Selasa, 28 Maret 2023

No 9

NOMOR 9
Bunga Di Tepi Kubur
Hujan turun sejak siang tadi belum juga reda. Aku duduk di pendopo pondok sambil menunggu hujan yang mulai renyai. Aku menunggu mobil ambulan datang sambil menikmati secangkir kopi panas. Sudah sebulan ini curah hujan cukup tinggi, bekerja di bawah guyuran hujan rasanya sangat melelahkan. Tapi bagaimana lagi, resiko yang mesti dijalani. Tadi siang posko penanggulangan bencana memberitahukan ada dua jenazah covid-19 yang akan dimakamkan sore ini juga. Aku harus bekerja ekstra mengali tanah meskipun tubuh ini basah kuyup.
Hujan agak mereda beberapa menit yang lalu, tapi tampaknya masih jauh dari berhenti, biasanya hujan sedang-sedang saja ini bakal awet- hujan renyai. Bagi sebagian orang adalah hal yang meyenangkan tapi tidak bagi ku saat ini. Aku benar-benar berharap hujan reda. Tanah sekitar pemakaman mulai terkenang air, begitupun kuburan yang ku gali tadi bersama Sarmin. Sarmin pergi berteduh ke posko yang ada di gerbang masuk area pemakaman ini. Aku sendiri hanyut dalam lamun.
Sudah beberapa bulan ini aku terkurung di sini, menjadi pengali kuburan bagi korban covid-19. Berat memang, tapi bagaimana lagi. Sekarang mencari kerja saja susah. PHK meningkat, ekonomi melemah. Ah…belum lagi beban hidup makin tinggi, namun aku mesti bersyukur ada gaji diharapkan dari pekerjaan ini untuk melanjutkan roda kehidupan. Aku ikut terjepit dalam hiruk pikuk pandemi yang mendera semua lini kehidupan masyarakat. Seakan-akan mereka berada di lorong sunyi kehidupan yang tak bertepi. Belum lagi kondisi makin diperparah dengan banyaknya korban yang tak mengenal status sosial.
“Bah, pulsa Syarif habis.” Itu ucapan anakku di telepon tadi pagi sebelum beranjak dari posko ke sini. Belajar di masa sekarang, membuat aku makin kelimpungan. Bagaimana tidak, setiap hari Syarif mengeluh tak mengerti pelajaran dan yang membuat diri ini gundah, beli pulsa paket habis. Belum lagi kebutuhan sehari-hari. Syarif tak ada yang membimbing belajar, Maknya sudah kerepotan mengurus adiknya yang masih balita dua orang. Aku duduk gamang dengan pandang kosong ke depan. Tak sanggup lagi berpikir apa yang mesti aku lakukan saat ini. Tugas yang dikirimkan gurunya setiap hari makin menumpuk.
Hujan masih belum menampakkan tanda-tanda akan berhenti. seakan merasakan apa yang menimpahku. Tapi aku tak boleh larut dalam keadaan begini, batinku. Bagaimana nanti nasib anak-anakku? Aku mesti tegar menghadapi kondisi yang makin menjepit ini.
Menjadi penggali kuburan korban covid-19 cukup menakutkan bagi orang lain, resiko terpapar jadi momok yang sangat menakutkan. Sejak pandemi mewabah di kota ini, korban sudah mencapai ratusan. Semua dimakamkan di sini. Aku tak leluasa balik ke rumah menemui anak istri. Resiko pekerjaan yang menyebabkanku harus siap siaga di posko yang disiapkan di gerbang pemakaman ini.
Sejak bekerja di sini enam bulan yang lalu, aku tak diperbolehkan pulang. Karena bisa membahayakan istri dan anak. Itu alasannya. Rasanya sangat mengada-ngada, sudah tiga bulan tak bertemu mereka. Namun aku selalu berusaha untuk mengunjunginya. Walau hanya sekejap.
Banyak cerita yang aku dapat beberapa waktu ini, membuat dadaku terasa nyeri. Aku tidak tahu apakah bisik-bisik dari perawat yang mengantar jenazah ini benar atau tidak. Perlakuan yang didapatkan korban, apakah itu benar adanya. Entahlah, aku tidak tahu. Rasanya begitu banyak rahasia yang terkubur di sini bersama kepergian korban itu sendiri.
Hujan masih renyai, rintik-rintiknya seakan menyirami jiwaku. Aku mulai lelah. Beban hidup makin berat. Sudah dua bulan ini aku belum menerima gaji. Ucapan Syarif tadi pagi makin membuat dadaku sesak. Rasa ini terasa lebih parah dari keluarga korban yang terkubur di sini. Gaji, itulah yang sangat dibutuhkan saat ini. Tim penanggulangan bencana jadi garda terdepan dalam menangani hal ini. Tapi sekali lagi gaji - upah yang mesti diterima. Hal yang sangat diharapkan, sampai saat ini belum dibayar. Alasan pemda defisit anggaran.
Sungguh menyedihkan. Sangat ironi, dimana anggaran di tempat lain dipangkas untuk penanggulangan covid-19, belum lagi alokasi dari pemerintah yang menambah anggaran. Namun para tenaga medis dan lain-lain belum mendapatkan insentif yang dijanjikan. Tapi sudahlah, itu wewenang mereka yang di atas. Aku ini siapalah, hanya penggali kubur bagi korban. Biarkanlah elit di sana yang memikirkan.
***
            Aku tipe manusia tak suka berleha-leha. Duduk santai-santai. Itu bukan aku. Aku benci pengangguran. Dengan sebilah sabit tanganku luwes membabat rumput liar di lahan kosong tak jauh dari lokasi pemakaman. Bersama Sarmin, aku menanami lahan kosong dengan bibit bunga. Bermodal botol minum bekas aku dan Sarmin mulai menaman bibit bunga. Mengisi waktu kosong, sambil menunggu informasi dari posko.
Sejak pandemi, banyak ibu-ibu yang mulai mengila dengan menanam bunga di rumahnya. Pot berwarna putih jadi primadona. Berbagai jenis bunga jadi topik pembicaraan di media sosial. Para mak-mak berlomba mengirim status di beranda media sosial mereka. Kegilaan ibu rumah tangga akan tanaman bunga, mengelitik hatiku dan Sarmin untuk ikut.
            Sebulan berselang, bibit bunga yang aku tanam dan Sarminpun mulai mengeliat, tumbuh dengan baik. Bermodal telepon pintar, akupun mulai menjual secara luas melalui online. Caranya cukup mudah, foto bunganya lalu sematkan di beranda media sosial.
Sampai sekarang, gaji dari sebagai penggali kubur tenaga kontrak pemda belum cair, ada sedikit harapan dari usahaku bersama Sarmin. Menjual bunga. Lumayan hasilnya. Bisa membantu keadaan ekonomi saat ini, pikirku.
***
Sudah sebulan ini curah hujan cukup masih tinggi. Aku lebih banyak berdiam di posko yang tak jauh dari area pemakaman. Tapi dari pagi cuaca cukup cerah, sinar mentari memancarkan sinarnya. Tak ada kabar dari Posko induk untuk menggali kubur hari ini. aku dan Sarmin beranjak ke lahan kosong yang digunakan untuk menanam bibit bunga. Pesanan dari beberapa ibu rumah tangga hari ini mau di kirim memakai jasa ojek online.
Tak lama berjalan dengan Sarmin. Ingatanku kembali ke Syarif. Sudah empat hari tak ada kabar beritanya. Biasanya selalu menceritakan tugas sekolahnya dan yang tak pernah lupa kalimat itu. Hanya pesan dari istri menyatakan kalau dia baik-baik saja.
 “Bah, Pulsa Syarif habis”. Aku tersenyum sambil mengelengkan kepala. Harapan pagi ini semoga secerah mentari pagi yang bersinar memberi kehidupan. Impiannya akan mendapatkan pulsa membuatku semakin semangat menanam bibit baru.
Sampai tempat tujuan. Bibit bunga pesanan konsumen mulai ku susun. Benar-benar keberuntungan, itu pikirku. Di tenagh pandemic, gaji belum dibayar ada hasil buah dari ketekunan yang aku jalani bersama Sarmin. Setelah semua rapi mulai pengantaran pesanan ke pelanggan. Ojek online jadi alat transportasi yang sangat dibutuhkan saat ini. Impianku untuk mengirimkan Syarif pulsa terwujud sudah.
***
Aku terduduk lemas ditanah yang cukup basah karena hujan semalam. Kabar dari Karmila istriku pagi ini membuat seluruh sendi tubuh ini runtuh. Tubuhku gemetar menahan tangis. Syarif, anak lelakiku satu-satunya sudah dua minggu di karantina. Sejak seminggu yang lalu panas tubuh anakku makin meningkat. Setelah diperiksa pihak rumah sakit Syarif dinyatakan positif terpapar covid-19. Itulah perkataan yang disampaikan istriku. Terlebih lagi yang membuatku tak sanggup menahan lara, Syarif tak bisa dijengguk. Duniaku seakan runtuh Cuaca cerah pagi ini tak memberi warna bagi diriku, namun membawa hati berkabut duka.
“Syarif, maafkan Abah”, gumamku lirih

No 8

NOMOR 8
TIJAH

Senja itu masih jingga. Aroma sungai selalu hadir pada dinding-dinding bisu di ruangan ini. Istana dengan segala kemegahannya yang dibangun dengan pertaruhan darah dan air mata.
“Tijah.”
Suara seorang lelaki memanggilku dengan sederhana. Aku sangat senang dipanggil dengan sebutan itu. Bersahaja. Meski nama sebenarku Sultanah Khadijah binti Daeng Pirani yang lebih dikenal dengan nama Daeng Tijah atau Tengku Puan. Nama yang penuh dengan simbol-simbol identitas kekuasaan di tanah Melayu ini.
“Terasa merakyat, ” ungkapku saat salah satu inang di istana menanyakan alasan penyebutan itu.
Beban berat menyandang nama-nama beraroma strata. Sultanah, daeng, tengku, puan. Semuanya memiliki cerita sejarah tersendiri.
“Dengan dipanggil Tijah, seperti ada kebebasan diriku sebagai seorang perempuan. Aku saat ini sedang berada dalam kebimbangan melihat perebutan tahta yang tak berkesudahan,” tambahku.
Aku ingin bebas seperti perempuan lain yang bisa menikmati keperempuanannya. Bercanda sesama perempuan, memasak dan menghidangkan untuk lelaki terkasih, merapikan dan menghias rumah serta taman, belajar untuk menambah ilmu, dan segala aktifitas lain yang menurutku dilakukan dengan segala kesenangan.
“Dinda, persiapkan segala perbekalan, kita akan meninggalkan istana ini. Kita terusir!” Suara lelakiku, Raja Alam, suara yang harus kupatuhi dan tak boleh dibantah.
Perjalanan sebagai perempuan setia yang wajib mendampingi dan selalu menawarkan senyum kala lelakiku selesai menjalani hari dalam menata ambisinya menjadi Sultan Siak. Aku hanya mengikuti arah kapal berlayar dan rimbunan misteri hutan. Dari Batu Bara, Palembang, Johor, Kalimantan, Siantan dan hidup merayau di Selat Melaka. Tak terbayangkan terombang-ambing dalam perjalanan darat dengan belantara hutan dan gelombang lautan Cina Selatan. 
“Aku lelah!” teriak batinku. Hanya dapat kusuarakan lewat batin. Seulas senyum harus kupersembahkan selalu sebagai bentuk tanda setia seorang istri pada suami. Seorang perempuan pada lelaki pilihannya.
“Entahlah,” batinku kembali mempertanyakan. Apakah begitu para lelaki ketika sudah berkeinginan nak berkuasa. Hilang akal dan hilang saudara. Aku tak tau mana yang benar. Apakah pada Raja Alam, lelakiku atau Tengku Buang Asmara, adik iparku.
“Tak terpikirkah Kanda Raja Alam untuk berdamai dengan Tengku Buang Asmara?” tanyaku kala perahu yang membawaku membelah hamparan biru lautan Selat Melaka.
“Masih perlukah Kanda ulang-ulang alasan mengapa Kanda melakukan ini? Jawabannya tetap sama, karena marwah! Sampai saat ini masih terngiang di telinga Kanda bagaimana ucapan ayahanda Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah,”barang siapa yang hidup, itulah anak kita! Kanda ingin membuktikan bahwa Kandalah anak yang hidup itu!” tegasnya dengan menggenggam tangan seerat menggenggam butiran batu yang terburai menjadi pasir.
Nada tegasnya membuatku dalam situasi antara kagum dan bimbang. Kagum akan prinsip hidupnya. Bimbang karena hari-hari yang dilaluinya sejak terusir dari istana hanya ada dendam dan dendam.
“Tijah, bersiaplah. Kita akan ke Siak.” Kalimat seperti itu berarti aku harus bergegas.
Aku tak kan membantah. Aku bersama pengikut setia akan menyiapkan segala detil untuk melanjutkan pelayaran menuju tempat yang akan dituju. Perbekalan kala perjalanan di darat tentunya akan berbeda saat melakukan perjalanan laut. Aku menemani lelakiku saat terusir dengan memasuki hutan. Terbayang suasana hutan kala malam. Aroma misterinya sulit untuk kutebak. Dari Siak ke Minangkabau melanjutkan ke Batu Bara serta lanjut pergi ke Siantan melewati gulungan gelombang Cina Selatan. Aku kembali menemani lelakiku menjadi perampok dan merompak kapal-kapal Kompeni yang melintas di Laut Cina Selatan. 
“Harga diri!” Itu alasan yang selalu ditiupkan ke telingaku dan pengikut setia lelakiku, Raja Alam.
“Kita akan ambil hak kita! Dan Kandalah anak yang hidup itu!” ucap lantangnya.
Perlayaran kali ini terasa sunyi. Angin amarah sepertinya mengitari layar yang berkibar diombang-ambing lautan Cina Selatan. Gelombangnya mengikuti irama ambisi lelakiku. Menuju Siak. Kota yang pernah menjanjikan untuknya. Kota yang pernah mengusir dirinya sebagai lelaki bermartabat dan anak yang setia membela keluarga.
Fajar rungsing menyambut di Siak. Berita tentang pengkhiatan di atas pengkhiatan kembali terdengar.
“Cisss! Busuknya permainan! Tuan Vandrig Hansen terbunuh oleh Said Umar dengan keris Jambu Awan. Benar-benar licik. Siasat memberikan barang persembahan dalam peti-peti berkain sutera ternyata berisi keris dan sondang!”
Aku menyaksikan teramat sangat kecewa dari lekuk indra tubuh lelakiku. Tragedi Guntung bagiku meninggalkan kesan teramat. Siasat yang telah disusun lelakiku menjadi poranda karena khianat.
“Sudah kuingatkan Vandrig Hansen, jangan pandang rendah orang Melayu!” Panjang lebar kudengarkan lelakiku meluahkan kekesalannya. Berharap kemenangan sudah di ujung mata tapi sekilas lesap dalam genggaman.
“Tijah!” Tersentak aku dalam lamunan tragedi pilu.
“Apa yang harus Kanda lakukan sekarang? Anak kita Tengku Muhammad Ali pun ikut berkhianat pada Kanda!” Pertanyaan yang membesarkanku sebagai seorang perempuan sekaligus luka sebagai seorang ibu. Aku mencoba memilih kata yang tepat agar tidak melemahkan lelakiku yang sedang perlu sandaran.
“Pilihan Kanda hanya ada dua, mengalah dengan sejarah atau menaklukkan sejarah. Mengalah dengan mundur dari perseteruan tak berkesudahan dengan Tengku Buang Asmara atau menaklukkan dengan merebut yang menjadi hak Kanda serta membuktikan bahwa memang Kandalah anak yang hidup itu. Tentang anak kita Tengku Muhammad Ali, Dinda yakin ada alasan kuat membuatnya berseberangan dengan Kanda,” ucapku diantara semilir angin yang menembus dedaunan sunyi di pinggiran sungai ini.
“Baiklah, kita lihat perjalanan waktu apakah Kanda mengalah atau menaklukkan sejarah,” tegas lelakiku Raja Alam dalam gelisah bertemankan riak sungai di hadapan.
Waktu takkan pernah meninggalkan sejarah. Pada penggalannya yang lelah, sejarah telah memberikan sedikit ruang pada lelakiku untuk menaklukkan sejarah.
 “Tijah! Kanda berhasil menaklukkan sejarah! Apakah Dinda bahagia?”
Hanya sebuah senyum terbaik yang dapat aku ulaskan walau lirih batin ini hanya membaitkan satu kata.
“Entah!”

No 7

NOMOR 7
Senja yang (Belum) Hilang

Cik Siti tak lelah menampung senja. Duduk di pondok rentah. Bertemankan batang kelapa yang telah lama roboh di antara rimbunan pepohonan perepat. Matanya tersirat menanti seorang yang teramat dirindukan.
"Ayah ... baleklah yah,” lirih ucapan Cik Siti menempel pada dedaunan perepat yang tumbuh di sela-sela pepohonan kelapa.
Berulang kali kalimat itu diucapkan sambil menanti matahari jatuh ke haribaan bumi. Segenap rindu telah membatu dalam bilik sanubarinya. Gumpalan rindunya telah menggumpal.
Teringat masih kecilS Cik Siti, ayah selalu mengajaknya menikmati deburan ombak laut. Menghempas pepohonan perepat. Pohon yang pernah menjadi kisah legenda tentang simbol kemenangan Panglima Ali dengan menanam 1000 pohon perepat. Buahnya yang selalu disajikan emak menjadi sambal terasi. Bertemankan mie dan lempeng sagu terasa nikmat sekali.
Semacam ada ritual kala jelang senja. Mandi sore di parit depan rumah bersama teman-teman. Parit mengalir dengan air berwarna coklat. Terasa lain mandi bersama di parit ini. Berbalutkan kain basahan, Cik Siti bersama teman-teman sebayanya mandi, mencuci, dan saling bersenandung tentang alam desa ini. Parit-parit coklat yang mengalir tumbuh di antaranya bunga-bunga teratai berwarna merah muda. Terasa di pemandian puteri-puteri raja.
Semukut, nama desa yang masih menyimpan pilu tentang karet yang tak lelah disayat. Harga karet yang terus terjun bebas meninggalkan kisah-kisah kejayaan masa lalu. Aroma ojol pernah begitu menyatu dengan Cik Siti. Menemani ayah menakik kala malam sampai jelang pagi. Dari hasil itulah kebutuhan sehari-hari terpenuhi. Namun seiring terjun bebasnya harga karet, terpaksa ayah memutar cara paling nekad yang biasa dilakukan warga kampung. Cara itu adalah dengan menyelundup ke negeri jiran. Cara yang bisa bermata dua. Bila lolos, maka perpanjangan nasib akan berlanjut. Namun bila gagal, alamatlah nasib dan diri lesap entah kemana. Cerita-cerita pilu tentang orang-orang yang tertangkap. Termasuk kisah pilu itu kini milik Cik Siti. Ayah Cik Siti sejak pergi menyelundup tak balek-balek. Meninggalkan Cik Siti menanti waktu itu entah kapan akan tiba. Berulang-ulang teman-teman Cik Siti membujuknya untuk tidak sering-sering menanti senja di pantai itu.
"Banyak jembalang laut yang bisa buat kau kesampuk nanti," nasihat Biah, teman baik Cik Siti.
Tak tergubris nasihat-nasihat itu. Seiring waktu, Cik Siti perlu menyambung hidup dengan tetap menjalankan rutinitas menanti senja, dia menyibukkan diri bekerja di panglong pembakaran arang karena tak larat menakik karet yang tak jelas arahnya. Panglong, istilah lainnya pabrik tumbuh subur di kampung Semukut. Masyarakat banyak yang menggantungkan nasib dengan bekerja di panglong arang. Walau sebenarnya sangat miris penghasilan yang didapat dengan pengorbanan waktu dan tertebangnya hutan bakau setiap harinya. Kerja Cik Siti di panglong arang menjaga api dapur arang agar selalu menyala.
"Arang-arang memang akan terus membakar dan menghitam tapi tidak akan melupakanku tentang ayah. Ayah yang selalu kunanti kembalinya ke kampung ini di kala senja.”
“Tak ada kerja lain kah Siti selain di panglong arang tuh. Wajah kau tuh cantik seperti Putri Jamilah menurut legenda desa kita. Lambat laun akan menghitam seperti arang pula nantinya wajah rembulan kau tuh,” canda Biah, teman sebelah rumah panggungnya yang telah rentah.
"Yang penting aku bisa makan sambil memperpanjang waktu untuk selalu bisa menunggu ayah dan menyambut senja."
"Sudahlah Cik Siti, lupakanlah. Lebih baik kau pikirkan masa depan kau tuh. Ingat Jamal yang selalu kejar-kejar kau tuh. Layanlah Jamal tuh. Kasihan pula aku lihatnya, seperti punggung merindukan bulan." Kembali Biah bercanda di laman rumahnya yang subur ditumbuhi selasih.
“Lebih baik sibuk dengan arang daripada mikiran Jamal yang hatinya hitam macam arang seperti Panglima Abbas dalam kisah legenda kampung kita. Aku tak mau mati tragis dan membiru seperti Jamilah,"
Cik Siti benar-benar menjaga irama harinya dengan menanti senja dan bersama pembakaran arang. Bertumpuk-tumpuk kayu setiap hari dibakar di tempat pembakaran yang menggelegak bersama panas api yang membara. Setelah jelang senja ditelusurinya jalan-jalan setapak berbariskan pepohonan karet menuju pantai. Duduk di batang kelapa yang rebah dan di antara rerimbunan perepat, Cik Siti memandang jauh ke seberang menanti matahari akan tenggelam.
"Ayah, baleklah yah," kembali ucapan seperti mantra lirih memanggil sosok yang dirindukan berteman gesekan perahu nelayan yang tertambat di bibir pantai. Begitulah putaran hari Cik Siti.
Hari-hari di Semukut semakin rentah. Yang biasanya rindang makin gersang. Luapan air semakin sering menggenangi jalan. Rumah-rumah panggung tak kuasa membatasi air yang lalu lalang. Bahkan kini banjir telah menjadi tamu baru bagi kampung ini.
Sejak banjir itu melanda, Cik Siti seperti kehilangan waktu senja. Pantai yang biasa menanti senja, kini meluap. Tak ada sisi untuk melaksanakan ritual khusyuk menanti senja.
"Cik Siti, kau tahu penyebabnya mengapa kita sekarang nih sering banjir?"
"Apa penyebabnya tuh Kak Biah?"
"Tauke tempat kerja kau tuhlah. Menebang tak habis-habis bakau tepi sungai tuh. Orang kita dibodoh-bodohkan tentang rencana penanaman kembali bakau di tepi laut kita."
Cik Siti baru tersadar kalau selama ini terdengar bisik-bisik orang membincangkan asal bahan baku arang tempatnya bekerja. Kayu bakau dan nyirih hasil penebangan liar. Tak berizin. Berhektar-hektar hutan bakau perlahan habis ditebang. Berton-ton setiap hari kayu bakau ditebang tanpa berbelas kasihan.
"Benarkah? Aku tak mau kehilangan senja dan menunggu ayah. Aku harus melakukan sesuatu." 
Sejak itu, Cik Siti tak mau bekerja lagi di panglong arang tuh.
"Nak makan apa kau kalau tak kerja di panglong arang nih?" Ucap tanya teman-teman sekerja yang biasa bersama menjaga api agar tetap menggelegak.
“Nak makan sempolet setiap hari masakan emak,” canda Cik Siti.
"Tapi entahlah, yang penting bagiku kebiasaan menanti senja tak hilang." Lanjut Cik Siti sambil memasang muka selambe Cik Siti seperti tanpa beban sambil memetik buah perepat untuk menu makan siangnya.
"Sepertinya kau dah nak gila. Asyik senja saja yang kau tunggu, tak ada hal lain kah selain senja, senja, dan senja saja."
“Suka-suka akulah.” Sekali lagi Cik Siti memasang muka selambe.
Begitulah Cik Siti, ritual menanti senjanya tak boleh terhalangi oleh siapapun.
Sejak tahu penghalang menanti senjanya karena penebangan bakau, Cik Siti memutuskan berhenti dari pabrik dan melakukan berbagai cara untuk menghentikannya.
Ditemuinya Tauke pabrik arang untuk tidak menebang bakau lagi. Sebuah jawaban didapatkannya.
“Kau nak kerja apa kalau tak kerja lagi di panglong tuh?”
“Tak perlu Tauke pikirkan. Bisalah saya cari lokan di pantai, ikut buat atap rumbia, kerja di kebun sagu, karet, kelapa, kopi, pinang, dan banyak lagi yang bisa saya lakukanlah.”
"Saya dah bayar banyak untuk membangun panglong ini. Panglong yang telah membuat kampung ini dikenal sebagai pemasok arang di semerata negeri. Seharusnya kau bangga dengan itu. Arang dari pulau ini terbaik di seluruh dunia."
Cik Siti menatap Tauke sepenuh amarah. Digenggamnya jemari-jemari yang telah menghitam bersama arang.
“Tak peduli mau arang nomor satu atau keberapa, yang jelas kami tak mau kampung ini banjir tak tentu arah karena hutan bakau kami habis untuk dijadikan arang. Siapa bilang yang Tauke lakukan untuk negeri ini. Ternyata selama ini kami telah Tauke bohongi dengan menukar kemasan arang-arang kampung ini dengan kemasan negeri seberang. Kampung ini telah Tauke hilangkan dengan cara licik Tauke! Lihatlah ya, apa yang akan aku lakukan. Kau telah merebut senjaku Tauke," geram Cik Siti lirih penuh dendam.
Terseok-seok melewati lumpur sisa banjir, Cik Siti menuju pantai menanti senja.
"Ayah, baleklah. Bantu Siti." Kalimat itu kembali diulang-ulang seperti mengulang mantra pengobatan suku pedalaman.
Malam pekat merangkak lamat. Sebuah kesumat telah memenuhi dada gemuruhnya. Seluput amarah menuntunnya melakukan sesuatu di luar kemampuannya sebagai perempuan yang ingin selalu menampung senja.
Esok hari, Tauke dan pekerja panglong arang dikejutkan dengan terbakarnya gudang penyimpanan kayu dan kapal pengangkut arang ke negeri seberang.

Pekanbaru, 2019

Keterangan: Cerpen ini pernah diterbitkan di Harian Tanjung Pinang Pos.

Bambang Kariyawan Ys, kelahiran Tanjung Uban Kepulauan Riau. Bekerja sebagai Guru SMA Cendana Pekanbaru. Aktif dalam organisasi kepenulisan Forum Lingkar Pena Riau. Pendidikan terakhir S2 Universitas Negeri Padang. Penerima Anugerah Sagang tahun 2011. Peserta Terpilih Ubud Writers and Readers Festival tahun 2014. Penerima Penghargaan Acarya Sastra dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2019. Karya kumpulan cerpen yang pernah dibukukan, “Numbai” dan “Lukah yang Tergantung di Dinding” serta menulis novel yang berjudul “Catatan Ayat Lelaki Ar-Rahman”.

No 6

NOMOR 6
Awang Kelapa Mandi Safar

”Kelapa bulat kelapa kukur, ketiga dengan kelapa loji
Apa buat adik di dapur, siapkan kopi angkat kemari”
Menjual pantun untuk secangkir kopi, itulah fiilnya. Orang-orang menyebutnya Awang Kelapa. Seorang pemuda yang gemar sekali melantunkan pantun setiap kali berkunjung ke rumah tetangga atau pun saudaranya. Bukan sebab berpantun orang-orang memanggilnya begitu, tetapi karena setiap berpantun, kelapa selalu menjadi objek sampirannya, tak pernah tinggal. Sampai orang-orang menyematkan kata kelapa di belakang namanya. 
Bukan tanpa alasan bibir Awang sajuh1 dengan kata kelapa, semua itu tak lain karena Datuk, yang mewariskan dua perkara kepadanya. Pertama, sebidang kebun kelapa yang kini menjadi sumber pencariannya. Yang kedua, adalah kebiasaan berpantun. Sewaktu kecil dulu, Awang selalu ikut kemana datuknya pergi, saat lelaki tua itu berpantun, di situlah otak Awang menyerap tentang kata-kata yang berima itu. 
Dulu, di kampung melayu ini, tak sah bicara jika tak berpantun, namun sejak satu-persatu uwan2, aki3, datuk, nenek dan orang-orang tua telah tiada, pantun pun melawas, hanya terbunyi di pesta atau acara kenduri saja. Mungkin Awang, dialah satu-satunya anak muda yang kini masih berpantun dalam sehari-hari. 
***
Hari itu, mentari telah condong ke barat, sinarnya yang tadi menyengat, perlahan-lahan mulai meredup, pertanda tak lama lagi ia akan masuk ke peraduannya. Awang yang sudah seharian membersihkan kebun kelapa, masih belum beranjak dari kebunnya. Perun4 yang dibuatnya dari pelepah kelapa kering itu pun, masih mengepulkan asap. Tak hanya untuk membuat kebun jadi bersih atau untuk mengusir nyamuk, kata Awang, asap juga dapat membuat kelapa lebih lebat buahnya. 

1terbiasa atau hal yang dilakukan terus-menerus hingga menjadi sebuah kebiasaan
2nenek
3kakek
4timbunan kayu atau daun yang akan dibakar
Awang baru saja selesai mengupas buah kelapa, melepaskan sabut dari tempurungnya. Ia mulai memasukkan satu-persatu tumpukan kelapa yang sudah tak bersabut itu, ke dalam keranjang. Kelapa itu akan dibawanya pulang, untuk dijual atau diantarkan kepada pemesannya. 
”Awang, di kebun dikau5 ada pucuk kelapa?”
”Pucuk kelapa? Nak buat apa, Yong?” Tanya Awang balik.
”Untuk acara tolak bala besok, tadi budak-budak sudah mencari, tapi daunnya banyak dimakan kumbang, payah betul mencari pucuk kelapa sekarang, itu lah Pak Yong ke kebun dikau, barangkali ada.”
”Oh,” Awang baru ingat, bahwa besok adalah hari mandi safar, sebuah prosesi tolak bala. ”Tadi aku lihat-lihat waktu membersihkan kebun, sekitar 3 atau 4 pokok ada pucuknya, Yong. Tapi tak tahulah, entah elok entah tidak.”
”Tak usah banyak-banyak, Wang. Dua pelepah saja cukup. Hanya untuk syarat, buat anyam jari lipan6 di pintu gerbang,” kata Yong Katan. ”Sekarang sudah terlalu petang, besok pagi mengambilnya juga tak apa, Wang.”
”Baiklah, Pak Yong. Besok pagi, Awang antarkan ke Balai Desa”.
”Terima kasih ya, Wang. Jangan lupa nanti malam, sama-sama kita ke masjid, membaca yasin sesudah isya.”
Awang menjawab dengan mengangguk. 
Mengikut tradisinya, pada malam rabu terakhir bulan safar, para tetua, tokoh dan masyarakat akan membacakan Yasin, Zikir dan doa-doa penolak bala. Mereka membawa secerek air putih untuk dibacakan doa-doa, lalu airnya akan diminumkan pada keluarga. Masyarakat kampung melayu percaya bahwa pada malam rabu terakhir di bulan safar, Allah Swt. akan menurunkan banyak bala di muka bumi. Oleh itu, Mereka, pada malamnya membacakan surah-surah Alquran dan doa penolak bala, lalu dilanjutkan prosesi adat tolak bala mandi safar esok harinya.
***
5 kamu
6 daun kelapa yang masih muda dianyam seperti jari lipan
Mak Awang meniup-niup kayu bakar yang mengeluarkan sedikit asap di atas dapurnya. Ia mau menghidupkan api, untuk menjerang air. Perempuan tua itu agak kewalahan, sebab kayunya sedikit basah terkena tempias hujan malam tadi.
”Kalau mak menjerang air nak membuat kopi, titiplah buatkan kopi Awang sekali.”
Mak memandang heran kepada anaknya itu. ”Hai, Wang. Tak pernah umur kau minta buatkan kopi pada mak. Biasanya, asal nak mengopi saja, cus ke rumah Una, Imah ataupun Ida, menjual pantun. Dah tak laku lagi pantun kau tu?” Mak menyindir Awang.
”Bukan begitu, Mak. Awang takut tak sempat, ini nak pergi ke kebun mengambil pucuk kelapa untuk gerbang jari lipan nanti.”
”Jangan lagi pergi, Wang. Batang kelapa masih licin, tertimpa hujan tadi malam. Nanti tak pasal pulak kau tergelincir. Kalau untuk pintu gerbang, tak usah dikau risau, kan anak dara sudah membuatkan bunga manggar, cukuplah tu,” kata Mak Awang.
”Kata Pak Yong Katan, daun kelapa tu untuk syarat, apalah makna adat, kalau tak cukup syarat, Mak?” Kata Awang. Setelah meminum kopi, ia pun pergi ke kebunnya.
***
Mentari telah lebih dulu hadir, satu-persatu orang kampung mulai berdatangan, mengenakan baju terbaik yang mereka punya. Para tetua dan tokoh masyarakat memakai baju khas melayu, baju kurung cekak musang atau baju kurung teluk belanga. Pakaian mereka tampak serasi dengan kain samping yang diikat dari pinggang sampai lutut, lengkap pula dengan kopiah atau tanjak di kepala. 
Pada hari rabu itu, semua masyarakat kampung akan hadir di prosesi adat ini. Mereka akan berbondong-bondong datang, meninggalkan sejenak hutan, laut dan segala pekerjaan mereka. Mandi safar bukan hanya ritual adat, tetapi juga menjadi wadah mereka bersilaturahmi dan menikmati sajian seni dan permainan rakyat yang telah disiapkan untuk seharian penuh. 
Ritual mandi safar pagi ini, akan dimulai dengan pawai dari halaman masjid menuju ketempat acara pembukaan di panggung terbuka balai desa, lalu pawai akan dilanjutkan ke pantai, tempat acara mandi safar dilaksanakan. 
Dalam keriuhan dan kesibukan menyambut tamu, Yong Katan tiap sebentar menoleh ke sebelah kiri, memandang pintu gerbang yang masih polos, belum juga ada anyam jari lipan berjurai-jurai. Yong Katan terus mengulurkan waktu, disuruhnya satu orang untuk menghubungi Awang, tapi belum juga ada kabarnya. Saat mentari makin meninggi, pawai tak bisa ditunda lagi. Pemuda mulai menabuh kompang kulit kambing yang diikat lingkar kayu leban itu, dengan pola khas untuk mengiringi pawai. Mereka menyanyikan lagu dari kitab barzanji. 
Bunyi kompang dan kebana dari pangkal sampai ujung barisan sambut-menyambut, membuat kecut hati Yong Katan. Saat mereka melewati pintu gerbang, beberapa tetua yang paham adat, mereka juga merasakan ada yang kurang dengan ritual kali ini. Bagi mereka, kelapa adalah simbol kehidupan, selalu ada disetiap apapun acara peringatan. Ini adalah pertama kali, tak ada daun kelapa dalam acara tolak bala.
Acara pembukaan dimulai, tarian zapin makan sirih mulai dilenggangkan, sementara Yong Katan masih hanyut dengan kekhawatiran dalam pikirannya sendiri. Rasa pedas dan sepat, sirih pinang yang diberikan penari zapin pembawa tepak itu, mampu sedikit menenangkan Yong Katan. Ia tersadar bahwa semua itu hanyalah prasangka, tak ia biarkan syaitan berlama-lama meniupkan was-was dalam hatinya. ”Perbanyak doa-doa dan selesaikan prosesi adat ini seperti biasa, Insyaallah tidak terjadi apa-apa.” Gumam lelaki tua itu dalam hati.
Rentetan acara ritual memasuki bagian inti. Rombongan pawai mulai diarak ke pantai. Di tepi pantai itu, di tempat permandian yang bersusun tempayan-tempayan berisi air yang diberikan wafak7, Yong Katan memimpin ritual dengan melakukan tepuk tepung tawar. Tepung cair itu diusapkan ke peserta mandi safar, menggunakan kuas dari daun sepulih, daun ganda rusa dan daun senduduk yang diikat dengan daun ribu-ribu. Kemudian Yong Katan menebarkan beras putih, beras kuning dan bertih8. Tahap akhir dari prosesi ini, ditandai dengan menyirami air wafak. 

 7Kertas yang dituliskan ayat alquran dan doa-doa yang diletakkan di dalam wadah air untuk 
mandi safar
8beras yang disangrai di kuali sampai kulitnya pecah meletup 
Pada tahap akhir ini, Yong Katan mendengar sayup-sayup dari mulut ke mulut mengatakan tentang kelapa. Pada mulanya tidak begitu jelas, lambat laun reaksi orang-orang semakin heboh. Beberapa dari mereka juga bubar dari pantai dan kembali naik ke daratan.
”Ada apa gerangan?” Tanya Yong Katan.
”Awang kelapa meninggal dunia.”
Awang Kelapa, pelantun pantun kelapa dan pemilik kebun kelapa itu, jatuh dari pohon kelapa, meninggal dunia di hari tolak bala. 
Berdesau darah Yong Katan. Ritual hari itu dibuat cepat saja. Air tempayan yang diberi wafak bertuliskan doa-doa pada kertas itu, dibawa untuk memandikan jenazah Awang kelapa. 
”Kelapa, adalah lambang hidup orang melayu dari dulu-dulu,” gumam Yong Katan. 
-TAMAT-

No 5

NOMOR 5
Di kebun nam-nam aku melihat kenangan
Seperti dekatnya tiap butir buah yang menggelayut di batangnya, rapat-rapat, serupa itulah kita membilah hari-hari di masa lampau. Ini tepat dua belas purnama, sejak pertama kali kita dipertemukan di pesta Wak Iyah. Kau berbalut kerudung merah, dengan sepeda phoenix biru yang tampak selalu baru. Lina, kau datang menyapa hari-hariku yang kelabu. Di tumpukan kopra yang menggunung, dalam munggu-munggu kelapa yang naik turun, wajahmu adalah kehidupan. Untuk aku, si penggalas kopra yang sehari-hari berkayuh sampan dalam sungai, engkau adalah purnama dalam temaram.
Kenapa aku bertaruh harap pada rasa yang berkelindan di pikiran? Tak lebih sebab pesona yang kian bertaburan padamu. Petang itu, aku melihat serombongan kanak-kanak memanggul bangkar-bangkar kering sebagai pelita bila malam tiba. Mereka berangkat ke rumahmu saat gelap hendak menjelang. Jalanan berlempung, sebagian gawangan kebun kelapa terendam air. Kaki mereka berlumpur, bau tubuh mereka langu. Tetapi wajah mereka seperti bersinar. “Kami ondak pogi mengaji tompat Buk Lina,” mereka tertawa-tawa, gembira.
Aku memang bukan siapa, hendak memendam rasa terlalu lama pada engkau penyentuh jiwa. Bila pagi tiba, waktuku hanya habis di tumpukan tempurung dan belahkampak. Kisaranlah tujuanku. Mengantar kopra berkarung-karung, itupun bila kelapa tak langkas. Adakalanya tukang kait memberi kabar buruk, tak ada kelapa hendak diturunkan. Maka, alamatlah aku hanya menjadi penjaga munggu. Mengenangmu dalam segenap rindu. Kehidupan bagiku hanyalah pertaruhan soal setumpuk nasi yang tersaji di pinggan. Terlampau rumit, hingga terkadang mengkhayal perihal perempuan menjadi satu kemustahilan.
Bila malam, kita pun dikurung kerinduan. Kegelapan membatasi kita dalam hujan yang turun meneduhkan kegelisahan. Bila angin darat datang, seperti itulah rasa hendak kukirim. Padamu yang tentu saja tengah menemani kanak-kanak di depan alif-alif yang mereka baca. Kau perempuan yang asing dengan malam, menunggumu hanya di musim terang. Dan bila kegelapan menjelang, kita hanya dipertemukan dalam impian. Seperti itulah kebaikan, sopan santun yang amat terjaga pada setiap tingkah yang kau tunjukkan. Kebahagiaanku hanyalah pada mengenangmu. Lalu sesekali bertemu curi-curi, dalam pandangan yang sepintas lalu. Tetapi aku begitu percaya, akulah bidadara yang selalu kau pinta dalam doa-doa.
***
Ini hari yang menggembirakan. Ada pesta perkawinan di kampung. Orang-orang akan datang berkunjung, dan akupun akan menantikan kehadiran Lina. Ia perempuan yang selalu dekat dengan bumbu-bumbu. Perempuan itu akan duduk bersama perempuan-perempuan lain yang lagan di rumah orang yang berpesta. Selepas menggalas aku akan datang ke pesta. Bukan untuk berbaris seperti undangan pada umumnya, tetapi sekadar mengaduk nasi dalam dandang besar. Inilah waktu yang dinanti-nanti, saat aku dan Lina bisa beradu pandang dalam sedapnya aroma masakan. Dan siang itu aku benar-benar melihat Lina dengan kerudung merahnya. Matanya merah berlinang. Rupanya perempuanku tengah tunak dengan potongan-potongan bawang. Semakin merona pipi perempuan itu, semakin pula tertunduk hatiku.
“Denan, cobalah kau bawa hidangan ke depan,” pemilik rumah memanggilku. Tugas menghidang dijatuhkan padaku. Ini hal yang kutunggu. Di mana aku bisa lalu-lalang di depan Lina, dan ia pun tentu akan ceria. Aku pun bergegas membawa talam. Dalam sajian kolak pisang merah, pajri nenas dan ayam masak putih. Hidangan dengan aroma yang tak terlupa, tetapi tak serupa aroma kerinduanku pada Lina.
“Tengok jalan baik-baik, Denan.”
Aku terkejut. Seorang bujang kampung berbaju putih memegang talam yang kupegang. Ia tersenyum mengalihkan pandangan.
“Kau tukang galas kopra di kebun Haji Somad?” ia bertanya.
Aku masih tak mampu berucap. Lelaki itu terus menatapku. Tangannya memapah talam yang kubawa dengan jemarinya.
“Bawalah makanan itu ke depan.” Ia berucap lagi sambil berlalu. Dan aku semakin tak mengerti dengan tingkah bujang itu. Aku berlalu, sejenak kulupakan bujang itu. Lalu aku kembali teringat Lina. Kucari-cari dalam pandangan, kemana ia menghilang. Dan senyumku mengembang saat menyaksikan seraut wajah Lina dengan kerudung putih dan baju kurung putih telah duduk di bagian depan pelamin. Ia menemani pengantin yang hendak berkhatam Al Quran. Demi jiwa yang mempunyai rasa, sungguh perempuan itu amat sempurna. Demikianlah hayalanku terus hanyut, pada perempuan berkerudung putih yang kini ada di depanku, bukan lagi di hayalan-hayalan malam yang terbentang. Ia benar-benar telah ada di hadapan.
Aku terus terbuai dengan pandangan mata. Dan saat orang-orang ramai di belakang, membincangkan makanan-makanan yang terbuang. Aku tersentak. Beberapa orang membawa talam-talam hidangan ke belakang. Makanan-makanan itu ditumpahkan dan dibuang. Termasuk talam yang kubawa ke depan.
“Ada apa?”
“Seperti biasa ada yang membuang.”
“Racun?”
“Ya, di depan sudah ada pawang.”
Lina? Bagaimana Lina? Seketika aku teringat perempuanku. Lalu bergegas aku datang ke arahnya. Dan kulihat perempuan itu hanya diam menyimak bacaan-bacaan mempelai. Hanya ada segelas air putih di hadapannya. Tuhan memberi kebaikan tak terkira. Lina tak makan makanan itu, dan aku pun bersyukur.
***
Aku tak mampu menanti lebih lama. Perihal rasa yang terus menumpuk-numpuk di setiap malam, semua ini harus diluahkan. Aku bukanlah bujang tanpa pemikiran panjang. Ini sudah lima kali musim panen kelapa, semenjak uangku kutabung dalam mug beras di lemari kamar. Uang itu kukumpulkan sebagai tanda rasaku yang benar-benar ingin bersama Lina. Aku tahu, adat istiadat teramat sulit bersahabat dengan penggalas kopra macam aku.
Bayangkan, saat datang ke rumah perempuan, kau akan ditanya soal isi kamar. Ada balai, lemari, tilam, pakaian dan apa saja yang bisa dimasukkan ke bilik pengantin. Semua itu akan dibebankan pada para bujang. Entah itu keadilan atau adat istiadat yang harus dipertahankan, tetapi bagi bujang macam aku tentu harus bersabar dari waktu ke waktu. Setiap pagi kujenguk tabunganku. Sudah berapa lembar kiranya yang ada dalam mug itu. Apakah bertambah, atau malah berkurang pada masa aku tak sadar?
Aku mengira-ngira, seandainya uang ini dibawa ke pajak di Kisaran, tentulah ada beberapa hantaran yang bisa kubeli. Aku berkerah-kerah, lalu kuingat wajah Emak Lina, sebenarnya ada sedikit beraliran darah Jawa, mungkin saja ia bisa menerima sedikit kekurangan dari hantaran ini. Atau yang lebih mungkin memberikan aku tempo beberapa bulan melengkapinya. Akankah bisa? Aku berkaca sejenak. Memandang wajah yang sebenarnya tak layak. Tetapi bukankah rasa bisa membuat orang berbuat apa saja, terlebih lagi pada sesuatu yang mengantarkan dirinya pada cinta?
Aku terus saja mengira-ngira. Di bawah batang kelapa yang masih muda aku menghirup angin. Setidaknya, ini hari terakhir aku akan begini. Esok tanggal muda, kukira saatnya untuk mencoba datang ke rumah Lina. Sebab bila terus menanti, aku tak tahu apa yang bakal terjadi. Bagaimana jika telah ada tambatan hati Lina yang ia diam-diamkan di hatinya. Atau pula Emak dan Ayah Lina terpukau matanya dengan hantaran bujang lain yang lebih banyak jumlahnya. Maka aku menghibur diri dengan bersahabat pada angin. Memejamkan mata, merasakan desirannya yang datang di balik bambu-bambu rimbun di seberang munggu. Mataku memandang jauh, di sebalik pohon-pohon kelapa yang rindang itu, di sanalah rumah Lina. Hanya terlihat bubung rumahnya saja dari tempat aku merebah badan. Itupun sudah cukup menalangi rinduku pada perempuan itu. Menatapnya tersenyum rasa, memandangnya terhirup aroma kehidupan yang lebih nyata. Aku pastikan, esok aku akan datang, Lina.
***
Ini pagi yang paling kunanti. Dengan subuh yang awal aku memintal harapan, doa-doa hingga fajar datang. Tak ada sesiapa hendak kubawa menghadap Emak Lina. Hanya keinginan yang begitu bergelora. Aku membawa keikhlasan, pada rasanya yang telah kutumpahkan sekian masa, dalam diam yang selalu kujaga. Bukankah menjaga rasa itu terasa bahagia ketimbang meluahkan tetapi berbuah hinaan?
Inilah masanya, di mana aku akan berhujan air mata atau berseri-seri harinya. Aku memandang ke cermin. Bagaimana bila nanti aku datang, ternyata bilik-bilik rumah Lina telah penuh dengan ranjang hantaran, bisa jadi dan mungkin saja terjadi. Maka hatiku pun semakin berdebar. Siapalah bujang macam aku, tiada benda dan tiada nama. Tetapi tiada yang tidak mungkin dengan doa? Bisa saja Emak Lina justru tak berharap apa-apa, memudahkan segalanya. Dan alamatlah aku akan gembira. Bisa jadi dan mungkin saja terjadi.
Aku berkemas. Dengan sebuah kemeja putih paling baru yang sengaja kubeli di pajak Tanjung Balai, petang semalam. Aku menata rambut, sedikit bergaya. Kubayangkan model rambut ayah Lina dulu, barangkali setakat mirip dengannya akan membuat Emak Lina merasa dekat, dengan sosok yang mungkin saja akan segera jadi menantu. Aku tertawa, begitu besar harapanku, seperti doa-doa petang semalam.
Ini hari yang baik, saat jalanan kering. Lumpur seperti bahagia menemani langkah-langkahku menuju rumah Lina. Rumah dengan rumput jepang yang luas dan hijau, varnish papan yang selalu berkilau. Tempayan besar yang selalu berisi di bagian depan talang rumah. Aku tersenyum. Barangkali tak lama lagi aku akan bermaustutin di sini, tinggal bersama Lina dan keluarganya. Aku berjalan mendekat, seperti ada keriuhan di dalam. Tetapi tak mungkin aku melongok pada tingkap yang tirainya tersingkap. Sejenak keriuhan itu hilang. Aku pun memberanikan diri mengucap salam.
“Assalamualaikum.”
Sekali saja, lalu hening. Dan aku tak mau kalah dengan rasa ragu di hatiku, maka kuucapkan lagi salam itu. Terus hingga lebih dari tiga kali. Semestinya aku pulang, sebab tak ada jawaban. Tetapi ada langkah-langkah di papan rumah yang terdengar. Seseorang membuka pintu.
“Denan…”
“Ya, Wak, ada hal yang ingin saya sampaikan. Bolehkah kiranya saya bertandang sejenak?”
Emak Lina terdiam, tetapi kemudian ia membuka pintu dan mempersilakan masuk. Aku bahagia sebab tak ada penolakan seperti yang membayangi ketakutan hatiku.
“Ada apa, Denan?”
“Maafkan saya, Wak, sebenarnya maksud hati saya kemari hendak bertemu Lina.”
“Oh ya, ada apa kiranya?”
“Kalau kiranya masih ada kesempatan, saya ingin sekali melamar Lina sebagai istri saya. Maaf jika lancang, tetapi saya hanya ingin datang dengan rasa terus terang.”
Emak Lina lagi-lagi diam. Tetapi senyum tetap mengembang di wajahnya. Dan ini pertanda baik, aku pun terus bicara tentang hal-hal yang kupikirkan.
“Soal hantaran, saya sudah siapkan. Tapi mungkin masih belum lengkap. Wak tak perlu khawatir, dalam tiga kali musim kait, saya akan bisa memenuhinya. Dan soal perkawinan pun saya akan usahakan kita bisa mengundang qosidah.”
Hening. Dan kegelisahan mulai terasa di hatiku. Emak Lina hanya meneguk air, bahkan tanpa mempersilakan aku minum.
“Wooooiiii cilakoooo, cilakoooo kaaaauuu! Kemano kau pogi? Cilakooooo!”
Sebuah suara melengking dari balik kamar. Aku tersentak, sebab aku ingat siapa pemilik suara itu. Cepat aku berdiri hendak melihat ke dalam.
“Tak perlu kau ke dalam, Denan, cukuplah kau tau di sini. Lina kini terkena puako. Si Rustam guna-guna dia sebab dia menolak cintanya. Dia cuma diberi air putih saat pesta perkawinan, tetapi sampai kini Lina terus begitu. Ia bahkan kami rantai di kamar.”
Tak ada lagi yang bisa kukatakan. Emak Lina membuka pintu kamar. Di sana gadis yang mendiami hatiku seolah-olah telah berubah menjadi hantu yang menyeramkan. Rambut perempuan itu berserakan, matanya tajam dan liar. Mulutnya menggeram-geram dan bersuara tak jelas. Hatiku hancur, dan entah kemana hendak kulabuhkan segala rasa yang telah mengendap di jiwa. Perempuanku kini tinggal kenangan.(*)

No 4

NOMOR 4
RAYA ZORA UNTUK MAK
 Rindu mencabik-cabik hatiku, memaksa bening kristal melewati garis mata. Mati-matian ku tahan, bukankah menangis itu memalukan untuk seorang lelaki sepertiku? Himpitan duka menciptakan luka di dadaku. Ah, kenapa rasa sakit ini menghampiri? Kerinduan yang ku rasakan pada sosok wanita bersahaja itu membuatku ingin menjerit sekuat mungkin. Ku pandang foto wanita setengah baya di layar gawaiku, wanita dengan kerudung putih, ada andeng-andeng di pucuk hidungnya, matanya tegas tapi lembut seolah-olah sedang menatapku, tersenyum penuh kasih. Aku menarik napas panjang, berharap nyeri sedikit berkurang. Perlahan aku hembuskan napas melalui mulut ada sedikit celah dari himpitan duka yang masih saja bertahta.
 “Tak balek, Nak?” 
 Sungguh, aku merindukan pertanyaan ini, pertanyaan yang tak pernah berubah sejak aku bekerja di Pasir Pengarayan. Hampir setiap penghujung minggu, apalagi ada libur, Mak, wanita yang aku sayangi itu akan semakin sering menanyakan hal yang sama. Aku biarkan kenangan menyeretku kemudian menghempaskan ingatanku pada waktu yang pernah aku sia-siakan. Meski sebenarnya, aku tidak pernah sengaja melepas waktu dan mengabaikan permintaan Mak.
 “Baleklah, Nak, kalau dulu-dulu kau tak mau hari raya zora, tahun ini baleklah. Bapak kau dah tak ada, dia dah terbaring di kuburan tu!” Nada suara Mak meninggi, seakan sedang menahan buncahan emosi. 
 Hatiku bergetar, Mak benar ini adalah lebaran pertama setelah Bapak tiada. Aku memang mau pulang, Pasir ke Kampar tidaklah terlalu jauh. 
 “Iya, Mak, Amir pasti balek, tapi untuk hari raya zora Amir tak janji, soalnya Amir harus kerja, Mak.”
 “Alasan kau selalu kerja, kalau tak bisa beraya zora, tak usah kau balek!” 
 Tuut...tuut...tuut...
 Mak mematikan sambungan telepon, aku tahu Mak pasti marah. Aku menarik napas panjang sambil memainkan gawai di tangan. Entah kenapa Mak selalu menyuruhku pulang untuk mengikuti hari raya zora. Hanya ziarah ramai-ramai, bukankah sebelum puasa kami juga sudah ziarah?
 Hari raya zora, konon adalah hari raya setelah puasa enam di bulan syawal, tidak ada ritual aneh menurutku, hanya ziarah bersama-sama orang sekampung, berangkat bersama-sama dari mesjid dan pulangnya juga ke mesjid karena akan ada makan bersama. Dulu, saat aku masih kanak-kanak momen makan-makan ini yang paling aku tunggu. Tapi sejak duduk di sekolah menengah atas sampai sekarang aku tak lagi pernah mengikuti tradisi tersebut.
 “Abang, kita pulang aja ya, ikuti keinginan Mak, lagian nggak ada salahnya ‘kan kalau kita ikut. Sekalian ziarah ke makam Bapak.”
 Lembut suara Dinda, istri yang aku nikahi dua tahun lalu membelai gendang telingaku. Aku menoleh dan mendapatkan senyum manis penuh keikhlasan di wajah teduhnya. Dia mengangguk meyakinkan.
***
 “Assalamu’alaikum, Mak.”
 “Wa’alaikumussalam.”
 Suara Mak selalu merdu menyentuh gendang telingaku, bahkan ketika Mak merepet sekalipun. Seketika aroma masakan Mak menyerbu hidungku membuat cacing-cacing perutku menabuh gendang dengan riang minta jatah.
 “Ha, balek akhirnya kau, Mir? Sempat tak balek Mak jemput kau ke Pasir sana. Kalau perlu Mak ngomong dengan atasan kau tu, apa namanya Kadis? Ah, namanya kok aneh, tinggal ganti a dengan u, jadi kudislah dia tu.”
 Aku tertawa melihat ekspresi Mak ketika menyebut kudis. Aku menyalam Mak dan mencium tangannya. Ku peluk wanita yang telah melahirkanku tiga puluh tahun silam itu, rindu mengurai indah. Dulu ada Bapak duduk di kursi yang terbuat dari kayu jati itu, yang bahkan tempatnya belum bergeser sejengkalpun. Tiba-tiba aku merasa mataku menghangat, dalam pelukan Mak aku selalu menjadi cengeng. 
 “Heh, dah bebini masih aja cengeng! Tak malu sama bini kau?”
 “Nggak, biar dia aja yang malu.”
 “Eh, kok bisa?”
 “Iya, malu punya suami cengeng kayak aku, Mak.”
 Mak memukul lembut punggungku, kemudian mengusapnya, sungguh aku merasa damai. Kemudian dia merenggangkan pelukannya, ku lihat dia menatap menantunya dengan senyum menghias wajahnya yang sudah mulai senja.
 “Dinda, terima kasih sudah menjaga anak, Mak.”
 “Bang Amir yang jaga Dinda, Mak, terima kasih sudah melahirkan lelaki hebat yang sekarang menjadi suami Dinda.”
 Dua wanita yang menempati hatiku di posisi yang berbeda tetapi sama pentingnya itu berpelukan. Dinda memang terbiasa menyusun kalimat yang menurutku bisa membius seseorang. Tidak heran memang, istriku ini adalah seorang penulis yang terbiasa bermain dengan kata-kata. 
 Tidak lama berselang, saudara mara berdatangan. Suasana rumah jadi ramai oleh canda tawa. Mak adalah anak tertua di keluarganya, begitu juga dengan Bapak, jadi tidak heran kalau banyak yang mengunjungi rumah kami. Tahun kemaren aku melewatkan ini, karena aku dan Dinda sudah sepakat untuk lebaran bergantian setiap tahunnya, tahun kemaren giliran kami lebaran di rumah orang tua Dinda.
 Sungguh, suasana seperti ini selalu aku rindukan, masa kanak-kanak dulu, aku akan panen uang meski setelahnya Mak akan membagikan kembali ke anak-anak tetangga dan kerabat yang datang. Aku tersenyum mengenang masa itu, aku yang merajuk, bapak yang menghiburku dan Mak, tak menjelaskan apa-apa. Bertahun-tahun kemudian aku baru tahu alasan Mak mengambil semua uangku, katanya biar aku tidak terbiasa menerima pemberian. Tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah, begitu petuah Mak.
***
 Hari demi hari berlalu, suara takbir yang bergema menggetarkan setiap sudut hati orang beriman telah berlalu. Rumah Mak sudah mulai sunyi, aku tidak pernah selama ini di sini. Satu minggu penuh! Hari ini adalah hari ke delapan di bulan Syawal, berarti hari ini adalah hari raya zora, atau hari raya ziarah. Hari raya ini dilakukan setelah puasa enam hari berturut-turut.
 “Masyarakat kita selalu merayakan ini, Mir, ini salah satu budaya kita yang dilakukan secara turun temurun.”
 “Mak, sebenarnya semua ini tidak terlalu penting, ... “
 Belum sempat aku selesaikan kalimat ku, kepalaku langsung mendapat jitakan gratis dari Mak. Aku mengusap kepalaku dan menatap mata Mak yang melotot, ah, di mata Mak aku selalu menjadi anak kecil. Ku lirik Dinda yang menahan tawa, ku pelototi wanita itu, dia malah tertawa dan masuk ke kamar. Aku kembali tidur di pangkuan Mak.
 “Raya zora ini penting, Mir, selalu merayakan ini, sehingga terbentuk pola bagi generasi muda Kampar untuk selalu menghormati perkuburan orang tua masing-masing dan perkuburan persukuan atau perkuburan kampung.”
 “Kalau Cuma itu aja, kita juga udah ziarah sebelum puasa ‘kan, Mak?”
 “Tidak Cuma itu, Mir, zora ini juga bisa untuk saling mengenal saudara mara kita yang kebetulan pergi merantau macam kau tu. Besok bisalah bertemu, bisa mempererat tali silaturrahim. Kau paham?”
 Aku mengangguk meski pikiranku sebenarnya jauh ke Pasir Pengarayan, tempatku bertugas, berkhidmat pada negeri. Aku meninggalkan tugasku demi permintaan Mak yang berlebihan menurutku.
   “Cepatlah bersiap dan pergi ke masjid, semua berkumpul di sana, nanti barulah sama-sama ke perkuburan.”
 Tidak menunggu perintah dua kali aku langsung masuk ke kamar dan bersiap, begitu juga dengan Dinda. Tetapi begitu kami keluar Mak sudah tidak ada di ruang tengah. Kami memanggil dan mencarinya tetapi tetap tidak bisa menemukan Mak.
 “Mungkin Mak duluan, Bang, kelamaan nunggu kita.”
 Aku mengangguk karena akupun berpikiran yang sama. Kami melangkah menuju mesjid. Sesampainya di mesjid ternyata sudah banyak orang, aku bergabung dengan laki-laki sedang Dinda menuju tempat perempuan. Benar kata Mak, di sini aku banyak bertemu dengan teman-teman masa kecil dulu. Setelah matahari agak tinggi, kami berangkat ke pekuburan. 
 Luar biasa, ramai-ramai mendoakan handai taulan yang lebih dulu di panggil Sang Pencipta, Allah yang Maha Kuasa. Kami juga membersihkan perkuburan setelah itu kami kembali ke mesjid. Ternyata sudah ada hidangan untuk makan siang, makan bersama. Aku ingat kata Mak, hari raya zora akan diakhiri dengan makan bersama. Suasana penuh keakraban tercipta, senda gurau, tawa dan canda dengan teman yang sudah lama tidak bersua. Tengah asyik bercerita dengan Leman, Atuk Hasan mendekatiku. Cepat aku berdiri menyambut beliau dan menyalaminya.
 “Amirullah bin Sahrudin, Atuk senang akhirnya keluargamu ada yang mengikuti tradisi kita ini.”
 Dan penjelasan Atuk Hasan membuat kepalaku dipenuhi tanya, kenapa Mak sibuk betul menyuruhku ikut raya zora kalau ternyata beliau bahkan Almarhum Bapak pun tidak pernah ikut merayakan hari raya zora ini. Akupun menyadari, Mak memang tidak ada di sini sekarang.
 Berbulan-bulan kemudian, aku akhirnya tahu kalau Mak memang tidak pernah mengikuti raya zora, dia memaksaku ikut karena mendengar banyak ibu-ibu yang menceritakan keluarga kami yang tak pernah beraya zora. Mak marah karena mereka mengatakan keluargaku tak tahu adat kampung, karena itu beliau ingin membuktikan kalau anak kesayangannya ini adalah anak yang tahu adat dan tahu sopan santun. Dan terbukti setelah kejadian itu tak ada lagi yang membicarakan Mak dan keluarga kami. Kepalaku pening! 

No 3

NOMOR 3
Schommelstoel Antik

Luna merasa seperti menjelma makhluk asing. Kendati di huisje inilah tempat ia dilahirkan—20 tahun silam. Udara beku yang menyelimuti Schiedam, Holland Selatan akhir-akhir ini begitu menyesakkan dadanya. Asma yang dideritanya tiba-tiba kambuh. Langkahnya terhuyung. Luna menghampiri schommelstoel yang tergeletak di depan kamar Oma Aleen.
Sreettt…! Tiba-tiba saja schommelstoel itu bergeser dengan sendirinya! Luna terbelalak panik. Untung saja Oma Aleen cepat menyambar tubuhnya lalu memapahnya ke sofa di ruang keluarga. 
“Oma, kenapa schommelstoel itu bisa bergeser sendiri?” 
 Oma Aleen bergeming. 
“Oma...”
“Udara di Schiedam memang dingin. Nanti Oma telepon Dokter Mick untuk memeriksa asmamu. Kamu tunggu sebentar, ya?” 
Luna menghela napas. Memusatkan pandangan. Memerhatikan schommelstoel itu dengan saksama. Ukiran-ukiran berbentuk wajah seorang ratu dari kerajaan Mesir kuno, lengkap dengan taburan mutiara serta batu-batu safir yang menghiasi seluruh permukaan rambutnya, Luna dapati di schommelstoel antik itu. Kedua pegangannya juga diukir membentuk kepala king cobra yang menganga. Persis seperti singgasana, namun kusam tak terawat.
Luna sungguh penasaran, ingin sekali rasanya duduk di atas schommelstoel antik itu. Luna berjingkat-jingkat mendekatinya. 
“Luna, Dokter Mick sudah datang. Ayo masuk ke kamarmu, biar diperiksa.” Suara Oma Aleen sungguh mengagetkan. 
Luna menoleh kikuk. Memandang Dokter Mick dengan mata membulat. Ya ampun, Dokter Mick tampan sekali! Luna mematung seperti patung batu. Hasratnya untuk duduk di atas schommelstoel itu lenyap seketika.  
Tetapi, ada hal yang membuat Luna tercengang. Dokter Mick ternyata memiliki sebuah tato di pergelangan tangan kirinya. Dan, setelah Luna perhatikan, tato tersebut menyerupai sketsa wajah seorang ratu dari kerajaan Mesir kuno—Cleopatra.
***
Tatapan dan senyuman Dokter Mick begitu teduh. Pundaknya yang kekar seperti singgasana kokoh yang diciptakan untuk tempat wanita bersandar dengan nyaman. Luna tak menyangka jika akhirnya ia bisa sedekat ini dengan lelaki yang sangat ia kagumi itu.
 “Yang paling ingin aku ketahui sejak awal pertemuan kita adalah tato di pergelangan tangan kirimu ini.” Luna mengelus-elus tato itu dengan lembut.
Dokter Mick tersenyum. “Mama dan istriku sangat mengagumi kecantikan Cleopatra. Mereka sama-sama gemar mengoleksi pernak-pernik berasal dari Mesir, Timur Tengah, terutama yang berhubungan dengan Cleopatra. Alasan itulah yang akhirnya membuatku memutuskan untuk mengabadikannya dalam tato di lengan kiriku ini.”
 Luna mendesah lirih. Ternyata, Dokter Mick sudah beristri. “Semoga saja aku bisa bertemu dengan mama dan istrimu suatu hari nanti...” Luna tak tahu harus berkata apa lagi.
 “Kau ingin bertemu mereka?” Dokter Mick tertawa, “aku sendiri saja kesulitan bertemu dengan mereka. Kecuali jika kerinduan di benakku benar-benar tak mampu dibendung lagi. Maka, mereka akan datang menemuiku melalui mimpi-mimpi.”
 “Melalui mimpi-mimpi?”
 “Alam kami sudah berbeda. Sejak mereka tiada, kami hanya bisa terhubung melalui mimpi.” Tiba-tiba Dokter Mick terisak. 
 “Oh, mafkan aku! Aku tak tahu kalau…”
“Tak perlu minta maaf, Luna. Justru aku yang salah, kenapa jadi lelaki terlalu cengeng?” Dokter Mick tersenyum kecut.
 “Sebenarnya, masih ada yang ingin aku tanyakan padamu, tapi…” 
 Dokter Mick memandang wajah Luna. “Tentang schommelstoel antik itu?”
 Mata Luna membulat. 
 “Schommelstoel itu bisa bergeser sendiri, bukan?”
 “Oh, jadi kau juga pernah melihat schommelstoel itu bergeser sendiri?”
 “Schommelstoel itu, schommelstoel antik. Tak sembarang orang bisa mendudukinya.”
 “Kau pernah menduduki schommelstoel itu?”
 “Duduk di schommelstoel antik itu sama halnya dengan mengantarkan nyawa.”
 “Hah?”
 Dokter Mick bergeming. “Kau harus tahu, papa dan opamu meninggal dunia setelah duduk di schommelstoel itu.”
 “Bagaimana kau bisa tahu?”
 “Mereka kerap mengunjungiku dan bercerita banyak hal padaku melalui mimpi…”
***
“Semalam Oma bercerita banyak hal pada papa, mama, serta opamu di dekat perapian ini.” Oma Aleen duduk di dekat perapian yang menyala.
 Luna mendekat. “Apa saja yang Oma ceritakan pada mereka?”
 “Banyak sekali. Salah satunya tentang hujan.”
 “Hujan?”
 Oma Aleen mengangguk.
 “Kenapa hujan?”
 “Karena hujan mengukir banyak kenangan manis sekaligus pahit di huisje ini. Papamu, dan kau dilahirkan saat hujan. Tetapi, papa dan opamu juga meninggal saat hujan.” Air mata Oma Aleen menetes. “Mereka meninggal di atas schommelstoel antik itu...”
 Luna menelan ludah.  
 “Jangan khawatir. Schommelstoel itu bukan malaikat pencabut nyawa. Tuhanlah yang telah mentakdirkan mereka meninggal dunia di atas schommelstoel itu. Yang jelas, saat ini, mereka sudah hidup tenang di surga. Oya, semalam Oma juga sempat bercerita tentangmu kepada mereka.”
 “Benarkah?”
 Oma Aleen mengangguk lalu tersenyum. “Ya.”
 “Apakah Oma bercerita pada mereka melalui mimpi-mimpi?”
  “Bukan,” Oma Aleen tersenyum. “Oma bercerita pada mereka melalui bayang-bayang yang bersemayam di tubuh Oma.”
 Bayang-bayang? Ah, keganjilan seperti apa lagi itu?
 “Coba kau lihat di sana.” Oma Aleen menunjuk ke arah dinding. “Perhatikan baik-baik, lalu hitung, berapa jumlah bayangan yang ada di sana?”
 Luna memusatkan pandangannya lalu mulai menghitung. “Satu, dua, tiga, empat, lima, enam…” Enam?! Luna terbelalak tak percaya. Bukankah di sini hanya ada dia dan Oma Aleen saja? Seharusnya bayangan yang memantul di dinding itu hanya ada dua. 
“Ya Tuhan, bagaimana mungkin?!”
 “Sudah Oma duga, kau pasti terkejut melihatnya. Dulu, waktu pertama kali Oma melihatnya, Oma juga tidak percaya. Tetapi, lama kelamaan, Oma akhirnya memercayainya juga. Karena bayangan-bayangan itu benar-benar nyata!”  
 Luna menggeleng kuat-kuat. Ia tetap tak pecaya. Sejak awal ia datang ke huisje ini, semua menjadi terasa begitu ganjil dan aneh. Dokter Mick dengan mimpi-mimpinya, lalu Oma Aleen dengan bayangan-bayangannya. Semuanya sungguh sangat membingungkan dan sulit diterima akal sehat.  
 “Dulu, ketika kau berumur delapan tahun, kau pernah mengalami depresi usai melihat mamamu tewas tertabrak mobil saat akan melintasi jalan raya,” Oma Aleen mendesah lirih, “sejak itu kau dibawa ke pusat rehabilitasi untuk dirawat.”
 “Kau bohong! Aku tak pernah dirawat di pusat rehabilitasi. Apalagi sampai mengalami depresi!” Luna hampir memekik, “kenapa kau tega memerangkapku di dunia ilusi yang serba aneh ini?!” 
 “Luna, kau bicara apa, sayang?” suara Oma Aleen bergetar. “Ini dunia nyata, Luna. Bukan ilusi. Kau harus tahu, di huisje inilah kau dulu dilahirkan dan dibesarkan. Di kelilingi orang-orang yang sangat mencintai dan menyayangimu; mamamu, opamu, juga Oma. Apakah kau telah melupakan semua itu?”  
 “Kau bohong! Kembalikan aku ke duniaku! Kembalikan aku!” Luna mengguncang-guncang tubuh Oma Aleen. 
Air mata Oma Aleen menetes. 
Luna berlari keluar, meninggalkan huisje. Luna terus berlari, di bawah guyuran hujan yang semakin menderas.              
***
Dari kejauhan, Luna melihat mama dan opa sedang bercengkerama di dekat kincir angin dan taman bunga yang indah. Perlahan, Luna melangkah menghampiri mereka.
 “Luna? Kenapa kau bisa ada di sini?” tanya Mama keheranan. 
Opa menoleh, lalu senyumnya terkembang. “Apa kabar, Luna? Duh, Opa kangen sekali sama kamu.”
 Luna menghambur memeluk opa, lalu mamanya bergantian. “Aku juga sangat merindukan kalian!” Luna sesengukkan.
 Di tepi sebuah kanal beraih jernih, Luna melihat Dokter Mick sedang bersimpuh di samping sebuah pusara. Matanya sembab digenangi air mata. “Sampai kapan pun, aku akan selalu mencintaimu, istriku,” lirih Dokter Mick sembari mengecup foto mama dengan penuh rasa cinta. Setangkai mawar ia letakkan di bawah batu nisan itu. Senyumnya merekah.
 “Aku juga akan selalu mencintaimu, suamiku. Meskipun rohmu masih terperangkap dalam tubuh dokter itu,” bisik Mama sembari menyusut genangan air matanya.
***
“Luna, kenapa kau tinggalkan Oma?” Ratapan Oma Aleen memenenuhi huisje. Sebujur jasad terbaring beku di hadapannya. Beberapa pelayat berusaha menenangkannya. Namun tangisnya kian pecah. 
 Oma Aleen melangkah tertatih, sempoyongan, lalu duduk di atas schommelstoel antik itu. “Tuhan... penderitaanku telah genap kini. Orang-orang yang kucintai telah pergi. Aku kini sendirian…” Oma Aleen merintih. 
Di antara gumpalan awan putih yang diembus angin, Luna melihat dinding huisje dengan perapiannya yang menyala. Di sana ia melihat bayangan Oma Aleen telah bertambah lagi, menjadi tujuh bayangan. Bayangan-bayangan itu seperti hendak bercerita dengan mimik paling sempurna. Bercerita banyak hal; tentang kepergian, tentang kesunyian, tentang cinta, juga tentang hujan yang membawa kebahagiaan sekaligus kepedihan.     
Schommelstoel antik itu tampak bergoyang-goyang. Oma Aleen memejamkan mata. Ia seperti hendak terbang ke suatu tempat yang jauh. 


Note
1.  Rumah tradisional Belanda 
2. Kursi Goyang

No 1

NOMOR 1
JARAN
            Terik sinar matahari menyengat kulitku yang gelap semakin terlihat gelap. Debu beterbangan memberikan aroma tanah yang khas. Deru kaki kuda masih terdengar meski telah menjauh. Riuh sorak sorai para penonton memanggil jagoannya terdengar dari ujung barat hingga timur tribun.
            “Main jaran”, itu sebutan bagi orang-orang sini. Hari ini kusaksikan dengan mata kepalaku bagaimana para anak-anak menjadi joki. Mereka biasa menyebutnya “Juki”, seorang bocah yang menunggang kuda untuk lomba pacu. Umur mereka antara lima hingga sepuluh tahun, bisa dibayangkan betapa beraninya mereka memegang cambuk diatas kuda yang lari dengan sangat kencang. Kuda yang mereka tunggangi memang lebih kecil dibanding kuda pacuan yang biasa dipakai untuk pacuan kuda di daerah lain.
Bagian wajah hingga leher kuda dihiasi dengan tali-talian berwarna warni, jombe. Juki memakai penutup kepala (ketopang) dan helm, pakaian serta celana panjang ditambah kaos kaki. Mereka juga mengenakan rompi bertuliskan angka sesuai dengan nomor lomba. Cambuk yang digunakan terbuat dari rotan dan alas duduknya terbuat dari alang-alang atau daun pisang kering. Orang sini menyebytnya lapek.
Kuda satu dengan yang lain saling berkejaran. Riuh tepuk tangan dan terikan kembali menggema saat salah satu kuda mendekati tribun. Namun tiba-tiba ada kuda terjatuh, beberapa orang menjerit, seorang lelaki segera berlari menolong. Akupun ikut mendekat, melewati kerumunan penonton yang masih teriak-teriak dan tidak peduli dengan salah satu juki yang terjatuh tadi.
“Beang mo, kam ada sandro,[1]” kata salah satu penonton kepada penonton lainnya. Nampaknya hal seperti ini sudah biasa, kulihat para penonton tetap asik berteriak di tengah-tengah kecelakaan yang terjadi. Hanya beberapa orang yang peduli, mungkin keluarga atau teman si juki dan pemilik kuda. Setiap main jaran harus ada sandro yang bertugas menjaga kuda dan juki. Sandro adalah seorang yang memiliki ilmu supranatural yang biasanya menggunakan baju serba hitam. 
Kuabaikan pacuan yang masih berlangsung dan melihat apa yang akan dilakukan sandro. Ia meniup kepala, kemudian memberikan minum air putih yang telah dia lafalkan doa-doa. Luar biasa, bocah itu kembali naik ke atas kuda dan melanjutkan perlombaan. Sungguh mental pemberani, anak sekecil itu seakan tidak punya rasa takut, hanya satu yang mereka pikirkan, menang.
Aku kembali ke tribun berbaur dengan penonton lain, gerombolan anak-anak berdiri di tribun paling depan kedua memukul-mukul boto kosong. Kudekati salah satu dari mereka, bocah berbaju merah dengan celana pendek motif kotak-kotak, rambutnya paling lucu diantara yang lain.
“Nde me jagomu?[2]” tanyaku memakai bahasa daerah sana. Lima tahun di kabupaten Sumbawa membuatku bisa berbahasa daerah sini walaupun tidak terlalu lancar. Apalagi mengajar di kampung, anak-anak lebih sering menggunakan bahasa daerah daripada bahasa Indonesia, ditambah guru-guru sini pun lebih sering berkomunikasi menggunakan bahasa daerah, sehingga aku bisa cepat dan mudah memahaminya.
“De nomer sai. Juara ten perap nya,[3]” jawabnya mantap.
            Teriakan semakin kencang, kuda nomor satu hampir masuk finish namun dibelakangnya ada kuda lain dengan jarak kira-kira hanya satu meter. Para penonton tegang menunggu kuda mana yang menjadi pemenangnya. Tebakan bocah itu benar, kuda nomor satu menang. Bocah itu bersorak riang bersama teman-temannya kemudian mereka berlarian menuju juki yang baru saja turun dari kuda. Sepertinya mereka teman-teman si juki pikirku, aku pun mengikuti jejak anak-anak itu. Tak kusangka si juki adalah adik dari bocah tadi, dia juga pernah menjadi juki untuk kuda yang sama dengan adeknya pada perlombaan satu tahun yang lalu.  
            Rasa penasaranku tak terbendung, kuputuskan untuk ikut pulang ke rumahnya. Menjadi perantauan yang masih bujang beginilah serunya, bebas kemanapun pergi. Desa Penyaring ini tidak jauh dari kos, hanya saja jalannya berkelok dan masih banyak bebatuan. Andai kata nanti terlalu larut untuk pulang semoga diizinkan menginap oleh kedua orang tua anak itu.
            “Ta nya Bapak kami, Abang e [4]” kata bocah itu sambil memegang lengan seorang lelaki berbadan tegap berkulit sawo matang yang sedang mengelus-elus kuda. Aku tersenyum menyapanya dan menyampaikan niatku untuk silaturahmi ke rumahnya. Ia dengan senang hati mempersilakan. Masyarakat sini memang ramah-ramah dan baik, apalagi desa ini sering dikunjungi oleh wisatawan. Mereka datang untuk membeli susu kuda liar atau permen susu kuda.
            Kulepas sepatu kemudian menaiki tangga yang terbuat dari papan. Rumah panggungnya cukup luas. Beberapa foto bersama kuda terpampang disana. Kuamati satu persatu foto, ada satu buah foto yang masih berlatar hitam putih, seorang anak diatas kuda dengan memamkai penutup kepala tanpa helm dan memegang cambuk.
            “Itu saya empat puluh tahun yang lalu,” kata Pak Suhardi mengagetkanku.
Ia membawakan kopi hitam panas dan mempersilakanku duduk. Kedua anaknya Joni dan Doni menyusul membawa pisang goreng. Pak Suhardi memulai bercerita tentang kisahnya. Dulu ia adalah seorang juki dan beberapa kali menang dalam pacuan kuda. Kecintaannya pada kuda membuatnya menjadi perawat dan pelatih kuda. Joni, anak pertamanya yang kini berusia sembilan tahun beberapa kali menjadi pemenang setiap mengukuti perlombaan. Perlombaan terakhirnya membuat ia tidak bisa menjadi juki lagi kemudian digantikan oleh adiknya.
            “Saya sudah melarang Doni untuk ikut main jaran, tapi bapaknya kekal[5]5,” sahut seorang wanita dari balik tirai, istri Pak Suhardi.
Pak Suhardi menyeruput kopi dan mempersilakanku minum kemudian menyalakan rokok dari daun lontar yang dikeringkan, namanya rokok jontal.. Wanita itu meminta Joni dan Doni masuk untuk belajar kemudian ia duduk dan bercerita bersama kami.
            “Joni jarang masuk sekolah karena banyak lomba, kami khawatir dia tinggal kelas. Tetapi bukan karena itu Joni berhenti jadi juki, Bang. Saat pertandingan terakhir Joni terjatuh dari kuda. Badannya tertindih oleh kuda sehingga tulang pinggungnya cedera. Sampai sekarang punggungnya belum sembuh total. Saya tidak mau itu terjadi juga dengan Doni,” kata wanita itu seolah ingin mengadu kepadaku.
            “Kam masak jangan ke?[6]” tanya Pak Suhardi tanpa menghiraukan kata-kata istrinya barusan.
            Usai salat magrib aku diajak ke dalam untuk makan malam. Sambil menikmati sepat[7], aku bertanya banyak hal tentang main jaran termasuk klasifikasi kelas kuda yang diperlombakan. Kutanyakan pendapatnya tentang kecelakaan yang terjadi di Bima, seorang juki meninggal dunia saat pacuan kuda. Ia mengangkat bahu dan berkata, “Takdirnya disitu, mau bagiamana lagi.” Ku cecar lagi dengan pertanyaan-pertanyaan yang menjadi isu yaitu meniadakan joki cilik karena dianggap eksploitasi anak. Ia hanya melambaikan tangan, tidak berkomentar. Menurutnya kecelakaan yang terjadi dalam joki cilik sedikit sekali, tidak bisa dijadikan alasan untuk menghentikan joki cilik. Main jaran dengan menggunakan joki cilik menjadi adat atau tradisi yang dimiliki oleh Pemerintah NTB khususnya kabupaten Sumbawa dan Bima.
            “Ada sandro yang menjaga disetiap perlombaan. Kuda-kuda yang digunakan pun sudah terlatih, kecelakaan jarang sekali terjadi.”
            “Sandro juga manusia kan, Pak? Buktinya joki cilik yang di Bima meninggal,” sanggahku.
            “Nah! Kama ada de mate. Man mo main jaran Doni nan e,[8]” gerutu istri Pak Suhardi.
Lagi lagi Pak Suhardi tidak berkomentar, dia mengambil jontal, membakar kemudian menghisapnya. Bagi masyarakat Sumbawa main jaran seperti sepakbola. Bagaimanapun semua aktivitas yang kita lakukan tidak luput dari yang namanya celaka. Apalagi dibidang olahraga selalu ada kemungkinan mengalami cedera, begitu kata Pak Suhardi sebelum memintaku istirahat kemudian ia masuk ke kamarnya. Malam ini kuputuskan untuk menginap, aku tidur di ruang tengah bersama Joni dan Doni. Wajah kedua anak itu begitu teduh, tidak ada rasa takut, walaupun mamaknya kurang setuju Doni mengikuti pacuan kuda. Besok pagi Doni harus berlomba lagi, pasti ia sangat lelah.
***
  Enam box berisi kuda telah berjejer rapi di kerato, aku baru tahu nama lintasan/ lapangan main jaran ini namanya kerato. Petugas start membuka pintu box dan seketika semua kuda berlari sekencang kencangnya. Mataku hanya fokus pada kuda yang ditunggagi Doni. Sementara dia berada di posisi kedua, Doni lincah memainkan tumitnya, sesekali memainkan cambuk. Doni sudah sangat lihai, mungkin karena bakat dari bapaknya. Meskipun badannya paling kecil diantara juki lainnya namun nyalinya begitu besar untuk berjuang diatas kuda sejauh 1200 meter.
Brak! Kuda Doni terjungkal, Tak terelakkan Doni pun jatuh tersungkur bersamaan dengan kuda tunggangannya. Panitia, Sandro dan Pak Suhardi segera berlari ke arena jatuhnya kuda, aku dan Joni bergegas mengikuti. Detak jantungku tak karuan, helm Doni terlepas, dia tak bergerak sedikitpun. Sandro berkali-kali meniup-niup kepalanya, tak ada hasil. Seorang penonton datang mencoba memeriksa denyut nadi dan pernapasan Doni.
“Segera bawa ke rumah sakit,” serunya tegas.
Tanpa pikir panjang Pak Suhardi segera menggendong Doni. Butuh waktu tiga puluh menit untuk sampai RSUD Sumbawa. Ternyata penonton tadi adalah dokter, sehingga dengan cepat Doni bisa ditangani. Dokter keluar dari ruang periksa, kami tegang menunggu hasil pemeriksaannya.
“Tidak ada darah maupun luka di badannya, namun ternyata ada benturan di kepala yang kuat sehingga ia mengalami pendarahan di sekitar otak. Butuh waktu lama untuk kesembuhannya.”
Istri Pak Suhardi datang dengan bercucuran air mata. Kupeluk Joni, ku katakan padanya bahwa Doni akan baik-baik saja, dia pejuang yang tangguh. Namun tetap saja ini musibah yang berat bagi keluarga Pak Suhardi.
***
Dua tahun kemudian. Kerato Angin Laut di desa Penyaring dipadati penonton. Final perlombaan main jaran dimulai. Terlihat sebuah ambulance dan tim medis lengkap. Juki nomor satu memakai helm bertali, baju pelindung dan sepatu hampir masuk garis finis. Tertulis nama di punggung bajunya, DONI.

No 2

Pukul Enam


 Perempuan Satu dan Pukul Enam
Lima belas menit menjelang pukul enam, keluarga itu telah duduk rapi di meja makan. Seorang perempuan dengan telaten memperhatikan nutrisi yang hendak diasup suami dan anaknya. Selesai sarapan, anaknya berangkat sekolah diantar suaminya yang sekalian ke kantor. Mereka menyudahi sarapan pagi dengan suasana tenang. Bunyi piring yang berdenting lebih mendominasi dari suara orang yang berbicara. Semua terlaksana dengan tertib hingga akhirnya rutinitas sarapan pagi selesai.
 “Sudah yakin keperluan terbawa semua?”
 “Sudah, Bu.”
 “Tugas sudah dikerjakan semua?”
 “Beres, Bu.”
 “Bekal, air minum, juga sudah?”
 Jawaban yang sama terdengar lagi. 
 “Baiklah. Pulang harus sebelum azan magrib. Dan yang paling penting, serius mengikuti latihan,” ujar perempuan itu sambil merapikan pakaian anak gadisnya yang menurutnya kurang rapi.
 Putrinya mencium tangan perempuan itu. Kemudian bergegas memasuki mobil sambil tangannya masih sempat melambai ke arah ibu. Dari dalam mobil terdengar bunyi klakson sekali, lalu meninggalkan perempuan itu seorang diri. Ia tak langsung masuk ke dalam rumah. Ada sesuatu yang mengganjal dan membuat perempuan itu resah tak berkesudah. Namun seperti tersadar akan sesuatu, ia segera menarik pagar dan beranjak ke dalam rumah.
 *
 Bila setiap pagi perempuan itu tidak nyinyir, maka suami dan anaknya akan mendapati pagi yang suram. Berawal dari mereka yang terjebak macet lalu berimbas terlambat tiba di tujuan. Dan perempuan itu berani menjamin, sepanjang hari tidak akan berjalan menyenangkan. Maka daripada terus-terusan mendengar ocehan perempuan itu, anaknya lebih suka menjadikan jam dinding sebagai acuan aktivitas. Anak gadisnya memilih menghindari ceracau ibunya dengan menyetel jam pengingat di pukul setengah lima pagi.
Kini semuanya berjalan dengan harapan perempuan itu. Ia tak perlu repot mengingatkan anaknya tiap pagi. Anak perempuannya tumbuh menjadi anak yang mandiri dan menghargai waktu. Perempuan itu bahagia dengan apa yang telah ia lakukan. Ia sangat yakin, hal-hal positif yang didapat anaknya saat ini tak lepas dari rencana yang diam-diam ia rancang. Kini anak gadisnya yang masih duduk di SMP itu terpilih mewakili provinsi mereka di olimpiade mata pelajaran IPA tingkat nasional. Jika tidak ada halangan, tiga minggu lagi anaknya akan berangkat ke luar pulau mengikuti perlombaan.
Ia memang bahagia. Bahagia sekali. Akan tetapi, di balik hal yang membuat ia bahagia itu, sesungguhnya ia tengah berpikir kembali. Pikiran itu akhirnya membuat ia menjadi menyesali sesuatu. Sesuatu yang kini ia sadari bahwa sebenarnya ia tak perlu melakukan hal itu dulu. Tapi hatinya yang lain menentang. Jika dia tidak melakukan itu, siapa yang dapat menjamin bahwa anaknya itu bisa membanggakan seperti sekarang?
 Perempuan itu kini seorang diri saja di rumah. Oh bukan, dia memiliki seorang pelayan perempuan yang masih muda. Namun apa yang bisa dilakukannya. Ia tak bisa mengobrol secara pribadi seperti yang dapat ia lakukan pada anak atau suaminya. Lagi-lagi ia menatap jam dinding di ruang keluarga. Tanpa merasa diperhatikan, jarum jam itu terus berputar meski tatapan perempuan memperhatikan dengan nanar. Ia mengingat kembali bagaimana dulu sekali, seluruh jam yang ada di rumahnya ia ubah jarum menitnya. Dimajukan sepuluh menit dari aturan jam normal. Dimulainya dari jam dinding kamarnya, jam tangan suaminya, jam dinding ruang tengah, lalu jam tangan anaknya. Ada satu lagi yang membuatnya hampir terlupa, jam di ponsel suaminya. Ia melakukannya tengah malam ketika keesokan harinya menjadi hari pertama bagi anaknya masuk sekolah. Tanpa sepengetahuan suaminya. Sebab ia tak yakin bila suminya akan mengerti dan mendukung rencananya itu.
“Sudah jam enam, kau bisa terlambat di hari pertamamu,” ujar perempuan itu sembari mengecup kening putrinya pagi itu. Suaminya yang masih menyantap sarapan, segera menyelesaikan suapannya sambil memperhatikan jam tangannya.
“Apa ini perasaankau saja waktunya terasa lebih cepat dari biasanya?” tanya suaminya sambil memperhatikan jam tangan dan jam dinding bergantian. Keduanya menunjukkan waktu yang sama.
“Hanya perasaanmu saja. Berangkatlah segera, agar kesan di hari pertama tidak mengecewakan bagi putri kita,” ujar perempuan itu sambil membawa tas anaknya ke depan. Jantungnya berdegup perlahan-lahan. 
 *
 Mengapa tidak dimundurkan saja kembali waktunya sepuluh menit?
 Pikiran itu berkelebat di benaknya. Sore itu ia tengah bersantai di ruang tengah sambil menonton televisi. Ia segera memutar otak dan memikirkan segala kemungkinan. Tapi pikirannya yang lain datang menolak.
 Tidak. Jangan lakukan itu.
Kau telah berjanji untuk tidak akan lemah di tengah perjalanan.
Jangan lakukan apapun. Jangan ubah apapun.
 “Aku pulang!”
Pintu rumah terbuka disusul dengan suara seseorang yang mengabari bahwa ia telah tiba di rumah. Perempuan itu mengira suaminya yang kebetulan cepat pulang. Alangkah herannya ia karena sosok yang datang adalah anak gadisnya.
“Ada acara di sekolah yang membuatmu pulang lebih awal?” tanya perempuan itu sambil berupaya menemukan kebohongan di binar mata remaja itu.
Anaknya menggeleng.
“Oh ya, pasti pelatih olimpiademu meminta pulang lebih awal karena ada keperluan lain?” lanjut perempuan itu mengalihkan tatapan dari mata anaknya.
Menggeleng lagi.
“Ah, ibu tahu. Pasti latihan kalian sudah cukup sehingga dibolehkan untuk cepat pulang dari biasanya.” Perempuan itu bersikukuh berbaik sangka.
Jawaban yang sama. Sebuah gelengan.
“Lalu?” kening perempuan itu berkerut.
“Benda tak mungkin bisa berbohong Bu,” ujar anaknya sendu.
Perempuan itu menatap anaknya tajam. Ia masih mengira-ngira arah pembicaraan anaknya. “Ibu tidak mengerti,” ujarnya kemudian.
“Dulu Ibu pernah bercerita padaku, cermin dan jam adalah dua benda yang selalu memegang konsistensi mereka sepanjang masa. Jika ada keganjilan pada benda itu, maka manusialah yang membuat keganjilan itu.”
“Apa maksudmu?” perempuan itu menyelidik. Dia memang seorang ibu yang tangguh dan tidak mudah terbawa keadaan.
“Bu, aku baru menyadari kalau jam tanganku berbohong kepadaku. Di jam sekolahku atau di jam teman-temanku, semuanya menunjukkan waktu lebih awal sepuluh menit. Kita... kita... kenapa ibu melakukannya?” suara putrinya serak. Ia merasa telah dibohongi ibunya. 
Perempuan itu mendekati anaknya dan merengkuh. Ia tak mengeluarkan kata apapun. Ia biarkan putrinya larut dalam perasaannya. Namun satu hal yang selalu ia pegang teguh, ia tak akan turut menangis. Meski ia sangat tahu pangkal semuanya.
“Apa yang Ibu lakukan membuat kita jadi kehilangan sepuluh menit yang berharga. Aku selalu berangkat sepuluh menit lebih awal dari teman-teman yang lain. Padahal di sepuluh menit itu kita masih bisa bercengkerama atau setidaknya masih bisa menghabiskan waktu di rumah untuk apapun,” lanjut anak gadisnya yang amat yakin bahwa ibunya telah memonopoli waktunya. “lagipula ibu tidak perlu khawatir jika aku akan seperti anak-anak lain yang mungkin belum memanfaatkan waktu mereka dengan baik. Aku dapat menjadi anak yang membanggakan, Bu. Dan seharusnya kita tak pernah kehilangan sepuluh menit itu. Tak pernah...” anaknya semakin tergugu.
Ia akhirnya angkat bicara.
“Ibu tak mengubahnya. Anggap saja waktu itu datang sendiri kepadamu. Sehingga kau tak perlu merisaukan mengapa lebih cepat atau lebih lambat dari milik orang lain. Bahkan kau harus selalu tetap menjaganya. Biarlah mereka dengan waktunya yang lebih lambat dari waktumu. Yang terpenting kau harus tetap pada jammu, tetap pada aturan yang telah ibu ajarkan,” ujar perempuan itu dingin, namun tersimpan ketegasan di sana.
Anak perempuannya terdiam dan mencerna kata-katanya. Mencoba menyerap kebenaran yang disampaikan ibunya. Tanpa diketahui putrinya, perempuan itu mencoba menepis rasa bersalah.
***
Perempuan Dua dan Pukul Enam
Harsini sangat mengantuk pagi itu. Namun ada hal lain yang menggelitik nalurinya sebagai seorang ibu. Sesuatu yang membuat hasratnya untuk tidur kembali, bisa dienyahkan selama beberapa jam ke depan. Ia sadar diri. Dulu ia yang menginginkannya. Namun kini ia menyesal melakukan itu.
Diliriknya jam. Pukul enam tepat. Anak lelakinya selesai sarapan dan bergegas hendak pergi. Harusnya putranya tidak perlu pergi pada pagi di hari Minggu ini. Hari ketika segala kesibukan dapat ditoleransi. Perempuan itu ingin menghabiskan sepanjang hari bersama suami dan anak lelakinya. Tapi ia sepertinya tak bisa menggugat. Seperti yang sudah-sudah, adalah hal yang mutlak bagi anak lelakinya berlatih badminton di gedung olah raga hingga siang.  
Barangkali karena hatinya tak dapat lagi diajak kompromi atau mungkin perasaan sensitifnya sebagai seorang perempuan yang tak bisa lagi ditawar. Begitu putranya pergi, begitu saja Harsini menangis di kursi ruang tamu. Tangisnya pecah memenuhi seluruh penjuru ruang rumah mereka. Apa suara itu sampai terdengar ke rumah tetangga mereka, entahlah. Erman, suaminya, yang tengah menekuri koran pagi segera mendekati istrinya dan berusaha menghentikan tangis Harsini yang tak kunjung mereda. 
“Kenapa kamu, Har? Mengapa menangis seperti itu?” tanya lelaki itu heran.
“Aku... aku...” air mata Harsini tumpah-ruah membasahi kursi. 
“Ceritalah. Tidak ada siapa-siapa selain kita di rumah ini. Putra kita tak akan mungkin pulang dengan tiba-tiba,” ucap laki-laki itu sambil mengusap punggung Harsini.
Harsini menghentikan tangisnya. Masih tersisa sesenggukan yang membuat bicaranya tersendat-sendat.
“Mas, apa ada yang ganjil dengan jam dinding itu?” pelan sekali Harsini berkata.
Erman melihat jam dinding dan memperhatikannya sebentar. Lelaki itu tidak menemukan sesuatu yang ganjil. Jam itu tetap bergerak seperti jam lainnya.
“Kenapa?” ujarnya kemudian. Ia belum paham maksud pertanyaan istrinya itu.
“Aku mengubahnya sejak Dimas mulai sekolah, Mas.”
Erman semakin bingung mendengar penuturan Harsini. Selama ini ia tak begitu memperhatikan jam di rumah mereka.
“Mengapa kau melakukan itu?” tanya Erman. Lelaki berkepala empat itu masih sulit untuk mengartikan maksud dari kata-kata istrinya itu.
“Karena aku ingin ia menghargai waktu Mas,” ujar Harsini kembali. Kemudian meluncurlah kata demi kata dari mulut Harsini. Masih pelan namun suaranya sudah terdengar jernih. Harsini menceritakan harapannya agar Dimas menjadi anak yang menghargai waktu dan melaksanakan segala sesuatu sesuai pada jamnya. Supaya hal itu itu terwujud, Harsini memajukan seluruh jam di rumah mereka sepuluh menit. Tujuannya agar anaknya memiliki sepuluh menit lebih awal sehingga tak membuatnya tergesa-gesa
Erman geleng-geleng kepala. Tidak habis pikir dengan kelakuan istrinya itu. Namun melihat wajah istrinya yang seperti menanggungkan beban batin, ia tak ingin berbantahan atau memperpanjang pembicaraan. Namun sempat terluncur sebuah pertanyaan yang membuat Erman bertanya-tanya sejak awal tadi.
“Dari mana kamu mendapat ide melakukan ini?”
Harsini menjawab singkat. “Ibu.”
*
Harsini merasa pikirannya jauh lebih lapang setelah ia curahkan segalanya pada Erman. Bahkan Erman mengusulkan bagaimana jika seluruh jam yang telah ia setel itu dimundurkan kembali menjadi sepuluh menit. Tapi Harsini menolak. Tanpa ia majukan, kesibukan putranya pun tidak akan berubah. Andai ia kembali memundurkan sepuluh menit itu dulu atau tidak pernah memajukannya, barangkali itu adalah keputusan terbaik yang pernah ia ambil. 
Melihat Harsini yang sudah mulai tenang dan lega, Erman pamit hendak pergi keluar. Harsini tidak bertanya lebih jauh karena kantuk sudah kembali menyerang rongga matanya. Ditambah lagi ia menangis sampai setengah jam membuat lelah Harsini berlipat. Harsini melepas kepergian Erman tanpa kecurigaan apapun. Ia percaya Erman keluar tak akan lebih dari dua jam. Segera ditutupnya pintu sembari menahan kantuk. Sebelum kantuk benar-benar menguasai dirinya, Harsini masih sempat tersadar bahwa ia belum mandi. Dan Harsini adalah perempuan yang tidak nyaman tidur bila belum mandi. Dengan terburu-buru ia segera memutar pintu kamar mandi dan berada agak lama di sana.
Akhirnya dia selesai membersihkan tubuhnya. Harsini menguap dan semakin mempercepat sisiran rambutnya. Tidak lama kemudian ia telah merebahkan tubuhnya dan siap memejamkan mata. Di saat yang rawan itu, sesuatu mengganggunya. Bel rumah berbunyi nyaring. Harsini menunggu sebentar. Ia yakin, Rina sedang melangkah menuju pintu. Namun bel itu terus berbunyi. Harsini kesal karena keinginannya untuk tidur kembali tertunda. Dengan dongkol ia bangkit dan keluar dari kamar. 
“Rinaaa...” perempuan itu memanggil pelayannya. Tidak ada sahutan. Perempuan itu menghela napas. Saat ini Rina harusnya ada di dapur mencuci piring atau mengurusi cucian pakaian. 
“Rinaaa...” suara Harsini kembali membahana.
Tak ada juga sahutan. Telinga Harsini mendengar bunyi mesin cuci yang sedang berputar. Bukannya membukakan pintu depan, perempuan itu melangkahkan kakinya ke arah dapur. Ia tak mendapati Rina. Hanya mesin cuci yang berputar. Dengan bersungut-sungut akhirnya ia melangkahkan kaki ke depan. Yakin sekali Harsini bukan tamu yang datang pagi-pagi begini. Biasanya loper koran yang meminta tagihan.
Ia membuka pintu dan mendapati seseorang yang seharusnya tidak membunyikan bel.
“Halo Bu...” seorang lelaki remaja menunjukkan wajah ceria. Tampak senyum menyembul di wajahnya.
“Ke.. kenapa kembali?” tanya perempuan itu sangat heran.
Perempuan itu curiga. Pandangannya segera beralih ke halaman. Melihat jika ada mobil suaminya. Tapi tidak ada siapa-siapa. Sepi.
“Aku memilih latihan sebentar saja hari ini. Pikiranku tiba-tiba menjadi tidak enak. Teringat Ibu,” sahut anak laki-lakinya.
“Apa ada sesuatu?” Harsini menyelidik. Ia tak habis pikir bagaimana putranya itu mau membatalkan latihannya.
 “Aku... aku baru menyadari sesuatu Bu,” ujar anaknya tertunduk.
“Sesuatu? Bicaralah yang jelas,” pinta Harsini.
“Aku baru tahu jawabannya mengapa di gor aku selalu tiba sepuluh menit lebih awal dari yang lain.” Dimas anaknya itu memperlihatkan jam tangan dan mengacungkannya pada Harsini. “jam ini berbohong padaku sepuluh menit, Bu.”
Perempuan itu terpaku. Ia mulai menangkap maksud anaknya itu.
“Apa kau mengira ibu yang mengubahnya?”
“Aku... tidak, Bu. Tapi walaupun aku telah tahu bahwa jam ini lebih cepat sepuluh menit dari yang seharusnya, aku tetap akan menghargai waktu. Ibu tak perlu ragukan itu,” ucap anaknya lagi.
Perempuan itu tertohok. “Kau seperti menuduh ibu yang melakukannya.” suara perempuan itu bergetar.
“Tidak Bu. Siapapun yang melakukannya, bagiku tidak masalah. Hanya saja selama ini kita telah kehilangan waktu kebersamaan sepuluh menit. Meskipun sepuluh menit adalah waktu yang singkat namun sangat berharga.”
Harsini tak memiliki kosa kata lagi untuk menyahuti ucapan putranya itu. Anaknya kemudian pamit ke belakang mengambil minuman. Tinggallah Harsini yang masih bingung mengapa semua bisa berubah secepat ini. Tapi pikirannya tak mau diajak berlama-lama memikirkan hal ganjil itu. Tertutup dengan rasa senang karena putranya pulang lebih awal. Harsini segera kembali ke kamarnya. Ia berjanji akan tidur sebentar lalu membuat kue coklat kegemaran anaknya. 
Putra kita tak akan mungkin pulang dengan tiba-tiba.
Kata-kata Erman terngiang di kepala Harsini begitu ia telah memejamkan mata. Tiba-tiba Harsini merasa ada kejanggalan dengan ucapan Erman itu. Ya, putranya tak akan mungkin pulang dengan tiba-tiba. Tak akan pula dengan tiba-tiba berkata sebijak demikian. Kantuk Harsini perlahan-lahan lesap. Tiba-tiba Harsini merasa kalah.
***
Dua Perempuan dan Pukul Enam
Kami sudah hendak pergi ke bandara ketika pagi belum terang sempurna. Jika bapak dan ibu tidak naik haji tahun ini, baik aku maupun Harsini tak akan pulang. Kami harus segera tiba di bandara agar dapat bertemu dengan rombongan bapak dan ibu yang akan take off beberapa jam lagi. Beberapa hari sebelumnya ibu telah berpesan. Paling lambat pukul enam kami sudah di jalan menuju bandara. Namun Harsini, Erman, dan Dimas tak kunjung keluar. Sudah kuperingatkan pada mereka agar bersiap lebih awal. Sementara suami dan anak perempuanku sudah menunggu di dalam mobil. 
Harsini memang payah. Itulah yang dapat aku tangkap dari ceritanya melalui telepon beberapa waktu lalu. Semenjak ia menceritakan perkara pukul enam pada suaminya, anak dan suaminya tampak lebih lambat dalam melakukan sesuatu. Katanya agar mereka memiliki kebersamaan yang sedikit lebih lama di rumah. Alasan saja itu supaya mereka memiliki waktu yang lebih lama untuk menunda-nunda.
Kulirik jam. Seharusnya mereka sudah keluar. Suami dan anak perempuanku mulai tak sabaran menunggu. Harsini pasti sudah tahu jika kita sampai terjebak macet, semua hal akan berantakan dan tidak berjalan menyenangkan sepanjang hari. Ia tak akan mudah melupakan kata-kata yang senantiasa diulang-ulang ibu dulu.
Sembari menunggu Harsini yang tak kunjung keluar, kembali kuingat pembicaraan kami tadi malam. Aku dan Harsini tak bisa menampik bahwa kodrat seorang ibu harus rela melepas anak panah. Begitu anak panah dilesatkan, tak pantas lagi berharap terlalu jauh. Biarkan saja anak panah itu mencari sasaran kemana ia mau. Dan siapapun itu, jika ia seorang ibu, maka harus rela melepas anak panahnya. Ya, anak panahnya, buah hatinya. Tapi hal itu akhirnya berpulang pada kekuatan hati sang ibu sendiri. Jika ia kuat, ia pasti mampu menahan semuanya. Namun jika tidak, ia akan terlihat rapuh. Persis seperti yang dilakukan Harsini beberapa waktu lalu.
Sekali lagi aku menoleh ke arah pintu. Tak ada satu pun yang keluar. Suamiku telah membunyikan klakson berkali-kali. Putriku sudah bosan menunggu. Hari mulai terang-terang tanah. Jangan-jangan mereka kembali tertidur? Ah, mereka benar-benar payah. Aku sudah mewanti-wanti jangan pernah membocorkan rahasia itu pada anak dan suaminya. Sekarang lihatlah, entah apa yang mereka lakukan hingga lama sekali.(*)

Sejarah, Akar Masalah, dan Cara Islam Tuntaskan HIV/AIDS

*Sejarah, Akar Masalah, dan Cara Islam Tuntaskan HIV/AIDS* Oleh: Yenni Sarinah, S.Pd (Aktivis Pendidikan Kelahiran Selatpanjang, Riau) ...