Febrio Rozalmi Putra
PETI
Bunyi rakit mesin atau dompeng untuk penghisap pasir mencari emas saling menderu. Bukit itu perlahan dikikis dengan semprotan air yang kencang. Air yang bercampur tanah itu berkumpul pada sebuah kolam yang sudah disiapkan. Dari kolam itu sebuah pipa besar berwarna biru sudah siap untuk menghisapnya. Air itu melewati spiral 6 inch. Kemudian air itu dialirkan lagi pada papan yang miring dengan panjang tiga meter. Pada dasar papan itu sudah dipasang sejenis kain untuk menyaring emas. Sedangkan batu dan tanah akan terbawa arus dan jatuh.
Bekerja sebagai penambang emas sangatlah berisiko. Tapi bagi Ujang tidak ada pilihan. Dari pada hidup bercermin bangkai, lebih baik mati berkalang tanah. Setahun lalu ia di PHK oleh perusahaannya tempat ia bekerja. Ia memutuskan untuk ikut bersama Pak Saka. Seorang cukong tambang emas di kampungnya. Ujang terpaksa. Tapi untuk memenuhi kebutuhan hidup dan enam orang anaknya yang masih bersekolah, ia lakukan.
Ujang berangkat bersama penambang lainnya, menyusuri hutan dan sungai. Lokasi tambang yang jauh di tengah hutan menjadi baik dan buruk baginya. Baik karena ativitasnya sulit terdeteksi aparat penegak hukum. Tapi buruknya, ia harus meninggalkan anak dan istrinya tiga pekan bahkan bisa satu bulan. Suara binatang liar sudah menjadi sahabat baginya. Sebuah golok melekat di pinggangnya untuk jaga-jaga, jika ada babi atau hewan buas yang menyerang.
Hasil yang diperoleh Ujang cukup untuk biaya hidupnya. Terkadang Ujang dapat bagian dari cukong tiga juta dan pernah tujuh juta. Semua tergantung dari butiran emas yang mereka dapatkan. Memang menjanjikan. Kerja satu trip dan ia bisa istirahat satu trip.
Ujang tahu. Tahu bahwa ada pekerja yang cidera atau tinggal nama. Cidera karena dihadang hewan buas. Menggaruk hutan itu, terkadang ada sarang babi. Syukur-syukur tidak ada babi di sarang itu. Tapi malangnya ketika ada babi yang punya anak. Ganasnya bisa tiga kali lipat. Serudukan babi membuat luka robek. Bukan hanya itu. Tak jarang pekerja mengalami kecelakaan di lokasi tambang. Pekerja yang tergelincir ke kolam galian tambang yang dalam atau tertimpa reruntuhan tanah yang mereka garuk itu. Kejadian demi kejadian membuat Ujang makin kuat hati.
PETI (Penambang Emas Tanpa Izin) itu sebutan pemerintah untuk pekerja seperti Ujang. Pemerintah melalui aparat menengak hukum serius membasmi kegiatan Peti. Tapi bagi Ujang itu hanya pencitraan belakang. Karena Ujang tahu. Tahu jika cukongnya selalu menyetorkan pada aparat setempat. Mulai dari Kepala Desa, Kecamatan, bahkan sampai penegak hukum. Ini sudah menjadi rahasia umum. Kegiatan Peti ini sudah hampir sepuluh tahun berjalan. Masih aman. Ketika akan ada razia dari penegak hukum, Ujang dan pekerja lain sudah duluan dapat bocoran informasi. Ujang dan pekerja lain akan sembunyi ke dalam hutan. Setelah razia selesai, Ujang dan pekerja lainnyapun kembali menggaruk hutan untuk mengumpulkan butiran emas.
“Bang, sudah lihat apa yang dibawa sungai malam ini?” tanya istri Ujang
“Kayu?” jawab Ujang
“Itu ulah Abang!”
Ujang tahu dan paham apa yang dimaksud oleh istrinya. Ujang tidak ada pilihan.
“Kayu itu membawa berkah bagi kita. Karena tidak perlu lagi ke hutan untuk mencarinya. Berkah bukan?”
“Iya berkah, tapi akan jadi musibah!”
Ujang sangat paham akibat kerjanya itu, iya telah merusak hutan. Habitat hewan akan hilang, keseimbangan ekosistem akan terganggu, pencemaran tanah dari bahan bakar mesin dompeng, dan longsor serta banjir dengan membawa pohon-pohon besar akan melanda kampungnya. Ujang terpaksa. Enam anaknya butuh biaya sekolah, istrinya juga butuh uang untuk belanja.
Musibah itu pernah melanda kampung Ujang. Banjir yang membawa kayu-kayu besar merusak jembatan dan rumah warga yang berada di pinggir sungai. Luapan air sungai itu juga merusak jalan. Hewan buas yang memasuki pemukiman juga pernah. Babi, siamang, beruang, dan harimau terpaksa singgah di pemukiman warga untuk mencari bahan makanannya. Ketika musibah itu datang, pelaku Peti berhenti sejenak. Mereka seakan menyalahkan alam yang tak bersahabat.
Selesai istirahat dua pekan. Ujang kembali berangkat. Tas yang berisikan pakaian dan sepatu boots warna hijau sudah siap menemaninya. Matahari memang belum menampakan cahayanya dan jamaah shalat subuh belum keluar dari Masjid. Ujang harus berangkat. Karena ia akan bekumpul dulu di rumah Pak Saka si cukong itu. Ujang dan pekerja lain akan diberi arahan dan target yang harus mereka capai. Pembagian tugas. Tugas membawa persediaan makanan, membawa bahan bakar mesin, dan membawa perlengkapan lainya. Semua sudah terkoordinir dengan baik.
Canda tawa sesama pekerja Peti di atas perahu pompong kayu menjadi hiburan. Dedaunan yang rimbun kiri dan kanan melambai-lambai sepanjang perjanalan. Riuh suara siamang seakan melodi hidup dalam perjalanan. Ujang dan pekerja lain berharap bongkahan emas akan dibawa pulang.
Perahu pompon kayu itu mendekat ketepian. Di tengah hutan belantara, puluhan orang sedang mengadu nasib demi menyambung kehidupan. Sunyi hutan pecah. Belasan mesin dompeng sedang asyik mengisap dan menyaring. Ujang menuju tenda peristirahatan. Nasi yang dibungkus dengan daun pisang, lauk dan sayur yang diam dalam plastik. Mereka santap.
Matahari mulai turun. Cahayanya tak panas lagi. Puluhan simpanse mulai keluar dari persembunyiannya. Suara mesin dompeng terasa berbeda dari biasa. Ujang curiga. Apakah bahan bakar mesin habis atau mesin itu rusak? Dari kejauhan terlihat puluhan speed boats mendekat. Letusan tembakan peringatan terdegar jelas. Tim gabungan dari Polisi, TNI, Satpol PP, dan DLHK datang. Ujang dan pekerja lain kocar kacir menyelamatkan diri. Ada yang lari ke dalam hutan belantara dan ada yang berenang ke seberang sungai. Speed boats itu berlabuh. Tim gabungan terus memburu pelaku Peti ke dalam hutan itu. Mereka memusnakan rakit mesin itu dengan cara dibakar dan sebagaian dibawa untuk barang bukti. Pondok peristirahatan pekerja juga ikut dibakar.
Sepandai-pandai tupai melompat, pasti jatuh juga. Razia tim gabungan betul-betul diluar dugaan Ujang. Cukong yang menjadi haparannya itu kini sudah ditangkap. Informasi tak sampai. Entah apa yang terjadi sehingga cukong itu dapat ditangkap, apakah setorannya yang macet atau memang keseriusan pemerintah untuk melenyapkan Peti.
Malam berlalu. Istri Ujang mengantarkan anaknya ke sekolah dasar yang tak jauh dari rumahnya. Ia bertemu dengan salah satu pekerja yang sama-sama berangkat dengan suaminya. Pekerja itu berjalan terseok-seok. Wajahnya pucat. Hanya dengan tangan kosong. Istri Ujang bingung. Pekerja itu menceritakan kejadian sore kemaren.
“Ujang suami saya dimana Pak?” tanya istri Ujang.
“Saya tidak satu rombongan dengan Ujang, saat petugas datang, ada pekerja yang lari ke dalam hutan dan ada yang ke sungai. Saya menyeberangi sungai, tapi saya tidak melihat ada Ujang” jawabnya.
Isak tangis istri Ujang tak tertahan lagi. Kabar keberadaan Ujang hingga pagi ini belum jelas. Pulau sudah lenyap, daratan sudah tenggelam.
Referensi:
Bambang Kariyawan YS : Senja yang (Belum) Hilang
Dian Rennuati : Bong
Hadi S. Abdullah : Siput Dibawa Hujan
Lita Lestianti : Tot Ziens, Rembang!
Uda Agus : Hutan Larangan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar