Febrio Rozalmi Putra
JEMBATAN
Ribuan pohon sawit berbaris rapi dari kejauhan. Daun-daunya bergoyang mengikuti alunan melodi angin. Puluhan truk kosong bergandengan masuk dan keluar dengan berisikan buah sawit ratusan ton. Di tengah kebun sawit itu terdapat sebuah desa. Desa Randu (rangkaian rindu). Iya dinamakan itu karena keberhasilan warga merebut kembali kebun sawit leluhurnya dari para cukong perusahaan.
Bermain bola, itu kebiasaan anak-anak desa Randu di sore hari. Mereka bermain hanya di tanah kosong. Haji Rojali berteriak dari lantai dua rumahnya.
“Hoi…, kalian tak bosan main bola tiap sore? Memekak telinga saja! Pergi! Pergi! Pergi!”
Haja Rosma menenangkan suaminya yang sedang marah itu. Haja Rosma memberikan handuk pada Haji Rojali dan mengingatkannya agar segera mandi, karena azan Magrib akan segera berkumandang. Mulutnya masih meluapkan kejengkelanya pada anak-anak itu yang sudah mengganggung tidurnya.
Jarak rumah ke Masjid sekitar 500 meter. Haji Rojali tak hiraukan sedekat apapun jarak itu. Haji Rojali berangkat shalat Magrib dengan mobil pajero yang baru ia beli bulan lalu. Bulan lalu ia banyak dapat keuntungan dari hasil kebun sawitnya. Ia parkir di halaman Masjid dekat dengan pintu masuk utama.
“Masjid kita ini makin hari makin panas ya Pak?” tanya Haji Rojali pada jamaah yang sedang duduk berkelompok.
“Iya Pak Haji, perlu AC sepertinya Pak” sahut salah satu jamaah itu.
“Bagaimana mau beli AC, kalau uang kas Masjid dimakan pengurus” kata Haji Rojali.
Jamaah itupun diam. Haji Rojali pulang.
Haji Rojali mendengar kabar dari istrinya, jembatan utama penghubung desanya dengan desa tetangga ambruk. Jembatan itu adalah nadi bagi masyarakat kampungnya. Masyarakat melewati jembatan itu untuk menjual hasil kebun atau pergi ke kota untuk membeli barang keperluan sehari-hari. Begitu juga dengan Haji Rojali. Jembatan itu adalah jalan darat satu-satunya puluhan truk yang akan membawa ratusan ton sawitnya. Tak terbayang jika jembatan itu rusak atau tak bisa dilalui lagi. Haji Rojali bisa rugi.
Puluhan orang berkerumun dipinggir jembatan yang ambruk itu. Polisi dibantu warga terlihat mengangkat kantong mayat ke ambulan. Sebuah motor dengan keranjang yang berisi sawit ikut nyungsep dengan ambruknya jembatan itu. Mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Pak Dirman jadi korban. Warga yang lain khawatir dan cemas. Khawatir akan kelanjutan kehidupan karena akses satu-satunya sudah ambruk. Cemas bila nanti mereka yang akan bernasib sama seperti Pak Dirman. Kepala Desa menenangkan warga. Ia berjanji akan segera berkoordinasi dengan pihak kabupaten untuk meminta bantuan.
“Saya sudah duga jembatan ini tidak kuat, yang kuatkan rumahnya Pak Kepala Desa” sindir Haji Rojali.
“Maksud Pak Haji apa?” tanya Kepala Desa kesal.
“Ya pikir saja!” kata Haji Rojali.
Suasana semakin tak terkendali. Haji Rojali menuding Kepala Desa korupsi uang pembangunan jembatan. Ia meluapkan emosinya pada Kepala Desa. Emosi karena ratusan ton sawitnya akan kembali diangkut memalui jalur air yang memakan banyak biaya. Ia tak mau itu terjadi.
Tudingan berbalik ke Haji Rojali. Kepala Desa menyalahkan puluhan truk Haji Rojali yang hilir mudik di atas jembatan sebagai penyebab ambruk. Haji Rojali harus bertanggung jawab. Haji Rojali semakin marah. Ia mengungkit jasanya pada desa itu. Haji Rojali mempekerjakan puluhan kepala keluarga pada kebun sawitnya, ia juga membebaskan anak-anak dan para ibu untuk memungut brondolan di kebun sawitnya.
“Kau tak becus jadi Kepala Desa!!! Sana ambil brondolan di kebun saya saja” kata Haji Rojali dengan suara keras.
“Pak Haji sadar dirilah! Ini semua ulah truk Pak Haji” Kepala Desa semakin marah.
Haji Rojali mendorong Kepala Desa. Kepala Desa membalas. Baku hantam Haji Rojali dan Kepala Desa hampir terjadi. Polisi dan warga melerai.
Warga bingung harus memihak pada siapa. Entah memang kontruksi jembatan yang rapuh karena dikorupsi Kepala Desa atau memang karena sering diinjak ban truk ratusan ton sawit? Polisi menengahi. Tidak ada gunanya ribut dan menyalahkan orang lain, sebaiknya kita urus jenazah Pak Dirman dan segera kita buat jembatan darurat. Haji Rojali belum terima. Ia masuk ke mobilnya sambil menggerutu. Kepala Desa dan warga segera mengurus janazah Pak Dirman. Polisi mengevakuasi motor yang nyungsep itu.
Sepekan sudah berlalu. Bantuan untuk memperbaiki jembatan belum juga cair dari kabupaten. Karena memang panjang regulasi yang harus dilalui. Warga dan Kepala Desa gotong royong membuat jembatan darurat dari bambu. Walau jembatan bambu, warga sedikit tenang, karena sudah bisa pergi ke kota untuk membeli barang harian. Haji Rojali tak puas dengan itu. Mana mungkin jembatan bambu itu dapat dilalui truk yang berisi ratusan ton sawit miliknya. Ia sudah tak bisa menunggu lagi.
Malam itu Haji Rojali makin muak dengah jembatan bambu. Sawitnya siap panen lagi. Ia tak mau dapat untung sedikit karena harus mengangkut sawit itu melalui jalur air. Apalagi iya harus sampai rugi, jika sawit itu tidak berhasil dijual. Haja Rosma di atas sajadah sedang berkomunikasi dengan Sang Pencipta, dalam untaian doa-doa setelah shalat tahajjudnya. Haji Rojali berkecimpung dengan ide-ide untuk solusi sawit-sawitnya. Ditemani segelas kopi, Haji Rojali terus memutar otaknya. Ia memukul meja dengan kencang. Haja Rosma terkejut. Kini Haji Rojali sudah memiliki pilihan untuk mengatasi permasalahan itu. Namun ia enggan untuk menyampaikan pada istrinya.
Haji Rojali mendatangkan kontraktor dari kota dan mengajak pekerja kebunya untuk membangun jembatan dari uang pribadinya. Melihat adanya pekerjaan jembatan baru, warga senang bukan kepalang. Dengan suka rela warga juga ikut membantu pembangunan jembatan itu. Kurang dari dua bulan jembatan sudah selesai pengerjaannya. Warga kini simpati pada Haji Rojali. Ia dianggap bak pahlawan yang telah membantu warga. Kini warga bisa legah. Karena jembatan yang baru sudah ada. Warga sudah bisa kembali beraktifitas seperti sediakala.
Haji Rojali mengadakan selamatan atas selesainya pembangunan jembatan itu. Ia mengundang semua warga untuk makan siang di rumahnya. Terkecuali dengan Kepala Desa. Kepala Desa sengaja tak diundang oleh Haji Rojali. Ia masih marah kepada Kepala Desa itu. Walau tanpa kehadiran Kepala Desa, warga tak ambil pusing. Jembatan baru dan makan siang gratis itu sebagai penghilang kecemasan warga selama ini.
Haja Rosma gembira dan bersyukur. Gembira akan warga yang telah bersimpati pada suaminya dan bersyukur karena suaminya telah menjadi humanis dan peduli dengan sesama. Ia berprasangka bahwa ini adalah jawaban dari doa-doa yang ia panjatkan disepertiga malam. Bahkan Haji Rojali menyumbangkan enam AC untuk Masjid di desanya. Warga makin memuji-muji Haji Rojali.
Kegembiraan warga itu kini becampur kebingungan. Hampir disetiap sudut desa ada foto Haji Rojali. Foto yang tersenyum. Dicetak dalam sebuah spanduk ukuran dua kali satu meter. Lengkap dengan nama dan gelar. Haji Rojali siap menjadi calon kepala desa baru.
Referensi
Ahmad Tohari : Penipu yang Keempat
B.M. Syamsuddin : Cengkeh Pun Berbunga di Natuna
Jujur Prananto : Nurjanah
Putu Wijaya : Sket
Umar Kayam : Ke Solo, Ke Njati…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar