Senin, 31 Januari 2022

IKN TAK RUSAK EKOLOGI TAPI BISA MENUTUPINYA


IKN TAK RUSAK EKOLOGI TAPI BISA MENUTUPINYA

Mau dijadikan IKN atau tidak, ekosistem hutan di sana memang sudah banyak dirusak oleh HPH (Hak Pengusahaan Hutan), HTI (Hutan Tanaman Industri), HGU Perkebunan sawit maupun konsesi tambang.  Dengan adanya IKN, maka lahan hutan yang sudah rusak itu akan "diputihkan", sehingga kejahatan lingkungan itu akan dianggap tak pernah ada.

Enak ya? ;p

Minggu, 30 Januari 2022

[Fikrul Islam] : Kesalahan Pemahaman Tawakkal


[Fikrul Islam] Kesalahan Pemahaman Tawakkal

Kaum muslim saat ini, terutama setelah budaya materialistis dan hedonistik menguasai diri, mereka menjadi pragmatis. Pemikirannya menjadi dangkal dan pemahamannya menjadi lemah.

Penulis: Ustaz Hafidz Abdurrahman


Muslimah News, FIKRUL ISLAM – Tawakal berasal dari lafaz “tawakkala, yatawakkalu, tawakkulan”, yang berarti menjadikan pihak lain sebagai wakil atau zat yang mewakili diri seseorang dalam urusan tertentu. Tawakal adalah lafaz yang diambil dari lafaz “wakâlah”.

Ada juga orang yang menggunakan “wukkila amruhû ilâ fulân” (urusannya diserahkan kepada si polan). Orang yang diserahi urusan tersebut bisa disebut wakil, sedangkan orang yang menyerahkan urusan disebut muttakil ‘alayh dan mutawakkil ‘alayh, yaitu ketika orang tersebut merasa puas pada pihak yang mewakilinya, memercayainya, dan tidak mempunyai persepsi bahwa pihak yang mewakilinya itu mempunyai kekurangan. Artinya, orang tersebut mempunyai keyakinan bahwa pihak yang mewakili tersebut tidak mempunyai kelemahan atau kekurangan. Itulah pengertian tawakal secara etimologis.

Tawakal ini merupakan ungkapan kalbu kepada Al-Wakîl (Zat Yang Mahakuasa untuk mewakili segala urusan). Atau dengan kata lain, tawakal merupakan kepasrahan hati secara bulat pada Allah terhadap kemaslahatan yang ingin diraih, serta mudarat yang ingin dihindari, baik dalam masalah dunia maupun akhirat.

Al-Alûsi mendefinisikan tawakal sebagai sikap menampakkan kelemahan dan ketergantungan pada yang lain, serta merasa cukup hanya kepadanya dalam melakukan aktivitas yang diperlukannya.

Al-Ghazâli menjelaskan, “Keadaan orang yang bertawakal pada Allah adalah seperti keadaan bayi dengan ibunya. Bayi tidak pernah mengetahui yang lain, serta tidak pernah menyerahkan urusannya kecuali pada ibunya. Ibulah orang yang pertama kali dia bayangkan ketika dia membayangkan yang lain. Ini menuntut untuk meninggalkan doa dan meminta kepada yang lain selain Allah karena keyakinannya pada kemuliaan dan kasih sayang-Nya.” Inilah definisi, pengaruh, dan buah tawakal.

Dengan demikian, tawakal ini merupakan buah keimanan; suatu keyakinan kalbu bahwa Allahlah satu-satunya Zat Yang Maha Segala-galanya. Lemahnya tawakal pada Allah Swt. juga terpengaruhi oleh lemahnya keimanan kepada-Nya sebagai satu-satunya Zat Yang Maha [Segalanya].

Al-Ghazâli dalam Ihyâ’ Ulûmuddîn-nya mengaitkan antara tauhid dan tawakal dalam satu pembahasan karena tawakal ini merupakan masalah hati, pikiran, dan keyakinan. Sementara, keteguhan hati dan kekuatan iman seseorang ditentukan kejelasan “makna pemikiran” mengenai Zat yang ia yakini, baik yang mengenai Zat maupun Sifat-Nya.

Dengan demikian, usaha untuk membangun sikap tawakal yang benar dan kuat adalah dengan memperjelas “makna pemikiran” tersebut. Makna pemikiran itulah yang bisa disebut mafhum tawakal.

Inilah konsepsi tawakal yang telah dipahami dengan benar oleh kaum muslim generasi pertama. Mereka memahami konsep tawakal tersebut dengan pemahaman yang benar sehingga mampu melakukan tuntunan tawakal tersebut dengan benar pula. Mereka akhirnya mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan besar dan memecahkan berbagai masalah yang sangat sulit.

Berbeda dengan kaum muslim saat ini, terutama setelah budaya materialistis dan hedonistik menguasai diri mereka sehingga mereka menjadi pragmatis. Pemikirannya menjadi dangkal. Pemahamannya menjadi lemah.

Mereka jauh dari pemahaman yang benar mengenai tawakal sehingga keyakinan tawakal mereka ibarat ungkapan kosong yang tidak mempunyai nilai dalam diri mereka. Pemikiran mengenai tawakal tersebut lebih tidak bermakna lagi ketika salah menafsirkan hadis “mengikat unta” sehingga mafhum tawakal tersebut makin lemah.

Hadis ini justru tidak dipahami supaya asumsi tawakal bahwa dengan tawakal seseorang tidak perlu lagi melakukan hukum kausalitas dengan menjadikan hukum sebab akibat sebagai bagian dari tawakal, dan tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya.

Sebaliknya, hadis tersebut justru menjadi justifikasi bahwa setelah tawakal, seseorang tidak perlu lagi berikhtiar. Akibatnya, cita-cita kaum muslim menjadi lemah, kemauannya juga tidak kukuh, pandangan hidupnya juga menjadi sempit.

Akhirnya, tebersit dalam benak mereka bahwa kemampuan mereka terbatas, serta tidak bisa melakukan sesuatu kecuali yang tampak di depannya. Akibat pemikiran seperti inilah, kaum muslim saat ini tidak bisa maju dan meraih cita-cita besar yang Islam perintahkan.

Memang, mafhum tawakal pada Allah Swt. yang sahih tidak bisa dicapai oleh seseorang jika melihat kekuatannya terbatas pada kekuatan manusia semata. Namun, jika mereka meyakini bahwa di balik kekuatan manusia, alam, dan kehidupan yang tampak tersebut ada Zat Yang Mahakuasa—yang menguasai seluruhnya dan yang mampu membantu mereka merealisasikan cita-cita mereka—pemahaman ini akan mampu membangkitkan keyakinannya dalam merealisasikan seluruh cita-citanya.

Dengan pemahaman seperti ini, seseorang akhirnya merasa tidak terbatas ketika ia berkeyakinan bahwa ada kekuatan di luar dirinya yang bisa membantunya untuk mencapai yang ingin diraihnya.

Bahkan, orang yang tidak beriman pada Allah Swt. dan tidak mempunyai konsep tawakal kepada-Nya saja bisa memercayai bahwa ada kekuatan di luar dirinya yang mereka sebut dengan “kekuatan alam” yang bisa membantu mereka sehingga mereka mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan besar yang menantang. Mereka sering menyebutnya sebagai miracle (mukjizat).

Lalu, mengapa umat Islam yang mempunyai keyakinan pada Allah dengan dalil kuat, baik mengenai wujud maupun Zat-Nya dengan keyakinan yang bulat dan bisa dibuktikan berdasarkan realitas yang ada, tidak seperti mereka? Padahal, orang kafir yang tidak percaya pada Tuhan dan tidak mempunyai konsepsi tawakal bisa melakukan seperti itu.

Masalahnya adalah karena mafhum tawakal umat ini memang sangat lemah. Oleh karena itu, pemikiran mengenai tawakal ini merupakan pemikiran yang sangat mendesak untuk dibersihkan. [MNews/Rgl]

Sumber: Hafidz Abdurrahman, Islam Politik dan Spiritual

[Nafsiyah] : Keutamaan Adab

[Nafsiyah] Keutamaan Adab

Para ulama salaf mengarahkan murid-murid mereka untuk mempelajari adab sebelum ilmu yang tinggi dan bab perselisihan pendapat.

Penulis: K.H. Hafidz Abdurrahman

Muslimah News, NAFSIYAH —

قال ابن المبارك رحمه الله: “تعلمنا الأدب ثلاثين عاماً،وتعلمنا العلم عشرين”،

Ibn Mubarak rahimahullah berkata, “Kami belajar adab (tata krama) 30 tahun dan kami belajar ilmu selama 20 tahun.”

وقال ابن سرين: “كانوا يتعلمون الهديَ كما يتعلمون العلم” ..

Ibn Sirin berkata, “Mereka belajar tuntunan hidup sebagaimana belajar ilmu.”

وروى ابن المبارك عن ابن الحسن قال: “نحن إلى كثير من الأدب أحوج منا إلى كثير من حديث”

Ibn Mubarak dari Al-Hasan berkata, “Kami lebih membutuhkan adab ketimbang banyak hadis.”

وجاء في السير للذهبي عن عبد الله بن وهب قال: ما نقلنا من أدب مالك أكثر مما تعلمنا من علمه.

Dalam kitab Siyar al-A’lam karya Adz-Dzahabi, dari Abdullah bin Wahab berkata, “Kami lebih banyak menukil adab (tata krama) Imam Malik ketimbang kami mempelajari ilmunya.”

ولقد كان أئمة السلف يوجهون طلابهم إلى تعلم الأدب قبل الخوض في غوالي العلم والخلاف،

Para ulama salaf pun mengarahkan murid-murid mereka untuk mempelajari adab sebelum ilmu yang tinggi dan bab perselisihan pendapat.

فهذا إمام دار الهجرة يقول لفتى من قريش: يا ابن أخي تعلم الأدب قبل أن تتعلم العلم.

Imam Dar al-Hijrah, Imam Malik berkata kepada pemuda Quraisy, “Wahai anak saudaraku, pelajarilah adab sebelum kamu mempelajari ilmu.”

Penjelasan para ulama salaf ini menjadi pengingat kita bahwa betapa pun tinggi ilmu seseorang, saat tidak dibungkus dengan adab yang tinggi dan baik, ilmunya tidak akan memancarkan kebaikan. Sebaliknya, membuatnya arogan, bahkan sesat lagi menyesatkan orang.

Sebaliknya, dengan adab yang tinggi dan baik, betapa pun sedikit ilmu seseorang, tetap akan memancarkan pesona di dalam dirinya yang membuatnya dimuliakan. Terlebih jika ketinggian adabnya mencerminkan kedalaman ilmunya, Allah pun angkat derajatnya menjadi manusia yang mulia di mata manusia juga di kalangan penghuni langit.

Semoga Allah menjadikan kita orang-orang yang dimuliakan oleh karena ilmu dan adab kita. [MNews/Nsy]

[Fikrul Islam] : Sistem Sanksi dalam Islam


[Fikrul Islam] : Sistem Sanksi dalam Islam

Seandainya seseorang melanggar hukum-hukum Islam, ia terkategori berbuat cela (al-qabih) sehingga berarti ia telah berbuat kejahatan (al-jarimah). Itulah sebabnya, butuh adanya sanksi bagi tindakan kejahatan ini sehingga seseorang dapat menjalankan setiap perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya.

Penulis: Muhammad Husain Abdullah


Muslimah News, FIKRUL ISLAM — Kejahatan/kriminal (al-jarimah) tidaklah lahir secara fitri dalam diri manusia. Bukan pula sebuah penyakit yang menimpanya. Namun, kejahatan merupakan sebuah pelanggaran terhadap aturan syarak yang mengatur interaksi manusia dengan Rabb-nya, interaksi manusia dengan dirinya sendiri, dan dengan orang lain.

Islam telah memberikan aturan bagi segala aktivitas manusia berdasarkan hukum syari. Seandainya ia melanggar hukum-hukum tersebut, maka ia terkategori telah berbuat cela (al-qabih), sehingga dapat dikatakan juga bahwa ia telah berbuat kejahatan (al-jarimah). Itulah sebabnya, dibutuhkan adanya suatu sanksi bagi tindakan kejahatan ini sehingga seseorang dapat menjalankan setiap yang diperintahkan Allah dan menjauhi segala hal yang dilarang-Nya.

Syariat Islam telah menjelaskan bahwa bagi setiap tindak kejahatan akan dikenai sanksi di akhirat kelak dan sanksi di dunia. Allah berfirman,

وَلِلَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِرَبِّهِمْ عَذَابُ جَهَنَّمَۗ وَبِئْسَ الْمَصِيْرُ

“Dan untuk orang-orang yang kafir kepada Tuhannya (mendapat) azab jahanam dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS Al Mulk[67]: 6).

فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّيْنَۙ – ٤  الَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُوْنَۙ – ٥

“Maka celakalah bagi orang yang salat. (Yaitu) orang lalai dari salatnya.” (QS Al Maun[107]: 4-5).

Namun demikian, keputusan terhadap orang-orang yang berdosa, urusannya dikembalikan kepada Allah. Jika Dia menghendaki, Dia akan menjatuhkan azab kepada mereka, dan jika tidak, Dia akan mengampuninya. Allah berfirman,

اِنَّ اللهَ لَا يَغْفِرُ اَنْ يُّشْرَكَ بِهٖ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذٰلِكَ لِمَنْ يَّشَاۤءُۚ وَمَنْ يُّشْرِكْ بِاللهِ فَقَدِ افْتَرٰٓى اِثْمًا عَظِيْمًا

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) yang menyekutukan-Nya dengan sesuatu (syirik) dan mengampuni dosa selain dari itu terhadap siapa yang dikehendakinya.” (QS An-Nisaa[4]: 48).

Mengenai sanksi (‘uqubat) di dunia, maka pelaksanaannya dilangsungkan oleh al-imam (khalifah) ataupun orang yang ditunjuk mewakilinya. Dengan kata lain, negaralah yang melaksanakannya. Sanksi yang dijatuhkan di dunia bagi si pendosa ini akan mengakibatkan gugurnya siksa di akhirat.

Itulah alasan mengapa sanksi-sanksi dalam Islam berfungsi sebagai pencegah (zawajir) dan penebus (jawabir). Disebut sebagai ‘pencegah’ karena sebuah sanksi akan mencegah orang-orang untuk melakukan suatu tindakan dosa dan kriminal. Dikatakan sebagai ‘penebus’ karena sanksi yang dijatuhkan akan menggugurkan sanksi di akhirat.

Maka dari itu, seseorang yang telah mendapat sanksi yang syari di dunia, maka gugurlah sanksi baginya di akhirat. Argumen (dalil) mengenai masalah ini adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari yang diterima dari ‘Ubadah bin Ash Shamit yang mengatakan, Suatu ketika kami bersama Rasululah dalam sebuah majelis. Rasul kemudian bersabda, Baiatlah aku dalam rangka agar kalian tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apa pun, tidak mencuri, berzina…” Beliau kemudian membaca, Barang siapa di antara kalian yang menepatinya, maka pahalanya ada di sisi Allah. Dan barang siapa yang melanggarnya maka ia akan diberi sanksi (iqab) sebagai penebus (kafarat) baginya. Dan barang siapa yang melanggarnya, tetapi (kesalahan itu, penerj.) ditutupi oleh Allah, jika Allah menghendaki maka Ia akan mengampuni. Dan jika Ia menghendaki maka ia akan mengazabnya.

Sanksi-sanksi yang dijatuhkan oleh negara kepada pelaku dosa dan kejahatan merupakan metode praktis (thariqah ‘amaliyyah) untuk melaksanakan perintah dan larangan Allah. Perbuatan-perbuatan yang akan dijatuhkan hukuman oleh syarak itu sendiri ada tiga, yakni (1) meninggalkan kewajiban, seperti meninggalkan salat dan jihad; (2) melakukan yang haram, seperti minum khamar dan mencaci Rasul saw.; dan (3) melanggar aturan-aturan administrasi negara, seperti lalu lintas dan masalah izin mendirikan bangunan. [MNews/Rgl]

Sumber: Muhammad Husain Abdullah, Studi Dasar-Dasar Pemikiran Islam

Jangan Khawatir dengan Rezeki Hari Esok


[Nafsiyah] 

Jangan Khawatir dengan Rezeki Hari Esok

Rezeki berada di tangan Allah Swt.. Allah Swt. telah menetapkan dan menjamin rezeki bagi setiap hamba. Rezeki tersebut akan diberikan kepada hamba-Nya dalam kondisi apa pun.

Penulis: Adi Victoria

Muslimah News, NAFSIYAH —

فكرك في رزق غد يكتب عليك خطيئة

“Kekhawatiran akan rezeki esok hari dicatat untukmu sebagai sebuah dosa.” (Sufyan bin Uyainah, Siyar A’lam an-Nubala, 14/298)

Salah satu bagian dari pembahasan keimanan adalah masalah rezeki, yakni meyakini bahwa setiap makhluk di muka bumi memiliki rezekinya masing-masing. Rezeki adalah suatu hal yang telah Allah jamin atas mereka.

[Meyakini] bahwa rezeki berada di tangan Allah Swt., Allah Swt. telah menetapkan dan menjamin rezeki bagi setiap hamba, rezeki tersebut akan diberikan kepada hamba-Nya dalam kondisi apa pun, baik orang yang birrun (baik) ataupun yang faajirun (jahat), baik mukmin atau kafir, semua telah ditetapkan rezekinya. Rezeki itu akan datang kepadanya, baik meminta dengan cara yang haram atau cara yang halal.

Khalifah Umar bin Khaththab ra. pernah berkata, “Ada ‘tirai’ yang menutupi seorang hamba dengan rezekinya. Bila ia merasa cukup atau kanaah dengannya, dan jiwanya rida, maka pasti rezekinya akan datang. Namun, bila ia menerobos dan menyobek ‘tirai’ tersebut, maka rezekinya tidak akan bertambah melampaui batas yang ditentukan.” (Jaami’ul Ulum Wal Hikam, 2/231)

Oleh karena itu, bagi seorang mukmin, hendaknya selalu memiliki sifat rida dan kanaah dalam dirinya dan senantiasa sabar dalam berikhtiar saat mencari rezeki, yakni dengan cara yang halal bukan dengan cara yang haram. Wallahualam. [MNews/Nsy]

ISLAM YA ISLAM, TANPA EMBEL-EMBEL


*BULETIN DAKWAH KAFFAH – 213* 
01 Rabiul Awwal 1443 H/08 Oktober 2021 M


*ISLAM YA ISLAM, TANPA EMBEL-EMBEL*

Saat ini, salah satu proyek yang sedang ramai dijalankan, adalah proyek moderasi agama. Proyek ini menjadikan Islam dan kaum Muslim sebagai sasaran utamanya. Proyek ini tidak bisa dilepaskan dari pengarusutamaan Islam moderat. Proyek moderasi agama bertujuan untuk menancapkan paham Islam moderat dan menjadikan kaum Muslim menjadi Muslim moderat. Proyek ini menyasar para guru agama, mahasiswa, kaum milenial hingga kalangan pesantren. 


*Islam Moderat*

Menurut Janine A Clark, Islam moderat adalah “Islam” yang menerima sistem demokrasi. Sebaliknya, Islam radikal adalah Islam yang menolak demokrasi dan sekularisme. Moderasi Islam dalam pengertian ini bermakna membangun Islam yang menerima demokrasi dan kesetaraan gender (Tazul Islam, Amina Khatun, _Islamic Moderate in Perspectives: A Comparison Between Oriental and Occidental Scholarships, International Journal of Nusantara Islam_, Volume 03, No.2, 2015).

Moderasi Islam bisa dimaknai sebagai proses menjadikan Muslim sebagai Muslim moderat. Karakter Muslim moderat dapat dipahami, salah satunya, dari sebuah buku yang dikeluarkan oleh Rand Corporation tahun 2007, berjudul _Building Moderate Muslim Network_, pada bab 5 tentang _Road Map for Moderate Network Building in the Muslim World_ (Peta Jalan untuk Membangun Jaringan Moderat di Dunia Muslim). Buku ini termasuk salah satu rujukan tentang Muslim moderat. Dalam salah satu anak judulnya dijelaskan tentang karakteristik Muslim moderat (_Characteristics of Moderate Muslims_). Muslim moderat adalah orang yang menyebarluaskan dimensi-dimensi kunci peradaban demokrasi. Termasuk di dalamnya gagasan tentang HAM, kesetaraan gender, pluralisme; menerima sumber-sumber hukum non-sektarian; serta melawan terorisme dan bentuk-bentuk legitimasi terhadap kekerasan (Angel Rabasa, Cheryl Benard et all, _Building  Moderate Muslim Network_, hlm. 66, RAND Corporation, 2007).

Alhasil, Islam moderat adalah pemahaman Islam yang disesuaikan dengan pemikiran, pemahaman dan peradaban Barat. Dengan demikian Muslim moderat adalah sosok Muslim yang menerima, mengadopsi, menyebarkan dan menjalankan pemahaman Islam ala Barat.


*Makna _Umat[an] Wasath[an]_*

Pemahaman Islam moderat lalu dibungkus dengan istilah Islam _wasathiyah_. _Wasathiyah_ diambil dari istilah al-Quran, _wasath[an] (pertengahan)_. Inilah yang Allah jadikan sebagai salah satu sifat umat Islam. Namun, istilah _wasath[an]_ ini hanya dicomot dan dijadikan sebagai “wadah”, sementara isinya dijejali dengan pemahaman Islam moderat yang tidak lain adalah Islam yang sesuai selera Barat. 

Karena itu penting untuk mengembalikan istilah _wasath[an]_ ke makna yang sebenarnya sebagaimana yang dikehendaki oleh al-Quran. 

Secara bahasa, makna _al-wasath_ adalah sesuatu yang memiliki dua belah ujung yang ukurannya sebanding, pertengahan (Raghib al-Isfahani, _Mufradat Alfâzh al-Qur’ân_, jilid II, entri _w-s-th_). Kata ini juga bisa bermakna sesuatu yang terjaga, berharga dan terpilih karena tengah adalah tempat yang tidak mudah dijangkau: tengah kota (Ibnu ‘Asyur, _At-Tahrir wa at-Tanwir_, II/17). 

Allah SWT berfirman:

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَٰكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى ٱلنَّاسِ وَيَكُونَ ٱلرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا 

_Demikian pula Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) sebagai umat[an] wasath[an] agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian_ (TQS al-Baqarah [2]: 143).

Imam ath-Thabari dalam menjelaskan makna _wasath[an]_ tersebut menukil 13 riwayat yang menunjukkan kata _al-wasath_ bermakna adil (_al-‘adlu_). Pasalnya, hanya orang-orang yang adil yang bisa bersikap seimbang dan bisa disebut sebagai orang pilihan. Abu Said al-Khudri ra. menuturkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda tentang firman Allah SWT:

وَكَذَالِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا قَال: عُدُوْلًا .

_Demikian pula Kami menjadikan kalian umat yang wasath[an]. Beliau berkata, “(yakni) yang adil.”_ (HR al-Bukhari, at-Tirmidzi dan Ahmad).

Selain bermakna _adil_, menurut Mahmud Syaltut, _ummat[an] wasath[an]_ juga berarti umat pilihan (Mahmud Syaltut, _Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm_, hlm. 7). 

Syaikh ’Atha bin Khalil Abu ar-Rasytah menjelaskan bahwa Allah SWT menjadikan umat Muhammad saw. sebagai umat yang adil di antara semua umat untuk menjadi saksi atas mereka. Allah SWT menjadikan umat ini dengan sifat (_al-ummah al-wasath_), yakni umat yang adil untuk menjadi saksi atas manusia. Keadilan merupakan syarat pokok untuk bersaksi. _Al-Wasath_ dalam perkataan orang-orang Arab bermakna _al-khiyâr_ (pilihan). Orang terpilih dari umat manusia adalah mereka yang adil (‘Atha bin Khalil, _At-Taysîr fî Ushûl at-Tafsîr: Surah al-Baqarah_, hlm. 177).

Jadi makna umat Islam sebagai _umat[an] wasath[an]_, yakni umat yang adil. Adil adalah menempatkan sesuatu pada tempat semestinya, yakni sesuai syariah. Untuk menjadi _umat[an] wasath[an]_, umat Islam tidak boleh melampaui batas seperti kaum Nasrani, di antaranya dengan membuat hukum sendiri; juga tidak boleh enggan dan lalai seperti Yahudi yang enggan dan tidak mau menerapkan syariah mereka. Untuk menjadi _umat[an] wasath[an]_ umat Islam justru harus mengambil dan menerapkan totalitas syariah Islam. Tidak membuat hukum sendiri yang bertentangan dengan syariah Islam.


*Islam yang Sebenarnya*

Kita hidup di dunia ini bukan atas kehendak kita sendiri, tetapi atas kehendak Allah SWT. Bagaimana kita menjalani hidup dan mengelola kehidupan dunia ini tidak boleh menurut keinginan kita sendiri, melainkan harus mengikuti apa yang Allah kehendaki. Untuk itu kita harus mengambil dan mengikuti _‘manual book’_ yang telah diberikan oleh Allah SWT, yakni al-Quran dan as-Sunnah, dalam mengelola kehidupan ini.

Satu perkara yang sudah jelas, Allah SWT memerintahkan kita untuk berislam atau beragama secara _kaffah_:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ

_Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu musuh yang nyata bagi kalian_ (TQS al-Baqarah [2]: 208).

As-Samarqandi (w. 373 H) menjelaskan maknanya, “…Masuklah kalian ke dalam semua syariah Islam dan jangan kalian mengikuti langkah-langkah setan…” (As-Samarqandi, _Bahru al-‘Ulûm_, 1/173).

Al-Hafizh Ibnu Katsir juga menjelaskan, Allah SWT memerintahkan hamba-Nya yang beriman kepada-Nya dan membenarkan Rasul-Nya agar masuk ke semua simpul dan syariah Islam serta mengamalkan semua perintah-Nya dan meninggalkan semua larangannya semampu mereka.

Jadi dalam berislam, kita diperintahkan untuk mengambil Islam dan syariahnya secara keseluruhan. Kita tidak boleh berislam model prasmanan. Yang menarik diambil, yang enak diikuti dan yang mudah dijalankan. Sebaliknya, yang tidak menarik tidak diambil, yang tidak mengenakkan tidak diikuti dan yang sulit tidak dijalankan.

Sudah jelas Allah SWT memerintahkan kita untuk bertakwa dengan sebenar-benarnya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ

_Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya, dan janganlah sekali-kali kalian mati kecuali kalian tetap dalam keadaan Muslim_ (TQS Ali Imran [3]: 102).

Imam al-Baidhawi (w. 685 H) menjelaskan, “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya dan (menjalankan) apa saja yang diwajibkan, yaitu mengerahkan segenap upaya dalam melakukan kewajiban dan menjauhi keharaman.” (Al-Baydhawi, _Anwâru at-Tanzîl wa Asrâru at-Ta`wîl_, 1/373).

Dalam menjalankan perintah takwa ini, Allah SWT berfirman:

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

_Karena itu bertakwalah kalian kepada Allah menurut kesanggupan kalian_ (TQS at-Taghabun [64]: 16).

Rasul saw. juga bersabda:

فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنِ الشَّيْءِ فَاجْتَنِبُوهُ، وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِالشَّيْءِ فَائْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

_Karena itu jika aku melarang kalian dari sesuatu maka tinggalkanlah dan jika aku memerintahkan sesuatu maka lakukan sesuai kemampuan kalian_ (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad, al-Humaidi, Ibnu Hibban dan Abu Ya’la).

Allah SWT pun memerintahkan kita untuk menjadi penolong agama-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا أَنصَارَ اللَّهِ

_Hai orang-orang yang beriman, jadilah kalian penolong (agama) Allah_ (TQS ash-Shaff [61]: 14).

Menurut Imam al-Baghawi (w. 510 H) dalam _Ma’âlim at-Tanzîl_, maknanya adalah: jadilah kalian penolong agama Allah. Adapun menurut Imam al-Maturidi (w. 333 H) dalam _Ta`wîlâtu Ahli as-Sunnah_, ‘menolong Allah’ bermakna menolong agama-Nya atau Rasul-Nya. 

Jika seorang Muslim mengambil Islam dan syariahnya secara _kaffah_, bertakwa dengan sebenar-benarnya dengan menjalankan semua yang diperintahkan semaksimal kemampuan dan meninggalkan apa yang dilarang, serta menolong dan membela agama-Nya, lantas dia disebut apa? Yang jelas dia adalah seorang Muslim sebagaimana yang Allah perintahkan dan Dia ridhai. Jika Muslim semacam ini dianggap bukan sosok Muslim moderat atau ia dituding sebagai Muslim radikal atau sebutan stigmatik lainnya, semua itu tidak ada arti dan nilainya selama Allah SWT ridha.

_WalLâh a’lam bi ash-shawâb._ []


*Hikmah:*

Rasul saw. bersabda:
« مَنِ الْتَمَسَ رِضَاءَ اللَّهِ بِسَخَطِ النَّاسِ كَفَاهُ اللَّهُ مُؤْنَةَ النَّاسِ وَمَنِ الْتَمَسَ رِضَاءَ النَّاسِ بِسَخَطِ اللَّهِ وَكَلَهُ اللَّهُ إِلَى النَّاسِ »

_Siapa saja yang mencari ridha Allah meski harus menanggung kemarahan manusia, Allah pasti akan menyelamatkan dirinya dari kezaliman manusia. Siapa saja yang mencari ridha manusia dengan sesuatu yang bisa mendatangkan kemurkaan Allah, Allah akan menyerahkan urusannya kepada manusia._ (HR at-Tirmidzi dan Ibnu al-Mubarak). []

PESAN PENTING MAULID NABI MUHAMMAD SAW.


*BULETIN DAKWAH KAFFAH – 214*
08 Rabiul Awwal 1443 H/15 Oktober 2021 M


*PESAN PENTING MAULID NABI MUHAMMAD SAW.*

Mayoritas umat Islam meyakini bahwa mengenang momentum Hari Kelahiran (Maulid) Nabi Muhammad saw. sangatlah penting. Tidak lain agar kita mampu menjadikan beliau sebagai satu-satunya sosok pegangan, model perilaku dan suri teladan (_uswah_) dalam semua aspek kehidupan. Sungguh dalam diri Rasulullah saw. terdapat suri teladan dalam berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara.

Mengenang kelahiran Nabi saw. juga agar kita bisa merealisasikan teladan beliau dalam menjalani hidup dan menata kehidupan. Dengan itu kita bisa sukses dunia dan akhirat. Semua teladan itu bisa kita dapati pada diri Rasul saw. Allah SWT berfirman: 

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

_Sungguh telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) Hari Akhir serta banyak menyebut Allah_ (TQS al-Ahzab [33]: 21).

Nabi saw. adalah orang yang paling keras _mujâhadah_-nya dalam beribadah. Padahal beliau adalah sosok yang maksum (terbebas dari dosa) dan dijamin pasti masuk surga. _Mujâhadah_ beliau dalam beribadah itu agar beliau menjadi hamba yang bersyukur.

Beliau juga adalah pribadi yang paling mulia akhlaknya. Aisyah ra. menyebut akhlak beliau adalah al-Quran. Aisyah ra. berkata, _“Rasulullah adalah orang yang paling mulia akhlaknya. Tidak pernah berlaku keji. Tidak mengucapkan kata-kata kotor. Tidak berbuat gaduh di pasar. Tidak pernah membalas dengan kejelekan serupa. Akan tetapi, beliau pemaaf dan pengampun.”_ (HR Ahmad).

Beliau pun paling baik terhadap wanita. Beliau juga teladan terbaik dalam bertetangga, bergaul, berteman, berkawan dan bermuamalah. Dalam semua itu kita diperintahkan untuk menjadikan beliau sebagai teladan dan model panutan.

Kehadiran Rasulullah saw. dengan Islamnya di tengah-tengah umat manusia adalah untuk mengatur seluruh aspek kehidupan mereka. Baik dalam lingkup akidah, ibadah, muamalah hingga siyasah (politik). Jelas, Islam datang untuk mengatur kehidupan manusia, bukan untuk diatur oleh manusia sebagaimana yang dipahami oleh orang-orang sekuler liberal.

Teladan Rasul saw. bukan hanya dalam aspek akidah, spiritual, moral dan sosial saja. Tidak boleh keteladanan beliau hanya dibatasi pada aspek-aspek itu saja. Sebab jika demikian, hal itu sama saja mengerdilkan sosok beliau. Beliau juga memberikan teladan kepemimpinan dalam bernegara, berpolitik dalam dan luar negeri, menjalankan pemerintahan, menerapkan hukum dan menyelesaikan persengketaan.

Teladan Rasul saw. dalam semua aspek itu harus kita contoh. Kita harus berusaha merealisasikan keteladanan beliau di dalam menjalani hidup dan mengelola kehidupan. Hal itu sebagaimana yang Allah SWT perintahkan kepada kita:

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

_Apa saja yang Rasul berikan kepada kalian, terimalah. Apa saja yang dia larang atas kalian, tinggalkanlah. Bertakwalah kalian kepada Allah. Sungguh Allah amat keras hukuman-Nya_ (TQS al-Hasyr [59]: 7).

Topik pembicaraan ayat ini memang berkenaan dengan harta _ghanîmah_ dan _fay’_ (harta rampasan perang). Namun demikian, makna ayat ini bersifat umum; meliputi segala yang Rasul saw. berikan dan segala yang beliau larang, termasuk di dalamnya perkara _fay’_. (Az-Zamakhsyari, _Al-Kasysyâf_, 4/503).

Maka dari itu, kita harus totalitas menjadikan Rasulullah saw. sebagai panutan dan suri teladan dalam segala aspek, baik dalam aspek individu, keluarga maupun negara; kecuali tentu saja hal-hal yang menjadi kekhususan bagi beliau saja (_khawâsh ar-Rasûl_) sebagaimana diterangkan oleh para ulama _ushul_.

Salah satu aspek teladan Rasul saw. yang saat ini penting untuk diaktualisasikan adalah teladan kepemimpinan Rasul saw. Teladan kepemimpinan Rasul saw. itu, ketika diaktualisasikan di tengah kehidupan, akan bisa menyelesaikan problem-problem yang mendera masyarakat modern ini, sekaligus membawa pada kehidupan yang dipenuhi ketenteraman dan berkah. Bagi kita, kaum Muslim, hal itu tentu kita yakini seiring dengan keyakinan kita terhadap Islam yang Rasul saw. bawa kepada kita.

Rasulullah Muhammad saw. bukan hanya pemimpin spiritual (_za’îm rûhi_), tetapi juga pemimpin politik (_za’îm siyâsi_). Dalam konteks saat ini, beliau dapat disebut sebagai pemimpin negara (_ra’îs ad-dawlah_). Allah SWT berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ

_Tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad) melainkan untuk ditaati dengan izin Allah_ (TQS an-Nisâ` [4]: 64).

Ayat ini menegaskan bahwa kehadiran Rasulullah saw. tidak sebatas penyampai risalah semata. Beliau sekaligus juga pemimpin yang wajib ditaati setiap perintah dan larangannya. Hal ini ditegaskan dalam ayat selanjutnya, bahwa di antara bukti kesempurnaan iman adalah menjadikan Rasul saw. sebagai hakim dan menerima apapun keputusan beliau tanpa ada keberatan sedikitpun. Sepeninggal Rasul saw., hal itu adalah dengan menjadikan syariah sebagai hukum untuk memutuskan segala perkara (lihat: QS an-Nisâ` [4]: 65).

Rasul saw. juga memberikan teladan bagaimana menjalankan sistem pemerintahan Islam. Beliau membangun struktur Negara. Beliau menunjuk dan mengangkat para penguasa baik _mu’awin, wali_ maupun _‘amil_. Beliau menunjuk dan mengangkat para panglima dan komandan pasukan. Beliau membentuk kepolisian dan mengangkat kepala polisinya. Beliau mengangkat _qâdhi_ (hakim) untuk berbagai wilayah. Beliau juga mengangkat para pegawai administratif yang disebut _kâtib_ untuk berbagai urusan. Semua itu merupakan penjelasan atas kewajiban menerapkan hukum-hukum Islam.

Sebagai kepala negara di Madinah, Rasul saw. menerapkan syariah Islam secara menyeluruh sejak awal Negara Islam berdiri. Hal itu tertuang nyata di dalam _Shahîfah_ atau _Watsîqah al-Madînah_ (Piagam Madinah): _“Jika kalian berselisih dalam suatu perkara, tempat kembali (keputusan)-nya adalah kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan kepada Muhammad saw… Apapun yang terjadi di antara pihak-pihak yang menyepakati piagam ini, berupa suatu kasus atau persengketaan yang dikhawatirkan akan menimbulkan kerusakan, tempat kembali (keputusan)-nya adalah kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan kepada Muhammad Rasulullah saw.”_ (Ibnu Hisyam, _As-Sîrah an-Nabawiyyah_, I/503-504).

Dalam menerapkan syariah Islam itu, Rasul saw. sangat konsisten. Misalnya, beliau menolak permintaan untuk meringankan hukuman terhadap wanita terpandang yang mencuri, meski permintaan itu disampaikan oleh orang yang sangat dekat dengan beliau. Bahkan ketika itu beliau bersabda, _“Wahai manusia, sungguh orang-orang sebelum kalian itu binasa karena bila yang melakukan pencurian itu orang terpandang, mereka biarkan. Namun, bila yang mencuri itu kalangan rakyat jelata, mereka menerapkan hukuman atasnya. Demi Allah, kalau saja Fathimah putri Muhammad mencuri, sungguh akan aku potong tangannya.”_ (HR Muslim).

Rasul saw. juga menyatukan dan melebur masyarakat yang beliau pimpin menjadi satu kesatuan umat dengan ikatan yang kokoh, yakni ikatan akidah Islam. Beliau sekaligus melenyapkan ikatan-ikatan _‘ashabiyyah jâhiliyah_, seperti ikatan kesukuan dan kebangsaan. KH Hasyim Asy’ari _rahimahulLâh_ melukiskan, _“Lalu hilanglah perbedaan-perbedaan kebangsaan, kesukuan, bahasa, mazhab dan nasionalisme yang selama ini menjadi penyebab permusuhan, kebencian dan kezaliman. Masyarakat pun–atas nikmat Allah–berubah menjadi bersaudara. Jadilah orang Arab, orang Persia, orang Romawi, orang India, orang Turki, orang Eropa dan orang Indonesia semuanya berperan saling menopang satu sama lain sebagai saudara yang saling mencintai karena Allah. Tujuan mereka semua hanya satu, yaitu menjadikan kalimat Allah menjadi unggul dan kalimat setan menjadi hina. Mereka mengabdi demi Islam dengan ikhlas. Semoga Allah mengganjar mereka dengan sebaik-baik balasan. Inilah Salman al-Farisi, Shuhaib ar-Rumi, Bilal al-Habasyi, dan yang lainnya. Mereka adalah di antara yang beriman kepada Allah dengan ikhlas, memperjuangkan dan menolong Islam dengan segala kekuatan yang mereka miliki, memprioritaskan kepentingan Islam di atas kepentingan bangsa dan kaum mereka. Ini karena mereka memandang bahwa ketaatan kepada Allah adalah di atas segalanya dan bahwa kebaikan atas kemanusiaan ada pada pengabdian mereka pada Islam.”_ (KH Hasyim Asy’ari, _Irsyâd al-Mu`minîn ilâ Sîrah Sayyid al-Mursalîn_, hlm 44).

Rasul saw. juga memimpin umat untuk menjalankan misi agung menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad. Islam dan penerapannya secara totalitas akhirnya merambah ke berbagai negeri menebarkan rahmat di setiap jengkalnya.

Ketika Rasul saw. wafat pada 12 Rabiul Awwal 11 H, kepemimpinan beliau itu dilanjutkan oleh para sahabat dalam sistem Khilafah selama era Khulafaur Rasyidin. Kepemimpinan itu merupakan sunnah Khulafaur Rasyidin yang juga Rasul saw. perintahkan untuk kita pegangi.

Alhasil, semua keteladanan Nabi saw. itu harus diteladani secara totalitas, termasuk keteladanan dalam kepemimpinan. Meneladani kepemimpinan Nabi saw. bukan hanya meneladani beliau sebagai sosok pemimpin, tetapi juga meneladani dan merealisasikan sistem yang beliau gariskan dan contohkan, yaitu sistem Islam, melalui penerapan syariah Islam secara menyeluruh. Termasuk syariah Islam tentang Khilafah. []


*Hikmah:*

Rasulullah saw. bersabda:

«… فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ فَتَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ…»

_“…Oleh karena itu kalian wajib berpegang pada Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Berpegang teguhlah pada sunnah itu dan gigitlah itu erat-erat dengan gigi geraham….”_ (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan at-Tirmidzi). []

MENUNAIKAN HAK-HAK NABI SAW.


*BULETIN DAKWAH KAFFAH – 215*
15 Rabiul Awwal 1443 H/22 Oktober 2021 M


*MENUNAIKAN HAK-HAK NABI SAW.*

Pada bulan Rabiul Awwal, umat Muslim di Indonesia umumnya bergembira menyambut peristiwa kelahiran Nabi saw. Beliaulah satu-satunya pribadi yang tidak pernah lekang keharuman namanya. Tak pernah pudar kekaguman orang pada keluhurannya. Sepanjang masa, nama Baginda Nabi saw. dielu-elukan. Shalawat untuk beliau banyak dibacakan. Makam beliau pun ramai dikunjungi orang dengan penuh keharuan sembari diiringi tetesan air mata kerinduan.

Kegembiraan itu wajar mengingat pengutusan Rasulullah saw. adalah nikmat yang paling agung bagi umat manusia. Berkat kedatangan beliau, manusia dibebaskan dari kesesatan. Mereka diajak menuju keimanan dan ketakwaan. Allah SWT berfirman:

لَقَدْ مَنَّ اللّٰهُ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ اِذْ بَعَثَ فِيْهِمْ رَسُوْلاَ مِّنْ اَنْفُسِهِمْ يَتْلُوْا عَلَيْهِمْ اٰيٰتِه وَيُزَكِّيْهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَ وَاِنْ كَانُوْا مِنْ قَبْلُ لَفِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ

_Sungguh, Allah telah memberi kaum Mukmin karunia ketika Dia mengutus seorang rasul (Muhammad) di tengah-tengah mereka dari kalangan mereka sendiri. Ia membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka serta mengajari mereka al-Kitab (al-Quran) dan Hikmah (as-Sunnah) meskipun sebelumnya mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata_ (TQS Ali Imran [3]: 164).


*Tunaikan Hak Nabi saw.*

Kegembiraan itu mesti diwujudkan dengan menunaikan hak-hak Rasulullah saw. Hak yang paling utama adalah mengimani beliau sebagai utusan Allah, sekaligus penutup kenabian dan pembawa risalah terakhir. Mengimani Rasulullah satu-kesatuan dengan seluruh keimanan yang lain. Tidak boleh dipisahkan. Tidak seperti orang-orang Yahudi yang telah mengetahui Rasulullah saw. adalah nabi yang terakhir, namun menolak mengimani beliau. Padahal tanda-tanda kenabian telah nyata pada diri Baginda Nabi saw.

 الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءَهُمْ وَإِنَّ فَرِيقًا مِنْهُمْ لَيَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ

_Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah kami beri al-Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Sungguh sebagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui_ (TQS al-Baqarah [2]: 146). 

Juga bukan seperti pengikut Ahmadiyah yang menolak Rasulullah saw. sebagai penutup para nabi dan rasul. Mereka malah mengimani Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi terakhir. Padahal Rasulullah saw. telah bersabda:

«وَأَنَا الْعَاقِبُ وَالْعَاقِبُ الَّذِي لَيْسَ بَعْدَهُ نَبِيٌّ»

_Aku adalah al-‘Aqib (yang paling belakang). Al-‘Aqib yaitu [nabi] yang tidak ada lagi nabi sesudahnya_ (HR Muslim).

Hak Rasulullah saw. yang patut diperhatikan dan ditunaikan umat manusia adalah membacakan shalawat dan salam untuk beliau. Seorang Mukmin telah diperintahkan Allah SWT untuk senantiasa memanjatkan shalawat dan salam kepada Nabi saw. sebagaimana firman-Nya:

إِنَّ اللَّهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا 

_Sungguh Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepada dirinya_ (TQS al-Ahzab [33]: 56).


*Hak Dicintai dan Ditaati*

Rasulullah saw. juga punya hak untuk dicintai umatnya. Ini adalah bagian kesempurnaan iman. Kecintaan kepada Nabi saw. bukan cinta biasa, tetapi kecintaan di atas segalanya; melebihi cinta pada harta, keluarga dan manusia lain. Sabda beliau:

«لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ مَالِهِ وَأَهْلِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ»

_Tidaklah sempurna keimanan salah seorang di antara kalian hingga aku lebih dia cintai daripada hartanya, keluarganya dan seluruh umat manusia_ (HR Muslim).

Penting bertanya kepada diri kita, sudah luruskah cinta kita kepada Rasulullah saw.? Pantaskah cinta pada keluarga, harta, jabatan, kelompok, suku bangsa, menyingkirkan rasa cinta kepada Rasulullah? Apalagi bila pernyataan cinta itu tidak dibarengi dengan pembelaan atas kehormatan beliau saat dinistakan. Pantaskah orang mengaku cinta kepada beliau, tetapi berdiam diri dan mencari-cari alasan untuk tidak marah dan tidak membela kemuliaannya? Sebaliknya, bila harga dirinya, keluarganya, atau jabatannya terusik, amarah dirinya meledak.

Tentu amat tidak pantas. Allah SWT bahkan menyebut mereka fasik seraya mengancam mereka. Allah SWT berfirman:

قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ

_Katakanlah, “Jika bapak-bapak kalian, anak-anak kalian, saudara-saudara kalian, istri-istri kalian, keluarga kalian, harta kekayaan yang kalian usahakan, perdagangan yang kalian khawatirkan kerugiannya dan rumah-rumah tempat tinggal yang kalian sukai lebih kalian cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah memberikan keputusan (azab)-Nya.” Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum yang fasik_ (TQS at-Taubah [9]: 24).

Kecintaan yang hakiki kepada Nabi saw. akan mengantarkan seorang Muslim kelak bersama dengan beliau di dalam surga. Bahkan amal-amal yang lain pun tak bisa mengantarkan seorang Muslim untuk bisa bersama dengan Rasulullah, kecuali _mahabbah_ kepada beliau. Anas bin Malik ra. berkata bahwa suatu ketika ada seorang lelaki mendatangi Rasulullah saw. dan bertanya tentang Hari Kiamat. Kemudian Nabi saw. bertanya kepada orang tersebut:

«مَا أَعْدَدْتَ لَهَا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا أَعْدَدْتُ لَهَا كَبِيرَ صَلاَةٍ وَلاَ صَوْمٍ إِلاَّ أَنِّي أُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ وَأَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ» 

_”Apa yang telah engkau persiapkan untuk menghadapi Hari Kiamat?” Orang itu menjawab, “Aku tidak menyiapkan sekian banyak shalat dan puasa untuknya, hanya saja aku mencintai Allah dan Rasul-Nya.” Rasulullah saw. berkata, “Seseorang bersama orang yang ia cintai dan engkau bersama orang yang engkau cintai.”_ (HR Tirmidzi).

Kecintaan kepada Nabi saw. juga harusnya membawa kita menunaikan hak beliau berikutnya, yakni menaati beliau. Seorang Muslim senantiasa mendahulukan ketaatan kepada Rasulullah saw. ketimbang kepada selain beliau. Cinta dan taat kepada Rasulullah saw. membuat Abu Bakar ash-Shiddiq ra. mengorbankan semua harta untuk menemani perjalanan hijrah beliau. Demikian pula Saad bin Abi Waqqash ra. Karena cinta dan taat kepada Rasulullah saw., ia mengabaikan permintaan ibunya untuk murtad dari Islam. 

Demikianlah, karena Allah SWT telah mengingatkan agar seorang Muslim tidak menjadikan siapa saja, termasuk orangtua dan saudara, sebagai sahabat dan penolong jika mereka lebih menyukai kekafiran daripada keimanan (Lihat: QS at-Taubah [9]: 23).

Ketaatan kepada Rasulullah saw. akan mengantarkan umat ke dalam surga-Nya. Rasulullah saw. telah berjanji bahwa umat ini seluruhnya akan masuk surga, kecuali yang enggan. Sabda beliau:

«كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلاَّ مَنْ أَبَى قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ يَأْبَى قَالَ مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى»

_”Setiap umatku masuk surga selain yang enggan,” Para Sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, siapa yang enggan?” Beliau menjawab, “Siapa yang menaatiku masuk surga dan siapa yang membangkang kepadaku berarti ia enggan.”_ (HR al-Bukhari).

Karena itu jangan sia-siakan rasa cinta kepada Nabi saw. dengan membangkang kepada beliau; menolak syariah Islam yang beliau bawa, mengkriminalisasi khilafah, memusuhi para pengemban dakwah dan membubarkan organisasinya, menebarkan fitnah kepada sesama Muslim, lalu malah bermesraan dengan musuh-musuh Allah dan Rasul-Nya.

Imam al-Bukhari meriwayatkan bahwa kelak di akhirat, akan ada orang-orang yang berusaha mendekati Rasulullah saw. dan berharap bisa mendapatkan air dari telaga, namun mereka terhalang. Bahkan Rasulullah saw. sampai keheranan dan berkata:

«يَا رَبِّ مِنِّي وَمِنْ أُمَّتِي فَيُقَالُ هَلْ شَعَرْتَ مَا عَمِلُوا بَعْدَكَ وَاللَّهِ مَا بَرِحُوا يَرْجِعُونَ عَلَى أَعْقَابِهِمْ» 

_”Tuhanku, ia adalah bagian dari diriku dan termasuk umatku!” Dijawab, “Apakah engkau menyadari apa yang mereka lakukan sepeninggalmu? Demi Allah, mereka tak henti-hentinya berbalik ke belakang.”_  (HR al-Bukhari). 

Siapakah yang dimaksud dengan orang yang berbalik ke belakang itu sehingga terhalang mendapatkan minuman di telaga akhirat? Imam al-Qurthubi dalam kitab At-Tadzkirah menyebutkan, _“Semua orang yang murtad dari agama Allah, atau membuat bid’ah yang tidak diridhai dan diizinkan oleh Allah, merekalah orang-orang yang diusir dan dijauhkan dari telaga… Demikian pula orang-orang zalim yang melampaui batas dalam kezalimannya, membasmi kebenaran, membantai penganut kebenaran, dan menekan mereka…”_

Penjelasan di atas patut direnungkan bagi siapa saja yang mengharapkan kemuliaan bersama Nabi saw. di akhirat, mendapatkan air dari telaga pemberian beliau. Hendaknya mereka segera meninggalkan kezaliman kepada orang-orang yang memperjuangkan agama Allah. Sebaliknya, hendaknya mereka kembali menegakkan ketaatan sempurna kepada Allah dan Rasul-Nya. Itulah orang-orang yang beruntung. _WalLaahu a’lam_. []


*Hikmah:*

Allah SWT berfirman:

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا

_Siapa saja yang menaati Allah dan Rasul-Nya akan bersama-sama dengan orang-orang yang Allah anugerahi nikmat, yaitu: para nabi, para shiddiqin, para syuhada dan orang-orang salih. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya._ (TQS an-Nisa’ [4]: 69). []

MURTAD DAN KONSEKUENSINYA


*BULETIN DAKWAH KAFFAH – 216*
22 Rabiul Awwal 1443 H/29 Oktober 2021 M


*MURTAD DAN KONSEKUENSINYA*

Setidaknya ada tiga isu keagamaan yang mencuat di Tanah Air baru-baru ini. _Pertama_: Viral berita tentang Sukmawati, seorang tokoh nasional sekaligus putri Proklamator RI Soekarno, yang secara terbuka menyatakan niatnya untuk berpindah agama (murtad) dari Islam ke Hindu. Tepat Selasa kemarin dia telah resmi memeluk agama Hindu (_Detik.com_, 26/10/2021).

_Kedua_: Tak lama berselang, muncul lagi kasus penistaan terhadap Islam. Kali ini viral video seorang artis kontroversial, Nikita Mirzani, yang oleh sejumlah pihak diduga melecehkan bacaan shalat. Tentu, ini bukan kasus pertama. Penistaan terhadap Islam sudah sering terjadi. Termasuk pernah dilakukan oleh Sukmawati sebelum murtad (keluar) dari Islam. Dia pernah mengklaim konde lebih baik dari cadar/jilbab. Dia juga menganggap suara kidung lebih indah dari suara azan. Saat yang lain dia pun pernah membandingkan Soekarno dengan Nabi Muhammad saw. (_Tempo.co_, 17/11/2019).

_Ketiga_: Muncul lagi pernyataan kontroversial dari Ade Armando. Kali ini dia menyatakan bahwa dirinya memang beragama Islam. Namun, dia dengan tegas menolak syariah Islam. Alasannya, kata dia, “Saya tidak percaya umat Islam harus menjalankan syariah Islam.” Dia mengungkapkan sikap beragamanya itu dalam video berjudul, “Mengapa Saya tidak Percaya pada Syariah”, yang tayang di _Cokro TV_, Senin, 25 Oktober 2021 (_Democrazy.id_, 26/10/2021). 

Pertanyaannya: Mengapa saat ini orang begitu mudah murtad dari Islam? Mengapa pula sering terjadi kasus penistaan terhadap Islam seperti melecehkan al-Quran, Nabi Muhammad saw., syariah Islam, jilbab, jihad, khilafah dll? Mengapa juga masih ada Muslim yang menolak syariah Islam? Bukankah tindakan melecehkan Islam dan menolak syariah Islam pun bisa menjadikan pelakunya murtad dari Islam?


*Pangkalnya Sekularisme*

Sekularisme yang diterapkan di negeri ini tentu berperan besar dalam melahirkan orang-orang yang murtad dari Islam, juga dalam melahirkan orang-orang yang sering melecehkan Islam dan menolak syariah Islam. 

Sekularisme adalah akidah (keyakinan dasar) yang memisahkan agama dari kehidupan. Sekularisme menjadi dasar ideologi Kapitalisme. Kapitalisme melahirkan antara lain sistem demokrasi. Dalam sistem demokrasi dikenal sejumlah kebebasan yang dijamin oleh undang-undang. Di antaranya kebebasan beragama, kebebasan berpendapat/beropini dan kebebasan berperilaku. 

Dalam konteks kebebasan beragama, misalnya, setiap orang memang dibiarkan memeluk agama dan keyakinan apapun. Mereka juga dibebaskan untuk gonta-ganti agama. Hari ini Islam, besok Hindu, lusa Budha, dst. Tidak ada masalah dalam sistem demokrasi. 

Begitu pun dalam konteks kebebasan berpendapat/beropini dan berperilaku. Setiap orang dibebaskan untuk berpendapat/beropini dan berperilaku meski itu menistakan Islam, al-Quran, Nabi Muhammad saw. dan syariah Islam. Juga tidak ada persoalan dalam sistem demokrasi. 

Karena itu dalam sistem sekuler saat ini wajar jika ada Muslim yang begitu mudah murtad dari Islam. Banyak pula Muslim yang melakukan tindakan pelecehan terhadap Islam atau terang-terangan menolak syariah Islam. Padahal tindakan demikian pun bisa membuat pelakunya murtad dari Islam. 


*Konsekuensi Murtad*

Allah SWT berfirman:

﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ﴾

_Wahai orang-orang yang beriman, siapa saja di antara kalian yang murtad (keluar) dari agama kalian, pasti Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Dia cintai dan mereka pun mencintai Dia. Mereka bersikap lemah-lembut kepada kaum Mukmin dan bersikap keras terhadap kaum kafir_ (TQS al-Maidah [5]: 54).

Menurut Imam Ibnu Katsir _rahimahulLâh_, melalui ayat ini Allah SWT menginformasikan tentang kekuasaan-Nya yang agung, bahwa siapa saja yang berpaling dari upaya menolong agama-Nya dan menegakkan syariah-Nya, maka sesungguhnya Allah SWT pasti akan mengadakan penggantinya dengan orang yang lebih baik. Mereka lebih sungguh-sungguh dalam melindungi (agama-Nya) dan lebih lurus jalannya. Menurut beliau pula, mengutip Imam al-Hasan al-Bashri, ayat ini turun berkaitan dengan orang-orang yang murtad (keluar) dari Islam pada masa Khalifah Abu Bakar ra. (Ibnu Katsir, _Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm_, 3/135).

Terkait ayat di atas, menurut Imam ath-Thabari _rahimahulLâh_, sesungguhnya kaum yang murtad tersebut, yakni setelah Nabi Muhammad saw. wafat, mengatakan, “Terkait shalat, maka kami akan tetap shalat. Adapun terkait zakat, maka demi Allah, kami tidak akan menyerahkan harta-harta kami.” Mendengar itu, Khalifah Abu Bakar ra. berkata, “Demi Allah, aku tidak akan memisahkan perkara yang telah Allah satukan (shalat dan zakat, red.). Demi Allah, andai mereka menolak untuk menyerahkan kepadaku zakat unta dan kambing yang telah Allah dan Rasul-Nya wajibkan (atas mereka), aku pasti akan memerangi mereka karena penolakan mereka itu (Ath-Thabari, _Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân_, 21/431).

Berdasarkan penjelasan Imam ath-Thabari tersebut, orang-orang yang menolak salah satu syariah Islam (di antaranya zakat) diperlakukan sama dengan orang-orang yang murtad. Mereka sama-sama dibunuh/diperangi.

Berkaitan dengan orang yang murtad, Imam Syafi’i di dalam kitabnya, _Al-Umm_, menjelaskan bahwa seseorang yang berpindah dari kesyirikan menuju keimanan, lalu dia berpindah lagi dari keimanan menuju kesyirikan, maka jika orang itu sudah dewasa baik laki-laki maupun perempuan, dia diminta bertobat. Jika dia bertobat maka tobatnya itu diterima. Sebaliknya, jika dia enggan bertobat, maka dia harus dihukum mati (Asy-Syafi’i, _Al-Umm_, 6/168).

Pendapat Imam Syafi’i ini didasarkan pada sabda Nabi Muhammad saw.:

«لاَ يَحِلُّ دَمُ امْرِئِ مُسْلِمٍ إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاَثٍ: كُفْرٌ بَعْدَ إِيْمَانٍ وَزِنًا بَعْدَ إِحْصَانٍ وَقَتْلُ نَفْسٍ بِغَيْرِ نَفْسٍ»

_Tidak halal (menumpahkan) darah seorang Muslim kecuali karena salah satu di antara tiga sebab: kufur setelah beriman; zina setelah beristri; membunuh seseorang bukan karena orang tersebut melakukan pembunuhan_ (HR al-Bukhari dan Muslim).

Hukuman mati atas orang murtad juga ditegaskan di dalam sabda Nabi Muhammad saw.:

«مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ»

_Siapa saja yang mengganti agamanya (murtad dari Islam, red.), bunuhlah dia!_ (HR al-Bukhari dan an-Nasa’i).

Jelas, hukuman mati atas orang murtad, 100% berdasarkan keputusan Nabi saw. Keputusan beliau tentu berasal dari wahyu Allah SWT. Karena itu hukuman ini bukan hasil pemikiran manusia. Apalagi dikaitkan dengan latar belakang politik kaum Muslim. Namun demikian, hukuman mati atas orang murtad harus dilakukan oleh penguasa kaum Muslim (Imam/Khalifah) dengan beberapa ketentuan antara lain: _Pertama_, penetapan hukuman mati atas orang murtad hanya bisa diputuskan oleh pengadilan syariah. _Kedua_, harus ada penundaan hukuman jika pelaku murtad ada harapan untuk kembali ke pangkuan Islam. Imam ats-Tsauri berpendapat, “Ditunda hukumannya jika ada harapan pelaku murtad mau bertobat.” (Ibnu Taimiyah, _Ash-Sharim al-Maslul_, hlm. 328). _Ketiga_, selama penundaan hukuman, pelaku murtad didakwahi dengan _hikmah_ dan nasihat yang baik, diajak dialog/debat supaya ia mau bertobat dan kembali ke pangkuan Islam. 


*Makna ‘Tidak Ada Paksaan dalam Beragama’*

Sebagian kalangan ada yang berpendapat bahwa tidak ada paksaan dalam beragama. Karena itu siapapun bebas memeluk agama apapun. Termasuk untuk berpindah-pindah agama. Mereka lalu berdalil dengan ayat:

﴿لاَ إِكْرَاهَ فِي الدِّيْنِ﴾

_Tidak ada paksaan dalam beragama_ (TQS al-Baqarah [2]: 256).

Menurut Imam al-Alusi, ayat di atas bermakna, “Janganlah kalian memaksa (manusia) untuk masuk Islam.” (Al-Alusi, _Rûh al-Ma’âni_, 2/322).

Dengan demikian memang siapapun tidak boleh dipaksa untuk memeluk agama Islam. Namun, saat mereka sudah menjadi Muslim, mereka haram untuk murtad (keluar) dari Islam. Jika mereka murtad, sebagaimana penjelasan di atas, mereka wajib dihukum mati, kecuali jika mereka mau segera bertobat dan kembali ke pangkuan Islam.


*Konsekuensi Menolak Syariah*

Sebagaimana haram murtad (keluar) dari Islam, maka haram pula menolak syariah Islam, baik secara keseluruhan maupun sebagiannya. Allah SWT telah mencela dengan keras sikap demikian:

﴿أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنْكُمْ إِلاَّ خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ﴾

_Apakah kalian mengimani sebagian al-Kitab dan mengingkari sebagian lainnya? Tidak ada balasan bagi orang yang bertindak demikian kecuali kehinaan dalam kehidupan dunia dan pada Hari Kiamat kelak dia akan dilemparkan ke dalam azab yang sangat keras_ (TQS al-Baqarah [2]: 85). 

Karena itu, sebagaimana kepada orang murtad diberlakukan hukuman mati, demikian pula kepada penolak syariah. Mereka diperangi. Demikianlah sebagaimana pernah dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq terhadap orang-orang murtad dan para penolak zakat. 

Kebijakan yang ditempuh Khalifah Abu Bakar ra. dalam menghukum secara tegas orang murtad dan para penolak zakat sekaligus menjadi bukti bahwa penguasa Muslim wajib menjaga akidah umat. Jangan sampai banyaknya orang murtad dan para penolak syariah menular ke masyarakat secara luas. Ini tentu tidak boleh terjadi.

Sayangnya, saat ini kita tidak bisa banyak berharap kepada para penguasa Muslim dalam membentengi akidah umat. Pasalnya, mereka sendiri adalah penjaga sistem sekuler. Mereka tidak akan peduli jika akidah umat rusak, bahkan lenyap sekalipun.

Alhasil, saatnya umat mencabut sekularisme dan segala turunannya. Lalu tegakkan sistem Islam! []


*Hikmah:*

Allah SWT berfirman:

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ اْلإِسْلاَمِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي اْلآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

_Siapa saja yang mencari agama selain Islam tidak akan pernah agama itu diterima (oleh Allah) dari dirinya dan di Akhirat nanti dia termasuk kaum yang merugi._ (TQS Ali Imran [3]: 85). []

LAYANAN KESEHATAN: HAK RAKYAT, BUKAN DAGANGAN PEJABAT


*BULETIN DAKWAH KAFFAH – 218*  
06 Rabiul Akhir 1443 H/12 November 2021 M


*LAYANAN KESEHATAN: HAK RAKYAT, BUKAN DAGANGAN PEJABAT*

Terbongkarnya pejabat negara dalam bisnis layanan tes kesehatan PCR tentu sangat memalukan dan memilukan. Bagaimana tidak. Selama pandemi, rakyat sudah sangat susah. Banyak yang kesulitan secara ekonomi. Saat yang sama, untuk berbagai keperluan rakyat berkali-kali harus melakukan tes kesehatan yang tidak gratis. Mereka harus membayar. Bahkan dengan harga sangat mahal. 

Pada awal pandemi layanan tes PCR mencapai jutaan rupiah. Kini, setelah banyak diprotes, harganya turun ke kisaran ratusan ribu rupiah. Itu pun masih dianggap mahal. Sebagian kalangan menyebut tes PCR bisa hanya puluhan ribu rupiah saja. Yang pasti, berapapun harganya, sudah seharusnya semua itu ditanggung Negara. Artinya, rakyat seharusnya bisa memperoleh layanan kesehatan, termasuk tes PCR, secara gratis. 

Namun, yang terjadi tidak demikian. Rakyat harus membayar mahal layanan tes PCR. Bukan kepada negara, tetapi kepada pihak swasta. Ironinya, sebagian perusahaan swasta penyedia layanan kesehatan tes PCR itu dimiliki oleh segelintir pejabat negara. Mereka yang membuat kebijakan. Mereka juga yang jualan dan menikmati _cuan_ besar-besaran. Tentu semua itu adalah hasil dari “merampok” uang rakyat dengan memanfaatkan kebijakan wajib tes PCR yang mereka buat sendiri. Sangat tidak bermoral!


*Nikmat Kesehatan*

Di antara nikmat besar yang Allah SWT karuniakan kepada manusia adalah kesehatan. Betapa besarnya nikmat kesehatan dinyatakan oleh Rasulullah saw. dalam sabda beliau:

»مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ مُعَافًى فِي جَسَدِهِ آمِنًا فِي سِرْبِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا «

_Siapa saja di antara kalian yang masuk waktu pagi dalam keadaan sehat badannya, aman dalam rumahnya dan punya makanan pokok pada hari itu maka seolah-olah seluruh dunia dikumpulkan untuk dirinya_ (HR Ibnu Majah).

Karena itu Islam memerintahkan kaum Muslim untuk menjaga kesehatan. Jangan sampai seorang Muslim mengabaikan kesehatan walaupun dengan alasan ibadah kepada Allah SWT. Rasulullah saw. pernah menegur Sahabat Abdullah bin Amru bin al-Ash ra. yang beribadah terus-menerus:

»فَإِنَّكَ إِذَا فَعَلْتَ ذَلِكَ هَجَمَتْ عَيْنُكَ وَنَفِهَتْ نَفْسُكَ وَإِنَّ لِنَفْسِكَ حَقًّا وَلِأَهْلِكَ حَقًّا فَصُمْ وَأَفْطِرْ وَقُمْ وَنَمْ «

_Sungguh jika kamu melakukan hal itu terus-menerus maka nanti matamu letih dan jiwamu lemah. Sungguh untuk dirimu ada haknya. Keluargamu juga punya hak. Karena itu berpuasalah dan berbukalah; bangunlah (untuk shalat malam) dan tidurlah_ (HR al-Bukhari).

Kaum Muslim juga diperintahkan untuk menghindari wabah penyakit. Nabi saw. bersabda:

»فِرَّ مِنَ الْمَجْذُوْمِ فِرَارَكَ مِنَ الأَسَدِ«

_Larilah dari wabah penyakit kusta seperti engkau lari dari singa_ (HR Muslim).

Jika sakit, kaum Muslim diperintahkan untuk berobat. Nabi saw. bersabda:

»إِنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ وَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءً فَتَدَاوَوْا وَلَا تَدَاوَوْا بِحَرَامٍ«

_Sungguh Allah telah menurunkan penyakit dan obat. Dia telah menjadikan bagi setiap penyakit ada obatnya. Karena itu berobatlah dan jangan berobat dengan sesuatu yang haram!_ (HR Abu Dawud).


*Bisnis Kesehatan*

Pada faktanya, rakyat membutuhkan peran Negara untuk menjaga kesehatan dan pengobatan. Apalagi pada masa wabah, pelayanan kesehatan secara menyeluruh semisal tes Covid-19 dan perawatan serta jaminan hidup tidak mungkin dapat dipenuhi warga secara mandiri. Negara seharusnya hadir untuk memberikan pelayanan kesehatan secara gratis dan perlindungan kepada rakyatnya.

Namun, dalam sistem kapitalisme, kesehatan dan nyawa manusia justru menjadi komoditi bisnis. Dalam kasus pandemi Covid-19 ini, misalnya, Negara terbukti membiarkan para pengusaha berlomba-lomba mengambil keuntungan besar dari bisnis di bidang kesehatan. Ironisnya, bisnis layanan kesehatan berupa tes PCR sebagian dipegang oleh perusahaan milik pejabat negara. 

Yang lebih ironis, layanan tes PCR di Tanah Air pernah mencapai Rp 2 juta. Jauh di atas harga pokok produksi. Padahal, sebagai perbandingan, di Tokyo Haneda tes PCR adalah US 17 dolar atau sekitar Rp 241 ribu rupiah. Di Mumbai lebih murah lagi, tes PCR US 8 dolar atau hanya sekitar Rp 113 ribu! (_Kompas.com_, 14/08). 

Belakangan, Aiman Witjaksono, seorang jurnalis melakukan investigasi terhadap biaya tes PCR, ternyata ia menemukan harganya bisa hanya 10 ribu rupiah saja (_Kompas.com_, 9/11)! Sungguh keterlaluan! Karena itu ICW memperkirakan keuntungan yang diperoleh perusahaan-perusahaan tersebut bisa mencapai lebih dari Rp 10 triliun (_Pikiran-rakyat.com_, 4/11).

Yang makin membuat geram dan marah, tak ada sanksi hukum apapun terhadap para pejabat negara dan koleganya yang membisniskan layanan kesehatan ini. Padahal terlihat jelas mereka telah melakukan penyimpangan kekuasaan. 


*Kewajiban Negara* 

Dalam Islam, pelayanan kesehatan termasuk kewajiban Negara. Ini sesuai dengan sabda Rasul saw.:

»الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ«

_Pemimpin Negara adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus_ (HR al-Bukhari). 

Salah satu tanggung jawab pemimpin negara adalah menyediakan layanan kesehatan dan pengobatan bagi rakyatnya secara cuma-cuma alias gratis. Dalilnya adalah kebijakan Nabi Muhammad saw.—dalam posisi beliau sebagai kepala negara—yang pernah mengirim dokter gratis untuk mengobati salah satu warganya, yakni Ubay bin Kaab, yang sakit. Diriwayatkan, ketika Nabi saw. mendapatkan hadiah seorang dokter dari Muqauqis, Raja Mesir, beliau menjadikan dokter itu sebagai dokter umum bagi masyarakat umum (HR Muslim). 

Dalam riwayat lain disebutkan, serombongan orang dari Kabilah ‘Urainah masuk Islam. Mereka lalu jatuh sakit di Madinah. Rasulullah saw. selaku kepala negara kemudian meminta mereka untuk tinggal di penggembalaan unta zakat yang dikelola Baitul Mal di dekat Quba’. Mereka diperbolehkan minum air susunya secara gratis sampai sembuh (HR al-Bukhari dan Muslim). 

Kebijakan ini pun dilanjutkan oleh para khalifah sepeninggal Rasulullah saw. Sepeninggal Khulafaur Rasyidin, perhatian Negara Islam pada layanan kesehatan, pengobatan, juga riset kesehatan dan obat-obatan semakin pesat. Misalnya sekitar tahun 1000 M, Ammar ibn Ali al-Mawsili menemukan jarum hypodermic. Dengan itu dia dapat melakukan operasi bedah katarak pada mata. Ada pula Abu al-Qasim az-Zahrawi. Ia dianggap bapak ilmu bedah modern. Pasalnya, ia menemukan berbagai hal yang dibutuhkan dalam bidang pembedahan, termasuk plester dan 200 alat bedah. 

Sepanjang sejarahnya Khilafah Islam juga membangun banyak rumah sakit yang berkualitas untuk melayani rakyat secara gratis. Rumah sakit pertama dalam peradaban Islam dibangun atas permintaan Khalifah Al-Walid (705-715 M) pada era Khilafah Bani Umayah. Pada masa berikutnya beragam rumah sakit di berbagai kota dibangun dengan fasilitas yang bermutu. Bahkan sebagian dilengkapi sekolah kedokteran dan perpustakaan yang lengkap. Untuk melayani warga di pedalaman, para khalifah membangun rumah sakit keliling. Ini terjadi seperti pada masa Sultan Mahmud (511-525 H). 

Jaminan kesehatan dalam Islam itu memiliki empat sifat. _Pertama_: Universal. Artinya, tidak ada pengkelasan dan pembedaan dalam pemberian layanan kepada rakyat. _Kedua_: Bebas biaya alias gratis. Rakyat tidak boleh dikenai pungutan biaya untuk mendapat pelayanan kesehatan. _Ketiga_: Seluruh rakyat bisa mengakses layanan kesehatan dengan mudah. _Keempat_: Pelayanan mengikuti kebutuhan medis, bukan dibatasi oleh plafon seperti halnya JKN atau BPJS. Negara menanggung semua biaya pengobatan warganya.

Pemberian jaminan kesehatan seperti itu tentu membutuhkan dana sangat besar. Pembiayaannya bisa dipenuhi dari sumber-sumber pemasukan negara yang telah ditentukan oleh syariah. Di antaranya dari hasil pengelolaan harta kekayaan umum seperti hasil hutan, berbagai macam tambang, minyak dan gas, dan sebagainya. Juga dari sumber-sumber lain seperti _kharaj, jizyah, ghanîmah, fa’i, ‘usyur_, pengelolaan harta milik negara dan sebagainya. Semua itu lebih dari cukup untuk bisa memberikan pelayanan kesehatan secara memadai, berkualitas dan gratis untuk seluruh rakyat.

Karena itu haram membisniskan layanan kesehatan. Apalagi dilakukan oleh para pejabat negara dengan memanfaatkan jabatannya. Islam melarang keras pemimpin atau pejabat negara menipu rakyat untuk kepentingan bisnis mereka. Sebabnya, seharusnya pejabat negara menjadi pelayan rakyat, bukan malah mengeksploitasi mereka demi keuntungan pribadi. 

Syariah Islam tegas melarang para pejabat negara dan kerabatnya berbisnis ketika mereka menjadi penguasa. Khalifah Umar bin Khaththab ra. pernah merampas kambing-kambing harta perniagaan milik putranya, Abdullah, karena digembalakan di padang rumput milik Baitul Mal. Hewan-hewan itu lalu dijual. Lalu sebagian hasilnya dimasukkan ke Baitul Mal. Khalifah Umar menilai itu sebagai tindakan memanfaatkan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi. 

Semua itu tentu merupakan tuntunan sekaligus tuntutan syariah Islam. Karena itu penerapan seluruh syariah Islam, termasuk di bidang layanan kesehatan, adalah harga mati. Tidak bisa ditawar-tawar. Hal itu hanya bisa diwujudkan di bawah sistem yang dicontohkan dan ditinggalkan oleh Nabi saw., lalu dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin dan generasi selanjutnya. Itulah sistem Khilafah ar-Rasyidah yang mengikuti _manhaj_ kenabian. Inilah yang harus diperjuangkan oleh—sekaligus menjadi tanggung jawab—seluruh umat Islam.
_WalLaahu a’lam._ []


*Hikmah:*

Nabi saw. bersabda:

مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ

_Siapa saja yang diberi amanah oleh Allah untuk mengurus rakyat, lalu ia mati dalam keadaan menipu rakyatnya, niscaya Allah mengharamkan surga atas dirinya._ (HR Muslim). []

Tiga Level Tujuan Pendidikan Anak


Tiga Level Tujuan Pendidikan Anak


Setiap orang tua berusaha menyekolahkan anak mereka ke lembaga pendidikan Islam tepercaya. Ada tiga tingkatan harapan besar orang tua ketika anaknya bersekolah. Level tertinggi adalah menginginkan anaknya menjadi pejuang Islam.

Penulis: Iwan Januar

Muslimah News, PENDIDIKAN ANAK — Ada pertanyaan dan curhatan menarik yang sering ditanyakan orang tua yang menginginkan anaknya ada di barisan dakwah: Kenapa tidak setiap anak yang masuk sekolah Islam bahkan ma’had sekalipun dia mau menjadi pejuang ideologis? Meskipun lembaga itu dipegang oleh para pejuang dakwah?

Sebelum dianalisis, kita kemukakan pemikiran umum orang tua tentang tujuan pendidikan di lembaga sekolah. Setiap orang tua berusaha menyekolahkan anak mereka ke lembaga pendidikan Islam tepercaya.

Ada tiga tingkatan harapan besar orang tua ketika anaknya bersekolah. Level pertama, paling dasar, orang tua berharap anaknya menjadi saleh, taat beragama, patuh pada orang tua. Ini harapan paling asasi atau mendasar. Apalagi di zaman sekarang ini, memiliki anak yang seperti ini benar-benar perhiasan berharga. Pada level ini, orang tua mencukupkan diri target pendidikan pada perbaikan pribadi anak. Mereka yang memasang target pada level ini amat banyak.

Level kedua, orang tua yang memasang target anaknya tumbuh berkembang ke level saleh dan punya spesialisasi keilmuan tertentu. Di bidang sains, harapan orang tuanya adalah agar anak menjadi ilmuwan; ahli fisika, biologi, kedokteran, farmasi, dsb. Di bidang tsaqafah, orang tua berharap anak mereka menjadi penghafal Al-Qur’an, mahir berbahasa Arab, fukaha, ahli hadis, memimpin lembaga pendidikan keislaman, dsb.

Nah, jumlah orang tua yang punya ekspektasi di sini makin berkurang karena memang tergantung pada minat dan kemampuan anak juga faktor biaya. Maklum, menyekolahkan anak untuk sampai pada tingkatan spesialis atau khubara butuh biaya tidak kecil.

Level ketiga adalah orang tua yang bercita-cita anak mereka menjadi pejuang Islam, menegakkan syariat dan kehidupan Islam dalam naungan Khilafah. Bisa ditebak, jumlah orang tua yang menginginkan anak mereka seperti ini jumlahnya makin mengerucut, makin jauh berkurang. Akan tetapi, inilah tujuan pendidikan tertinggi yang sesungguhnya karena anak bukan sekadar baik untuk dirinya sendiri (saleh), memiliki ilmu yang mumpuni, tetapi juga akan berjuang untuk tegaknya Islam sebagai ideologi kehidupan.

Tidak semua orang tua setuju anak mereka ada di barisan perjuangan, sekalipun anak mereka lulusan sekolah atau ma’had. Walaupun anak mereka sudah memiliki kapasitas/kafa’ah sebagai ahli di bidang tsaqafah; hafiz/hafizah, mahir berbahasa Arab, fakih, dsb. Ini bukan lagi bicara soal minat dan kemampuan ataupun biaya, tetapi bicara soal risiko dan keyakinan pada kebenaran ideologi Islam.

Di sisi lain, nyatanya tidak semua anak yang masuk sekolah Islam/ma’had juga otomatis menjadi pejuang dakwah, walaupun orang tua mereka mengharapkan demikian. Banyak pemuda muslim yang telah memiliki spesialisasi bidang sains ataupun tsaqafah justru enggan jadi pejuang syariat atau tidak menjadikan dakwah sebagai poros kehidupan.

Di sinilah orang tua wajib memahami perbedaan metode membentuk anak menjadi ahli/khubara dengan menjadikan mereka sebagai pengemban dakwah. Sekolah, ma’had, kampus, bukanlah tempat mencetak insan menjadi pengemban dakwah, tetapi mencetak mereka sebagai ahli atau orang terdidik (mutsaqafin).

Di sana ada kurikulum yang sudah tertata dengan pola pengajaran, aktivitas dan tujuan tertentu yang tidak berkorelasi langsung dengan perjuangan dan dakwah. Para peserta didik bisa menjadi ilmuwan atau ulama di bidangnya, tetapi belum tentu menjadi seorang hamalatud da’wah dan politisi muslim.

Ada baiknya orang tua yang menginginkan anak-anak mereka menjadi hamalatud da’wah dan politisi muslim membaca satu buku yang ditulis ‘Alamah Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah ra. berjudul At-Takattul Hizbiy. Dalam buku itu, beliau menuliskan tiga perbedaan besar antara sekolah dengan aktivitas sebuah partai politik yang bisa dibaca dalam kitab itu.

Di antaranya beliau menulis, “Namun demikian perlu diketahui bahwa pembinaan ini bukanlah taklim (yang semata hanya proses transfer ilmu-pen), dan bahwa ia berbeda sama sekali dengan sekolah. Oleh sebab itu, pembinaan dalam halakah-halakah tersebut haruslah berjalan dengan suatu asumsi bahwa ideologi Islam adalah gurunya, bahwa ilmu dan tsaqafah yang didapatkan dalam halakah hanya terbatas pada ideologi saja—beserta segala ilmu/tsaqafah yang diperlukan untuk mengarungi medan kehidupan dan bahwa tsaqafah diambil untuk diamalkan secara langsung dalam realitas kehidupan.”

Jadi, bila kita mencita-citakan anak-anak kelak menjadi pengemban dakwah dan politisi muslim yang tangguh, tidak cukup bahkan tidak bisa hanya mengandalkan materi dan aktivitas di sekolah, ma’had, bahkan kampus islami mana pun. Anak-anak kaum muslim harus terlibat dalam diskusi politik Islam, memahami problematik umat, terjun ke masyarakat, melakukan kontak-kontak dakwah, melakukan pergolakan pemikiran dan perjuangan politik. Jatuh bangun mengemban pemikiran Islam. Itulah “aktivitas sekolah” mereka.

Di sekolah atau ma’had, sekalipun guru mereka adalah pengemban dakwah, tetapi atmosfer/al-juw dengan harakah dan perjuangan politik berbeda. Dinamika kehidupan mereka juga berbeda dengan dinamika dalam suatu partai politik Islam. Anak-anak akan dipaksa memeras otak, mengkaji pemikiran-pemikiran Islam untuk menjawab tantangan dan benturan pemikiran dengan berbagai pemikiran kufur dan sesat.

Artinya, anak-anak sedari dini sudah harus dikenalkan dengan suasana perjuangan. Islam diajarkan sebagai ideologi kehidupan, bukan teori belaka. Anak-anak kita ibarat ketel berisi air yang dingin yang harus diletakkan di bawah dan di sekelilingnya energi dari ideologi Islam sehingga membuat air itu mendidih dan bergolak.

Siapakah yang harus meletakkan mabda Islam yang akan memanaskan ketel air tersebut? Orang tua dan para pengemban dakwah sebagai musrif-musrif mereka dalam suasana halakah dan perjuangan.

Mencetak anak sebagai hamalatud da’wah dan politisi tidaklah mensyaratkan mereka harus memiliki spesialisasi dalam bidang tertentu. Tidak mesti mereka memiliki ilmu hingga tingkatan tertentu, tetapi dengan menanamkan Islam sebagai ideologi sehingga bersenyawa (tajassud) pada jiwa anak, lalu membentuk kesadaran politik (wa’yu as-siyasiy), serta melatih mereka memiliki tafkir siyasiy dengan melakukan mengikuti berbagai perkembangan politik, baik di tingkat lokal, regional, dan global.

Hal ini bisa bukan saja pada mereka yang terdidik di bangku sekolah/ma’had atau kampus, tetapi pada mereka yang putus sekolah, buruh, karyawan, hingga pengusaha.

Bagi orang tua yang berharap anak-anak mereka memiliki jiwa pengemban dakwah dan politisi muslim, jangan terlena dengan kondisi pendidikan anak. Sebagaimana ditulis Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah, sekolah beda dengan sebuah partai politik. Selayaknya orang tua memperhatikan hal ini bila memiliki cita-cita yang luhur seperti demikian. [MNews/Gz]

Sumber: iwanjanuar.com

Kajian Hadis: Al-Hukm ‘Ura al-Islâm


Kajian Hadis: Al-Hukm ‘Ura al-Islâm


Penulis: Ustaz Irfan Abu Naveed

Muslimah News, SYARAH HADIS – Dari Abu Umamah al-Bahili r.a., ia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, 

«لَتُنْقَضَنَّ عُرَى الْإِسْلَامِ عُرْوَةً عُرْوَةً، فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيهَا، فَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا الْحُكْمُ، وَآخِرُهُنَّ الصَّلَاةُ»

“Ikatan-ikatan Islam akan terburai satu per satu, setiap kali satu ikatan terburai orang-orang bergantungan pada ikatan selanjutnya. Yang pertama kali terburai adalah al-hukm (kekuasaan/pemerintahan) dan yang terakhir adalah salat.” (HR Ahmad, Ibn Hibban, al-Hakim)[1]

Faidah Bag. I: Hadis Khabar yang Mu’akkad (Ditegaskan) Kebenaran Informasi di dalamnya

Hadis ini hadis khabar (informasi) yang diungkapkan dengan kalimat sumpah (qasam):

والله

Demi Allah

Atau kinâyah dari waLlâhi (sebagaimana disebutkan dalam referensi ilmu balaghah) yakni:

والذي نفسي بيده

“Demi Zat yang diriku berada dalam genggaman-Nya”

Namun, ungkapan qasam tersebut dihilangkan (al-îjâz bi al-hadzf) untuk menekankan pada gagasan inti informasi di dalamnya yang ditandai dengan huruf lam penanda jawab sumpah (lâm jawâb al-qasam) pada frasa: لتنقضن (latunqadhanna). Lafal “latunqadhanna“, diungkapkan dalam bentuk kata kerja pasif (fi’il mabni li al-majhûl), yang ditegaskan para ulama nahwu sebagai fi’il:

لِمَا لَمْ يُسَمَّ فاعلُه

“(Kata kerja) yang tidak disebutkan subjeknya”[2]

Yakni terjadi, namun seakan-akan tak disadari dan dikehendaki kaum muslim itu sendiri, diikuti dengan huruf nûn bertasydîd (latunqadhanna), yakni nûn al-taukîd al-tsaqîlah. Dalam ilmu balaghah kedua bentuk huruf tersebut berfaidah taukîd (penegasan) yang menegaskan kebenaran informasi hadis ini, bahwa al-hukm termasuk ural Islam yang akan pertama kali terurai, demikian seterusnya, di mana yang terakhir adalah salat, sekaligus menegaskan bahwa perkara al-hukmu adalah bagian dari ural Islam.

Faidah Bag. II: Urâ al-Islâm Bermakna Ajaran Islam

Menariknya, hadis ini diikuti dengan informasi bahwa al-hukmu adalah ural Islam, sama seperti salat. Apa yang dimaksud ‘urâ al-Islâm? Lafaz ‘urâ عرى adalah jamak dari lafal ‘urwat عروة dijelaskan Syaikhuna ‘Atha bin Khalil Abu al-Rasytah dalam kitab tafsirnya, Al-Taysîr fî Ushûl al-Tafsîr ketika menafsirkan makna al-‘urwat al-wutsqâ dalam QS. Al-Baqarah [2]: 256, yakni, 

ما يعتصم به ويتعلق عليه

“Apa-apa yang seseorang pegang kuat dan bergantungan padanya.”

Dalam ilmu balaghah, lafaz ini dipinjam oleh baginda Rasulullah ﷺ sebagai kiasan (majâz al-isti’ârah) dari Dîn, ajaran-ajaran Islam, seakan-akan ditegaskan bahwa ia adalah sesuatu yang sudah seharusnya dipegang kuat, tidak boleh dilepaskan dari genggaman. Sekalinya dilepaskan maka bisa hilang.

Penisbahan lafaz ‘urâ ditautkan pada lafaz al-Islâm (‘urâ al-Islâm) dalam bentuk penautan (al-idhâfah: mudhâf mudhâf ilayhi), menunjukkan makna (taqdîr) sebenarnya:

عرى في الإسلام

“Ikatan-ikatan dalam Islam.”

Yakni ajaran Islam itu sendiri, maka stigma apa yang disebut ‘urâ sebagai ajaran Islam ini melekat padanya. Hanya orang yang benar-benar awam pada bahasa arab, yang berani menegasikan dan mengingkarinya, mengingat kejelasan pembahasan ini.

Apa yang termasuk urâ al-Islâm? Salah satunya al-hukm yakni urusan pemerintahan. Ini menunjukkan bahwa urusan al-hukm termasuk ajaran Islam, yakni diatur oleh Islam itu sendiri sehingga bisa tergolong pada ‘urâ al-Islâm.

Kalimat “fawwaluhunna naqdh[an] al-hukm“, kata ganti (dhamîr) hunna dalam kalimat ini kembali kepada lafaz ‘urâ al-Islâm. Menunjukkan secara jelas (manthûq sharîh), bahwa al-hukm adalah salah satu bagian dari ‘urâ al-Islâm. Setelah kejelasan ini, mana mungkin kita mengklaim urusan al-hukm (pemerintahan) tidak diatur oleh Islam? Padahal yang mulia baginda Rasulullah ﷺ sendiri, teladan kita, menegaskan ia termasuk ajaran Islam!

Faidah Bag. III: Bukti Lafaz ‘Urâ al-Islâm dalam Hadis Bermakna Ajaran Islam

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

“Wahai orang-orang yang beriman masuklah kamu kepada Islam secara menyeluruh. Dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi kamu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 208)

Ketika menafsirkan ayat ini, al-Hafizh Ibn Katsir menafsirkan Islam dengan “‘Urâ al-Islâm wa Syarâi’ihi“:

يقول تعالى آمرًا عباده المؤمنين به المصدّقين برسوله: أنْ يأخذوا بجميع عُرَى الإسلام وشرائعه، والعمل بجميع أوامره، وترك جميع زواجره ما استطاعوا من ذلك

“Allah Ta’ala berfirman memerintahkan hamba-hamba-Nya yang mukmin dan membenarkan Rasul-Nya agar mengambil semua ikatan-ikatan Islam dan syariatnya, dan mengerjakan seluruh perintah-Nya dan meninggalkan seluruh larangan-Nya dengan segenap kemampuan mereka melakukan yang demikian.”[3]

Konsekuensi masuk Islam secara kafah adalah menerima seluruh ajaran Islam, mulai ibadah hingga muamalah dan siyasah. Termasuk berkaitan dengan ‘urâ al-Islâm dalam hal kepemimpinan dan pemerintahan. Sistem pemerintahan yang diakui oleh Islam hanyalah sistem khilafah. Dalil akan kewajiban khilafah ditegaskan dalam Al-Qur’an, al-Sunah dan ijmak sahabat. Bahkan ditegaskan pula oleh para ulama salaf dan khalaf.

Tatkala sebagian pihak meragukan khilafah sebagai ajaran Islam dan menjauhkannya dari umat, maka sikap para dai adalah tetap teguh dan tak mudah goyah dalam dakwah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَلَا تَهِنُوا۟ وَلَا تَحْزَنُوا۟ وَأَنتُمُ ٱلْأَعْلَوْنَ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ

“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS Ali ‘Imrân [3]: 139)

Maka berbahagialah mereka yang tetap sabar dalam jalan mulia ini. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa salah satu bentuk pengamalan masuk ke dalam Islam keseluruhannya adalah menegakkan pemerintahan Islam. Tidak boleh tidak, hukumnya fardu, terlebih jika ia termasuk tâj al-furûdh, di mana hal itu kini terurai, digantikan oleh ajaran-ajaran di luar Islam.

Faidah Bag. IV: Al-Hukm Diungkapkan dengan Alif Lam Makrifat & Disandingkan dengan Salat Termasuk ‘Urâ al-Islâm

Dengan logika tasyri’i (ditopang ushul fikih, bahasa arab, dan sebagainya) hadis yang menyebut urusan al-hukm (dengan alif lam ma’rifat) termasuk ‘ura al-islam (ikatan-ikatan Islam) bisa saya katakan cukup untuk “mengharuskan” kaum muslim menemukan format kekhasan (ma’rifat) dari al-hukm (pemerintahan) dalam nas hadis tersebut.

Kaidah umumnya sama seperti penjelasan para ulama menyoal al-rayah (dengan alif lam ma’rifat). Rasulullah ﷺ bersabda ketika Perang Khaibar, 

«لأُعْطِيَنَّ الرَّايَةَ غَدًا رَجُلاً يُفْتَحُ عَلَى يَدَيْهِ، يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ، وَيُحِبُّهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ»

“Sungguh aku akan memberikan al-râyah kepada seseorang, ditaklukkan (benteng) melalui kedua tangannya, ia mencintai Allah dan Rasul-Nya, Allah dan Rasul-Nya pun mencintainya.” (HR Al-Bukhari, Muslim)

Imam Ibn Bathal (w. 449 H) ketika menjelaskan hadis di atas mencirikan panji tauhid al-rayah sebagai sunah Rasulullah ﷺ, Ibn Bathal menegaskan, 

(لأعطين الراية) فعرفها بالألف واللام يدل أنها كانت من سنته -صلى الله عليه وسلم- فى حروبه فينبغى أن يسار بسيرته فى ذلك

“Sungguh aku akan menyerahkan al-Raayah”, kata al-Râyah yang diungkapkan dalam bentuk ma’rifat (ada alif dan lam) menunjukkan bahwa hal tersebut merupakan sunah Rasulullah ﷺ dalam peperangan, maka sudah seharusnya kaum muslim meneladani Rasulullah ﷺ dalam hal tersebut.[4]

Lafaz al-rayah dan al-hukm dalam hadis-hadis di atas, sama-sama diungkapkan dalam bentuk ism ma’rifat, dalam perspektif ilmu balaghah, menunjukkan maksudnya yang spesifik, tidak bias. Dimana lafaz al-hukm di sini berkaitan dengan sistem pemerintahan, yakni sistem pemerintahan dalam Islam (nizhâm al-hukm fi al-Islâm).

Mengomentari hadis ini, salah seorang ulama ahlusunah Irak, pakar ilmu ushul fikih dan ilmu syariah, Syaikh Dr. Abdul Karim Zaydan, beliau menjelaskan, 

والمقصود بالحكم: الحكم على المنهج الإسلامي، ويدخل فيه بالضرورة وجود الخليفة الذي يقوم بهذا الحكم، ونقضه يعني التخلي عنه وعدم الالتزام به، وقد قرن بنقض الصلاة وهي واجبة فدلَّ على وجوبه

“Yang dimaksud al-hukm di sini adalah kekuasaan yang berjalan di atas landasan Islam. Terkandung di dalamnya dengan sejelas-jelasnya, pentingnya eksistensi Khalifah yang menegakkan kekuasaan tersebut, sedangkan yang dimaksud naqdhuhu yakni kekosongan dan ketiadaan konsistensi padanya, Rasulullah ﷺ telah menyandingkan hilangnya institusi kekuasaan ini dengan hilangnya ikatan salat padahal salat itu wajib, menunjukkan bahwa kekuasaan ini hukumnya wajib.”[5]

Pernyataan ilmiah Dr. Abdul Karim Zaydan di atas, dinukil pula oleh Syaikh Dr. Abdullah al-Dumaiji dalam risalahnya ketika menguraikan dalil-dalil al-sunah wajibnya kekhilafahan.[6] Ada dua dilâlah dalam hadis ini yang menegaskan wajibnya menegakkan sistem pemerintahan Islam:

a. Ungkapan ’Urâ Al-Islâm Yakni Ikatan-Ikatan Islam: Al-Hukm wa Al-Shalât

Ungkapan ’urâ al-Islâm, termasuk di antaranya salat, menunjukkan bahwa yang dimaksud ’urâ al-Islâm adalah perkara prinsipil, terlebih ikatan tersebut ditautkan (al-idhâfah) kepada Din Islam, sehingga menunjukkan bahwa perkara pemerintahan ini merupakan perkara fondasi di antara fondasi-fondasi penyokong Islam. Maka tidak mengherankan jika seorang ulama besar ahli fikih dan tafsir sekelas al-Hafizh al-Qurthubi lalu menegaskan, 

وأنها ركن من أركان الدين الذي به قوام المسلمين، والحمد لله رب العالمين

“Dan bahwa ia (al-Imâmah) merupakan fondasi dari fondasi-fondasi agama ini di mana dengannya tegak fondasi kaum muslim, dan segala puji bagi Allah.”[7]

Istilah rukn[un] dalam kamus bahasa ahli fikih (Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’) didefinisikan sebagai pilar, yakni sisi yang kukih dari sesuatu, Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji (w. 1435 H) menuturkan:

الركن: ج أركان وأركن، الجانب الاقوى من الشئ (pillar) أركان الكعبة: ملتقى كل جدارين فيها

Al-Rukn: jamaknya adalah arkân dan arkan, yakni sisi yang kukuh dari sesuatu (pilar atau fondasi). Misalnya arkân al-ka’bah:  yakni tempat pertemuan antara dua dinding di dalamnya (yakni fondasinya).[8]

Hal ini senada digambarkan para ulama, yang juga menegaskan kekhilafahan sebagai Tâj al-Furûdh (mahkota kefarduan) dalam Islam, manakala di bawahnya dinaungi banyak penegakan ajaran-ajaran Islam secara sempurna (kafah), di mana takkan sempurna penegakan Islam dalam kehidupan kecuali dengannya, semisal penegakan sistem persanksian dalam Islam (nizhâm al-’uqûbât) dan lain sebagainya.

b. Penyandingan Ikatan Al-Hukm dengan Al-Shalât

Salat adalah rukun di antara rukun Islam yang agung yang status hukumnya fardu, ketika pemerintahan disandingkan dengan urusan salat, menunjukkan bahwa pemerintahan yang dimaksud termasuk perkara yang fardu untuk ditegakkan sebagaimana ibadah salat.

Menguatkan pendalilan di atas, Syaikh Prof. Dr. Abdullah al-Dumaiji lalu menguatkannya dengan hadis yang mengandung perintah berpegang teguh pada sunah Rasulullah ﷺ dan khulafurasyidin, dari Al-’Irbadh bin Sariyah r.a. ia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, 

«عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ، عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ»

“Hendaklah kalian berdiri di atas sunahku, dan sunah para khalifah al-râsyidîn al-mahdiyyîn (khalifah empat yang mendapatkan petunjuk), gigitlah oleh kalian hal tersebut dengan geraham yang kuat.” (HR Ahmad, Ibn Majah, Al-Hakim, Al-Baihaqi)[9]. [MNews/Rgl]

[1] HR Ahmad dalam Musnad-nya (no. 22160), Syu’aib al-Arna’uth mengomentari: “Sanadnya jayyid”; Ibn Hibban dalam Shahih-nya (no. 6715); al-Hakim dalam al-Mustadrak, ia berkata: “Isnad hadis ini seluruhnya shahih, meskipun al-Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkannya”; Al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir (no. 7486).

[2] Ini sebagaimana disebutkan oleh Ibn Malik dalam Alfiyyah-nya, ditegaskan penerapannya oleh Syaikh Ibn al-‘Utsaimin dalam Syarh Durus al-Balaghah, ketika ia menjelaskan kata kerja pasif yang ditemukan dalam QS. Al-Jin [72]: 10 {وَأَنَّا لَا نَدْرِي أَشَرٌّ أُرِيدَ بِمَنْ فِي الْأَرْض}, lafal urîda pada kalimat “asyarr[un] urîda biman fî al-ardh” (apakah keburukan yang dikehendaki bagi orang yang di bumi) berbentuk kalimat pasif (mabni li al-majhûl), “dikehendaki” sehingga subjeknya tidak dimunculkan jelas, dalam istilah Ibn Malik yakni limâ lam yusamma fâ’iluhu (yakni untuk subjek yang tidak diberi nama), lihat: Abdullah bin Abdurrahman Ibn ’Aqil, Syarh Ibn ’Aqil ’ala Alfiyyat Ibn Malik, Kairo: Dar al-Turats, cet. XX, 1400 H.

[3] Abu al-Fida’ Isma’il bin ‘Umar Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhîm, Dar Thayyibah, cet. II, 1420 H, juz I, hlm. 565.

[4] Abu al-Hasan Ali bin Khalaf Ibn Bathal, Syarh Shahîh al-Bukhâri, Riyadh: Maktabat al-Rusyd, cet. II, 1423 H/2003, juz V, hlm. 141

[5] Dr. Abdul Karim Zaydan, Ushûl al-Da’wah, Beirut: Mu’assasat al-Risalah, cet. IX, 1421 H, hlm. 205.

[6] Abdullah bin Umar bin Sulaiman al-Dumaiji, Al-Imâmah al-‘Uzhmâ ‘Inda Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah, hlm. 51.

[7] Ibid., hlm. 265.

[8] Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji, Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’, hlm. 226.

[9] HR. Ahmad dalam Musnad-nya (no. 17184), Syaikh Syu’aib al-Arna’uth mengomentari: ”Hadis shahih dan para perawinya tsiqah.”; Ibn Majah dalam Sunan-nya (no. 42), Syaikh Syu’aib al-Arna’uth mengomentari: ”Hadis shahih dengan banyak jalan periwayatan dan syawahid (riwayat-riwayat pendukungnya).”; Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (no. 329), al-Hakim berkata: ”Ini hadis sahih, tidak mengandung satu pun cacat.” ditegaskan senada oleh al-Hafizh al-Dzahabi; Al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Îmân (no. 7516)

Sumber: http://www.irfanabunaveed.net/2019/09/dalil-kebakuan-sistem-pemerintahan.html

Sejarah, Akar Masalah, dan Cara Islam Tuntaskan HIV/AIDS

*Sejarah, Akar Masalah, dan Cara Islam Tuntaskan HIV/AIDS* Oleh: Yenni Sarinah, S.Pd (Aktivis Pendidikan Kelahiran Selatpanjang, Riau) ...