Warga Kota Sagu
Karya : YeSa
Kota kami terletak di dataran rendah di perbatasan antara pulau Sumatra dan Negara Malaysia. Karena itu, hujan jarang bertandang dan terik di sana seolah-olah bersinar sesukanya. Kadang-kadang pagi, siang, petang atau malam hari, angin kencang datang mengusik dahan pepohonan. Rindukan hujan di tengah kemarau. Adakalanya juga dari pagi sampai malam, ataupun sebaliknya. Bahkan ketika kemarau mungkin sedang meretak-retakkan tanah di kota pesisir laut itu.
Tetapi, karena sejak muncrat ke dunia sudah bergaul dengan cuaca serupa itu, warga kota tak mengumpat ketika angin hangat mendadak beriringan dari seberang lautan, atau hujan tiba-tiba menderap laksana suara kaki puluhan ekor kuda. Paling-paling orang hanya bergumam, seperti menghadapi anak yang nakal: “Ha, sudah turun pula si kaki seribu!” Lalu mereka siapkan tadah-tadah kosong yang sudah sejak kemarin dibersihkan untuk menyambut berkah dari langit, lalu kembangkan payung, melenggang tenang-tenang di atas jalanan basah menuju warung untuk mencari bahan makanan olahan sagu.
***
Betul. Berbagai pemandangan ganjil-lucu yang tidak bersua di tempat lain bisa kau temukan di kota kami kalau Anda suatu ketika berkunjung ke sana. Meski cuaca sedang turun hujan, orang-orang di jalan-jalan kau lihat tidak membawa payung atau apalagi takut hujan, mirip dengan warga kota-kota penuh padang pasir yang pada masa lalu larut akan fatamorgana air yang berlimpah ruah. Tanpa payung itu pula mereka saling melambai dan menyapa. “Woi, apa kabar! Baik? Singgahlah dulu!”
Seduhan kopi liberika khas wanginya memanggil dengan hangat pemuda yang bersukacita di bawah guyuran hujan. Di mana-mana kau bisa saksikan kaum pria bertelanjang dada, berlarian bermain banjir. Tidak kecuali para tukang becak motor dan tukang gorengan yang duduk mencangkung di pojok-pojok jalan basah dan mulai hadirkan banjir, di belakang lampu temaran mereka menyeruput kopi dan cemilan khas kota sagu, segala jenis olahan sagu. Mie Sagu kuah, mie sagu goreng, Kerupuk sagu, dan sebagainya.
Dan, kalau kau tinggal lebih lama di kota kami, akan ahli pula kau menerka usia perkawinan seseorang hanya dengan melihat cara ia duduk dan cara ia berbicara. Karena, walau kerap mengundang tawa ketika berkumpul di kedai kopi, tapi jarang sekali pria kota kami memiliki logat yang khas. Kecuali, ya, kecuali lelaki-lelaki muda yang asik memegang handphone androidnya. Itu pula sebabnya anak- anak muda kota kami lebih suka pakai bahasa daerah, betapapun elok bahasa gaul dan permainan game online itu, budaya Melayu tak lekang dari gelagat harian mereka.
Hal lain yang bakal membuatmu terheran-heran adalah tukang masak mie sagu. Ya, di kota kami hampir tak dikenal orang istilah pedagang, meski aktivitas seseorang berjualan, berniaga. Tukang kerupuk tak selalu berarti orang yang membuat kerupuk, tetapi juga penjual kerupuk. Begitupun tukang sate, tukang cilor, tukang seafood, tukang rokok, tukang emas, dan seterusnya. Tidak jelas mengapa demikian. Aku juga tidak bermaksud membahasnya. Biarlah masalah ini bagian ahli bahasa, juga sosiolog. Aku hanya ingin bercerita tentang mereka, tukang mie sagu goreng dan penggemar hidangan khas daerah itu.
Sekalipun kota kecil, tukang mie sagu goreng amat banyak di kota kami, seakan-akan sebagian besar orang terpanggil lahir karena bakat itu. Mereka dapat ditemukan di mana-mana sejak pukul lima pagi hingga tengah malam, beberapa waktu setelah bubar wisata taman penuh jajanan dan mainan. Mereka mangkal di emper-emper toko, tikungan-tikungan jalan, muka perkantoran-perkantoran, depan asrama tentara dan polisi, di muka rumah sakit, juga di depan gerbang-gerbang jalan menuju surau dan masjid.
Tukang-tukang mie sagu goreng itu pakai motor matic, duduk berkelumun kantong kresek berisi bermika-mika aneka olahan sagu yang hangat. Sebagiannya masih mendorong gerobak yang lengkap dengan peralatan masak. Mie sagu, Kerupuk sagu, ongol-ongol sagu, cendol sagu, dan berbagai olahan sagu lainnya. Empat atau lima orang diantaranya juga mangkal di muka dua minimarket yang ada di kota kami. Berjajar agak berjauh-jauhan di bawah papan reklame minimarket, tidak saling tertawa layaknya pasangan suami istri dilanda perang dingin.
***
Tentu ada hubungan erat antara tukang mie goreng keliling yang sangat banyak itu dan iklim kota kami yang sebentar dingin karena angin laut pada malam hari dan sebentar panas ketika hujan tak kunjung datang di musim kemarau, serta kegemaran orang memakan mie sagu goreng. Tetapi, apakah itu yang menyebabkan warga kota kami subur-subur, perlu penelitian. Lagi pula, meski lazim satu keluarga punya anak sepuluh, sebelas atau selusin, kota kami tidak pernah sesak karenanya.
Anak-anak muda segera berangkat melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi atau bekerja di kota lain dan wesel-wesel mereka berlayangan di awal-awal bulan memenuhi kantor pos. Pada hari raya dan libur-libur panjang, pengirim-pengirim wesel yang rajin itu-yang sebagian diantaranya tumbuh berkat uang mie sagu goreng-berlayangan ke kampung halaman menjumpai orangtua dan sanak keluarga. Saat-saat itulah mereka tak lepas-lepas dari mie sagu goreng, tidak ubahnya kekasih-kekasih yang melampiaskan rindu dendam setelah lama berpisah.
Alhasil, tukang mie sagu goreng tetap banyak di kota kami dan orang tak merasa rendah jadi tukang mie sagu goreng. Malah bangga. Dalam jaket kebanggaan mereka pun tercantum bordiran: pekerjaan, tukang mie sagu goreng. Dan, penggemar mie sagu goreng tidak pernah pula berkurang. Bahkan, sesudah lama merantau pun kegemaran itu rupanya tidak hilang. Juga, meski sejumlah anak muda mengalami pengalaman pahit akibat mie sagu goreng. Bertengkar, bahkan divonis putus oleh si gadis karena tersedak seduhan mie sagu goreng ikut menyelusup ke ruang nafas. Namun, selera menyantap mie sagu goreng tak kunjung usai.
Anak-anak muda itu seolah punya prinsip: pacaran boleh putus, makan mie sagu goreng jalan terus. “Habis, memang lain mie sagu goreng kota kita ini,” komentar para suami saat makan mie sagu goreng di malam-malam dingin bergerimis. “Ini, lihatlah!” lanjutnya melempar teri tanjung goreng ke atas meja. Garing, gurih, tak begitu besar. “Di tempat lain gemuk besar kulihat!”
“Memang,” sahut ibu-ibu di kota kami dengan sigap. “Tetapi, tetap belum ada yang sanggup mengalahkan mie sagu goreng Mak Abdul!”
"Ah, kalau itu, jangan dikata lagi, tiada bandingan!"
"Ya, Mak Abdul adalah maestro mie sagu goreng Selatpanjang!" jawab si istri bersemangat.
"Ibarat penyair, dia itu Chairil Anwar atau Amir Hamzah. Ibarat pelukis, dia Affandi. Ibarat pencipta lagu dialah Gesang atau Ismail Marzuki. Ibarat…"
"... perempuan ia adalah engkau seorang!" potong sang suami buru-buru dan si istri pun diam sambil tersenyum-senyum. Menyelusup manja ke pelukan suami.
***
Mak Abdul satu dari sekian banyak tukang mie sagu goreng di kota kami. Tokoh ini sangat populer bahkan hingga kini, khususnya di kalangan kaum ibu. Selain karena kualitas mie sagu gorengnya memang di atas rata-rata, perempuan kota kami menyukai perempuan itu karena dia tidak pernah bermuka masam apalagi riya. Sudah barang tentu sifatnya ini mendatangkan ramai pembeli. Tetapi, suaminya pandai dan rajin mempromosikan jualan istrinya sehingga tak kentara benar bahwa makanan ini hampir ditinggalkan zaman.
Agak berbeda dengan orang dewasa, terutama ibu dan kakak-kakak perempuan kami, kami anak- anak justru takut pada Mak Abdul. Mungkin karena tubuhnya gemuk gempal, mata agak terbelalak, dan selalu merah menyala. Kerudungnya pun selalu berwarna merah darah. Juga karena dia “berisi”, punya ilmu. Suatu kali kawan kami si Atan menghajar anaknya hingga babak belur. Anak itu lari pulang menggerung-gerung dan telinga si Atan pun disentil Mak Abdul. Berhari-hari daun telinga kawan kami itu gembung-bengkak kemerah-merahan. Orang juga mengatakan Mak Abdul tidak lagi bermain silat dengan manusia melainkan dengan harimau, tanda ilmunya tinggi. Kedua makhluk itu konon melakukannya malam-malam di pinggir kota usai Mak Abdul berjualan.
Mak Abdul adalah satu-satunya tukang mie sagu goreng yang tidak berpaut di pangkalan saat berjualan. Jam dagangnya juga berbeda dengan tukang mie sagu goreng yang lain. Biasanya, dia keluar sesudah subuh dan akan berakhir kira-kira pukul dua malam menjelang pagi ketika udara mulai sejuk. Begitu keluar rumah di pangkal pagi itu orang tidak akan menemukannya di tempat ramai seperti di muka minimarket atau kawasan pasar. Dengan kerudung merah darah itu-itu juga, dan gerobak dorongnya, dia dan suaminya susuri jalan-jalan kota dengan karung goni berisi mie sagu mentah yang belum diolah di atas atap gerobaknya. Seolah ringan saja karung goni itu. Tenang- tenang saja dia melangkah, mendatangi calon pembeli. Dialah penemu sistem jemput bola dalam berdagang mie sagu goreng di kota kami.
***
Makin malam, kian gencar pula Mak Abdul mengembara menyusuri pelosok-pelosok kota. Juga ke pojok pelabuhan harapan raya, pantai dorak, dan Taman Cik Puan yang merupakan sentral berkumpulnya banyak orang di kota kami. Suara serta bunyi mangkok ayam yang diketuk senada dengan gelas kaca disampingnya berirama memecah udara: “Teng-teng-ting, teng-teng-ting, mie sagu goreeeng...! Teng-teng-ting, teng-teng-ting, mie sagu goreeeng…!”
Pada larut malam yang dingin berangin itu Mak Abdul beserta suaminya benar-benar menjelma jadi polisi berjalan sekaligus penjaga kota kami. Pencuri-pencuri mengurungkan niat mereka yang buruk mendengar suaranya. Orang-orang terbangun, ingin makan mie sagu goreng. Pasangan-pasangan yang tengah bertengkar terhenti. “Hah, itu Mak Abdul!” ujar si suami.
“Beli dulu mie sagu gorengnya.”
Anak-anak muda yang sedang begadang menyongsong kedatangannya dengan girang: “Tiga pinggan, Mak Abdul!” Dan, sewaktu pesanan mereka dimasak, tangan anak muda itu menyelusup ke kaleng kerupuk, meraup Kerupuk udang bukan hanya sekali. Tetapi, itu biasa. Semua pembeli melakukannya dan semua tukang mie sagu goreng membiarkan saja.
Dan, pengantin-pengantin baru, yang memang tak tidur-tidur di tengah malam buta itu, berpandangan dan saling tersenyum mendengar suara Mak Abdul mendekati. Bergegas mereka benahi diri, tegak menanti di ambang pintu. Rambut nyonya muda yang hitam subur tergerai hingga pinggang, harum bercampur peluh, berkibar-kibar ditiup angin malam, di balik mukenah panjang transparan.
“Mak Abdul!”
“Yeee, sayee!” Tukang mie sagu goreng itu menghampiri ke makhluk elok itu. Dengan kerudung merah darah yang itu-itu juga.
“Dua pinggan saja ya, Mak Abdul. Beri teri tanjung lebih sikit, mak.”
“Yo! Eh, cukupkah dua pinggan?”
“Hi-hi-hi. Cukuplah. Hanya berdua.” Dan, tangan-tangan mungil itu menyusup pula ke kaleng kerupuk yang hangat menarik beberapa keping Kerupuk udang yang baru digoreng. Kemudian, sambil bercengkrama serta menikmati mie sagu goreng berdua-dua di larut malam itu, pasangan-pasangan itu menyimak suara Mak Abdul dan bunyi mangkok ayam dan gelas kaca yang berdenting itu menjauh. Semakin jauh, lalu sayup-sayup diantarkan angin malam melalui kisi- kisi jendela.
***
Tetapi, pada suatu malam, ketika ramai-ramai di tahun 2010, cuma sebagian warga kota yang mendengar suara dan bunyi mangkok ayam dan gelas kaca berdenting itu. Warga yang lain tidak. Besoknya, seluruh warga kota tidak mendengarnya. Padahal, sudah mereka tunggu-tunggu. Dan besoknya lagi, kota kami gempar tak alang kepalang.
“Masya Allah,” kata ayah bagai orang kedinginan.
“Padahal, tahu benar aku, mata si Mak Abdul itu merah hanya karena menukar siang dengan malam!”
Tukang mie sagu goreng itu ditemukan orang tergeletak di tepi parit. Ada sebelas bekas bacokan merobek kerudung merah darah dan tubuhnya. Tujuh lubang peluru pada dada suaminya. Kaleng kerupuk berisi uang entah dimana. Tetapi, justru setelah ia tak ada lagi namanya terus jadi buah tutur warga kota kami, bahkan hingga kini. Orang-orang akan mencela tukang mie sagu goreng bila mienya tidak enak atau dia bertingkah. “Huh, tak serupa Mak Abdul!” ujar mereka.
Karena itu, Anda pun akan terheran-heran menemukan banyak tukang mie sagu goreng di kota kami yang berkata kepadamu: “Ha, mie sagu enak ini! Tak sembarangan kuali buat memasaknya. Belilah. Cobalah. Tidak bakal menyesal. Delapan tahun saya belajar memasak mie sagu goreng pada Mak Abdul!” Anda melongo heran karena Anda toh tidak kenal siapa Mak Abdul. Dan, mungkin juga tidak mau tahu.
Pekanbaru, 14 Juni 2023
YeSa singkatan dari nama Yenni Sarinah. Memiliki nama pena Hazimah Khairunnisa’. Seorang jurnalis sekaligus ibu rumah tangga dengan 2 orang putera. Lahir di Selatpanjang pada 14 November 1989 dan telah menyelesaikan Pendidikan di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Islam Riau jurusan Pendidikan Biologi.
Referensi Cerpen Budaya
Di Ujung Pantai Selatan - Karya : Galina Shopia Rizky
Yogyakarta - Karya : Muhammad Rahmanuddin Dinejad
Menjadi Seorang Dalang - Karya : Nabilla Shafira
Senampan Daun Pisang - Karya : Uwais Qorni
Geleng Geleng Rapai Geleng - Karya : Raihan Khaira
Tidak ada komentar:
Posting Komentar