Kamis, 28 April 2022

PUISI : BIDARA AYAH


BIDARA AYAH
Karya : Hazimah Khairunnisa' (Yenni Sarinah, S.Pd) 

Ayah... 
Dulu ucapmu masih kukenang 
Ini bidara bukan sembarang tanaman 
Obat dari segala obat 
Buah surga yang lebat lagi nikmat

Seketika ingatanku terbang lepas mengawang
Ketika kau tepuk pundakku dan berkata
"Nak, jadilah teladan"
Hayalku kian jauh membumbung ke angkasa lepas 
Sunyinya kerinduan pun kian mengganas 

Di Pusara itu engkau telah kami baringkan
Isak tangis mengharu biru menghujam memberi luka
Seketika hayalku pun pulang 
Ketika bidara kesayanganmu menusuk jemariku dengan biasnya
Ayah, luka ini sakit tapi tak sebanding dengan lukaku ketika engkau berpulang

Bidaramu rimbun lebat ayah 
Semua orang datang memetik hasilnya
Tenanglah engkau di alam sana ayah
Nantikan kami dalam pertemuan yang indah
Taman surga yang engkau begitu heroik menjadi kisah timangan sebelum mata kami terlelap

Ayah, bidaramu ikon jiwamu
Semoga amal jariyahmu utuh untukmu
Dalam keheningan senja idul fitri itu
Kuhaturkan al-fatihah terfasihku untukmu

Pekanbaru, 28 April 2022

Minggu, 24 April 2022

PUISI : UCAPKU UCAPMU


UCAPKU UCAPMU
Karya : Hazimah Khairunnisa'

DIA BILANG AKU BODOH
Tidak memiliki logika matematika dalam menakar kesulitan hidup

DIA BILANG AKU SADIS
Menghilangkan tangan-tangan tuhan dalam mengatur hari yang berlalu dan segala takdir juga rezeki hari itu

LALU, AKU BILANG DIA GILA
Tak memiliki akal untuk berpikir selayaknya manusia

LAGI LAGI AKU BILANG DIA GILA
Memojokkan rasaku dengan beban kemelaratan

HINGGA PADA SATU DETIK KITA TERSADAR
Aku dan kamu hanya manusia 

KEMUDIAN KITA PUN MERENUNG
Betapa gaib dan nyata akan selalu simpang siur mengacak segala rasa 

PADA AKHIRNYA KITA TERSADAR
Dunia ini hanya sandiwara penunggu ajal

Pekanbaru, 25 April 2022

PUISI : BESI TUA

BESI TUA AYAH
Gustri

Aku ingin menceritakan apa yang mampu aku rasakan

Ketika kekasih ibuku mengajak menunggangi besi antiknya

Ibuku heran kenapa aku menyenanginya

Dia tidak mengerti saat aku mengatakan

Aku memperoleh kebahagiaan dari nada kretek-kreteknya

Seperti menonton konser slank?

Iya, Ibu

Dia senyum dan aku merasa menang

Hal menarik dan hebat selalu pantas dikenakan

Bagi yang sepenuh hati dan teguh

Dibesi tua ada banyak hal sepenuh hati melintasi petualangan

Saban hari menyusuri tapak cita

Menerabas pokok rindang setakat menjelma gedung

Menyisir kerikil bancah hingga memadat hitam

Setiap kali besi tua mendiami kami dalam lintasan

Ayah menyingsingi lengan bergemul oli

Memoles kerangka antik bagai membujuk perawan

Mantranya selalu mampu menyentuh jantung

Namun ia tak punya jemari

Pekanbaru, Oktober 2021

PUISI : Pesan Bumi pada Pohon yang Tumbuh Pagi Ini

Pesan Bumi pada Pohon yang Tumbuh Pagi Ini

Reni Juniarti

Benih itu telah tumbuh berdaun dua tegak menyapa angkasa raya

Laksana pangeran pembawa segala suka

Melukis dunia dengan warna zamrud yang memesona

Di sampingnya ada pohon perdu yang menimang rindu

Membungkus ketakutan agar tidak sampai pada tunasnya yang masih malu-malu

Berharap esok dia tumbuh menjadi pohon baru

Menjaga keseimbangan menakar keindahan

Agar esok burung tetap berkicau

Bermain dengan kilau mentari di sela-sela ranting

Yang seperti jemari penari

Pelan bumi menitip pesan

Tumbuhlah!

Bisiknya mesra

Jangan berhenti, sampai akarmu menancap kuat dan daunmu lebat

Sebab keramat telah aku titipkan pada setiap helainya

Bukankah hadirmu membawa segala manfaat?

Bukan sekali dua aku melahirkan pepohonan

Akan tetapi manusia terlalu serakah hingga lupa aku ‘pun bisa marah

Tumpukan sampah menyebar aroma yang wah

Lihatlah rimbunan hutan yang aku pelihara

Aku susui dengan penuh cinta

Tapi mereka telah merenggut segala pesona hijauku

Mengganti zamrudku dengan gedung-gedung pencakar langit

Mereka lupa aku ‘pun bisa terluka

Tapi tak ‘kan ku biarkan mereka berpesta

Apalagi menambah derita dan sengsara

Lembut pohon menari bersama angin

Sambil mendengar petuah bumi

Pagi ini, bumi kembali bergembira

Sekelompok anak manusia membawa benih kehidupan

Melangitkan teriakan “Selamatkan Hutan”

Membulatkan tekad selamatkan lingkungan

Menyatukan semangat selamatkan bumi

Satu persatu pohon itu mereka tancapkan ke perut bumi

Berharap semesta kembali pulih

menghijau

Pasir Pengarayan, 12 Maret 2021

Reni Juniarti atau yang akrab disapa Kak Re, kelahiran 01 Juni 1983 di desa Lubuk Soting. Saat ini tercatat sebagai Guru di SMA N 2 Rambah Hilir (SMA Unggulan) Kabupaten Rokan Hulu, juga Dosen Bahasa Indonesia di Universitas Pasir Pengarayan dan STAI Tuanku Tambusai Pasir Pengarayan. Selain seorang pendidik beliau aktif di beberapa komunitas menulis, dan sekarang tercatat sebagai ketua FLP Cabang Rokan Hulu.

Sabtu, 23 April 2022

PUISI RAMADAN : KELUH

Keluh

Romi Kurniadi


Dulu, khusyuk kutafakuri setiap detik berkejaran

Kugiring manja denting kecil menyapu masa

Di hadapan ranum harum kurma

Meriah merah potongan semangka

Juga manis gurih kolak pisang hasil berburu di pasar senja


Masih senak perut digelontor takjil

Sudah diseret isya, tarawih, dan witir

Mengejar tanda tangan Pak Ustad

Mengakhiri malam dengan jeweran 

Asbab mada bermain petasan


Dulu meriah sekali



Kini, remuk tubuh dilantak bala

Lemas kantong diremas PHK

Kerontang wajan diguyur minyak mafia


Grafik ahli statisitika menyaji fakta

Memerah galak memijak sejahtera

Analisis faktual menyebab kesadaran moksa


Aku hirau nikmat tiba, hanya karena sekalung luka




Rabb, izinkan aku memunguti hikmah

Mengais ajaran Sang Teladan Sepanjang Zaman

Menenteng dunia cukup di tangan

Merapal ampun meminta jannah







Pekanbaru, 8 April 2022

PUISI PULANG: SIBUK

Sibuk

Romi Kurniadi


Sibuk konsep kudefinisi

Lupa kurangkai jadi teori

Sibuk kurangkai-rangkai teori

Lupa teori diaplikasi

Sibuk teori kuaplikasi

Lupa apa manfaat henda diberi


Henda kucoba beri manfaat

Raga ringkih tak lagi sehat


Sudah Kau sedia halte-halte persinggahan

Kuacuh bahkan sekedar melepas keluh

Sudah Kau sedia rambu-rambu peringatan

Kuhirau saja sambal meracau


Aku sedang sibuk sekali Tuhan


Hingga saat Kau jemput pulang

Tak tau apa kan jadi persembahan

Keluh

Romi Kurniadi


Dulu khusyuk kutafakuri setiap detik berkejaran

Kugiring manja denting kecil menyapu masa

Di hadapan ranum harum kurma

Meriah merah potongan semangka

Juga manis gurih kolak pisang hasil berburu di pasar jajanan


Masih senak perut digelontor takjil

Sudah diseret isya, tarawih, dan witir

Mengejar tanda tangan Pak Ustad

Mengakhiri malam dengan telinga memerah asbab mada bermain petasan


Dulu meriah sekali


Kini lemas tubuh dilantak bala

Remuk kantong diremas PHK

Kerontang wajan diguyur mahal minyak curah


Grafik ahli statisitika menyaji fakta

Memerah galak memijak sejahtera

Analisis faktual menyebab kesadaran moksa


Aku hirau nikmat tiba, hanya karena sekalung luka


Rabb, izinkan aku memunguti hikmah

Mengais ajaran Sang Teladan Sepanjang Zaman

Menenteng dunia cukup di tangan

Tenggelam dalam dekap bulan ampunan

Pekanbaru, 8 April 2022

PUISI RAMADAN : RAMADHAN

RAMADHAN 

Oleh: Asmara Syah


Seayun langkah kita bersua.

Selayang pandang engkau bertandang.

Penantian sekian lama.

Tertebus dengan bertemu pandang.


Saat jumpa tinggal sebentar.

Rindu ini semakin berkobar.

Hangat membara Membakar.

Rasa hati tiada sabar.


Terdetik niat sanubari.

Membersamaimu sepenuh hati.

Sesaatpun takkan terlewati.

Tanpa cumbu mu tambatan hati.


Kucumbu engkau dengan dahaga.

Bersama perut melapar mesra.

Kalam ILLAHI selalu ter-eja.

Belaian dzikir tiap malamnya.


Semoga ijin YANG KUASA.

Melimpah ridha kepada kita.

Bisa bersama melantun doa.

Berharap rahmat ampunan-NYA.


Pasir Pengaraian,11 April 2022

PUISI RAMADAN : DI KAMPUNG SUNYI

Di Kampung Sunyi

Sri Wardani 


Kau akan pulang

Entah besok lusa atau kapan-kapan

berpeluh lelah fajar ke malam

melapak duka basah menghujan 

menangguk bekal untuk kampung halaman


Usaha berlapis doa melangit

merimba pelik berhutan pahit

suka duka bertarung sengit

jemput gemilang menjulang galib


Bergantang bekal ditebarkan

Senyum mereka menyambut senang

kau disebut-sebut tanah kelahiran

menggenggam emas bertahta  kekuasaan


Kau pulang mendulang kecukupan

berkumpul bergurau handai taulan

Berbagi kisah cerita berkesan

Dahaga rindu lepas terbang


Kau pulang

Permadani putih dihamparkan 

tak terkira menyambutmu datang

Dipuja jasa di puji perbuatan


Berdetak pasangan kaki menjejak bumi

Semua langkah menyusur pergi


Di kampung sunyi meratap menghitung sepi

Kemana bekal berpeti-peti

Hujan menyapunya pergi

Tahta tak lagi perisai diri


Sesal bergelar air mata

Tanah menyumpah raga disiksa

Ada bekal tertinggal di sana

Keikhlasan tak dibawa serta


Pekanbaru, 18 Maret 2022

PUISI RAMADAN : SYUKUR TAK KESUDAHAN

*Syukur tak Kesudahan*
_Ade Puspita Ningsih_

Sejuk angin fajar menembus kisi-kisi jendela
Membelai jemariku dengan diamnya
Tabuhan bedug masjid menggema
Menggetarkan raga dan sukma

Lipu seringnya diwarnai oleh  beribu slogan anak manusia
Yang berpawai dalam temaram
Memberi nyanyian dalam santapan
Berdebam melangkah ria nan tawa

Semburat hangat menggulung pekat
Tersenyum bersahaja
Di rona bumantara
Menyelam melupa perkara

Aku bersyukur masih bisa bergandeng denganmu
Setelah setahun silam engkau berpamitan
Memberi tabungan rindu 
Menyelam menjelma kenangan

Kini Kudekap kembali dirimu
Syukur ku tak kesudahan
Hati-hati dalam penantian
Agar bisa menatap rembulan
Dalam binar ramadan
Karena padanya lah aku melepas dedahan rindu
yang menjadi rahasia antara aku dan Tuhanku

Senin, 18 April 2022

Ikrimah bin Abi Jahal


Putra Abu Jahal jadi mujahid handal?
Siapapun kamu yang pernah belajar Sirah Nabawiyah pasti tidak asing dengan nama Abu Jahal. Dia, adalah "Fir'aun umat ini", dalang kejahatan kaum musyrikin dan panglima musuh di Perang Badar. Tapi, tahukah kamu bahwa putranya adalah seorang mujahid hebat?

Namanya adalah Ikrimah bin Abi Jahal
Ketika Rasulullah ﷺ bersama 10 ribu sahabatnya membebaskan Kota Makkah tahun 8 Hijriah, nama Ikrimah menjadi "most wanted" karena kejahatannya begitu besar, sehingga ia masuk ke daftar orang-orang yang boleh dibunuh.

Mengetahui hal itu, Ikrimah kabur ke Yaman dan ia memutuskan untuk pergi jauh menaiki kapal. Namun qadarullah, di tengah samudera, kapal yang ia naiki diserbu badai ganas. Nahkoda berkata, "tak ada yang bisa kita lakukan lagi. Berhala-berhala kalian tak mampu memberi manfaat sedikitpun!"

Di saat-saat mencekam itu, di ujung detik menuju kematian Ikrimah berkata pada dirinya sendiri,
.
لئن أنجاني الله من هذا لأرجعَنَّ إلى محمد ولأضعنَّ يدي في يده"
.
"Jika Allah ﷻ menyelamatkan aku dari (badai) ini, sungguh aku akan kembali pada Muhammad, dan akan ku letakkan tanganku pada tangan beliau (membaiat Rasul)"
(Sumber : Tafsir Al Baghawi Surat Luqman ayat 32)

Dengan izin Allah, badai reda. Ikrimah selamat dan berusaha menepati janjinya sendiri. Dan subhanallah, usaha Ikrimah ini ternyata makin sempurna dengan masuk Islamnya istri beliau, Ummu Hakim. Sang istri menjadi penjamin Ikrimah agar selamat sampai di hadapan Rasulullah ﷺ. Sesampainya di hadapan Nabi, Ikrimah mengucapkan kalimat syahadatain.

Di hari bersejarah itu, Ikrimah berikrar tegas pada dirinya. Ia mengucapkan sebuah kalimat indah yang diucapkannya pada Baginda Rasulullah ﷺ :

يا رسول الله، والله لا أترك مقامًا قمتُهُ لأصدَّ به عن سبيل الله إلا قمتُ مثله في سبيله، ولا أترك نفقةً أنفقتها لأصد بها عن سبيل الله إلا أنفقت مثلها في سبيل الله

"Wahai Rasulullah, Demi Allah aku tidak akan meninggalkan tempatku dimana aku menghalangi manusia dari jalan Allah sampai aku menggantinya dengan perjuangan di jalan-Nya. Dan aku tidak akan melupakan semua biaya yang kuhabiskan untuk menghalangi manusia dari jalan Allah sampai aku mengeluarkan biaya yang besar pula untuk berjuang di jalan Allah."
(HR Al Hakim 3/270)

Menjadi Pejuang Hebat yang Melawan Kemurtadan

Khalifah Abu Bakar menugaskan Ikrimah memerangi kaum murtad di Oman
Abu Bakar juga mempercayakan Ikrimah menumpas kaum murtad di Yaman, kemudian beliau berangkat menuju Syam untuk menghadapi Kekaisaran Romawi Timur
Beliau menjadi tentara penunggang kuda hebat di Perang Yarmuk, di situlah beliau syahid.

"Biarkan Aku Membersihkan Masa Laluku!"

Detik-detik menjelang syahidnya Ikrimah adalah sebuah momen yang penting kita tadabburi. Di hari terik melawan Romawi itu, Ikrimah sangat bersemangat dan ia memutuskan untuk rela mati demi bisa merobek barisan musuh. Khalid bin Walid berkata pada Ikrimah, "Jangan lakukan itu wahai Ikrimah! Kematianmu akan jadi duka bagi Kaum Muslimin!"

Apa jawaban Ikrimah?

‏“إليك عني يا خالد فلقد كان لك مع رسول الله سابقة أما أنا وأبي فقد كنا من أشد الناس على رسول الله فدعني أكفر عما سلف مني”

"Tak usah kau menahanku wahai Khalid! Sungguh kau telah mendahuluiku dalam membela Rasulullah ﷺ, sedangkan aku dan ayahku menjadi manusia paling keras permusuhannya pada beliau. Biarkan aku membersihkan masa laluku!"
(Al Kamil fi At Tarikh, Ibnul Atsir)

Selasa, 12 April 2022

PUISI TEMA PULANG : DI KAMPUNG SUNYI

Di Kampung Sunyi

Sri Wardani 


Kau akan pulang

Entah besok lusa atau kapan-kapan

berpeluh lelah fajar ke malam

melapak duka basah menghujan 

menangguk bekal untuk kampung halaman


Usaha berlapis doa melangit

merimba pelik berhutan pahit

suka duka bertarung sengit

jemput gemilang menjulang galib


Bergantang bekal ditebarkan

Senyum mereka menyambut senang

kau disebut-sebut tanah kelahiran

menggenggam emas bertahta  kekuasaan


Kau pulang mendulang kecukupan

berkumpul bergurau handai taulan

Berbagi kisah cerita berkesan

Dahaga rindu lepas terbang


Kau pulang

Permadani putih dihamparkan 

tak terkira menyambutmu datang

Dipuja jasa di puji perbuatan


Berdetak pasangan kaki menjejak bumi

Semua langkah menyusur pergi


Di kampung sunyi meratap menghitung sepi

Kemana bekal berpeti-peti

Hujan menyapunya pergi

Tahta tak lagi perisai diri


Sesal bergelar air mata

Tanah menyumpah raga disiksa

Ada bekal tertinggal di sana

Keikhlasan tak dibawa serta


Pekanbaru, 18 Maret 2022




Senin, 11 April 2022

CERPEN : LELAKI TUA DAN PURNAMA


CERPEN : LELAKI TUA DAN PURNAMA


Purnama, kiranya telah lama kami sekeluarga betah terpaku pada sekumpulan kerikil mungil berselimutkan hijaunya rerumputan yang namanya mengingatkanku pada negeri sejuk bertaburan sakura, ya Jepang. Ya, rumput jepang. Kursi kayu yang kokoh menopang berat jasad yang riuh riang, menikmati malam terang bersama tawa ringan anak kecil yang sedang mengenal purnama. 


Seketika tawa renyah itu pecah. Menikmati lautan cahaya dan seonggok bara yang memecah kesunyian, kebekuan yang kian larut kian sejuk. Berteman desir angin sepoi-sepoi melambaikan niur hijau di pojok pagar halaman bak kipasan dayang-dayang yang senyap sentap menarik mata untuk kedip-kedip lesu mengundang kantuk. Pekik jangkrik pun menyemai nada - nada indah sembari lelaki tua itu berkisah. 


Di sandaran kursi kayu yang dibangun beberapa langkah saja dari depan pintu rumah dan hanya bercahayakan pendaran purnama. Dan seketika itu tangan renta dan hangat turut merangkul tubuh mungil anak kecil yang tak pernah letih dengan tanya. "Mbah, kenapa purnama itu sangat besar sekali? " tanyanya polos. 


Dipangkuan yang tak goyah sedikit pun, kehangatan itu kian membekas sepanjang usia. Sesekali menyapa Purnama, dengan segelas kopi hitam hangat yang sesekali diserumput di atas piring kecil dan dengannya malam berselimut aroma kopi hitam yang khas. Kali ini lintingan tembakau pun terjeda kepulannya. Entahlah. Mungkin itu tanda sayang pada anak kecil. 


Lelaki yang gagah perkasa, kumis tebal merenda di bibir hitamnya, mata mungil yang penuh kehangatan cinta, dan suara halus malu - malu tapi tetap berwibawa. Tak menampik betapa rambutnya telah memutih seutuhnya. Tua bukanlah penanda semangat menghilang. Tapi pemantik bagi yang muda untuk mengenal dunia dari lisan dan ingatannya yang tersisa cukup kuat. 


Setiap purnama selalu ada wejangan hangat, kisah kala ia masih remaja, kisah kala ia meninggalkan desanya. Di tapak gunung merapi pacitan yang katanya sejuk lagi damai. Jauh dari berisiknya kendaraan dan keramaian. Itulah malam-malam yang indah untuk dikenang dan juga momen akhir penutup bab dari seorang perantau yang rindu kampung halaman, rindu untuk berpulang. 


Hening malam menyisakan banyak tanya. Benarkah purnama itu seindah kisah yang begitu sendu diceritakan oleh banyak kalangan pujangga? Entahlah. Hanya mendengar lirih angin malam berbisik. Purnama itu memang indah adanya. 


Kenikmatan surgawi mana, ketika malam menjelang penuh rasa takut. Purnama hadir memberi keberanian untuk tetap berlari-lari kecil di atas rerumputan seketika itu pula. 


****

Pada malam yang sejuk dan berpendar cahaya Purnama, duduklah ia bersama cucu perempuan kesayangannya. Ia pun tak pernah lepas dari hujanan tanya yang siap untuk ditengadah meminta jawaban. Walau raganya lelah setelah bertempur dengan terik panas dan pundak yang gontai menahan sakit. Namun semua sirna bersama purnama dan seketika menghilang disibak suara riuh anak manja yang rajin menyapa keheningan. 


"Mbah, kenapa purnama itu kadang datang, kadang pergi?" tanya anak itu dengan begitu masifnya. 


"Dia ada, hanya saja sesekali. Lalu malu - malu dan tertutup awan hitam" sebutnya kala itu, dengan sepuntung rokok linting yang tetibanya batal mengepul.


"Mbah, kenapa purnama terkadang begitu besar dan membuat bibirku ikut besar. Lalu mengecil namun masih membuat bibirku besar juga?" tanyanya lagi dengan lugunya.


"Tidak apa-apa. Purnama memberi tanda laut sedang pasang. Juga penanda cucuku ini anak pintar." begitu pujuknya mengundang senyum yang merekah. 


Ya, fenomena tak biasa. Ketika Purnama, bibir anak itu mulai bengkak. Namun ketika Purnama pergi, kembali ia ke situasi semula. Kata dokter, tidak perlu khawatir. Itu hanya reaksi alam yang tak terdefinisikan di dalam ilmu kedokteran. Ketika ia dewasa, semua akan normal kembali. Maka usailah bimbang sang ibu kala itu setelah menyiapkan batin untuk mengobati kejadian aneh pada anaknya. Tapi kata mereka, itu karma bagi pemancing. Ada benarnya, ayah anak itu pemancing ulung, walaupun ia masih dikandung ibunya. Tapi entahlah, ucapan itu tidak berdalil. 


Kemudian lelaki tua itu berbisik. "Purnama itu penanda pasang laut tiba. Artinya gunung merapi di Pacitan akan bersenandung dengan Purnama. Puncaknya gagah, purnamanya indah. " jelasnya dengan mata yang berpijar kerinduan akan desanya yang puluhan tahun ia tinggalkan. 


Entahlah, mata itu berkaca-kaca sesekali menyeka sedak yang tak biasa. Entah karena duka, entah karena sisa asap yang sering terbakar dalam lintingan dan memenuhi ruang dadanya hingga tetibanya mengundang sesak. 


***


Pak tua itu adalah perantau dari Desa Pacitan, Jawa Timur. Berlayar dan bermuara di Pulau Sumatera mencari penghidupan yang layak. Terdampar di Kota Sagu bernama Selatpanjang. Menguli dari pagi hingga siang. Memanggul bergantang-gantang goni yang masuk di pelabuhan. Lelah adalah kesehariannya. Namun perjuangan tidak berhenti dengan duka semata. Ia ingat, anak cucunya butuh diperjuangkan. 


Tak membuatnya lelah ataupun menyerah. Dengan sepeda hitam tua sebagai peneman pergi paginya dan pulang ketika matahari terik membakar ubun-ubun dan rambut putihnya. Ia gagah, tak kalah raganya dengan binaragawan. Ia penyayang, tawanya lebih mahal dari seonggok rupiah yang berulang terus ia kumpulkan dan semampunya ia bagikan seratus ataupun lima ratus rupiah pada zamannya. 


Ia tak banyak suara. Satu tanya dijawab satu jua. Semua orang senang dengannya. Sosok sederhana, rajin, dan tak pernah peduli akan kesulitan hidup. Baginya takdir dilukis oleh sosok yang maha adil. Tidak ada yang terlupa dari goresan tintanya. Susah ataupun senang, adalah asam garam kehidupan. Tanpa ujian, maka hidup akan bias tak memiliki arti. 


***


Kini, melihat selimut jepang yang menghijau di halaman rumah tua itu menjadikan kerinduan akan sosoknya kian membuncah. Dalam senggang waktu senjanya, sebelum berangkat membersihkan musholla senja itu. Masih sempat ia menyiangi rerumputan liar yang merusak hijau dan bersihnya halaman rumah kala itu. 


Rumput jepang yang rimbun. Kaki mu akan dimanja dengan kelembutan. Tanpa beralas kaki pun engkau akan merasakan kehangatannya. Aromanya yang khas, segar, suasana sejuk. Apalagi teduh dengan rindangnya pohon mangga yang menjulang tinggi dan lebat buahnya. 


Banyak anak yang bermain di atas rerumputan itu. Berbaring, berguling-guling, berlari, melompat-lompat sesekali meraih buah mangga yang rimbunnya hingga menyentuh tanah. Menjadi semakin riuh, semakin ramai. Memang saat itu mangga matang berguguran ketika sesekali angin menyapa dengan lembut dan sedikit hangat di pendar terik mentari. 


Sungguh, inikah surga yang ia persiapkan dengan sangat sederhana? Entahlah. Mata-mata mereka yang melewati halaman itu seakan iri. Walaupun sapa dari mereka seakan santun. Namun lirik mata tak mampu berdusta. Rumah boleh tua, tapi halaman yang asri adalah kesenangan semua mata yang memandang. 


Melihat kokohnya pohon mangga dan lembutnya halaman rumah itu yang sejuk dan luas. Serta sesekali berguguran mangga matang yang manisnya masih bisa diingat hingga belasan tahun lamanya. Rindupun membuncah. Tahun itu tahun kami menatap purnama tanpanya. Ia berpulang dengan senyap. Terbaring kaku di atas dipan yang biasa ia rehatkan raganya ketika lelah menyita sedak dan ngilu pada pundak-pundak kokoh yang mahir memikul gantangan isi kapal. 


***

Purnama datang lagi. Seketika raga itu rindu dipangku dan didekap hangat. Dalam hening malam air matanya pun tertumpah. Betapa kerinduan itu benar adanya. Anak itu telah kehilangan seorang yang menyemat banyak Cinta purnama padanya. 


Setelah sekian purnama ia terbaring kaku di pusaranya. Yang tersisa hanyalah, lembutnya selimut kerikil yang ia banggakan. Dan segelas kopi hitam hangat peneman malam. Serta purnama yang kembali pulang dan kemudian pergi lagi. Namun ia, tak akan lagi kembali menemani. 


Seketika purnama menyapa dengan belaian yang dingin lagi sepi. Terdengar sayup seorang lelaki yang mulai menua, memanggil anak gadisnya pulang. 


"Sudah tengah malam, nanti kau kedinginan. Pulanglah." ajak lelaki itu di depan pintu rumah kayu sembari menatap dingin ke arah anaknya yang beranjak dewasa. 


Dan kerinduan itupun terjeda. Saat hujan rintik-rintik mulai menari-nari di halaman yang rindang dan di sebalik purnama yang malu-malu berpamitan pulang dijemput awan hitam. 


____

Ditulis di Pekanbaru, 10 April 2022.

Hazimah Khairunnisa' (Yenni Sarinah), seorang perempuan berdarah Jawa Timur titisan Kakek dan Nenek dari Jalur ibu yang lahir di Kaki Gunung Merapi Pacitan.


Selasa, 05 April 2022

PUISI : Ramadan Luka


Ramadan Luka
Oleh : Hazimah Khairunnisa' (Yenni Sarinah) 

1443 kalinya Ramadan 
Mengetuk dengan yakin setiap pintu iman
Menabur amalan-amalan para sholihan
Menakar hawa, menjemput ketaatan

Namun Ramadan ini
Tak seperti ketika itu
Sahurnya merobek hati
Bukanya pilu sendu

Bagaimana tidak! 
Ramadan sejatinya menatih jiwa
Menumbuhkan iba
Mengundang suka cita

Namun rasa itu masih khayal
Disini buka mu kenyang
Disana mereka berhujan rudal
Jiwapun meregang

Belum terjawab luka mereka
Tangis dan duka mereka
Rumah mereka hancur
Generasi mereka musnah
Jeritan mereka hanya sanggup memanggil lirih
Saudaraku....  Bantulah kami

Bukan tanpa sebab 
Penjaga agung itu telah berpulang 
Ditikam pengkhianat tak beradab
Menggelar diri sebagai bapak utsmani
Hidupnya pedih, sakitnya mencabut habis nyali

Tidak ku lupakan dikau
Wahai Mustafa Kemal
Manusia terlaknat, pembinasa penjaga umat
Hidupmu tak berpinak, matimu terlaknat
Kejang dikau dipembaringan 
Jasad kaku menjadi pelajaran

Ramadan ku kini masih berdarah
Lukanya menyeru satu saja pengobat luka
Khilafah yang dirindukan 
Pemersatu kekuatan kaum muslimin dunia

Yang dengannya semua air mata terseka
Dengannya pula kehormatan terpelihara 
Hadirnya menikam munafikun dan kafirun 
Hingga mereka bungkam bak kadal gurun
Kesakitan 
Terpanggang 
Hingga jera tak berperi balasannya

Ramadan ku 
Ramadan kita
Indahnya hanya seketika hari itu saja
Tapi.... 
Ketika sang perisai kembali menjaga
Dalam kekuatan adidayanya
Siangnya akan bertabur cinta
Malamnya akan merajut taqwa

Pekanbaru, 05 April 2022

Sabtu, 02 April 2022

RAMADHAN DAN TOTALITAS KETAKWAAN


*BULETIN DAKWAH KAFFAH – 238*
29 Sya'ban 1443 H/1 April 2022 M


MARHABAN YA RAMADHAN
RAMADHAN DAN TOTALITAS KETAKWAAN

Marhaban ya Ramadhan. Selamat datang bulan Ramadhan. Alhamdulillah, selayaknya setiap Muslim bersyukur dan bergembira dengan kedatangan Ramadhan. Sebabnya, Ramadhan adalah bulan penuh rahmat. Bulan penuh berkah. Juga bulan penuh ampunan. 

Ramadhan kali ini sedikit berbeda dengan tahun sebelumnya. Alhamdulillah, tahun ini wabah pandemi Covid-19 mulai mereda. Tak lagi banyak memakan korban jiwa. Sebagaimana tahun sebelumnya. 

Meski demikian, wabah Corona telah melumpuhkan ekonomi negara. Dunia usaha kelimpungan. Banyak perusahaan tutup. Sebagian malah bangkrut. Banyak karyawan dirumahkan. Tak sedikit di-PHK tanpa pesangon. Akibatnya, banyaknya pengangguran makin tak terelakkan. Mereka, setidaknya dalam 1-2 tahun ini, masih banyak yang merasakan kesulitan ekonomi. Sampai saat ini pun belum kelihatan jelas tanda-tanda kebangkitan kembali ekonomi masyarakat.

Di sisi lain, ada potensi “wabah” lain yang tak kalah membahayakan. Di antaranya potensi wabah kesyirikan. Paling mutakhir adalah kasus kesyirikan dalam peresmian proyek IKN dan ajang MotoGP di Mandalika. Ironisnya, keduanya difasilitasi oleh Pemerintah. Lebih ironis lagi, tak sedikit yang memandang ritual syirik tersebut sebagai bagian dari kearifan lokal.

Potensi wabah lainnya adalah wabah moderasi agama yang terus disuarakan oleh berbagai pihak. Moderasi agama ini jelas berbahaya karena menciptakan bencana bagi agama (Islam). Lahirlah sinkretisme agama dalam balutan istilah _Islam Nusantara_. Muncullah toleransi agama yang kebablasan seperti ritual doa bersama lintas agama, shalawatan di gereja, nikah beda agama, dll.

Potensi wabah lainnya adalah wabah penistaan agama (Islam). Akhir-akhir ini, penistaan agama makin marak. Yang paling mutakhir, ada pendeta Kristen yang dengan lancang meminta kaum Muslim untuk menghapus 300 ayat al-Quran, menantang pembuktian kehebatan Nabi Muhammad saw., dll. Seolah itu melengkapi penistaan agama oleh oknum di kalangan Islam sendiri seperti Deny Siregar, Abu Janda, Ade Armando, dll.  

Wabah lainnya adalah wabah kezaliman akibat penguasa bersekutu dengan oligarki. Merekalah yang selama ini menguasai sebagian besar sumber-sumber kekayaan milik rakyat. Bahkan kasus kelangkaan dan mahalnya harga minyak goreng baru-baru ini, yang amat menyusahkan rakyat, disinyalir adalah ulah para mafia dan pelaku monopoli yang terhubung dengan oligarki. Mereka diduga kuat melakukan penimbunan dan mempermainkan harga. 

Belum lagi kezaliman di balik isu terorisme dan radikalisme yang terus memakan korban dari kalangan umat Islam. Kasus pembunuhan Dr. Sunardi oleh Densus 88—yang belakangan menurut DPR tidak terbukti melakukan tindakan terorisme—bukanlah kasus pertama. Sudah ratusan orang yang terduga teroris ditangkap atau bahkan dibunuh oleh Densus 88 tanpa diadili.

Di sisi lain, kriminalisasi tokoh-tokoh Islam yang kritis terhadap kekuasaan masih terus terjadi. 

Yang paling berbahaya tentu wabah sekularisme—bahkan sekularisme radikal—yang mengakibatkan munculnya islamophobia. Suara azan dipersoalkan, penceramah yang dicap radikal—hanya karena sering bersikap kritis terhadap kekuasaan—dilarang tampil di televisi, dll. Yang tentu tak boleh dilupakan adalah penelantaran syariah Islam yang terus berlangsung hingga kini akibat penerapan sistem sekuler oleh Negara.  

Semua ini tentu sebagai akibat umat ini masih jauh dari ketakwaan. Padahal tujuan dari pelaksanaan puasa Ramadhan adalah mewujudkan takwa, sementara puasa Ramadhan telah puluhan kali dilaksanakan oleh umat Islam. 


*Tak Cukup dengan Puasa*

Mengapa faktanya umat masih jauh dari ketakwaan, padahal puasa Ramadhan telah puluhan kali mereka laksanakan? Tidak lain karena puasa Ramadhan hanyalah salah satu—bukan satu-satunya—pembentuk ketakwaan. Al-Quran memang menyatakan:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

_Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa, sebagaimana puasa itu pernah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa_ (TQS al-Baqarah [2]: 183).
 
Namun demikian, di dalam al-Quran sendiri tak hanya ayat tentang kewajiban puasa yang diakhiri dengan frasa; _la’allakum tattaqûn_ (agar kalian bertakwa). Allah SWT juga antara lain berfirman dalam beberapa ayat berikut:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

_Hai manusia, beribadahlah kalian kepada Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa_ (TQS al-Baqarah [2]: 21).

وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي اْلأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُون

_Bagi kalian, dalam hukum qishâsh itu ada kehidupan, wahai orang-orang yang memiliki akal, agar kalian bertakwa_ (TQS al-Baqarah [2]: 179).

وَ أَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

_Sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus (Islam). Karena itu ikutilah jalan itu dan jangan kalian mengikuti jalan-jalan lain hingga kalian tercerai-berai dari jalan-Nya. Yang demikian Allah perintahkan agar kalian bertakwa_ (TQS al-An’am [6]: 153).

Berdasarkan ayat-ayat di atas, jelas bahwa tak cukup dengan puasa orang bisa meraih takwa. Ibadah (totalitas penghambaan kita kepada Allah SWT), pelaksanaan hukum _qishâsh_ (juga seluruh hukum Allah SWT yang termaktub dalam al-Quran), serta keistiqamahan kita di jalan Islam dan dalam melaksanakan seluruh syariah Islam, semua itulah yang bisa mengantarkan diri kita benar-benar meraih takwa yang hakiki.


*Kembali kepada al-Quran*

Bukti ketakwaan hakiki tidak lain adalah pengamalan dan penerapan al-Quran secara total. Terkait itu Allah SWT berfirman: 

لَوْ أَنْزَلْنَا هَذَا الْقُرْآنَ عَلَى جَبَلٍ لَرَأَيْتَهُ خَاشِعًا مُتَصَدِّعًا مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

_Andai al-Quran ini Kami turunkan di atas gunung, kamu (Muhammad) pasti menyaksikan gunung itu tunduk dan pecah berkeping-keping karena takut kepada Allah. Perumpamaan itu kami buat untuk manusia agar mereka mau berpikir_ (TQS al-Hasyr [59]: 21).

Saat menafsirkan ayat ini, Imam ath-Thabari menyatakan: Allah Yang Mahaagung berfirman, “Andai Kami menurunkan al-Quran kepada sebuah gunung, sementara gunung itu berupa sekumpulan bebatuan, pasti engkau akan melihat, wahai Muhammad, gunung itu sangat takut.” Tidak lain karena gunung tersebut sangat khawatir tidak sanggup menunaikan hak-hak Allah yang diwajibkan atas dirinya, yakni mengagungkan al-Quran (Ath-Thabari, _Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân_, 23/300).

Karena itulah, menurut Abu Hayan al-Andalusi, ayat ini merupakan celaan kepada manusia yang keras hati dan perasaannya tidak terpengaruh sedikit pun oleh al-Quran. Padahal jika gunung yang tegak dan kokoh saja pasti tunduk dan patuh pada al-Quran, sejatinya manusia lebih layak untuk tunduk dan patuh pada al-Quran (Abu Hayan al-Andalusi, _Bahr al-Muhîth_, 8/251). 

Sayang, apa yang dinyatakan oleh Abu Hayan al-Andalusi ini justru banyak terjadi saat ini. Banyak manusia tidak tunduk dan patuh pada al-Quran. Banyak manusia yang bahkan tidak bergetar saat al-Quran dibacakan. Boleh jadi hal itu karena banyak hati manusia yang sudah mengeras. Bahkan lebih keras dari batu. Tak sedikit pun terpengaruh oleh bacaan al-Quran. Apalagi tergerak untuk mengamalkan isinya dan menerapkan hukum-hukumnya. 

Padahal al-Quran sejatinya Allah SWT turunkan agar menjadi rahmat bagi manusia (Lihat: QS Fushilat [41]: 2-3). Sebagai rahmat, al-Quran benar-benar menjanjikan keberkahan bagi manusia. Tentu saat al-Quran secara nyata diterapkan di tengah-tengah kehidupan mereka. Allah SWT berfirman:

 وَهَذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ فَاتَّبِعُوهُ وَاتَّقُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

_Al-Quran itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati. Karena itu ikutilah kitab tersebut dan bertakwalah agar kalian diberi rahmat_ (TQS al-An‘am [6]: 155). 

Imam al-Alusi menjelaskan bahwa al-Quran disifati dengan _mubârak_ (yang diberkati) karena mengandung banyak kebaikan di dalamnya, untuk kepentingan agama maupun dunia. Adapun frasa _fattabi‘ûhu_, maknanya adalah fa‘malû bimâ fîhi (Karena itu amalkanlah semua hal yang terkandung di dalam al-Quran itu) (Al-Alusi, _Rûh al-Ma’âni_, 6/77). 

Karena itu tentu penting mengamalkan dan menerapkan seluruh isi al-Quran. Baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat maupun negara. Di sinilah pentingnya formalisasi dan pelembagaan al-Quran. Di sini pula pentingnya negara menerapkan al-Quran dalam seluruh aspek kehidupan. Inilah yang dipraktikkan oleh Rasulullah saw. saat memimpin Daulah Islam di Madinah, juga oleh Khulafaur Rasyidin dan para khalifah setelah mereka sepanjang sejarah Kekhilafahan Islam.

*Khatimah*

Dengan demikian Ramadhan sudah selayaknya dijadikan momentum oleh kaum Muslim, termasuk para penguasa, untuk benar-benar mewujudkan takwa yang hakiki. Caranya adalah dengan kembali pada al-Quran, yakni dengan mengamalkan dan menerapkan seluruh isi dan hukum-hukumnya. Inilah yang pasti akan menjadi solusi atas seluruh problem kehidupan, khususnya bagi negeri ini.[]


*Hikmah:*

Rasulullah saw. bersabda:

« الصِّيَامُ وَالْقُرْآنُ يَشْفَعَانِ لِلْعَبْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، يَقُولُ الصِّيَامُ: أَيْ رَبِّ، مَنَعْتُهُ الطَّعَامَ وَالشَّهَوَاتِ بِالنَّهَارِ، فَشَفِّعْنِي فِيهِ، وَيَقُولُ الْقُرْآنُ: مَنَعْتُهُ النَّوْمَ بِاللَّيْلِ، فَشَفِّعْنِي فِيهِ ، قَالَ: فَيُشَفَّعَانِ»

_Puasa dan al-Quran akan memberikan syafaat bagi seorang hamba pada Hari Kiamat. Puasa berkata, “Tuhanku, aku telah menahan dia dari makan dan syahwat pada siang hari.” Karena itu izinkanlah aku memberi syafaat kepada dia.” Al-Quran berkata,  “Aku telah menahan dia dari tidur pada waktu malam. Karena itu izinkanlah aku memberikan syafaat kepada dia.” Kemudian keduanya pun diizinkan untuk memberikan syafaat._ (HR Ahmad). []

Sejarah, Akar Masalah, dan Cara Islam Tuntaskan HIV/AIDS

*Sejarah, Akar Masalah, dan Cara Islam Tuntaskan HIV/AIDS* Oleh: Yenni Sarinah, S.Pd (Aktivis Pendidikan Kelahiran Selatpanjang, Riau) ...