Senin, 31 Januari 2022
IKN TAK RUSAK EKOLOGI TAPI BISA MENUTUPINYA
Minggu, 30 Januari 2022
[Fikrul Islam] : Kesalahan Pemahaman Tawakkal
[Fikrul Islam] Kesalahan Pemahaman Tawakkal
Kaum muslim saat ini, terutama setelah budaya materialistis dan hedonistik menguasai diri, mereka menjadi pragmatis. Pemikirannya menjadi dangkal dan pemahamannya menjadi lemah.
Penulis: Ustaz Hafidz Abdurrahman
Muslimah News, FIKRUL ISLAM – Tawakal berasal dari lafaz “tawakkala, yatawakkalu, tawakkulan”, yang berarti menjadikan pihak lain sebagai wakil atau zat yang mewakili diri seseorang dalam urusan tertentu. Tawakal adalah lafaz yang diambil dari lafaz “wakâlah”.
Ada juga orang yang menggunakan “wukkila amruhû ilâ fulân” (urusannya diserahkan kepada si polan). Orang yang diserahi urusan tersebut bisa disebut wakil, sedangkan orang yang menyerahkan urusan disebut muttakil ‘alayh dan mutawakkil ‘alayh, yaitu ketika orang tersebut merasa puas pada pihak yang mewakilinya, memercayainya, dan tidak mempunyai persepsi bahwa pihak yang mewakilinya itu mempunyai kekurangan. Artinya, orang tersebut mempunyai keyakinan bahwa pihak yang mewakili tersebut tidak mempunyai kelemahan atau kekurangan. Itulah pengertian tawakal secara etimologis.
Tawakal ini merupakan ungkapan kalbu kepada Al-Wakîl (Zat Yang Mahakuasa untuk mewakili segala urusan). Atau dengan kata lain, tawakal merupakan kepasrahan hati secara bulat pada Allah terhadap kemaslahatan yang ingin diraih, serta mudarat yang ingin dihindari, baik dalam masalah dunia maupun akhirat.
Al-Alûsi mendefinisikan tawakal sebagai sikap menampakkan kelemahan dan ketergantungan pada yang lain, serta merasa cukup hanya kepadanya dalam melakukan aktivitas yang diperlukannya.
Al-Ghazâli menjelaskan, “Keadaan orang yang bertawakal pada Allah adalah seperti keadaan bayi dengan ibunya. Bayi tidak pernah mengetahui yang lain, serta tidak pernah menyerahkan urusannya kecuali pada ibunya. Ibulah orang yang pertama kali dia bayangkan ketika dia membayangkan yang lain. Ini menuntut untuk meninggalkan doa dan meminta kepada yang lain selain Allah karena keyakinannya pada kemuliaan dan kasih sayang-Nya.” Inilah definisi, pengaruh, dan buah tawakal.
Dengan demikian, tawakal ini merupakan buah keimanan; suatu keyakinan kalbu bahwa Allahlah satu-satunya Zat Yang Maha Segala-galanya. Lemahnya tawakal pada Allah Swt. juga terpengaruhi oleh lemahnya keimanan kepada-Nya sebagai satu-satunya Zat Yang Maha [Segalanya].
Al-Ghazâli dalam Ihyâ’ Ulûmuddîn-nya mengaitkan antara tauhid dan tawakal dalam satu pembahasan karena tawakal ini merupakan masalah hati, pikiran, dan keyakinan. Sementara, keteguhan hati dan kekuatan iman seseorang ditentukan kejelasan “makna pemikiran” mengenai Zat yang ia yakini, baik yang mengenai Zat maupun Sifat-Nya.
Dengan demikian, usaha untuk membangun sikap tawakal yang benar dan kuat adalah dengan memperjelas “makna pemikiran” tersebut. Makna pemikiran itulah yang bisa disebut mafhum tawakal.
Inilah konsepsi tawakal yang telah dipahami dengan benar oleh kaum muslim generasi pertama. Mereka memahami konsep tawakal tersebut dengan pemahaman yang benar sehingga mampu melakukan tuntunan tawakal tersebut dengan benar pula. Mereka akhirnya mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan besar dan memecahkan berbagai masalah yang sangat sulit.
Berbeda dengan kaum muslim saat ini, terutama setelah budaya materialistis dan hedonistik menguasai diri mereka sehingga mereka menjadi pragmatis. Pemikirannya menjadi dangkal. Pemahamannya menjadi lemah.
Mereka jauh dari pemahaman yang benar mengenai tawakal sehingga keyakinan tawakal mereka ibarat ungkapan kosong yang tidak mempunyai nilai dalam diri mereka. Pemikiran mengenai tawakal tersebut lebih tidak bermakna lagi ketika salah menafsirkan hadis “mengikat unta” sehingga mafhum tawakal tersebut makin lemah.
Hadis ini justru tidak dipahami supaya asumsi tawakal bahwa dengan tawakal seseorang tidak perlu lagi melakukan hukum kausalitas dengan menjadikan hukum sebab akibat sebagai bagian dari tawakal, dan tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya.
Sebaliknya, hadis tersebut justru menjadi justifikasi bahwa setelah tawakal, seseorang tidak perlu lagi berikhtiar. Akibatnya, cita-cita kaum muslim menjadi lemah, kemauannya juga tidak kukuh, pandangan hidupnya juga menjadi sempit.
Akhirnya, tebersit dalam benak mereka bahwa kemampuan mereka terbatas, serta tidak bisa melakukan sesuatu kecuali yang tampak di depannya. Akibat pemikiran seperti inilah, kaum muslim saat ini tidak bisa maju dan meraih cita-cita besar yang Islam perintahkan.
Memang, mafhum tawakal pada Allah Swt. yang sahih tidak bisa dicapai oleh seseorang jika melihat kekuatannya terbatas pada kekuatan manusia semata. Namun, jika mereka meyakini bahwa di balik kekuatan manusia, alam, dan kehidupan yang tampak tersebut ada Zat Yang Mahakuasa—yang menguasai seluruhnya dan yang mampu membantu mereka merealisasikan cita-cita mereka—pemahaman ini akan mampu membangkitkan keyakinannya dalam merealisasikan seluruh cita-citanya.
Dengan pemahaman seperti ini, seseorang akhirnya merasa tidak terbatas ketika ia berkeyakinan bahwa ada kekuatan di luar dirinya yang bisa membantunya untuk mencapai yang ingin diraihnya.
Bahkan, orang yang tidak beriman pada Allah Swt. dan tidak mempunyai konsep tawakal kepada-Nya saja bisa memercayai bahwa ada kekuatan di luar dirinya yang mereka sebut dengan “kekuatan alam” yang bisa membantu mereka sehingga mereka mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan besar yang menantang. Mereka sering menyebutnya sebagai miracle (mukjizat).
Lalu, mengapa umat Islam yang mempunyai keyakinan pada Allah dengan dalil kuat, baik mengenai wujud maupun Zat-Nya dengan keyakinan yang bulat dan bisa dibuktikan berdasarkan realitas yang ada, tidak seperti mereka? Padahal, orang kafir yang tidak percaya pada Tuhan dan tidak mempunyai konsepsi tawakal bisa melakukan seperti itu.
Masalahnya adalah karena mafhum tawakal umat ini memang sangat lemah. Oleh karena itu, pemikiran mengenai tawakal ini merupakan pemikiran yang sangat mendesak untuk dibersihkan. [MNews/Rgl]
Sumber: Hafidz Abdurrahman, Islam Politik dan Spiritual
[Nafsiyah] : Keutamaan Adab
[Nafsiyah] Keutamaan Adab
[Fikrul Islam] : Sistem Sanksi dalam Islam
[Fikrul Islam] : Sistem Sanksi dalam Islam
Seandainya seseorang melanggar hukum-hukum Islam, ia terkategori berbuat cela (al-qabih) sehingga berarti ia telah berbuat kejahatan (al-jarimah). Itulah sebabnya, butuh adanya sanksi bagi tindakan kejahatan ini sehingga seseorang dapat menjalankan setiap perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya.
Penulis: Muhammad Husain Abdullah
Muslimah News, FIKRUL ISLAM — Kejahatan/kriminal (al-jarimah) tidaklah lahir secara fitri dalam diri manusia. Bukan pula sebuah penyakit yang menimpanya. Namun, kejahatan merupakan sebuah pelanggaran terhadap aturan syarak yang mengatur interaksi manusia dengan Rabb-nya, interaksi manusia dengan dirinya sendiri, dan dengan orang lain.
Islam telah memberikan aturan bagi segala aktivitas manusia berdasarkan hukum syar’i. Seandainya ia melanggar hukum-hukum tersebut, maka ia terkategori telah berbuat cela (al-qabih), sehingga dapat dikatakan juga bahwa ia telah berbuat kejahatan (al-jarimah). Itulah sebabnya, dibutuhkan adanya suatu sanksi bagi tindakan kejahatan ini sehingga seseorang dapat menjalankan setiap yang diperintahkan Allah dan menjauhi segala hal yang dilarang-Nya.
Syariat Islam telah menjelaskan bahwa bagi setiap tindak kejahatan akan dikenai sanksi di akhirat kelak dan sanksi di dunia. Allah berfirman,
وَلِلَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِرَبِّهِمْ عَذَابُ جَهَنَّمَۗ وَبِئْسَ الْمَصِيْرُ
“Dan untuk orang-orang yang kafir kepada Tuhannya (mendapat) azab jahanam dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS Al Mulk[67]: 6).
فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّيْنَۙ – ٤ الَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُوْنَۙ – ٥
“Maka celakalah bagi orang yang salat. (Yaitu) orang lalai dari salatnya.” (QS Al Ma’un[107]: 4-5).
Namun demikian, keputusan terhadap orang-orang yang berdosa, urusannya dikembalikan kepada Allah. Jika Dia menghendaki, Dia akan menjatuhkan azab kepada mereka, dan jika tidak, Dia akan mengampuninya. Allah berfirman,
اِنَّ اللهَ لَا يَغْفِرُ اَنْ يُّشْرَكَ بِهٖ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذٰلِكَ لِمَنْ يَّشَاۤءُۚ وَمَنْ يُّشْرِكْ بِاللهِ فَقَدِ افْتَرٰٓى اِثْمًا عَظِيْمًا
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) yang menyekutukan-Nya dengan sesuatu (syirik) dan mengampuni dosa selain dari itu terhadap siapa yang dikehendakinya.” (QS An-Nisaa[4]: 48).
Mengenai sanksi (‘uqubat) di dunia, maka pelaksanaannya dilangsungkan oleh al-imam (khalifah) ataupun orang yang ditunjuk mewakilinya. Dengan kata lain, negaralah yang melaksanakannya. Sanksi yang dijatuhkan di dunia bagi si pendosa ini akan mengakibatkan gugurnya siksa di akhirat.
Itulah alasan mengapa sanksi-sanksi dalam Islam berfungsi sebagai pencegah (zawajir) dan penebus (jawabir). Disebut sebagai ‘pencegah’ karena sebuah sanksi akan mencegah orang-orang untuk melakukan suatu tindakan dosa dan kriminal. Dikatakan sebagai ‘penebus’ karena sanksi yang dijatuhkan akan menggugurkan sanksi di akhirat.
Maka dari itu, seseorang yang telah mendapat sanksi yang syar’i di dunia, maka gugurlah sanksi baginya di akhirat. Argumen (dalil) mengenai masalah ini adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari yang diterima dari ‘Ubadah bin Ash Shamit yang mengatakan, “Suatu ketika kami bersama Rasululah dalam sebuah majelis. Rasul kemudian bersabda, ‘Baiatlah aku dalam rangka agar kalian tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apa pun, tidak mencuri, berzina…” Beliau kemudian membaca, ‘Barang siapa di antara kalian yang menepatinya, maka pahalanya ada di sisi Allah. Dan barang siapa yang melanggarnya maka ia akan diberi sanksi (‘iqab) sebagai penebus (kafarat) baginya. Dan barang siapa yang melanggarnya, tetapi (kesalahan itu, penerj.) ditutupi oleh Allah, jika Allah menghendaki maka Ia akan mengampuni. Dan jika Ia menghendaki maka ia akan mengazabnya.”
Sanksi-sanksi yang dijatuhkan oleh negara kepada pelaku dosa dan kejahatan merupakan metode praktis (thariqah ‘amaliyyah) untuk melaksanakan perintah dan larangan Allah. Perbuatan-perbuatan yang akan dijatuhkan hukuman oleh syarak itu sendiri ada tiga, yakni (1) meninggalkan kewajiban, seperti meninggalkan salat dan jihad; (2) melakukan yang haram, seperti minum khamar dan mencaci Rasul saw.; dan (3) melanggar aturan-aturan administrasi negara, seperti lalu lintas dan masalah izin mendirikan bangunan. [MNews/Rgl]
Sumber: Muhammad Husain Abdullah, Studi Dasar-Dasar Pemikiran Islam
Jangan Khawatir dengan Rezeki Hari Esok
[Nafsiyah]
Jangan Khawatir dengan Rezeki Hari Esok
ISLAM YA ISLAM, TANPA EMBEL-EMBEL
PESAN PENTING MAULID NABI MUHAMMAD SAW.
MENUNAIKAN HAK-HAK NABI SAW.
MURTAD DAN KONSEKUENSINYA
LAYANAN KESEHATAN: HAK RAKYAT, BUKAN DAGANGAN PEJABAT
Tiga Level Tujuan Pendidikan Anak
Tiga Level Tujuan Pendidikan Anak
Hal ini bisa bukan saja pada mereka yang terdidik di bangku sekolah/ma’had atau kampus, tetapi pada mereka yang putus sekolah, buruh, karyawan, hingga pengusaha.
Bagi orang tua yang berharap anak-anak mereka memiliki jiwa pengemban dakwah dan politisi muslim, jangan terlena dengan kondisi pendidikan anak. Sebagaimana ditulis Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah, sekolah beda dengan sebuah partai politik. Selayaknya orang tua memperhatikan hal ini bila memiliki cita-cita yang luhur seperti demikian. [MNews/Gz]
Sumber: iwanjanuar.com
Kajian Hadis: Al-Hukm ‘Ura al-Islâm
Kajian Hadis: Al-Hukm ‘Ura al-Islâm
Penulis: Ustaz Irfan Abu Naveed
Muslimah News, SYARAH HADIS – Dari Abu Umamah al-Bahili r.a., ia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda,
«لَتُنْقَضَنَّ عُرَى الْإِسْلَامِ عُرْوَةً عُرْوَةً، فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيهَا، فَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا الْحُكْمُ، وَآخِرُهُنَّ الصَّلَاةُ»
“Ikatan-ikatan Islam akan terburai satu per satu, setiap kali satu ikatan terburai orang-orang bergantungan pada ikatan selanjutnya. Yang pertama kali terburai adalah al-hukm (kekuasaan/pemerintahan) dan yang terakhir adalah salat.” (HR Ahmad, Ibn Hibban, al-Hakim)[1]
Faidah Bag. I: Hadis Khabar yang Mu’akkad (Ditegaskan) Kebenaran Informasi di dalamnya
Hadis ini hadis khabar (informasi) yang diungkapkan dengan kalimat sumpah (qasam):
والله
“Demi Allah”
Atau kinâyah dari waLlâhi (sebagaimana disebutkan dalam referensi ilmu balaghah) yakni:
والذي نفسي بيده
“Demi Zat yang diriku berada dalam genggaman-Nya”
Namun, ungkapan qasam tersebut dihilangkan (al-îjâz bi al-hadzf) untuk menekankan pada gagasan inti informasi di dalamnya yang ditandai dengan huruf lam penanda jawab sumpah (lâm jawâb al-qasam) pada frasa: لتنقضن (latunqadhanna). Lafal “latunqadhanna“, diungkapkan dalam bentuk kata kerja pasif (fi’il mabni li al-majhûl), yang ditegaskan para ulama nahwu sebagai fi’il:
لِمَا لَمْ يُسَمَّ فاعلُه
“(Kata kerja) yang tidak disebutkan subjeknya”[2]
Yakni terjadi, namun seakan-akan tak disadari dan dikehendaki kaum muslim itu sendiri, diikuti dengan huruf nûn bertasydîd (latunqadhanna), yakni nûn al-taukîd al-tsaqîlah. Dalam ilmu balaghah kedua bentuk huruf tersebut berfaidah taukîd (penegasan) yang menegaskan kebenaran informasi hadis ini, bahwa al-hukm termasuk ural Islam yang akan pertama kali terurai, demikian seterusnya, di mana yang terakhir adalah salat, sekaligus menegaskan bahwa perkara al-hukmu adalah bagian dari ural Islam.
Faidah Bag. II: Urâ al-Islâm Bermakna Ajaran Islam
Menariknya, hadis ini diikuti dengan informasi bahwa al-hukmu adalah ural Islam, sama seperti salat. Apa yang dimaksud ‘urâ al-Islâm? Lafaz ‘urâ عرى adalah jamak dari lafal ‘urwat عروة dijelaskan Syaikhuna ‘Atha bin Khalil Abu al-Rasytah dalam kitab tafsirnya, Al-Taysîr fî Ushûl al-Tafsîr ketika menafsirkan makna al-‘urwat al-wutsqâ dalam QS. Al-Baqarah [2]: 256, yakni,
ما يعتصم به ويتعلق عليه
“Apa-apa yang seseorang pegang kuat dan bergantungan padanya.”
Dalam ilmu balaghah, lafaz ini dipinjam oleh baginda Rasulullah ﷺ sebagai kiasan (majâz al-isti’ârah) dari Dîn, ajaran-ajaran Islam, seakan-akan ditegaskan bahwa ia adalah sesuatu yang sudah seharusnya dipegang kuat, tidak boleh dilepaskan dari genggaman. Sekalinya dilepaskan maka bisa hilang.
Penisbahan lafaz ‘urâ ditautkan pada lafaz al-Islâm (‘urâ al-Islâm) dalam bentuk penautan (al-idhâfah: mudhâf mudhâf ilayhi), menunjukkan makna (taqdîr) sebenarnya:
عرى في الإسلام
“Ikatan-ikatan dalam Islam.”
Yakni ajaran Islam itu sendiri, maka stigma apa yang disebut ‘urâ sebagai ajaran Islam ini melekat padanya. Hanya orang yang benar-benar awam pada bahasa arab, yang berani menegasikan dan mengingkarinya, mengingat kejelasan pembahasan ini.
Apa yang termasuk urâ al-Islâm? Salah satunya al-hukm yakni urusan pemerintahan. Ini menunjukkan bahwa urusan al-hukm termasuk ajaran Islam, yakni diatur oleh Islam itu sendiri sehingga bisa tergolong pada ‘urâ al-Islâm.
Kalimat “fawwaluhunna naqdh[an] al-hukm“, kata ganti (dhamîr) hunna dalam kalimat ini kembali kepada lafaz ‘urâ al-Islâm. Menunjukkan secara jelas (manthûq sharîh), bahwa al-hukm adalah salah satu bagian dari ‘urâ al-Islâm. Setelah kejelasan ini, mana mungkin kita mengklaim urusan al-hukm (pemerintahan) tidak diatur oleh Islam? Padahal yang mulia baginda Rasulullah ﷺ sendiri, teladan kita, menegaskan ia termasuk ajaran Islam!
Faidah Bag. III: Bukti Lafaz ‘Urâ al-Islâm dalam Hadis Bermakna Ajaran Islam
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Wahai orang-orang yang beriman masuklah kamu kepada Islam secara menyeluruh. Dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi kamu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 208)
Ketika menafsirkan ayat ini, al-Hafizh Ibn Katsir menafsirkan Islam dengan “‘Urâ al-Islâm wa Syarâi’ihi“:
يقول تعالى آمرًا عباده المؤمنين به المصدّقين برسوله: أنْ يأخذوا بجميع عُرَى الإسلام وشرائعه، والعمل بجميع أوامره، وترك جميع زواجره ما استطاعوا من ذلك
“Allah Ta’ala berfirman memerintahkan hamba-hamba-Nya yang mukmin dan membenarkan Rasul-Nya agar mengambil semua ikatan-ikatan Islam dan syariatnya, dan mengerjakan seluruh perintah-Nya dan meninggalkan seluruh larangan-Nya dengan segenap kemampuan mereka melakukan yang demikian.”[3]
Konsekuensi masuk Islam secara kafah adalah menerima seluruh ajaran Islam, mulai ibadah hingga muamalah dan siyasah. Termasuk berkaitan dengan ‘urâ al-Islâm dalam hal kepemimpinan dan pemerintahan. Sistem pemerintahan yang diakui oleh Islam hanyalah sistem khilafah. Dalil akan kewajiban khilafah ditegaskan dalam Al-Qur’an, al-Sunah dan ijmak sahabat. Bahkan ditegaskan pula oleh para ulama salaf dan khalaf.
Tatkala sebagian pihak meragukan khilafah sebagai ajaran Islam dan menjauhkannya dari umat, maka sikap para dai adalah tetap teguh dan tak mudah goyah dalam dakwah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَلَا تَهِنُوا۟ وَلَا تَحْزَنُوا۟ وَأَنتُمُ ٱلْأَعْلَوْنَ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS Ali ‘Imrân [3]: 139)
Maka berbahagialah mereka yang tetap sabar dalam jalan mulia ini. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa salah satu bentuk pengamalan masuk ke dalam Islam keseluruhannya adalah menegakkan pemerintahan Islam. Tidak boleh tidak, hukumnya fardu, terlebih jika ia termasuk tâj al-furûdh, di mana hal itu kini terurai, digantikan oleh ajaran-ajaran di luar Islam.
Faidah Bag. IV: Al-Hukm Diungkapkan dengan Alif Lam Makrifat & Disandingkan dengan Salat Termasuk ‘Urâ al-Islâm
Dengan logika tasyri’i (ditopang ushul fikih, bahasa arab, dan sebagainya) hadis yang menyebut urusan al-hukm (dengan alif lam ma’rifat) termasuk ‘ura al-islam (ikatan-ikatan Islam) bisa saya katakan cukup untuk “mengharuskan” kaum muslim menemukan format kekhasan (ma’rifat) dari al-hukm (pemerintahan) dalam nas hadis tersebut.
Kaidah umumnya sama seperti penjelasan para ulama menyoal al-rayah (dengan alif lam ma’rifat). Rasulullah ﷺ bersabda ketika Perang Khaibar,
«لأُعْطِيَنَّ الرَّايَةَ غَدًا رَجُلاً يُفْتَحُ عَلَى يَدَيْهِ، يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ، وَيُحِبُّهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ»
“Sungguh aku akan memberikan al-râyah kepada seseorang, ditaklukkan (benteng) melalui kedua tangannya, ia mencintai Allah dan Rasul-Nya, Allah dan Rasul-Nya pun mencintainya.” (HR Al-Bukhari, Muslim)
Imam Ibn Bathal (w. 449 H) ketika menjelaskan hadis di atas mencirikan panji tauhid al-rayah sebagai sunah Rasulullah ﷺ, Ibn Bathal menegaskan,
(لأعطين الراية) فعرفها بالألف واللام يدل أنها كانت من سنته -صلى الله عليه وسلم- فى حروبه فينبغى أن يسار بسيرته فى ذلك
“Sungguh aku akan menyerahkan al-Raayah”, kata al-Râyah yang diungkapkan dalam bentuk ma’rifat (ada alif dan lam) menunjukkan bahwa hal tersebut merupakan sunah Rasulullah ﷺ dalam peperangan, maka sudah seharusnya kaum muslim meneladani Rasulullah ﷺ dalam hal tersebut.[4]
Lafaz al-rayah dan al-hukm dalam hadis-hadis di atas, sama-sama diungkapkan dalam bentuk ism ma’rifat, dalam perspektif ilmu balaghah, menunjukkan maksudnya yang spesifik, tidak bias. Dimana lafaz al-hukm di sini berkaitan dengan sistem pemerintahan, yakni sistem pemerintahan dalam Islam (nizhâm al-hukm fi al-Islâm).
Mengomentari hadis ini, salah seorang ulama ahlusunah Irak, pakar ilmu ushul fikih dan ilmu syariah, Syaikh Dr. Abdul Karim Zaydan, beliau menjelaskan,
والمقصود بالحكم: الحكم على المنهج الإسلامي، ويدخل فيه بالضرورة وجود الخليفة الذي يقوم بهذا الحكم، ونقضه يعني التخلي عنه وعدم الالتزام به، وقد قرن بنقض الصلاة وهي واجبة فدلَّ على وجوبه
“Yang dimaksud al-hukm di sini adalah kekuasaan yang berjalan di atas landasan Islam. Terkandung di dalamnya dengan sejelas-jelasnya, pentingnya eksistensi Khalifah yang menegakkan kekuasaan tersebut, sedangkan yang dimaksud naqdhuhu yakni kekosongan dan ketiadaan konsistensi padanya, Rasulullah ﷺ telah menyandingkan hilangnya institusi kekuasaan ini dengan hilangnya ikatan salat padahal salat itu wajib, menunjukkan bahwa kekuasaan ini hukumnya wajib.”[5]
Pernyataan ilmiah Dr. Abdul Karim Zaydan di atas, dinukil pula oleh Syaikh Dr. Abdullah al-Dumaiji dalam risalahnya ketika menguraikan dalil-dalil al-sunah wajibnya kekhilafahan.[6] Ada dua dilâlah dalam hadis ini yang menegaskan wajibnya menegakkan sistem pemerintahan Islam:
a. Ungkapan ’Urâ Al-Islâm Yakni Ikatan-Ikatan Islam: Al-Hukm wa Al-Shalât
Ungkapan ’urâ al-Islâm, termasuk di antaranya salat, menunjukkan bahwa yang dimaksud ’urâ al-Islâm adalah perkara prinsipil, terlebih ikatan tersebut ditautkan (al-idhâfah) kepada Din Islam, sehingga menunjukkan bahwa perkara pemerintahan ini merupakan perkara fondasi di antara fondasi-fondasi penyokong Islam. Maka tidak mengherankan jika seorang ulama besar ahli fikih dan tafsir sekelas al-Hafizh al-Qurthubi lalu menegaskan,
وأنها ركن من أركان الدين الذي به قوام المسلمين، والحمد لله رب العالمين
“Dan bahwa ia (al-Imâmah) merupakan fondasi dari fondasi-fondasi agama ini di mana dengannya tegak fondasi kaum muslim, dan segala puji bagi Allah.”[7]
Istilah rukn[un] dalam kamus bahasa ahli fikih (Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’) didefinisikan sebagai pilar, yakni sisi yang kukih dari sesuatu, Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji (w. 1435 H) menuturkan:
الركن: ج أركان وأركن، الجانب الاقوى من الشئ (pillar) أركان الكعبة: ملتقى كل جدارين فيها
Al-Rukn: jamaknya adalah arkân dan arkan, yakni sisi yang kukuh dari sesuatu (pilar atau fondasi). Misalnya arkân al-ka’bah: yakni tempat pertemuan antara dua dinding di dalamnya (yakni fondasinya).[8]
Hal ini senada digambarkan para ulama, yang juga menegaskan kekhilafahan sebagai Tâj al-Furûdh (mahkota kefarduan) dalam Islam, manakala di bawahnya dinaungi banyak penegakan ajaran-ajaran Islam secara sempurna (kafah), di mana takkan sempurna penegakan Islam dalam kehidupan kecuali dengannya, semisal penegakan sistem persanksian dalam Islam (nizhâm al-’uqûbât) dan lain sebagainya.
b. Penyandingan Ikatan Al-Hukm dengan Al-Shalât
Salat adalah rukun di antara rukun Islam yang agung yang status hukumnya fardu, ketika pemerintahan disandingkan dengan urusan salat, menunjukkan bahwa pemerintahan yang dimaksud termasuk perkara yang fardu untuk ditegakkan sebagaimana ibadah salat.
Menguatkan pendalilan di atas, Syaikh Prof. Dr. Abdullah al-Dumaiji lalu menguatkannya dengan hadis yang mengandung perintah berpegang teguh pada sunah Rasulullah ﷺ dan khulafurasyidin, dari Al-’Irbadh bin Sariyah r.a. ia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda,
«عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ، عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ»
“Hendaklah kalian berdiri di atas sunahku, dan sunah para khalifah al-râsyidîn al-mahdiyyîn (khalifah empat yang mendapatkan petunjuk), gigitlah oleh kalian hal tersebut dengan geraham yang kuat.” (HR Ahmad, Ibn Majah, Al-Hakim, Al-Baihaqi)[9]. [MNews/Rgl]
[1] HR Ahmad dalam Musnad-nya (no. 22160), Syu’aib al-Arna’uth mengomentari: “Sanadnya jayyid”; Ibn Hibban dalam Shahih-nya (no. 6715); al-Hakim dalam al-Mustadrak, ia berkata: “Isnad hadis ini seluruhnya shahih, meskipun al-Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkannya”; Al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir (no. 7486).
[2] Ini sebagaimana disebutkan oleh Ibn Malik dalam Alfiyyah-nya, ditegaskan penerapannya oleh Syaikh Ibn al-‘Utsaimin dalam Syarh Durus al-Balaghah, ketika ia menjelaskan kata kerja pasif yang ditemukan dalam QS. Al-Jin [72]: 10 {وَأَنَّا لَا نَدْرِي أَشَرٌّ أُرِيدَ بِمَنْ فِي الْأَرْض}, lafal urîda pada kalimat “asyarr[un] urîda biman fî al-ardh” (apakah keburukan yang dikehendaki bagi orang yang di bumi) berbentuk kalimat pasif (mabni li al-majhûl), “dikehendaki” sehingga subjeknya tidak dimunculkan jelas, dalam istilah Ibn Malik yakni limâ lam yusamma fâ’iluhu (yakni untuk subjek yang tidak diberi nama), lihat: Abdullah bin Abdurrahman Ibn ’Aqil, Syarh Ibn ’Aqil ’ala Alfiyyat Ibn Malik, Kairo: Dar al-Turats, cet. XX, 1400 H.
[3] Abu al-Fida’ Isma’il bin ‘Umar Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhîm, Dar Thayyibah, cet. II, 1420 H, juz I, hlm. 565.
[4] Abu al-Hasan Ali bin Khalaf Ibn Bathal, Syarh Shahîh al-Bukhâri, Riyadh: Maktabat al-Rusyd, cet. II, 1423 H/2003, juz V, hlm. 141
[5] Dr. Abdul Karim Zaydan, Ushûl al-Da’wah, Beirut: Mu’assasat al-Risalah, cet. IX, 1421 H, hlm. 205.
[6] Abdullah bin Umar bin Sulaiman al-Dumaiji, Al-Imâmah al-‘Uzhmâ ‘Inda Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah, hlm. 51.
[7] Ibid., hlm. 265.
[8] Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji, Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’, hlm. 226.
[9] HR. Ahmad dalam Musnad-nya (no. 17184), Syaikh Syu’aib al-Arna’uth mengomentari: ”Hadis shahih dan para perawinya tsiqah.”; Ibn Majah dalam Sunan-nya (no. 42), Syaikh Syu’aib al-Arna’uth mengomentari: ”Hadis shahih dengan banyak jalan periwayatan dan syawahid (riwayat-riwayat pendukungnya).”; Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (no. 329), al-Hakim berkata: ”Ini hadis sahih, tidak mengandung satu pun cacat.” ditegaskan senada oleh al-Hafizh al-Dzahabi; Al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Îmân (no. 7516)
Sumber: http://www.irfanabunaveed.net/2019/09/dalil-kebakuan-sistem-pemerintahan.html
Sejarah, Akar Masalah, dan Cara Islam Tuntaskan HIV/AIDS
*Sejarah, Akar Masalah, dan Cara Islam Tuntaskan HIV/AIDS* Oleh: Yenni Sarinah, S.Pd (Aktivis Pendidikan Kelahiran Selatpanjang, Riau) ...
-
PRIVATE ANANDA dibuka pertama kali di Selatpanjang, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau pada tanggal 8 Januari 2018 (08/01/2018) oleh Yenni Sa...
-
Contoh: PERHITUNGAN AKAR SAMPAI SATU ATAU DUA TEMPAT DESIMAL √12 = 3,43 = 3,4 √27 = 5,2 √8 = 2,8 √15 = 3,86 = 3,9 ...