Pukul Enam
Perempuan Satu dan Pukul Enam
Lima belas menit menjelang pukul enam, keluarga itu telah duduk rapi di meja makan. Seorang perempuan dengan telaten memperhatikan nutrisi yang hendak diasup suami dan anaknya. Selesai sarapan, anaknya berangkat sekolah diantar suaminya yang sekalian ke kantor. Mereka menyudahi sarapan pagi dengan suasana tenang. Bunyi piring yang berdenting lebih mendominasi dari suara orang yang berbicara. Semua terlaksana dengan tertib hingga akhirnya rutinitas sarapan pagi selesai.
“Sudah yakin keperluan terbawa semua?”
“Sudah, Bu.”
“Tugas sudah dikerjakan semua?”
“Beres, Bu.”
“Bekal, air minum, juga sudah?”
Jawaban yang sama terdengar lagi.
“Baiklah. Pulang harus sebelum azan magrib. Dan yang paling penting, serius mengikuti latihan,” ujar perempuan itu sambil merapikan pakaian anak gadisnya yang menurutnya kurang rapi.
Putrinya mencium tangan perempuan itu. Kemudian bergegas memasuki mobil sambil tangannya masih sempat melambai ke arah ibu. Dari dalam mobil terdengar bunyi klakson sekali, lalu meninggalkan perempuan itu seorang diri. Ia tak langsung masuk ke dalam rumah. Ada sesuatu yang mengganjal dan membuat perempuan itu resah tak berkesudah. Namun seperti tersadar akan sesuatu, ia segera menarik pagar dan beranjak ke dalam rumah.
*
Bila setiap pagi perempuan itu tidak nyinyir, maka suami dan anaknya akan mendapati pagi yang suram. Berawal dari mereka yang terjebak macet lalu berimbas terlambat tiba di tujuan. Dan perempuan itu berani menjamin, sepanjang hari tidak akan berjalan menyenangkan. Maka daripada terus-terusan mendengar ocehan perempuan itu, anaknya lebih suka menjadikan jam dinding sebagai acuan aktivitas. Anak gadisnya memilih menghindari ceracau ibunya dengan menyetel jam pengingat di pukul setengah lima pagi.
Kini semuanya berjalan dengan harapan perempuan itu. Ia tak perlu repot mengingatkan anaknya tiap pagi. Anak perempuannya tumbuh menjadi anak yang mandiri dan menghargai waktu. Perempuan itu bahagia dengan apa yang telah ia lakukan. Ia sangat yakin, hal-hal positif yang didapat anaknya saat ini tak lepas dari rencana yang diam-diam ia rancang. Kini anak gadisnya yang masih duduk di SMP itu terpilih mewakili provinsi mereka di olimpiade mata pelajaran IPA tingkat nasional. Jika tidak ada halangan, tiga minggu lagi anaknya akan berangkat ke luar pulau mengikuti perlombaan.
Ia memang bahagia. Bahagia sekali. Akan tetapi, di balik hal yang membuat ia bahagia itu, sesungguhnya ia tengah berpikir kembali. Pikiran itu akhirnya membuat ia menjadi menyesali sesuatu. Sesuatu yang kini ia sadari bahwa sebenarnya ia tak perlu melakukan hal itu dulu. Tapi hatinya yang lain menentang. Jika dia tidak melakukan itu, siapa yang dapat menjamin bahwa anaknya itu bisa membanggakan seperti sekarang?
Perempuan itu kini seorang diri saja di rumah. Oh bukan, dia memiliki seorang pelayan perempuan yang masih muda. Namun apa yang bisa dilakukannya. Ia tak bisa mengobrol secara pribadi seperti yang dapat ia lakukan pada anak atau suaminya. Lagi-lagi ia menatap jam dinding di ruang keluarga. Tanpa merasa diperhatikan, jarum jam itu terus berputar meski tatapan perempuan memperhatikan dengan nanar. Ia mengingat kembali bagaimana dulu sekali, seluruh jam yang ada di rumahnya ia ubah jarum menitnya. Dimajukan sepuluh menit dari aturan jam normal. Dimulainya dari jam dinding kamarnya, jam tangan suaminya, jam dinding ruang tengah, lalu jam tangan anaknya. Ada satu lagi yang membuatnya hampir terlupa, jam di ponsel suaminya. Ia melakukannya tengah malam ketika keesokan harinya menjadi hari pertama bagi anaknya masuk sekolah. Tanpa sepengetahuan suaminya. Sebab ia tak yakin bila suminya akan mengerti dan mendukung rencananya itu.
“Sudah jam enam, kau bisa terlambat di hari pertamamu,” ujar perempuan itu sembari mengecup kening putrinya pagi itu. Suaminya yang masih menyantap sarapan, segera menyelesaikan suapannya sambil memperhatikan jam tangannya.
“Apa ini perasaankau saja waktunya terasa lebih cepat dari biasanya?” tanya suaminya sambil memperhatikan jam tangan dan jam dinding bergantian. Keduanya menunjukkan waktu yang sama.
“Hanya perasaanmu saja. Berangkatlah segera, agar kesan di hari pertama tidak mengecewakan bagi putri kita,” ujar perempuan itu sambil membawa tas anaknya ke depan. Jantungnya berdegup perlahan-lahan.
*
Mengapa tidak dimundurkan saja kembali waktunya sepuluh menit?
Pikiran itu berkelebat di benaknya. Sore itu ia tengah bersantai di ruang tengah sambil menonton televisi. Ia segera memutar otak dan memikirkan segala kemungkinan. Tapi pikirannya yang lain datang menolak.
Tidak. Jangan lakukan itu.
Kau telah berjanji untuk tidak akan lemah di tengah perjalanan.
Jangan lakukan apapun. Jangan ubah apapun.
“Aku pulang!”
Pintu rumah terbuka disusul dengan suara seseorang yang mengabari bahwa ia telah tiba di rumah. Perempuan itu mengira suaminya yang kebetulan cepat pulang. Alangkah herannya ia karena sosok yang datang adalah anak gadisnya.
“Ada acara di sekolah yang membuatmu pulang lebih awal?” tanya perempuan itu sambil berupaya menemukan kebohongan di binar mata remaja itu.
Anaknya menggeleng.
“Oh ya, pasti pelatih olimpiademu meminta pulang lebih awal karena ada keperluan lain?” lanjut perempuan itu mengalihkan tatapan dari mata anaknya.
Menggeleng lagi.
“Ah, ibu tahu. Pasti latihan kalian sudah cukup sehingga dibolehkan untuk cepat pulang dari biasanya.” Perempuan itu bersikukuh berbaik sangka.
Jawaban yang sama. Sebuah gelengan.
“Lalu?” kening perempuan itu berkerut.
“Benda tak mungkin bisa berbohong Bu,” ujar anaknya sendu.
Perempuan itu menatap anaknya tajam. Ia masih mengira-ngira arah pembicaraan anaknya. “Ibu tidak mengerti,” ujarnya kemudian.
“Dulu Ibu pernah bercerita padaku, cermin dan jam adalah dua benda yang selalu memegang konsistensi mereka sepanjang masa. Jika ada keganjilan pada benda itu, maka manusialah yang membuat keganjilan itu.”
“Apa maksudmu?” perempuan itu menyelidik. Dia memang seorang ibu yang tangguh dan tidak mudah terbawa keadaan.
“Bu, aku baru menyadari kalau jam tanganku berbohong kepadaku. Di jam sekolahku atau di jam teman-temanku, semuanya menunjukkan waktu lebih awal sepuluh menit. Kita... kita... kenapa ibu melakukannya?” suara putrinya serak. Ia merasa telah dibohongi ibunya.
Perempuan itu mendekati anaknya dan merengkuh. Ia tak mengeluarkan kata apapun. Ia biarkan putrinya larut dalam perasaannya. Namun satu hal yang selalu ia pegang teguh, ia tak akan turut menangis. Meski ia sangat tahu pangkal semuanya.
“Apa yang Ibu lakukan membuat kita jadi kehilangan sepuluh menit yang berharga. Aku selalu berangkat sepuluh menit lebih awal dari teman-teman yang lain. Padahal di sepuluh menit itu kita masih bisa bercengkerama atau setidaknya masih bisa menghabiskan waktu di rumah untuk apapun,” lanjut anak gadisnya yang amat yakin bahwa ibunya telah memonopoli waktunya. “lagipula ibu tidak perlu khawatir jika aku akan seperti anak-anak lain yang mungkin belum memanfaatkan waktu mereka dengan baik. Aku dapat menjadi anak yang membanggakan, Bu. Dan seharusnya kita tak pernah kehilangan sepuluh menit itu. Tak pernah...” anaknya semakin tergugu.
Ia akhirnya angkat bicara.
“Ibu tak mengubahnya. Anggap saja waktu itu datang sendiri kepadamu. Sehingga kau tak perlu merisaukan mengapa lebih cepat atau lebih lambat dari milik orang lain. Bahkan kau harus selalu tetap menjaganya. Biarlah mereka dengan waktunya yang lebih lambat dari waktumu. Yang terpenting kau harus tetap pada jammu, tetap pada aturan yang telah ibu ajarkan,” ujar perempuan itu dingin, namun tersimpan ketegasan di sana.
Anak perempuannya terdiam dan mencerna kata-katanya. Mencoba menyerap kebenaran yang disampaikan ibunya. Tanpa diketahui putrinya, perempuan itu mencoba menepis rasa bersalah.
***
Perempuan Dua dan Pukul Enam
Harsini sangat mengantuk pagi itu. Namun ada hal lain yang menggelitik nalurinya sebagai seorang ibu. Sesuatu yang membuat hasratnya untuk tidur kembali, bisa dienyahkan selama beberapa jam ke depan. Ia sadar diri. Dulu ia yang menginginkannya. Namun kini ia menyesal melakukan itu.
Diliriknya jam. Pukul enam tepat. Anak lelakinya selesai sarapan dan bergegas hendak pergi. Harusnya putranya tidak perlu pergi pada pagi di hari Minggu ini. Hari ketika segala kesibukan dapat ditoleransi. Perempuan itu ingin menghabiskan sepanjang hari bersama suami dan anak lelakinya. Tapi ia sepertinya tak bisa menggugat. Seperti yang sudah-sudah, adalah hal yang mutlak bagi anak lelakinya berlatih badminton di gedung olah raga hingga siang.
Barangkali karena hatinya tak dapat lagi diajak kompromi atau mungkin perasaan sensitifnya sebagai seorang perempuan yang tak bisa lagi ditawar. Begitu putranya pergi, begitu saja Harsini menangis di kursi ruang tamu. Tangisnya pecah memenuhi seluruh penjuru ruang rumah mereka. Apa suara itu sampai terdengar ke rumah tetangga mereka, entahlah. Erman, suaminya, yang tengah menekuri koran pagi segera mendekati istrinya dan berusaha menghentikan tangis Harsini yang tak kunjung mereda.
“Kenapa kamu, Har? Mengapa menangis seperti itu?” tanya lelaki itu heran.
“Aku... aku...” air mata Harsini tumpah-ruah membasahi kursi.
“Ceritalah. Tidak ada siapa-siapa selain kita di rumah ini. Putra kita tak akan mungkin pulang dengan tiba-tiba,” ucap laki-laki itu sambil mengusap punggung Harsini.
Harsini menghentikan tangisnya. Masih tersisa sesenggukan yang membuat bicaranya tersendat-sendat.
“Mas, apa ada yang ganjil dengan jam dinding itu?” pelan sekali Harsini berkata.
Erman melihat jam dinding dan memperhatikannya sebentar. Lelaki itu tidak menemukan sesuatu yang ganjil. Jam itu tetap bergerak seperti jam lainnya.
“Kenapa?” ujarnya kemudian. Ia belum paham maksud pertanyaan istrinya itu.
“Aku mengubahnya sejak Dimas mulai sekolah, Mas.”
Erman semakin bingung mendengar penuturan Harsini. Selama ini ia tak begitu memperhatikan jam di rumah mereka.
“Mengapa kau melakukan itu?” tanya Erman. Lelaki berkepala empat itu masih sulit untuk mengartikan maksud dari kata-kata istrinya itu.
“Karena aku ingin ia menghargai waktu Mas,” ujar Harsini kembali. Kemudian meluncurlah kata demi kata dari mulut Harsini. Masih pelan namun suaranya sudah terdengar jernih. Harsini menceritakan harapannya agar Dimas menjadi anak yang menghargai waktu dan melaksanakan segala sesuatu sesuai pada jamnya. Supaya hal itu itu terwujud, Harsini memajukan seluruh jam di rumah mereka sepuluh menit. Tujuannya agar anaknya memiliki sepuluh menit lebih awal sehingga tak membuatnya tergesa-gesa
Erman geleng-geleng kepala. Tidak habis pikir dengan kelakuan istrinya itu. Namun melihat wajah istrinya yang seperti menanggungkan beban batin, ia tak ingin berbantahan atau memperpanjang pembicaraan. Namun sempat terluncur sebuah pertanyaan yang membuat Erman bertanya-tanya sejak awal tadi.
“Dari mana kamu mendapat ide melakukan ini?”
Harsini menjawab singkat. “Ibu.”
*
Harsini merasa pikirannya jauh lebih lapang setelah ia curahkan segalanya pada Erman. Bahkan Erman mengusulkan bagaimana jika seluruh jam yang telah ia setel itu dimundurkan kembali menjadi sepuluh menit. Tapi Harsini menolak. Tanpa ia majukan, kesibukan putranya pun tidak akan berubah. Andai ia kembali memundurkan sepuluh menit itu dulu atau tidak pernah memajukannya, barangkali itu adalah keputusan terbaik yang pernah ia ambil.
Melihat Harsini yang sudah mulai tenang dan lega, Erman pamit hendak pergi keluar. Harsini tidak bertanya lebih jauh karena kantuk sudah kembali menyerang rongga matanya. Ditambah lagi ia menangis sampai setengah jam membuat lelah Harsini berlipat. Harsini melepas kepergian Erman tanpa kecurigaan apapun. Ia percaya Erman keluar tak akan lebih dari dua jam. Segera ditutupnya pintu sembari menahan kantuk. Sebelum kantuk benar-benar menguasai dirinya, Harsini masih sempat tersadar bahwa ia belum mandi. Dan Harsini adalah perempuan yang tidak nyaman tidur bila belum mandi. Dengan terburu-buru ia segera memutar pintu kamar mandi dan berada agak lama di sana.
Akhirnya dia selesai membersihkan tubuhnya. Harsini menguap dan semakin mempercepat sisiran rambutnya. Tidak lama kemudian ia telah merebahkan tubuhnya dan siap memejamkan mata. Di saat yang rawan itu, sesuatu mengganggunya. Bel rumah berbunyi nyaring. Harsini menunggu sebentar. Ia yakin, Rina sedang melangkah menuju pintu. Namun bel itu terus berbunyi. Harsini kesal karena keinginannya untuk tidur kembali tertunda. Dengan dongkol ia bangkit dan keluar dari kamar.
“Rinaaa...” perempuan itu memanggil pelayannya. Tidak ada sahutan. Perempuan itu menghela napas. Saat ini Rina harusnya ada di dapur mencuci piring atau mengurusi cucian pakaian.
“Rinaaa...” suara Harsini kembali membahana.
Tak ada juga sahutan. Telinga Harsini mendengar bunyi mesin cuci yang sedang berputar. Bukannya membukakan pintu depan, perempuan itu melangkahkan kakinya ke arah dapur. Ia tak mendapati Rina. Hanya mesin cuci yang berputar. Dengan bersungut-sungut akhirnya ia melangkahkan kaki ke depan. Yakin sekali Harsini bukan tamu yang datang pagi-pagi begini. Biasanya loper koran yang meminta tagihan.
Ia membuka pintu dan mendapati seseorang yang seharusnya tidak membunyikan bel.
“Halo Bu...” seorang lelaki remaja menunjukkan wajah ceria. Tampak senyum menyembul di wajahnya.
“Ke.. kenapa kembali?” tanya perempuan itu sangat heran.
Perempuan itu curiga. Pandangannya segera beralih ke halaman. Melihat jika ada mobil suaminya. Tapi tidak ada siapa-siapa. Sepi.
“Aku memilih latihan sebentar saja hari ini. Pikiranku tiba-tiba menjadi tidak enak. Teringat Ibu,” sahut anak laki-lakinya.
“Apa ada sesuatu?” Harsini menyelidik. Ia tak habis pikir bagaimana putranya itu mau membatalkan latihannya.
“Aku... aku baru menyadari sesuatu Bu,” ujar anaknya tertunduk.
“Sesuatu? Bicaralah yang jelas,” pinta Harsini.
“Aku baru tahu jawabannya mengapa di gor aku selalu tiba sepuluh menit lebih awal dari yang lain.” Dimas anaknya itu memperlihatkan jam tangan dan mengacungkannya pada Harsini. “jam ini berbohong padaku sepuluh menit, Bu.”
Perempuan itu terpaku. Ia mulai menangkap maksud anaknya itu.
“Apa kau mengira ibu yang mengubahnya?”
“Aku... tidak, Bu. Tapi walaupun aku telah tahu bahwa jam ini lebih cepat sepuluh menit dari yang seharusnya, aku tetap akan menghargai waktu. Ibu tak perlu ragukan itu,” ucap anaknya lagi.
Perempuan itu tertohok. “Kau seperti menuduh ibu yang melakukannya.” suara perempuan itu bergetar.
“Tidak Bu. Siapapun yang melakukannya, bagiku tidak masalah. Hanya saja selama ini kita telah kehilangan waktu kebersamaan sepuluh menit. Meskipun sepuluh menit adalah waktu yang singkat namun sangat berharga.”
Harsini tak memiliki kosa kata lagi untuk menyahuti ucapan putranya itu. Anaknya kemudian pamit ke belakang mengambil minuman. Tinggallah Harsini yang masih bingung mengapa semua bisa berubah secepat ini. Tapi pikirannya tak mau diajak berlama-lama memikirkan hal ganjil itu. Tertutup dengan rasa senang karena putranya pulang lebih awal. Harsini segera kembali ke kamarnya. Ia berjanji akan tidur sebentar lalu membuat kue coklat kegemaran anaknya.
Putra kita tak akan mungkin pulang dengan tiba-tiba.
Kata-kata Erman terngiang di kepala Harsini begitu ia telah memejamkan mata. Tiba-tiba Harsini merasa ada kejanggalan dengan ucapan Erman itu. Ya, putranya tak akan mungkin pulang dengan tiba-tiba. Tak akan pula dengan tiba-tiba berkata sebijak demikian. Kantuk Harsini perlahan-lahan lesap. Tiba-tiba Harsini merasa kalah.
***
Dua Perempuan dan Pukul Enam
Kami sudah hendak pergi ke bandara ketika pagi belum terang sempurna. Jika bapak dan ibu tidak naik haji tahun ini, baik aku maupun Harsini tak akan pulang. Kami harus segera tiba di bandara agar dapat bertemu dengan rombongan bapak dan ibu yang akan take off beberapa jam lagi. Beberapa hari sebelumnya ibu telah berpesan. Paling lambat pukul enam kami sudah di jalan menuju bandara. Namun Harsini, Erman, dan Dimas tak kunjung keluar. Sudah kuperingatkan pada mereka agar bersiap lebih awal. Sementara suami dan anak perempuanku sudah menunggu di dalam mobil.
Harsini memang payah. Itulah yang dapat aku tangkap dari ceritanya melalui telepon beberapa waktu lalu. Semenjak ia menceritakan perkara pukul enam pada suaminya, anak dan suaminya tampak lebih lambat dalam melakukan sesuatu. Katanya agar mereka memiliki kebersamaan yang sedikit lebih lama di rumah. Alasan saja itu supaya mereka memiliki waktu yang lebih lama untuk menunda-nunda.
Kulirik jam. Seharusnya mereka sudah keluar. Suami dan anak perempuanku mulai tak sabaran menunggu. Harsini pasti sudah tahu jika kita sampai terjebak macet, semua hal akan berantakan dan tidak berjalan menyenangkan sepanjang hari. Ia tak akan mudah melupakan kata-kata yang senantiasa diulang-ulang ibu dulu.
Sembari menunggu Harsini yang tak kunjung keluar, kembali kuingat pembicaraan kami tadi malam. Aku dan Harsini tak bisa menampik bahwa kodrat seorang ibu harus rela melepas anak panah. Begitu anak panah dilesatkan, tak pantas lagi berharap terlalu jauh. Biarkan saja anak panah itu mencari sasaran kemana ia mau. Dan siapapun itu, jika ia seorang ibu, maka harus rela melepas anak panahnya. Ya, anak panahnya, buah hatinya. Tapi hal itu akhirnya berpulang pada kekuatan hati sang ibu sendiri. Jika ia kuat, ia pasti mampu menahan semuanya. Namun jika tidak, ia akan terlihat rapuh. Persis seperti yang dilakukan Harsini beberapa waktu lalu.
Sekali lagi aku menoleh ke arah pintu. Tak ada satu pun yang keluar. Suamiku telah membunyikan klakson berkali-kali. Putriku sudah bosan menunggu. Hari mulai terang-terang tanah. Jangan-jangan mereka kembali tertidur? Ah, mereka benar-benar payah. Aku sudah mewanti-wanti jangan pernah membocorkan rahasia itu pada anak dan suaminya. Sekarang lihatlah, entah apa yang mereka lakukan hingga lama sekali.(*)