Kamis, 28 April 2022
PUISI : BIDARA AYAH
Minggu, 24 April 2022
PUISI : UCAPKU UCAPMU
PUISI : BESI TUA
PUISI : Pesan Bumi pada Pohon yang Tumbuh Pagi Ini
Pesan Bumi pada Pohon yang Tumbuh Pagi Ini
Melukis dunia dengan warna zamrud yang memesona
Di sampingnya ada pohon perdu yang menimang rindu
Membungkus ketakutan agar tidak sampai pada tunasnya yang masih malu-malu
Berharap esok dia tumbuh menjadi pohon baru
Menjaga keseimbangan menakar keindahan
Agar esok burung tetap berkicau
Bermain dengan kilau mentari di sela-sela ranting
Yang seperti jemari penari
Pelan bumi menitip pesan
Tumbuhlah!
Bisiknya mesra
Jangan berhenti, sampai akarmu menancap kuat dan daunmu lebat
Sebab keramat telah aku titipkan pada setiap helainya
Bukankah hadirmu membawa segala manfaat?
Bukan sekali dua aku melahirkan pepohonan
Akan tetapi manusia terlalu serakah hingga lupa aku ‘pun bisa marah
Tumpukan sampah menyebar aroma yang wah
Lihatlah rimbunan hutan yang aku pelihara
Aku susui dengan penuh cinta
Tapi mereka telah merenggut segala pesona hijauku
Mengganti zamrudku dengan gedung-gedung pencakar langit
Mereka lupa aku ‘pun bisa terluka
Tapi tak ‘kan ku biarkan mereka berpesta
Apalagi menambah derita dan sengsara
Lembut pohon menari bersama angin
Sambil mendengar petuah bumi
Pagi ini, bumi kembali bergembira
Sekelompok anak manusia membawa benih kehidupan
Melangitkan teriakan “Selamatkan Hutan”
Membulatkan tekad selamatkan lingkungan
Menyatukan semangat selamatkan bumi
Satu persatu pohon itu mereka tancapkan ke perut bumi
Berharap semesta kembali pulih
menghijau
Pasir Pengarayan, 12 Maret 2021
Reni Juniarti atau yang akrab disapa Kak Re, kelahiran 01 Juni 1983 di desa Lubuk Soting. Saat ini tercatat sebagai Guru di SMA N 2 Rambah Hilir (SMA Unggulan) Kabupaten Rokan Hulu, juga Dosen Bahasa Indonesia di Universitas Pasir Pengarayan dan STAI Tuanku Tambusai Pasir Pengarayan. Selain seorang pendidik beliau aktif di beberapa komunitas menulis, dan sekarang tercatat sebagai ketua FLP Cabang Rokan Hulu.
Sabtu, 23 April 2022
PUISI RAMADAN : KELUH
Keluh
Romi Kurniadi
Dulu, khusyuk kutafakuri setiap detik berkejaran
Kugiring manja denting kecil menyapu masa
Di hadapan ranum harum kurma
Meriah merah potongan semangka
Juga manis gurih kolak pisang hasil berburu di pasar senja
Masih senak perut digelontor takjil
Sudah diseret isya, tarawih, dan witir
Mengejar tanda tangan Pak Ustad
Mengakhiri malam dengan jeweran
Asbab mada bermain petasan
Dulu meriah sekali
Kini, remuk tubuh dilantak bala
Lemas kantong diremas PHK
Kerontang wajan diguyur minyak mafia
Grafik ahli statisitika menyaji fakta
Memerah galak memijak sejahtera
Analisis faktual menyebab kesadaran moksa
Aku hirau nikmat tiba, hanya karena sekalung luka
Rabb, izinkan aku memunguti hikmah
Mengais ajaran Sang Teladan Sepanjang Zaman
Menenteng dunia cukup di tangan
Merapal ampun meminta jannah
Pekanbaru, 8 April 2022
PUISI PULANG: SIBUK
Sibuk
Romi Kurniadi
Sibuk konsep kudefinisi
Lupa kurangkai jadi teori
Sibuk kurangkai-rangkai teori
Lupa teori diaplikasi
Sibuk teori kuaplikasi
Lupa apa manfaat henda diberi
Henda kucoba beri manfaat
Raga ringkih tak lagi sehat
Sudah Kau sedia halte-halte persinggahan
Kuacuh bahkan sekedar melepas keluh
Sudah Kau sedia rambu-rambu peringatan
Kuhirau saja sambal meracau
Aku sedang sibuk sekali Tuhan
Hingga saat Kau jemput pulang
Tak tau apa kan jadi persembahan
Keluh
Romi Kurniadi
Dulu khusyuk kutafakuri setiap detik berkejaran
Kugiring manja denting kecil menyapu masa
Di hadapan ranum harum kurma
Meriah merah potongan semangka
Juga manis gurih kolak pisang hasil berburu di pasar jajanan
Masih senak perut digelontor takjil
Sudah diseret isya, tarawih, dan witir
Mengejar tanda tangan Pak Ustad
Mengakhiri malam dengan telinga memerah asbab mada bermain petasan
Dulu meriah sekali
Kini lemas tubuh dilantak bala
Remuk kantong diremas PHK
Kerontang wajan diguyur mahal minyak curah
Grafik ahli statisitika menyaji fakta
Memerah galak memijak sejahtera
Analisis faktual menyebab kesadaran moksa
Aku hirau nikmat tiba, hanya karena sekalung luka
Rabb, izinkan aku memunguti hikmah
Mengais ajaran Sang Teladan Sepanjang Zaman
Menenteng dunia cukup di tangan
Tenggelam dalam dekap bulan ampunan
Pekanbaru, 8 April 2022
PUISI RAMADAN : RAMADHAN
RAMADHAN
Oleh: Asmara Syah
Seayun langkah kita bersua.
Selayang pandang engkau bertandang.
Penantian sekian lama.
Tertebus dengan bertemu pandang.
Saat jumpa tinggal sebentar.
Rindu ini semakin berkobar.
Hangat membara Membakar.
Rasa hati tiada sabar.
Terdetik niat sanubari.
Membersamaimu sepenuh hati.
Sesaatpun takkan terlewati.
Tanpa cumbu mu tambatan hati.
Kucumbu engkau dengan dahaga.
Bersama perut melapar mesra.
Kalam ILLAHI selalu ter-eja.
Belaian dzikir tiap malamnya.
Semoga ijin YANG KUASA.
Melimpah ridha kepada kita.
Bisa bersama melantun doa.
Berharap rahmat ampunan-NYA.
Pasir Pengaraian,11 April 2022
PUISI RAMADAN : DI KAMPUNG SUNYI
Di Kampung Sunyi
Sri Wardani
Kau akan pulang
Entah besok lusa atau kapan-kapan
berpeluh lelah fajar ke malam
melapak duka basah menghujan
menangguk bekal untuk kampung halaman
Usaha berlapis doa melangit
merimba pelik berhutan pahit
suka duka bertarung sengit
jemput gemilang menjulang galib
Bergantang bekal ditebarkan
Senyum mereka menyambut senang
kau disebut-sebut tanah kelahiran
menggenggam emas bertahta kekuasaan
Kau pulang mendulang kecukupan
berkumpul bergurau handai taulan
Berbagi kisah cerita berkesan
Dahaga rindu lepas terbang
Kau pulang
Permadani putih dihamparkan
tak terkira menyambutmu datang
Dipuja jasa di puji perbuatan
Berdetak pasangan kaki menjejak bumi
Semua langkah menyusur pergi
Di kampung sunyi meratap menghitung sepi
Kemana bekal berpeti-peti
Hujan menyapunya pergi
Tahta tak lagi perisai diri
Sesal bergelar air mata
Tanah menyumpah raga disiksa
Ada bekal tertinggal di sana
Keikhlasan tak dibawa serta
Pekanbaru, 18 Maret 2022
PUISI RAMADAN : SYUKUR TAK KESUDAHAN
Senin, 18 April 2022
Ikrimah bin Abi Jahal
Selasa, 12 April 2022
PUISI TEMA PULANG : DI KAMPUNG SUNYI
Di Kampung Sunyi
Sri Wardani
Kau akan pulang
Entah besok lusa atau kapan-kapan
berpeluh lelah fajar ke malam
melapak duka basah menghujan
menangguk bekal untuk kampung halaman
Usaha berlapis doa melangit
merimba pelik berhutan pahit
suka duka bertarung sengit
jemput gemilang menjulang galib
Bergantang bekal ditebarkan
Senyum mereka menyambut senang
kau disebut-sebut tanah kelahiran
menggenggam emas bertahta kekuasaan
Kau pulang mendulang kecukupan
berkumpul bergurau handai taulan
Berbagi kisah cerita berkesan
Dahaga rindu lepas terbang
Kau pulang
Permadani putih dihamparkan
tak terkira menyambutmu datang
Dipuja jasa di puji perbuatan
Berdetak pasangan kaki menjejak bumi
Semua langkah menyusur pergi
Di kampung sunyi meratap menghitung sepi
Kemana bekal berpeti-peti
Hujan menyapunya pergi
Tahta tak lagi perisai diri
Sesal bergelar air mata
Tanah menyumpah raga disiksa
Ada bekal tertinggal di sana
Keikhlasan tak dibawa serta
Pekanbaru, 18 Maret 2022
Senin, 11 April 2022
CERPEN : LELAKI TUA DAN PURNAMA
CERPEN : LELAKI TUA DAN PURNAMA
Purnama, kiranya telah lama kami sekeluarga betah terpaku pada sekumpulan kerikil mungil berselimutkan hijaunya rerumputan yang namanya mengingatkanku pada negeri sejuk bertaburan sakura, ya Jepang. Ya, rumput jepang. Kursi kayu yang kokoh menopang berat jasad yang riuh riang, menikmati malam terang bersama tawa ringan anak kecil yang sedang mengenal purnama.
Seketika tawa renyah itu pecah. Menikmati lautan cahaya dan seonggok bara yang memecah kesunyian, kebekuan yang kian larut kian sejuk. Berteman desir angin sepoi-sepoi melambaikan niur hijau di pojok pagar halaman bak kipasan dayang-dayang yang senyap sentap menarik mata untuk kedip-kedip lesu mengundang kantuk. Pekik jangkrik pun menyemai nada - nada indah sembari lelaki tua itu berkisah.
Di sandaran kursi kayu yang dibangun beberapa langkah saja dari depan pintu rumah dan hanya bercahayakan pendaran purnama. Dan seketika itu tangan renta dan hangat turut merangkul tubuh mungil anak kecil yang tak pernah letih dengan tanya. "Mbah, kenapa purnama itu sangat besar sekali? " tanyanya polos.
Dipangkuan yang tak goyah sedikit pun, kehangatan itu kian membekas sepanjang usia. Sesekali menyapa Purnama, dengan segelas kopi hitam hangat yang sesekali diserumput di atas piring kecil dan dengannya malam berselimut aroma kopi hitam yang khas. Kali ini lintingan tembakau pun terjeda kepulannya. Entahlah. Mungkin itu tanda sayang pada anak kecil.
Lelaki yang gagah perkasa, kumis tebal merenda di bibir hitamnya, mata mungil yang penuh kehangatan cinta, dan suara halus malu - malu tapi tetap berwibawa. Tak menampik betapa rambutnya telah memutih seutuhnya. Tua bukanlah penanda semangat menghilang. Tapi pemantik bagi yang muda untuk mengenal dunia dari lisan dan ingatannya yang tersisa cukup kuat.
Setiap purnama selalu ada wejangan hangat, kisah kala ia masih remaja, kisah kala ia meninggalkan desanya. Di tapak gunung merapi pacitan yang katanya sejuk lagi damai. Jauh dari berisiknya kendaraan dan keramaian. Itulah malam-malam yang indah untuk dikenang dan juga momen akhir penutup bab dari seorang perantau yang rindu kampung halaman, rindu untuk berpulang.
Hening malam menyisakan banyak tanya. Benarkah purnama itu seindah kisah yang begitu sendu diceritakan oleh banyak kalangan pujangga? Entahlah. Hanya mendengar lirih angin malam berbisik. Purnama itu memang indah adanya.
Kenikmatan surgawi mana, ketika malam menjelang penuh rasa takut. Purnama hadir memberi keberanian untuk tetap berlari-lari kecil di atas rerumputan seketika itu pula.
****
Pada malam yang sejuk dan berpendar cahaya Purnama, duduklah ia bersama cucu perempuan kesayangannya. Ia pun tak pernah lepas dari hujanan tanya yang siap untuk ditengadah meminta jawaban. Walau raganya lelah setelah bertempur dengan terik panas dan pundak yang gontai menahan sakit. Namun semua sirna bersama purnama dan seketika menghilang disibak suara riuh anak manja yang rajin menyapa keheningan.
"Mbah, kenapa purnama itu kadang datang, kadang pergi?" tanya anak itu dengan begitu masifnya.
"Dia ada, hanya saja sesekali. Lalu malu - malu dan tertutup awan hitam" sebutnya kala itu, dengan sepuntung rokok linting yang tetibanya batal mengepul.
"Mbah, kenapa purnama terkadang begitu besar dan membuat bibirku ikut besar. Lalu mengecil namun masih membuat bibirku besar juga?" tanyanya lagi dengan lugunya.
"Tidak apa-apa. Purnama memberi tanda laut sedang pasang. Juga penanda cucuku ini anak pintar." begitu pujuknya mengundang senyum yang merekah.
Ya, fenomena tak biasa. Ketika Purnama, bibir anak itu mulai bengkak. Namun ketika Purnama pergi, kembali ia ke situasi semula. Kata dokter, tidak perlu khawatir. Itu hanya reaksi alam yang tak terdefinisikan di dalam ilmu kedokteran. Ketika ia dewasa, semua akan normal kembali. Maka usailah bimbang sang ibu kala itu setelah menyiapkan batin untuk mengobati kejadian aneh pada anaknya. Tapi kata mereka, itu karma bagi pemancing. Ada benarnya, ayah anak itu pemancing ulung, walaupun ia masih dikandung ibunya. Tapi entahlah, ucapan itu tidak berdalil.
Kemudian lelaki tua itu berbisik. "Purnama itu penanda pasang laut tiba. Artinya gunung merapi di Pacitan akan bersenandung dengan Purnama. Puncaknya gagah, purnamanya indah. " jelasnya dengan mata yang berpijar kerinduan akan desanya yang puluhan tahun ia tinggalkan.
Entahlah, mata itu berkaca-kaca sesekali menyeka sedak yang tak biasa. Entah karena duka, entah karena sisa asap yang sering terbakar dalam lintingan dan memenuhi ruang dadanya hingga tetibanya mengundang sesak.
***
Pak tua itu adalah perantau dari Desa Pacitan, Jawa Timur. Berlayar dan bermuara di Pulau Sumatera mencari penghidupan yang layak. Terdampar di Kota Sagu bernama Selatpanjang. Menguli dari pagi hingga siang. Memanggul bergantang-gantang goni yang masuk di pelabuhan. Lelah adalah kesehariannya. Namun perjuangan tidak berhenti dengan duka semata. Ia ingat, anak cucunya butuh diperjuangkan.
Tak membuatnya lelah ataupun menyerah. Dengan sepeda hitam tua sebagai peneman pergi paginya dan pulang ketika matahari terik membakar ubun-ubun dan rambut putihnya. Ia gagah, tak kalah raganya dengan binaragawan. Ia penyayang, tawanya lebih mahal dari seonggok rupiah yang berulang terus ia kumpulkan dan semampunya ia bagikan seratus ataupun lima ratus rupiah pada zamannya.
Ia tak banyak suara. Satu tanya dijawab satu jua. Semua orang senang dengannya. Sosok sederhana, rajin, dan tak pernah peduli akan kesulitan hidup. Baginya takdir dilukis oleh sosok yang maha adil. Tidak ada yang terlupa dari goresan tintanya. Susah ataupun senang, adalah asam garam kehidupan. Tanpa ujian, maka hidup akan bias tak memiliki arti.
***
Kini, melihat selimut jepang yang menghijau di halaman rumah tua itu menjadikan kerinduan akan sosoknya kian membuncah. Dalam senggang waktu senjanya, sebelum berangkat membersihkan musholla senja itu. Masih sempat ia menyiangi rerumputan liar yang merusak hijau dan bersihnya halaman rumah kala itu.
Rumput jepang yang rimbun. Kaki mu akan dimanja dengan kelembutan. Tanpa beralas kaki pun engkau akan merasakan kehangatannya. Aromanya yang khas, segar, suasana sejuk. Apalagi teduh dengan rindangnya pohon mangga yang menjulang tinggi dan lebat buahnya.
Banyak anak yang bermain di atas rerumputan itu. Berbaring, berguling-guling, berlari, melompat-lompat sesekali meraih buah mangga yang rimbunnya hingga menyentuh tanah. Menjadi semakin riuh, semakin ramai. Memang saat itu mangga matang berguguran ketika sesekali angin menyapa dengan lembut dan sedikit hangat di pendar terik mentari.
Sungguh, inikah surga yang ia persiapkan dengan sangat sederhana? Entahlah. Mata-mata mereka yang melewati halaman itu seakan iri. Walaupun sapa dari mereka seakan santun. Namun lirik mata tak mampu berdusta. Rumah boleh tua, tapi halaman yang asri adalah kesenangan semua mata yang memandang.
Melihat kokohnya pohon mangga dan lembutnya halaman rumah itu yang sejuk dan luas. Serta sesekali berguguran mangga matang yang manisnya masih bisa diingat hingga belasan tahun lamanya. Rindupun membuncah. Tahun itu tahun kami menatap purnama tanpanya. Ia berpulang dengan senyap. Terbaring kaku di atas dipan yang biasa ia rehatkan raganya ketika lelah menyita sedak dan ngilu pada pundak-pundak kokoh yang mahir memikul gantangan isi kapal.
***
Purnama datang lagi. Seketika raga itu rindu dipangku dan didekap hangat. Dalam hening malam air matanya pun tertumpah. Betapa kerinduan itu benar adanya. Anak itu telah kehilangan seorang yang menyemat banyak Cinta purnama padanya.
Setelah sekian purnama ia terbaring kaku di pusaranya. Yang tersisa hanyalah, lembutnya selimut kerikil yang ia banggakan. Dan segelas kopi hitam hangat peneman malam. Serta purnama yang kembali pulang dan kemudian pergi lagi. Namun ia, tak akan lagi kembali menemani.
Seketika purnama menyapa dengan belaian yang dingin lagi sepi. Terdengar sayup seorang lelaki yang mulai menua, memanggil anak gadisnya pulang.
"Sudah tengah malam, nanti kau kedinginan. Pulanglah." ajak lelaki itu di depan pintu rumah kayu sembari menatap dingin ke arah anaknya yang beranjak dewasa.
Dan kerinduan itupun terjeda. Saat hujan rintik-rintik mulai menari-nari di halaman yang rindang dan di sebalik purnama yang malu-malu berpamitan pulang dijemput awan hitam.
____
Ditulis di Pekanbaru, 10 April 2022.
Hazimah Khairunnisa' (Yenni Sarinah), seorang perempuan berdarah Jawa Timur titisan Kakek dan Nenek dari Jalur ibu yang lahir di Kaki Gunung Merapi Pacitan.
Selasa, 05 April 2022
PUISI : Ramadan Luka
Sabtu, 02 April 2022
RAMADHAN DAN TOTALITAS KETAKWAAN
Sejarah, Akar Masalah, dan Cara Islam Tuntaskan HIV/AIDS
*Sejarah, Akar Masalah, dan Cara Islam Tuntaskan HIV/AIDS* Oleh: Yenni Sarinah, S.Pd (Aktivis Pendidikan Kelahiran Selatpanjang, Riau) ...
-
PRIVATE ANANDA dibuka pertama kali di Selatpanjang, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau pada tanggal 8 Januari 2018 (08/01/2018) oleh Yenni Sa...
-
Contoh: PERHITUNGAN AKAR SAMPAI SATU ATAU DUA TEMPAT DESIMAL √12 = 3,43 = 3,4 √27 = 5,2 √8 = 2,8 √15 = 3,86 = 3,9 ...