jangan ke?[6]” tanya Pak Suhardi tanpa menghiraukan kata-kata istrinya barusan.
Usai salat magrib aku diajak ke dalam untuk makan malam. Sambil menikmati sepat[7], aku bertanya banyak hal tentang main jaran termasuk klasifikasi kelas kuda yang diperlombakan. Kutanyakan pendapatnya tentang kecelakaan yang terjadi di Bima, seorang juki meninggal dunia saat pacuan kuda. Ia mengangkat bahu dan berkata, “Takdirnya disitu, mau bagiamana lagi.” Ku cecar lagi dengan pertanyaan-pertanyaan yang menjadi isu yaitu meniadakan joki cilik karena dianggap eksploitasi anak. Ia hanya melambaikan tangan, tidak berkomentar. Menurutnya kecelakaan yang terjadi dalam joki cilik sedikit sekali, tidak bisa dijadikan alasan untuk menghentikan joki cilik. Main jaran dengan menggunakan joki cilik menjadi adat atau tradisi yang dimiliki oleh Pemerintah NTB khususnya kabupaten Sumbawa dan Bima.
“Ada sandro yang menjaga disetiap perlombaan. Kuda-kuda yang digunakan pun sudah terlatih, kecelakaan jarang sekali terjadi.”
“Sandro juga manusia kan, Pak? Buktinya joki cilik yang di Bima meninggal,” sanggahku.
“Nah! Kama ada de mate. Man mo main jaran Doni nan e,[8]” gerutu istri Pak Suhardi.
Lagi lagi Pak Suhardi tidak berkomentar, dia mengambil jontal, membakar kemudian menghisapnya. Bagi masyarakat Sumbawa main jaran seperti sepakbola. Bagaimanapun semua aktivitas yang kita lakukan tidak luput dari yang namanya celaka. Apalagi dibidang olahraga selalu ada kemungkinan mengalami cedera, begitu kata Pak Suhardi sebelum memintaku istirahat kemudian ia masuk ke kamarnya. Malam ini kuputuskan untuk menginap, aku tidur di ruang tengah bersama Joni dan Doni. Wajah kedua anak itu begitu teduh, tidak ada rasa takut, walaupun mamaknya kurang setuju Doni mengikuti pacuan kuda. Besok pagi Doni harus berlomba lagi, pasti ia sangat lelah.
***
Enam box berisi kuda telah berjejer rapi di kerato, aku baru tahu nama lintasan/ lapangan main jaran ini namanya kerato. Petugas start membuka pintu box dan seketika semua kuda berlari sekencang kencangnya. Mataku hanya fokus pada kuda yang ditunggagi Doni. Sementara dia berada di posisi kedua, Doni lincah memainkan tumitnya, sesekali memainkan cambuk. Doni sudah sangat lihai, mungkin karena bakat dari bapaknya. Meskipun badannya paling kecil diantara juki lainnya namun nyalinya begitu besar untuk berjuang diatas kuda sejauh 1200 meter.
Brak! Kuda Doni terjungkal, Tak terelakkan Doni pun jatuh tersungkur bersamaan dengan kuda tunggangannya. Panitia, Sandro dan Pak Suhardi segera berlari ke arena jatuhnya kuda, aku dan Joni bergegas mengikuti. Detak jantungku tak karuan, helm Doni terlepas, dia tak bergerak sedikitpun. Sandro berkali-kali meniup-niup kepalanya, tak ada hasil. Seorang penonton datang mencoba memeriksa denyut nadi dan pernapasan Doni.
“Segera bawa ke rumah sakit,” serunya tegas.
Tanpa pikir panjang Pak Suhardi segera menggendong Doni. Butuh waktu tiga puluh menit untuk sampai RSUD Sumbawa. Ternyata penonton tadi adalah dokter, sehingga dengan cepat Doni bisa ditangani. Dokter keluar dari ruang periksa, kami tegang menunggu hasil pemeriksaannya.
“Tidak ada darah maupun luka di badannya, namun ternyata ada benturan di kepala yang kuat sehingga ia mengalami pendarahan di sekitar otak. Butuh waktu lama untuk kesembuhannya.”
Istri Pak Suhardi datang dengan bercucuran air mata. Kupeluk Joni, ku katakan padanya bahwa Doni akan baik-baik saja, dia pejuang yang tangguh. Namun tetap saja ini musibah yang berat bagi keluarga Pak Suhardi.
***
Dua tahun kemudian. Kerato Angin Laut di desa Penyaring dipadati penonton. Final perlombaan main jaran dimulai. Terlihat sebuah ambulance dan tim medis lengkap. Juki nomor satu memakai helm bertali, baju pelindung dan sepatu hampir masuk garis finis. Tertulis nama di punggung bajunya, DONI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar