Senin, 19 Juni 2023

Cerpen Budaya 2

RUMAH SEJARAH TERPENDAM
By Abdul Rahman, S.Ag
 Masyarakat yang hebat adalah yang mampu menghargai nilai keberagaman budaya dan melestarikannya. Bagaimana cara Bu Airin memperkenalkan dan menanamkan nilai warisan budaya yang ada?
 Bu Airin bergegas masuk kelas untuk memberikan infomasi kegiatan besok. Anak-anak yang awalnya sedang asyik bercerita dan bercanda, berlari ke tempat duduk masing-masing.
"Ananda semua, terima kasih telah duduk dan tertib. Ibu ingin mengingatkan tentang kegiatan kita besok, kita akan melaksanakan kegiatan filed trip, jangan ada yang telat bangun, jangan sampai ketinggalan bus. Pukul 07.30 WIB kita sudah berkumpul di lapangan." Bu wakasis mengingatkan ke siswa kelas 4. Terdengar suara gemuruh dan pekik bahagia diantara siswa bahkan ada yang melonjak kegirangan. 
 Kegiatan seperti ini adalah hal yang mereka tunggu-tunggu. Belajar di alam terbuka bersama teman dan guru jauh lebih asyik dan menyenangkan bagi mereka dari pada duduk tertib di kelas, lipat tangan mendengarkan guru menerangkan pelajaran.
 Duduk rapi, tertib dan tak boleh mengobrol dengan teman, merupakan suatu hal yang paling menyiksa diri siswa kelas 4 terutama Arfan dan beberapa temannya. Arfan adalah salah satu contoh siswa yang tak betah duduk di kelas. Dia butuh jalan, keliling ke bangku teman, ngobrol dan menanyakan hal-hal yang terjadi di luar kelas.
 Di mata gurunya, Arfan termasuk siswa yang aktif sulit dikendalikan, hampir setiap jam pelajaran, namanya selalu dipanggil. Mulai dari sapaan nada rendah, sedang hingga sampai ke nada tinggi. Bagi Arfan, teguran gurunya seolah menjadi hal wajib terjadi setiap hari tanpa Jeddah. Arfan melonjak kegirangan ketika Bu Airin menyampaikan informasi filed trip tersebut.
“Yeach … Hore… Bebas…”
"Arfan, duduk dulu, ibu belum selesai menjelaskan. Jangan ada informasi yang terlewatkan.” Tegur Bu Airin. Seperti kerupuk yang sedang disiram kuah, Arfan lemas dan kembali ke tempat duduknya. Bu Airin pun melanjutkan penjelasannya tentang kegiatan dan hal apa saja yang harus dipersiapkan, mulai dari kebutuhan makan-minum, alat tulis, hingga mukenah bagi anak perempuan.
Keesokan harinya, para siswa sudah berkumpul di lapangan, sekalipun belum pukul 07.20. Cahaya matahari menyembur ke bumi, seolah ikut bergembira dan mendukung kegiatan mereka. Pukul 07.30 wib, seluruh siswa kelas 4 SD Az-Zahra berbaris di halaman sekolah untuk mengikuti acara pelepasan kegiatan mereka. Mereka mendengarkan pengarahan Pak kepala sekolah. 
 Acara pembukaan dan pelepasan ditutup dengan doa, lalu mereka diarahkan untuk masuk ke bus atas komando Bu Airin, dibantu wali kelas dan guru olahraga. Sepanjang perjalanan mereka asyik mengobrol dan bercanda sambil menikmati lagu yang sudah disuguhkan oleh Pak supir.
 Arfan dan temannya yang lain hampir tak pernah duduk, mereka berjalan di antara kursi yang berjejer, Arfan mengajak temannya untuk benyanyi dan bergoyang yang penting asyik, begitu yang di ucapkan.
 Betapa bahagianya mereka. Tak ada yang menyuruh duduk rapi, jangan ribut dan jangan jalan-jalan. Mereka betul-betul merasa merdeka. Mereka luapkan perasaan senang dan bahagia.
 Di tengah perjalanan penuh suka itu, Nora angkat bicara,
"Bu Airin, Asyifa dimana?" Nora baru menyadari bahwa salah seorang temannya tidak ada dalam bus.
 Suasana yang mulanya heboh menjadi hening. Bu Airin tersentak kaget mendengar kabar Asyifah anak ketua komite tidak berada di dalam bus. Arfan dan teman pun kembali duduk tnpa komando. Mereka saling tanya,
"Jangan-jangan tertinggal di pom bensin tadi, tempat kita isi bensin, karena sebelum singgah di pom bensin , Asyifah ada kok." kata Wandi.
"Mohon maaf, perjalanan kita sedikit terganggu, kita harus kembali ke pom bensin tempat kita berhenti tadi. Ini pembelajaran ya Nak, kalau turun jangan sendiri-sendiri, harus ikut rombongan." Ucap Bu Airin mulai cemas.
  Ketika mereka samapai di pom bensin, mereka tak menemukan Asyifa. Mereka mendapat penjelasan,
“Tadi ada anak yang baju kausnya sama persis dengan yang anak-anak ini pakai, dia menagis, katanya ditinggal bus, kemudian ada yang datang mengajak masuk mobil lalu pergi. Kami kira itu keluarganya yang jemput.” Terang seorang bapak yang berjualan di sekitar pom bensin.
"Bagaimana ini Bu? kemana kita harus mencarinya? Asyifah tak bawa HP, orang tuanya belum membolehkan dia pegang HP walau dalam acara seperti ini.” Arfan mulai komentar.
"Tenang, sekarang mari kita kembali ke bus dulu, dan melanjutkan perjalanan, moga nanti ada informasi yang bisa kita dapatkan dari orang yang amanah dan bertanggung jawab." Ucap Bu Airin menenangkan.
Di dalam bus, mereka semua berdoa dengan khusuk dipimpin oleh ust.Mustafa. mereka pun mendapat tausiyah ringan setelah berdoa dari guru PAI itu. Perjalanan pun dilanjutkan, mereka tertidur setelah mendengarkan tausiyah dari ust Musthafa.
 Bu Airin, sebagai kepala rombongan, melaporkan kejadian tersebut kepada bapak kepala sekolah untuk membantu mencarikan solusi. 
"Ayo, anak-anak turun, kita sudah sampai. Bismillah, kita turun dan berbaris dengan tertib. Jangan lupa membawa peralatan tulis dan papan alas catatan dan yang lainnya silakan tingal saja di bus, insyaallah aman, security kita akan menjaganya.” Ucap ketua rombongan.
"Jadi ini yang disebut-sebut candi Muara Takus, peninggalan sejarah itu?" Arfa dengan lantang berucap. Dia agak heran setelah melihat langsung, terasa berbeda dengan gambar di buku.
Sementara yang lainnya berlari kearah candi untuk melihat lebih dekat, mereka tidak mengikuti untuk berkumpul dan berbaris dulu. Mereka yang berlarian mendekati candi tersebut, meeka langsung ditegur oleh petugas.
"Sabar ya, Adik-adik. Kita harus berkumpul dulu, akan ada pembekalan tentang sejarah candi ini." Ucap salah seorang petugas. Petugas pun mulai menjelaskan tentang sejarah candi Muara Takus.
“Konon kabarnya candi Muara Takus adalah situs agama Hindu-Budha yang erat kaitannya dengan kerajaan Sriwijaya. Candi ini merupakan candi tertua di Indonesia yang diperkirakan berdirinya antara abad ke 4 hingga abad ke 11 Masehi. Kurangnya bukti autentik yang menyebabkan kurangnya riwayat yang pasti tentang kapan berdirinya candi ini. Candi ini terletak di desa Muara Takus kabupaten Kampar Riau. Candi ini terdiri dari candi Sulung, candi bungsu, candi Mahligai dan candi Palangka.” Begitu tuturan bapak yang sudah mulai menua itu.
Siswa sibuk mencatat apa yang disampaikan oleh bapak tersebut, sebagian siswa ada yang bertanya. Kondisi candi Muara Takus ini seperti belum terurus dengan baik. Belum ada tangan kasih dari pemerintah setempat untuk menjadikan daerah ini menjadi daerah wisata sesungguhnya. Dalam bayangan pengunjung, yang namanya daerah wisata itu bagus, indah dan ramai. Namun tidak demikian adanya.
 Candi Muara Takus ini hanya bisa dilihat dan dikelilingi saja, tidak bisa dimasuki atau dinaiki, dengan alasan keamanan. Mestinya ada cagar budaya yang dilakukan untuk renovasi candi ini oleh pihak pemerintah daerah kabupaten ataupun propinsi.
 Para pengunjung, membayangkan bahwa candi Muara Takus itu sama seperti candi Borobudur yang terkenal itu. Apalagi diantara mereka sudah ada yang pergi untuk berlibur bersama orang tua mereka. Arfan, salah seorang murid bertanya kepada petugas,
"Izin bertanya, Pak. Mengapa candi Muara Takus ini seperti kurang menarik? Tidak adakah rencana pemerintah untuk menyulapnya menjadi daerah wisata yang sesungguhnya?"
 Sebelum petugas menjelaskan, Bu Airin pun mohon maaf atas pertanyaan Arfan, sekiranya pertanyaan terlalu lancang dan tidak pada tempatnya.
 Petugas yang memakai baju kemeja panjang, celana panjang dan sarung di lilit di leher itu, malah tersenyum,
 "Pertanyaan itu sangat wajar dan harus dipertanyakan secara luas agar dipahami juga oleh dunia luas, sebab kami disini bukanlah petugas dari pemerintah daerah, kami mendapat amanah dari kepala adat untuk membantu pengunjung untuk mendapatkan pencerahan tentang hal ihwal candi ini sejauh yang kami bisa."
“Oh… jadi bapak belum mendapatkan mandat khusus ya Pak," tanya Arfan yang kelihatan lebih pintar di luar kelas.
 Ketika bapak itu ingin memperkuat penjelasannya, tiba-tiba ada mobil Avanza hitam berhenti tak jauh dari mereka berkumpul. Turun dari mobil itu seseorang yang menggunakan pakaian dinas, lalu disusul oleh orang sangat mereka kenal.
 Mereka bersyukur dan ust. Musthafa bertakbir, atas segala kenikmatan anugrah yang Allah berikan, Allah hantarkan kehadapan mereka, orang yang mereka khawatirkan. Perhatian mereka tertuju melihat kehadiran temannya. 
"Siapa ketua rombongan ini?" Tanya lelaki itu penuh wibawa sambil berjalan ke arah rombongan dengan muka tak bersahabat.
 Bu Airin pun maju ke hadapan bapak itu untuk memperkenalkan diri dan langsung bersimpuh dihadapan bapak tersebut.
"Ini kelalaian saya, Pak. Saya siap dilaporkan, dihukum atau dituntut atas kesalahan ini, saya rela. Saya bersyukur, murid kami bersama malaikat penolong." Ungkap Bu Airin sambil menangis. Dia pun menceritakan historis kejadiannya hinga mereka kembali ke pom bensin.
Melihat situasi seperti itu, lelaki itu merendah,
"Baiklah, lain kali tak terulang lagi, membawa rombongan anak SD harus super hati-hati." Ucapnya ringkas dan menyerahkan anak itu kepada Bu Airin.
Asyifa memeluk erat Bu Airin, dan minta maaf, gara-gara dia, semua menjadi cemas. Kemudian bergabung dengan temannya.
Bu Airin melanjutkan untuk berbincang dengan lelaki itu.
“Maaf Pak, apakah Bapak mempunyai hubungan keluarga atau kenal dengan Asyifah?” tanyanya serius sambil duduk di bawah pohon sambil menikmati es kelapa muda.
 Petugas yang memberikan pengarahan itu mendekati Asyifah,
"Selamat datang, Nak. Ini desa Muara Takus, Allah telah menyelamatkanmu dan kita semua." Ucapnya dan melanjutkan menjawab pertanyaan Arfan.
 Mereka akhirnya menjadi mengerti bahwa Candi Muara Takus ini adalah situs budaya yang terpinggirkan. Mungkin karena data sejarah yang masih diperbincangkan ataukah belum adanya kesepakatan kewenangan dalam penanganan situs sejarah yang tertua di Sumatera ini.
 Walau Arfan dan temannya belum merasa tidak puas dengan kondisi di sana namun mereka mendapat banyak pembelajaran dari sejarah candi Muara Takus ini. 
Lelaki yang memakai pakaian dinas itu mengajak Bu Airin berkeliling, sambil bercerita. Tak perlu waktu lama buat lelaki yang ternyata paman Asyifa itu, untuk bisa dekat dan saling mengungkapkan kisah masing. Ternyata dia adalah paman Asyifah, tepatnya adik dari mama Asyifah.
“Apakah mama Asyifah sudah mengetahui kejadian ini?” Tanya Bu Airin.
“Tenang, Airin. Tak mungkin pula saya membuat resah kakak saya, biarlah nanti di Pekanbaru, kita yang jelaskan.” Paman Asyifa memanggil Bu Airin, dengan sebutan Airin. Mereka semakin akrab, layaknya sepasang kekasih. Es kelapa muda mampu mencairkan pembicaraan mereka sehinga mereka sepakat ke pelaminan
Buku Bacaan
1. Pendir Zapin di Negeri Istana, Listi Mora Rangkuti, 6 Januari 2020
2. Permainan masa kecil, Cerpenmu.com, Naiya Eka Nur Fijannah 14 Februari 2023
3. Janji Anak Jantan, Riau Mandiri.com, 5 Maret 2021
4.Senapan Daun Pisang, UwaisQorni, Cerpenmu, 21 Mei 2021
5. Lestarikan budaya dalam Balutan Busana, Devani Imario Putri, Guru Penyemangat, 4 April 2022


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sejarah, Akar Masalah, dan Cara Islam Tuntaskan HIV/AIDS

*Sejarah, Akar Masalah, dan Cara Islam Tuntaskan HIV/AIDS* Oleh: Yenni Sarinah, S.Pd (Aktivis Pendidikan Kelahiran Selatpanjang, Riau) ...