Senin, 19 Juni 2023

Cerpen Religi 5

Hidangan
Karya : Sri Handayani 

Sudah dua hari Siti begitu resah. Pekan depan ia mendapat giliran menerima majelis taklim di rumah. Pengajian yang dilakukan selama dua pekan sekali itu mendadak membuatnya risau. Bagaimana tidak? Ia bahkan tidak punya simpanan sedikit pun untuk membeli hidangan. Jangankan menyiapkan hidangan yang pantas, untuk makan sehari-hari saja ia harus memutar otak. Upah menggosok yang ia terima tiap akhir pekan juga langsung ludes untuk membayar utang di kedai Mak Inah. 
“Bang, pengajian ibu-ibu pekan depan di rumah kita. Siti bingung mau menghidangkan apa.”
“Ya, kalau tidak ada apa-apa, kita hidangkan air putih saja, Dek.”
“Malu lah, Bang. Masa Cuma air putih. Di rumah ibu-ibu yang lain mereka menghidangkan macam-macam makanan.”
“Pengajian itu kan mencari ilmu dan silaturahim, Dek. Bukan ajang pamer makanan, kan?”
“Berbagi makanan pada tamu kan juga bagian dari sedekah, Bang.”
Ahmad, suami Siti, tak menanggapi sanggahan sang istri. Ia mahfum jika istrinya tentu ingin menghidangkan dan menjamu teman-teman majelis taklimnya dengan layak. Atau ingin bisa bersedekah dengan yang lebih baik dari ibu-ibu yang lain. Namun, apa daya. Penghasilan Ahmad sebagai supir ojek online juga tak seberapa karena banyaknya saingan. Ia tak pernah absen menyerahkan hasil kerjanya kepada Siti. Uang inilah yang diputar Siti untuk belanja dan keperluan anak-anak. Itu pun lebih sering kurang. Makanya Siti turun tangan bekerja untuk membantu pengeluaran keluarga.
Sebenarnya pengajian memberi uang bantuan konsumsi yang diambil dari iuran wajib anggota. Tapi jumlahnya tak seberapa. Siti menimbang-nimbang besaran uang yang dibutuhkan untuk menghidangkan makanan setengah berat seperti mie goreng dan sedikit buah atau puding. Dengan jumlah anggota lima puluh-an orang, sepertinya cukup banyak uang yang dibutuhkan. Siti menghela napas berat. Ia akan berusaha menjamu dengan hidangan yang terbaik. Bukankah memuliakan tamu juga dianjurkan oleh nabi? 
Hari-hari menjelang pekan pengajian, Siti rajin menawarkan jasa menggosok kepada warga kampung. Untuk menambah penghasilannya, ia mematok tarif. Kalau biasanya ia terima saja berapa yang diberi tuan rumah, sekarang Siti yang menentukan harganya. Kecuali Bu Syarif yang memang sudah biasa menggunakan jasanya.
“Wah, mulai pasang tarif menggosok sekarang kamu, Ti?” goda Mirah, teman satu pengajiannya sore itu selepas ia menyelesaikan gosokan di rumah Bu Dian.
“Iya Mir. Biar seragam aja bayarnya.”
“O ya, pekan besok pengajian di rumahmu, kan Ti? Wah, makan enak kita dong?”
“Amiin.. mudah-mudahan ya, Mir.”
“Iyalah… sekali-sekali, Ti. Kemarin aja sehabis pengajian di rumahku, ibu-ibu majelis taklim pada puas banget. Katanya hidangannya enak. Aku sengaja pesan online, lho”
Siti tersenyum kecut. Memang saat pengajian di rumah Mirah, hidangan yang disajikan cukup mewah. Padahal kondisi ekonomi Mirah dan Siti tak jauh beda. Mirah punya dua anak sekolah. Suaminya buka bengkel sepeda motor yang menurut cerita Mirah, penghasilan suaminya sekarang sedang lesu. Sedangkan Mirah hanya di rumah saja. Ah, Siti tak mau memikirkan lebih lanjut. Ia khawatir akan berburuk sangka pada sahabatnya itu.
“Oya, Ti. Kamu belum nyicil tabungan jalan-jalan majelis taklim kita, ya? Masa kamu nggak ikut, Ti? Sudah lumayan banyak yang setor sama aku, ni.”
“Enggak dulu, Mir. Aku lagi fokus sama biaya sekolah anak-anak.”
“Kamu kan bendahara simpan pinjam. Bisa tu dipinjam dulu uangnya. Sekalian beli HP sama seragam. Tinggal kamu ni yang belum masuk grup majelis taklim kita. Nanti juga kalau ada acara, bisa ikutan pake seragam, Ti.”
“Doakan aku banyak rezeki, ya Mir.” Siti menjawab dengan perasaan perih.
***
Siti menghitung kembali lembaran-lembaran merah di pangkuannya. Jumlahnya sangat lumayan. Ia teringat ucapan Mirah untuk memakai dulu uang simpan pinjam ini. Nanti kalau sudah ada uang, baru diganti. Kalau cuma untuk menyiapkan hidangan yang pantas, ditambah puding, buah, dan air minum kemasan, sepertinya masih lebih. Lagian uang simpan pinjam ini memang belum digunakan oleh anggota majelis taklim. Ditambah dengan membeli telepon genggam yang murah saja dan baju seragam majelis taklim, sepertinya pun uang ini masih cukup. 
Benar juga kata Mirah. Dia sudah jauh tertinggal. Ibu-ibu yang lain semua sudah melek gawai. Padahal usianya ada yang di atas Siti. Siti yang masih muda, malah terkesan gaptek. Walaupun sesekali diajarkan Anggi, anaknya, tapi Siti lebih sering lupa. Anggi yang mulai masuk SMP memang membutuhkan gawai untuk info sekolah. Ah, bagaimana dengan tabungan jalan-jalan? Perempuan itu mendadak lesu. Sekarang kegiatan majelis taklim pun berkembang pesat. Tidak hanya sekadar membaca yassin, silaturahim, dan kegiatan sosial seperti menjenguk anggota sakit, melahirkan, atau menyelenggarakan kifayah bagi yang kemalangan, sebagaimana zaman ibu Siti dulu. Sekarang sudah bermacam-macam program yang digagas. Kadang Siti ingin keluar dari perkumpulan ini karena jujur saja ia merasa minder. Namun, mempertimbangkan bahwa ia harus tetap bersosialisasi, maka sampai sekarang masih bertahan.
Acara pengajian tinggal dua hari lagi. Uang hasil menggosok hanya tersisa berapa ribu ditambah uang konsumsi, jumlahnya masih minim. Penghasilan Ahmad pun setali tiga uang. Hati Siti bertambah tak karuan. Ke mana akan dicari tambahannya?.Lagi-lagi pandangan Siti tertuju pada lembaran merah di pangkuannya.
***
“Alhamdulillah, kita ucapkan terima kasih tak terhingga kepada ahlul bait, Ibu Siti, yang telah menerima kita dengan senang hati dan jamuan yang meriah. Semoga Allah membalas dengan berlipat kebaikan.” Mbak Ina sebagai pembawa acara pengajian hari ini menyudahi agenda. 
“Amiin…”
Ibu-ibu yang hadir bergiliran pamit dan menyalami Siti serta mengucapkan terima kasih. Beberapa tetangga dekat ada yang tinggal membantu merapikan piring dan sisa hidangan. 
“Terima kasih soto dan pudingnya, Dek Siti. Rasanya enak. Kamu pitar masak ternyata, ya?” puji Bu RT. Siti hanya menjawab dengan senyum dan binar cerah di matanya.
Tamu hanya tinggal beberapa. Mata Siti mencari-cari, tapi ia tak menemukan Mirah. Ke mana sahabatnya itu? Biasanya dia yang paling heboh kalau Siti punya acara.
“Mbak Dina, kok saya nggak nampak Mirah, ya? Tumben nggak datang.”
“Lho, kamu belum dapat kabar, ya? Mirah kabur dari rumah karena banyak tunggakan utang di bank. Ternyata uang tabungan piknik majelis taklim kita pun juga sudah habis digunakan untuk keperluan pribadi. Sekarang Bu Ketua kita sedang mendiskusikan ke depannya bagaimana. Mira juga dicari-cari debt collector. Sekarang rumahnya sudah diberi plang dari bank mau disita.”
Siti tertegun dan tak percaya kalau Mirah berbuat begitu. Nyalinya tiba-tiba ciut dan tubuhnya gemetaran mendengar penuturan Mbak Dina. Beruntung ia masih punya iman di hati. Siti teringat kata-kata Wak Haji Ibrahim saat menyampaikan ceramah ramadhan. Barang apa pun yang bukan milik kita, jika kita ingin memakai, maka harus atas izin si pemilik. Termasuk uang yang diamanahkan kepada kita. Karena itu, ia urung mengikuti saran Mirah untuk memakai uang simpan pinjam. 
Hari itu saat ia akan pulang dari menggosok, bu Syarif memanggilnya. Beliau menawarkan agar Siti membantu masak soto untuk acara pesta pernikahan anaknya. Bu Syarif tahu persis keahlian Siti dalam membuat soto. Perempuan yang menjadi langganan menggosok itu juga memberikan uang lelah yang cukup banyak, sehingga bisa dimanfaatkan untuk menjamu ibu-ibu majelis taklim hari ini. Bahkan, uangnya masih bersisa dan rencananya Siti akan membeli seragam majelis taklim.

*selesai*

Cerpen Inspirasi:
Surau karya Artie Ahmad
Salawat dedaunan karya Yanusa Nugroho
Mister Masbuk karya Zainal Radar T
Sedekah minus karya Sinta Yudisia
Kotak amal karya Wayan Sunarta
Demi baju lebaran karya Sam edy Yuswanto

Cerpen Budaya 5

Cerpen Budaya
Sandiwara
Karya : Sri Handayani 

Datuk Ngah masih berkutat dengan jampi dan rumpun halia. Di hadapannya, gadis Mak Piah menggerung-gerung rancu dengan mata melotot. Namun, gerakannya sudah cukup tenang, tak menghentak-hentak seperti tadi. Ia terbaring di atas tikar anyam lusuh. Dari pelipis kiri hingga pelipis kanan melintang pilis kunyit dan ramuan buatan Datuk Ngah. Sementara Mak Piah duduk tergugu. Meratapi polah si gadis sambil terus mengusap ubun-ubunnya yang panas.
“Mengucap Midah. Mengucap, Nak. Astaghfirullahal’adzim..,” Mak Piah mendekatkan ucapnya ke telinga Midah berkali-kali. 
“Bantu dia minum,” Datuk Ngah memecah ketegangan.
Mak Piah membetulkan belitan kain sarungnya yang hampir lolos. Ia menyambut gelas air jampi dari sang Datuk. Dibantu seorang tetangga, Mak Piah mengangsurkan gelas yang disambut semburan dari mulut Midah.
“Brfff!! Jangan menjadi duri. Enyahhhh..!!” Midah berontak dan menyemburkan kalimat kasar.
Mak Piah susah payah membuat Midah meneguk air itu. Tak lama, entah karena pengaruh jampi atau karena lelah, Midah memejamkan mata. Napasnya terlihat tenang. Anak-anak rambut berhamburan di dahi. Mak piah memijit lembut lengan si gadis sembari menunggu titah Datuk Ngah. Para tetangga sudah banyak undur diri. Tinggalah mbak Tari, tetangga sebelah rumahnya yang masih setia membantu mengipas tubuh Midah. Keringat tampak bergulir dari sela-sela anak rambut sang gadis.  
“Mak Piah, apa ada peristiwa penting sebelum hari ini?”
Mak Piah membisu.
“Nanti kalau sudah bangun, balurkan param ini di kaki dan tangannya. Jangan boleh ke sungai atau tempat sepi sendirian. Usahakan juga tidak mandi malam,” Datuk Ngah berkata sambil pamit. 
Tak lama, mbak Tari pun ikut pamit sambil menyelipkan sebuah amplop. Mak Piah mengucapkan terima kasih, lalu menatap bimbang pada buah hatinya. 
***
Mak Piah sudah lama menjanda. Tinggal bersama seorang anak gadis hasil pernikahannya dengan Asnawi, pemuda kampung sebelah. Masa mudanya mestilah sangat bahagia karena ia merupakan bunga kampung. Nahas, untung bukan milik si molek Piah muda. Asnawi hanya baik saat Piah masih segar. Setelah melahirkan Midah, lelaki itu justru jadi beban. Malas bekerja, hobi judi gaple, ngumpul dengan kawan-kawan hingga larut, dan pulang selalu dengan aroma tuak.
Piah muda menua sebelum waktunya. Ia harus berganti peran dari tulang rusuk menjadi tulang punggung. Beruntung, dulu kedua orang tuanya mengajarkan hidup mandiri. Meskipun sang ayah adalah penghulu kampung, Piah bukanlah sosok gadis yang manja. Saat dalam ekonomi sulit, hendak mengadu nasib pada orang tua pun, tak sampai mulutnya berucap. Rasa malu adalah petuah paling tinggi yang ditanamkan kedua orang tuanya. Baginya, mengadu masalah isi periuk rumah tangga adalah sebuah aib. Terlebih, Asnawi adalah pemuda pilihannya setelah berlusin pemuda datang meminang Piah pada abah. 
Peruntungan ternyata belum berpihak pada keikhlasan Piah. Tahun-tahun suram bersama kekasaran dan kemalasan Asnawi masih ia jalani. Piah adalah perempuan kuat yang memegang teguh janji pernikahan. Itulah sebabnya, ia sandarkan kekuatannya pada Tuhan. Demi status bapak dan rumah tangga yang utuh bagi seorang Midah. Saat Midah beranjak remaja, lelaki itu menghilang tak tentu rimbanya. Meninggalkan utang judi menggunung. 
“Mak, biarlah Midah tak usah lagi sekolah. Midah akan bantu emak mengangsur utang Abah,” ungkap Midah suatu malam.
“Tidak, Midah. Masalah utang tak perlu kau ikut campur. Selesaikan sekolahmu. Kau tak boleh turut menanggung derita. Kelak, jadilah orang besar biar tak jadi beban bagi orang lain.”
“Iya, Mak.” 
“Ingat Midah, pulang sekolah langsung ke rumah. Kau sudah beranjak dewasa. Kemarin Wak Ramzi datang meminangmu. Meminta kau jadi bini mudanya setelah lulus sekolah. Tapi, Mak tak hendak segera menikahkanmu. Jadi, kau harus benar-benar menjaga diri. Wak Ramzi tampaknya marah karena penolakan Mak.” 
“Baik, Mak.”
“Sudah, segera bantu Mak menyiapkan makan malam kita. Lepas itu, lanjutlah tidur. Esok bukannya kau ada praktik drama katamu?”
Midah beranjak ke dapur. Malam ini terasa lebih khidmat. Namun, hati Midah dilanda gulana akan nasib ia dan sang ibu ke depan. 
***
“Kalau tak bisa juga, terpaksa rumah ini akan kami sita, Mak.” 
“Tolong, saya akan usahakan. Tinggal ini tempat berteduh dan harta yang kami miliki.” 
Mak Piah menyeka keringat di dahi dengan ujung tekuluknya yang lusuh. Pikirnya melayang-layang. Mencari celah jalan mengumpulkan pundi-pundi. Amplop pemberian tetangga kemarin sudah habis untuk keperluan dapur dan lainnya. Malu rasanya terus menengadah pada tetangga.
“Aku sudah lebih banyak menenggang. Janjinya sudah bertahun, Mak. Pekan lalu aku ke sini, tapi Mak sedang sedih. Jadi aku pulang saja. Sudah pula kena marah bos. Kalau tidak mengingat Mak adalah orang baik, sudah kusita rumah ini dari dulu,” lelaki berjaket lusuh itu berujar sambil membuang muka. Seperti menahan nyeri yang mencubit hatinya.
“Bagi saya tempo satu pekan lagi. Saya akan usahakan mencicil.”
“Maaf, Mak. Aku kasih tempo 3 hari saja. Sekarang, akan kuambil barang …”
“Aarrghhh..!!!”
Mak Piah dan lelaki yang ternyata suruhan rentenir tempat Asnawi mengutang uang judi itu terkejut. Dari dalam rumah terdengar jerit Midah. Mak Piah berkejar masuk. Sementara lelaki itu tampak kecut dan mengintip di depan pintu. 
“Pergii..! Pergi..! Aku tak mau ikuutt!!”
Di ruang tamu berlantai tanah itu Midah memeluk lutut. Tangannya menunjuk-nunjuk ke arah pintu dengan rambut sudah menutup separuh wajah. Napasnya turun naik dengan netra melotot tak berkedip. Lagi-lagi dia berteriak. Mak Piah hampir panik. Namun, segera menguasi diri dan memeluk anaknya. Membisikkan kalimat-kalimat istighfar dan lantunan ayat suci di telinga Midah. 
Teriakan Midah sontak mengundang lagi para tetangga. Kali ini mereka datang dengan kondisi lebih tenang karena ini sudah yang kesekian kali Midah begitu. Sebagian yang datang hanya untuk memenuhi rasa ingin tahu. Tidak seperti saat pertama kali Midah keteguran. Walau pun, ada juga yang datang tulus karena prihatin dengan keadaan Mak Piah dan anak gadisnya. Salah satunya Mbak Tari. Ia datang setelah mengabari Datuk Ngah terlebih dahulu.
 “Hrgg!! Pergi..! Pergi! Ini rumahku! Kau nak rumahku berhantu? Pergi..!! Hahaha..!!” 
Midah meronta. Tangannya menunjuk-nunjuk lagi ke arah pintu. Dia hendak berlari. Namun, mbak Tari dan Mak Piah sigap memegang tubuh gadis itu. Tetangga yang datang saling pandang. Di depan pintu, lelaki suruhan rentenir itu salah tingkah. Tak menunggu lama, ia mengegas motor menjauh dari rumah Mak Piah. 
Seketika para tetangga mulai saling selisik. Membuat simpulan-simpulan yang menambah keruh suasana. Tuduhan mereka dari yang awalnya dari si Ramzi berbelok pada lelaki tadi yang mungkin saja mendatangkan jembalang untuk mengganggu anak gadis Mak Piah. Sudah menjadi rahasia umum kalau Mak Piah harus melunasi utang-utang suaminya. 
Dibantu Mak Piah, Datuk Ngah membuat pilis di kening, lipatan tangan, telapak tangan, dan kaki Midah. Suhu badannya meninggi. Karena terus meronta, lelaki separuh baya itu menyembur ubun-ubun Midah dengan air jampi. Seketika Midah terkulai. 
“Boleh kita bicara sebentar?” Datuk Ngah menatap Mak Piah. Mereka lalu beriirangan menuju dapur sempit di belakang.
Para tetangga segera membubarkan kerumunan. Sementara Mbak Tari mendekati Midah. Midah membuka mata dan seketika bangkit dari tidur. Memeluk erat mbak Tari. Tersengguk-sengguk dalam dekapannya.
“Maafin Mbak, ya Dik. Ternyata malah membuatmu dan Mak lebih menderita begini. Sudah ya, cukup saja sampai di sini. Kamu pasti capek, kan?” 
Air mata mbak Tari menyusup dari kelopak mata. Mengimbangi isak tangis Midah yang belum reda.
“Makasih, Mbak sudah banyak membantu. Midah cuma ingin meringankan beban Mak, Mbak. Tapi Midah tak punya cukup cara. Kasihan Mak dikejar-kejar rentenir.”
“Mungkin kita bisa coba cara lain, Dik.” 
Mbak Tari mengusap pipi Midah dan menyeka air mata dengan sebelah tangannya. Di pintu arah ke dapur, Mak Piah berdiri dengan air mata bergulir. Mbak Tari sedikit gamang melihat tatapan Mak Piah. Perlahan, wanita bertekuluk lusuh itu menghampiri dan meraup keduanya dalam pelukan.
Datuk Ngah membuang muka. Berusaha menyembunyikan netranya yang berembun.

***


Catatan:
Keteguran: kesambet, diganggu hantu
Jembalang : hantu penunggu suatu tempat

Cerpen inspirasi:
Merantau ke kampung sendiri karya Anton WP
Pendar Zapin di Negeri Istana karya Listi Mora Rangkuti
Cinta terlarang tradisi karya Patrick Kellan
Dikir karya Joni Lis Efendi
Kesurupan karya Meiska

Cerpen Budaya 4

BATOBO
Karya : Febrio Rozalmi Putra 

Tuai…nak padi…dituai…
Oi sipuluik nak…dibuek pokan
Tuai…nak sayang amak sayang padi dituai
Amak mangai nak sayang, manca’i makan
Layang-layang tobang malayang
Kain sasugi nak, pamagau bonia
Layang-layang tobang malayang nak sayang 
Kain sasugi nak oi sayang
Pamagau bonia
Mo basamo poi ka ladang
Mananam padi sayang
Mananam bonia…1

“Omak poi lu, jago adiok yo2!” kata Omak3 padaku sambil menutup pintu.
Sinar kemerahan di cakrawala, perlahan-lahan, menyusup di antara celah awan, membawa kehidupan ke alam semesta yang baru terbangun. Warnanya begitu lembut, seperti sentuhan sutra yang memancar dari balik kabut pagi. Jalanan sunyi. Omak melangkahkan kaki ke luar rumah dengan topi campingya. Baju samping lusuh melekat di tubuhnya. Tanganya memegang tas dari kain yang berisikan bekal makan siang. Omak pergi batobo4.
Omak senang bisa ikut batobo. Kegiatan batobo meringankan beban dan biaya untuk warga Desa Birandang, Kampar. Tradisi batobo ini sudah sejak dulu dan masih dilestarikan hingga kini. Warga secara bergantian bergotong royong membantu menamam padi. Anggota batobo akan mendapat giliran di sawahnya masing-masing. Hal ini sama dengan arisan. Omak selalu diajak warga untuk batobo, karena cekatan dalam bekerja. Bagi Omak, dia hanya mengharapkan upah dari batobo, sebab ia tidak punya sawah. Upah yang diterima dalam bentuk uang, terkadang juga beras. Tidak masalah. Semua itu bisa untuk menyambung kehidupan dengan dua orang anaknya.
Ketika Omak pergi batobo, biasanya adikku dititipkan ke Mak Minah, tetanggaku. Tapi jika hari Minggu, akulah yang menjaga adik. Aku kunci pintu rumah dari dalam, agar adikku tidak main keluar. Di rumah semi permanen ini, aku mengajak adikku untuk main mobil-mobilan, membuang rasa bosan. 
Cahaya matahari memancar dengan kuat dan menerangi segala sesuatu di sekitarnya. Langit cerah dan jernih. Rasa lapar membawa aku berjalan ke dapur dan membuka tudung nasi. Aku tahu, Omak sudah menyiapkan makan siang kami. 
“Ocu…ocu…olah mokan?”5 teriak Mak Minah dari luar.
“Olah, Uwo”.6
Rumahku dan Mak Minah berdekatan. Tetangga sekelilingku masih ada ikatan darah dari denganku. Mereka paham dengan kondisi keluargaku. Omak berpesan kepada tetangga sekitar untuk sesekali melihat aku dan adik di rumah ketika Omak pergi.
Kulihat jam dinding sudah menunjukan pukul tiga. Di luar awan tebal menutupi langit. Suara gemuruh terdengar dari langit. Omak belum pulang. Biasanya Omak pergi batobo hanya setengah hari. Adikku bosan main dalam rumah. Ia menangis di depan pintu sambil memanggil Omak. Kucoba menenangkan adik dengan bernyanyi, tapi ia tak peduli. 
Mak Minah datang. Mungkin karena mendegar suara kencang tangisan adikku. Mak Minah dengan sigapnya menggendong adikku seraya mengayun-ayunkan. Ia terlelap dalam pangkuan Mak Minah. Ia menyampaikan padaku, mungkin Omakku terkurung oleh hujan di sawah. Aku sedikit legah. Mak Minah meletakan adikku di atas kasur. Aku masih menunggu Omak pulang sambil melihat dari jendela.
Langit gelap. Suara azan Magrib terdengar samar-samar diantara gemericik hujan. Perutku lapar. Nasi dan lauk habis dimakan siang tadi. Kulihat ember tempat penyimpanan beras, kosong. Mataku berkaca-kaca. Menahan rasa lapar dan kecemasan Omak yang belum pulang. Kuintip ke luar rumah, hujan makin deras. Aku ingin ke rumah Mak Minah untuk meminta nasi. Tapi aku tak tega meninggalkan adikku sendirian di rumah. Selain itu kilat yang menyambar membuat aku surut untuk melangkah keluar. 
Tanganku memegang erat perut. Air mataku jatuh. Lapar yang teramat ini begitu terasa menyakitkan. Jika ayah masih hidup, aku tak akan menderita begini. Gaji ayah sebagai buruh sawit, tak pernah membuatku kekurangan makanan. Setidaknya ada toples yang selalu terisi dengan makanan ringan. Aku rindu ayah. 
Lamunanku terhenti. Sayup-sayup suara sirine ambulan di telingaku. Makin lama makin kuat terdengar. Adikku terbangun. Sirine itu memekak telinganya. Pikiranku tak karuan. Perihnya rasa lapar yang kutahan, semakin dalam karena sirine itu. Kupegang tangan adikku, kuintip ke luar. Ambulan itu tepat berada di depan rumahku. Gerimis di sudut mataku jatuh. Ada apa dengan Omak? Apakah Omak meninggalkanku? Belum hilang sedihnya kehilangan ayah, akankah aku tersayat lagi kehilangan Omak? 
Kubuka pintu rumah, warga dengan payung sudah ramai mengerumuni ambulan itu. Pikiranku makin kacau. Apakah nasibku yang yatim ini akan bertambah dengan piatu? Kondisi yatim ini saja sudah membuat aku menahan lapar, apalagi jika yatim piatu. Bapak-bapak berpakaian putih itu membuka pintu belakang ambulan. Mereka mengeluarkan tandu yang terbungkus kain putih dan dibawa ke rumah Mak Minah. Penglihatanku tak menemukan sosok Omak diantara keramain itu. 
Tangisanku makin kencang. Kupeluk erat adik, ia juga menangis. Itu jenazah Omak yang dibawa masuk ke rumah Mak Minah, karena rumahku kecil. Biasanya jika ada acara keluarga selalu di sana. Gumamku dalam hati. 
“Omak…Omak…Omak….”teriakku sambil berlari ke rumah Mak Minah.
Semua mata tertuju padaku. Seakan aku mengejutkan mereka. Kupegang jenazah yang sudah terbaring itu dengan isak tangis yang menjadi-jadi. Sebuah tangan lembut memegang pundaku dari belakang. Tangan itu mengoyang-goyangkan tubuhku. Kutolehkan wajahku ke belakang. Tatapanku tajam. Omak memelukku.
Syair melayu yang biasa digunakan untuk tarian batobo
Dialog Kampar : “Ibu pergi, jaga adikmu”
Ibu
Tradisi masyarakat Kampar bekerjasama dalam mengerjakan sawah
Dialog Kampar : “Apakah kamu sudah makan?”
Dialog Kampar : “Sudah, Nek”

Referensi
Lubuk dan Pelabi : Ahmad Ijazi H
Penabur Ragi : Ilham Fauzi
Mancokau : Bambang Kariyawan Ys
Bakaroh : Yudi Muchtar
Pelangi di Sungai Subayang : Mulyati Umar
Langkah Lama : Pamula Trisna Dewi


Cerpen Religi 3

Ria

Cerpen Malin Batuah



DUNIA ini tidak dibagi antara yang lemah dan yang kuat. Dunia ini terbagi antara pembelajar dan yang tidak belajar. Kebahagiaan yang paling besar bagi saya adalah berubah menjadi pribadi lebih baik dari hari ke hari. Paham dengan kekuatan, kelemahan, bias dan menikmati apa yang saya kerjakan. Sakin bahagianya saya, anak sulung yang lahir saya berikan nama Ria.

***

Setiap kita melakukan kebaikan, kita dituntut untuk tidak mengumbarnya takut akan muncul sifat ria. Ria lahir ke dunia pada zaman kebaikan itu harus diperlihatkan, agar manusia tahu akan kebaikan-kebaikan yang telah dilakukan karena tidak mudah hidup menjadi minoritas di negeri sakura. Khususnya tinggal di negeri mayoritas berurusan soalan dana haruslah terlihat dalam hal pemberian agar kita tidak disangka kedekut.

***

Saya merantau ke negeri sakura karena jurusan pekerjaan yang saya ambil hanya ada di beberapa negara. Tidak ada jurusan ini di tanah kelahiran saya, kota bertuah. Jurusan Nuklir. Kontrak sebagai seorang tenaga kerja asing di sini memakan waktu yang sangat lama, bahkan dari saya bujang. Namun untuk bagian liburnya pun sama panjangnya yakni satu sampai tiga bulan. 

***

Tempat-tempat ibadah disini sangat dijaga dengan sangat baik dan seluruh masyarakatnya menyibukkan diri dengan bekerja bahkan lebih dari delapan jam sehari. Bahkan sampai hanya menumpang istirahat di rumah untuk kemudian bekerja kembali esoknya. Sampai saya tidak senang adanya anak-anak, karena mereka hanya membuat suara bising yang membuat saya tidak bisa fokus untuk beraktivitas ketika berada di rumah dan di tempat-tempat umum. 

Rumah dinas yang miliki disini saya pesankan kepada arsiteknya untuk tidak ramah anak seperti taman bunga sengaja dibuat berlubang-lubang, lalu tangga naik ke lantai sengaja dibuat tidak ada pegangan dan tidak kokoh pijakannya agar bisa langsung jatuh ke samping yang disampingnya ada jurang tempat sampah. Sehingga setiap kawan-kawan yang datang membawa anaknya tidak perlu merepotkan diri untuk berkunjung ke rumah saya.

***

Sampai waktunya pun tiba. Kalimat ajaib itu pun datang juga.

“Kapan nikah?”

“Insha Allah”

“Anak ibu sayang, Surya sudah mau kepala empat. Jangan sibuk kerja terus saja.”, nasehat ibuku saat aku berkunjung ke rumahnya semasa libur.

“Dengan gadis sakura pun tak apa-apa yang penting satu keyakinan dengan kita”

“Baik Bunda”.

***

Sebenarnya saya enggan untuk menikah, namun karena nasehat dari ibu yang tak pernah saya bantah hingga nafas ini masih berhembus. Saya ikuti karena saran dari ibu memang benar dan masuk akal setelah saya istikharah dalam beberapa kali sholat malam.

***

Bertemulah saya dengan Sinta, gadis negeri sakura yang satu keyakinan dengan saya sesuai amanah dari ibu saya sebelum wafat. Sepulang dari libur bekerja kemarin merupakan pertemuan saya yang terakhir ibu saya dan amanah beliau segera saya tunaikan. Namun sayang sekali, bunda tidak dapat bertemu dan melihat cucunya yang cantik, Ria.

***

Tak terasa sudah 15 tahun usia, Ria. Saat hari Festival Olahraga Sekolah di Undokai, Ria pingsan. Saya yang mengetahui hal itu, saya kelabakan mendapati anak saya pingsan. Tidak bisa berbuat banyak sebab terdapat peraturan wali yang hadir tidak boleh interaksi dengan siswa. 

Meski demikian, saya bersyukur sebab teman-teman dan guru Ria yang perempuan dengan sigap membantu.



Referensi :

  • Cerpen Motah Tanaku karya Yendra Chen

  • Cerpen Menjadi Mercusuar karya Benny Arnas

  • Cerpen Lubuk dan Pelabi karya Ahmad Ijazi H

  • Cerpen Hanya Firman Tuhan karya Adizamzam

Cerpen Religi 4

Gulungan Uang

Karya : Febrio Rozalmi Putra 

Cahaya kemerah-merahan muncul dari ufuk timur. Pak Marjo mendorong gerobak tua menuju TPS (Tempat Pembuangan Sementara). Di kepalanya terpasang sebuah senter. Hiruk pikuk suara kendaraan belum terdengar, belasan orang berkumpul di sepanjang tumpukan sampah pinggir jalan Soekarno Hatta, Pekanbaru. 

Pak Marjo dan pemulung lainya mencari barang bekas yang bisa untuk dijual, seperti plastik, besi, kertas, atau kardus. Ia harus cepat dari pemulung lainya. Tiap bungkusan sampah ia buka, berharap ada barang yang bisa ia rupiahkan. Selain itu ia juga dikejar waktu. Karena pukul setengah tujuh, mobil dinas kebersihan kota akan membawa semua tumpukan sampah itu ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir).

Pekerjaan ini sudah ia lakoni lebih dari lima tahun. Ia tidak ada pilihan. Sejak ditinggal istri tercinta, yang telah menghadap pada Allah dan dua anaknya pergi merantau untuk mengadu nasib. Kepalanya yang memutih dan kulit yang keriput, membuat orang enggan untuk mempekerjakannya. Ia berpantang untuk menunggu belas kasihan orang atau meminta-minta untuk dikasihani. Selagi jiwa dikandung badan, selagi kesehatan memungkinkan, ia akan berusaha untuk mencari uang.

 Dua bulan lagi, umat Islam akan merayakan kemenangan kedua setelah Idulfitri. Pak Marjo membaca pengumuman biaya hewan kurban di Masjid tempat ia tinggal. Biaya kurban sapi untuk satu orang dipatok dua juta sembilan ratus ribu, sedangkan untuk kambing dua juta tiga ratus ribu rupiah. Tahun lalu Pak Marjo gagal ikut berkurban, ia bertekad tahun ini harus terlaksana. 

 Hari-hari ia semangat mencari barang bekas. Demi ikut berkurban. Hanya hujan yang bisa membatasi tubuhnya yang tua itu untuk berangkat mengelilingi rumah warga, mencari rongsokan yang bernilai baginya. Selain itu ia berhemat. Ia membeli makan siang tanpa lauk, hanya nasi dan sayur. Untuk mencapai tujuan yang kita impikan, semua terasa ringan dan penuh keikhlasan. Apalagi itu tujuan dalam menjalankan perintah agama.

 Cahaya temaran lampu lima watt, menerangi tempat peristirahatan Pak Marjo yang beralaskan kasur palembang itu. Ia menghitung lembaran uang tabunganya. Ia senyum sambil mengikat uang itu dengan karet. 

 Suara pukulan pintu terdengar jelas dari kamar Pak Marjo.

 “Pak Marjo… Pak Marjo… Pak… tolong saya, Pak!” kata Pak Mardi dengan napas yang tak beraturan dan wajah cemas.

“Kenapa, Pak?”

“Anu…anu, Pak. Istri saya sakit. Jantungnya kumat lagi. Boleh saya pinjam uang, Pak. Saya mau bawa dia ke rumah sakit, tolong…tolonglah, Pak!”

Pak Marjo terdiam. Ia tak ingin berbohong, dengan mengatakan tidak punya uang pada Pak Mardi tetangganya, teman satu profesi dengan dia itu. Tapi ia juga tak mau gagal lagi ikut berkurban tahun ini. Pak Marjo melihat wajah Pak Mardi. Ia teringat almarhumah istrinya. Istrinya meninggal dunia karena terlambat dibawa ke rumah sakit. Ia bisa merasakan perasaan Pak Mardi.

“Pak Mardi, saya tidak ada uang untuk dipinjamkan, Pak.” Penolakan itu terasa pahit bagi Pak Mardi. Ia pulang dengan wajah kesal.

Matahari bersinar terik, Pak Marjo berdiri di belakang rumah. Bayangannya tepat berada di bawah kakinya. Ia memasukkan semua barang bekas hasil memulungnya beberapa hari ini ke dalam karung besar dan menumpuknya ke gerobak. Ia akan menjualnya. 

“Berapa kilo semua punya saya, Pak?” tanya Pak Marjo sambil melihat timbangan.

“Sebentar, saya hitung.”

Pak Marjo senyum melihat kertas kecil yang ia terima. Dalam kertas itu terinci berat dari kardus, besi, dan botol plastik miliknya yang baru saja ditimbang. Pak Marjo menolehkan pandangannya ke kumpulan barang bekas yang menggunung di sekelilingnya. Ia menunggu untuk menerima uang. 

Hasil penjualannya kembali ia gabungkan dengan uang simpanan itu dalam ikatan yang berbeda. Pak Marjo membaringkan raganya untuk sejenak beristirahat. Matanya terfokus pada sebuah foto yang ada di dinding. Ia berkaca-kaca. Dia merindukannya. Impian terakhir belum terwujud. Ia pernah berencana dengan istrinya untuk bisa baik haji. Memang nekat. Tapi Pak Marjo menawar impian istrinya itu dengan ikut memeriahkan Iduladha di tanah air saja. Dengan seekor kambing atau seekor sapi yang dipertujuh. Impian itu terkubur dengan raga istrinya hingga kini.

“Pak Marjo, Pak…,” teriak Bu Dewi dari luar rumah.

“Siapa yang menggangu di siang bolong ini?” ucap Pak Marjo sambil berjalan keluar dari kamarnya.

“Pak, bantu saya Pak, besok anak saya akan ujian, ia belum bayar uang sekolah, bantu pinjamkan saya uang Pak,” wajah Bu Dewi memelas. 

Pak Marjo tempat para tetangganya untuk mengadukan desakan hidup. Karena tetangganya tahu, jika Pak Marjo tidak ada lagi kebutuhan seperti menyekolahkan anak, memberi belanja istri, dan lainnya. Para tetangganya sudah biasa meminjam uang padanya. Walau tak dapat sepenuhnya minimal Pak Marjo akan meminjamkan separuhnya. Tapi kali ini Pak Marjo tak bisa seperti itu lagi. Ia sedang berjuang untuk mewujudkan impian dia dan alhamarhuma istrinya.

“Bu Dewi, saya mohon maaf. Saya memang ada uang. Tapi saya mohon Bu Dewi untuk memahami, bahwa saya juga butuh uang itu untuk ikut berkurban beberapa minggu lagi. Ini cita-cita saya dengan alhamarhuma istri saya.”

Selepas perginya Bu Dewi, Pak Marjo tak mau menunggu hingga uangnya genap dua juta sembilan ratus ribu. Ia bertekad setelah shalat Magrib nanti langsung mendaftar untuk ikut peserta kurban tahun ini. Uang yang ada akan dia serahkan ke panitia, sehingga jika ada tetangganya yang ingin meminjam, ia sudah punya jawaban yang melegahkan hatinya. 

Azan Magrib berkumandang hingga ke rumah kontrakkannya. Ia bersiap. Kain sarung, peci hitam, dan sajadah sudah melekat di tubuhnya. Ia membuka lemari dan mengambil uang simpanannya. Setiap lipatan kain ia raba dengan tangan, tapi tak merasakan gulungan uang. Ia bongkar isi lemari itu dengan memindahkan semua lipatan kain satu per satu keluar sambil memperhatikannya. Tak kunjung ia temukan. Ia berpindah ke bantal. Semua bantalnya ia periksa dan buka sarungnya, tapi uang itu tidak ada. Ia periksa lagi di bawa kasur palembang tempat ia beristirahat. Hanya debu yang ia temukan. 

Kamar itu bagai kapal pecah. Pak Marjo tersandar pada dinding kamarnya. Ia berpikir keras, mencoba mengingat letak uang itu. Pikirannya buntu. Semua kemungkinan sudah ia periksa. Namun tak menemukan lembaran rupiah itu. Ia berprasangka buruk. Apakah Pak Mardi yang mengambil uangnya, karena ia sedang butuh, atau Bu Dewi yang menyelinap masuk ke kamarnya saat ia tidur sore tadi? 

Pak Marjo mendatangi rumah Pak Mardi. Tapi ia tak jumpa. Hanya anak Pak Mardi di rumah. Anaknya itu menjelaskan, jika Pak Mardi di rumah sakit, menjaga istrinya yang sedang dirawat. Anak itu juga bercerita bahwa Pak Mardi mendapat pinjaman dari tetangga lain. Pak Marjo pasrah tapi tak rela. Ia tak mau lagi berandai-andai atau bahkan menuduh orang lain. Ia menyalahkan dirinya yang tak mau menolong orang lain yang sedang susah. Mungkin ini teguran dari Allah padanya. Ia berucap dalam hatinya, meminta maaf pada alhamarhum istrinya karena tahun ini masih belum bisa berkurban.

Gema takbir bersautan. Hari raya Iduladha menghampiri. Pak Marjo bersiap berangkat shalat Id. Ia memakai baju koko putih, sarung putih dan peci hitam. Hatinya sedih karena impian itu belum bisa terwujud lagi tahun ini. Ia memakai sendal bekas hari raya Idulfitri lalu yang ia simpan ke kotaknya. 

“Alhamdulillah Ya Allah,” Pak Marjo kaget melihat gulungan uang itu di dalam kotak sendal.

Referensi

Sunlie Thomas Alexander “Keluarga Kudus”

Zulfa Muntafa “Idul Adha dan Seekor Tikus”

Andre Abidin “Merajut Mimpi Sang Tholabul Ilmi”

Asyifa Riyani “Sobekan Kertas Kecil”

Putri

 Kirana “Nu’aiman dan Suwaibith”




Cerpen Budaya 3

Dipersimpangan

Cerpen Malin Batuah



LAMA bekerja belum tentu tahu segalanya dan baru bekerja belum tentu tidak tahu apa-apa. Setiap orang punya waktu cerdas dan bodohnya masing-masing. Tugas kita adalah menemukan kapan waktunya itu ada pada diri kita masing-masing. Ada yang cerdas pagi hari lalu menjadi bodoh saat sore menjelang. Lalu kenapa ada manusia yang bodoh pada waktu pagi di artikan dia akan terus bodoh hingga sore hari. Mengapa menilai manusia hanya pada satu sudut pandang saja, bukankah manusia adalah makhluk yang istimewa?

***

Sarjana pertanian sudah di dapat, tentulah harapan orangtua adalah agar anaknya dapat kehidupan yang lebih layak daripada mereka. Perusahaan bank swasta Amerika membuka cabangnya di Indonesia dan membuka lowongan pekerjaan di kota bertuah. Saya pun sebagai putra daerah berbekal dengan kemampuan berbahasa asing yang bagus dan kemampuan analisa ekonomi ikut mendaftar hanya untuk menguji wawasan serta mengikuti ajakan teman untuk melakukan pendaftaran.

Satu November saya diterima bekerja di perusahaan Amerika ini setelah lolos seleksi dari seluruh Indonesia saya lulusan dari Pekanbaru. Dilanjutkan sesi wawancara saya ditanya “Apakah kamu mampu?”

“Mampu pak”, jawab saya.

“Orang melayu pandai kah bekerja di Bank ini, Amerika punya ini”

“Jangan, anggap remeh orang melayu!”, kata saya tegas.

“Saya buktikan kepada bapak, saya bukan seperti orang melayu yang bapak duga”, lanjut saya.

***

Saya dapat memahami manajemen amerika ini meragukan kemampuan saya dalam bekerja di bank swasta mengingat saya bukanlah lulusan perbankan melainkan alumni pertanian yang sejatinya bekerja menjadi petani bukan di kantor. Karena, saya berawal dari negeri bertuah. Saya termotivasi untuk bekerja lebih baik dari orang asing yang ada di perusahaan ini.

Senioritas memang sangat kental terasa di perusahaan yang katanya global ini, namun pengelolaannya tetap saja masih seperti kampung. Saya mengusulkan untuk merubah bisnis bank konvensional menjadi bank berbasis syariah. Apa kata pegawai lama lah yang benar, bila pegawai baru berkata kembali kepada kata-kata pegawai lama lah yang didengarkan oleh manajemen. Seharusnya setiap ide untuk memajukan perusahaan boleh datang darimana saja. 

***

April 1998, sepuluh tahun sudah saya mengabdi di perusahaan ini. Jakarta sudah mulai kurang kondusif karena bencana keuangan global yang berasal dari negeri paman sam. Krisis bank tidak mampu membayar bunga dari property dan ketidakmampuan para kreditur membayar kewajibannya kepada bank. 

Puncaknya pada Mei 1998, seluruh kota Jakarta terjadi riot and civil commotion apalagi mereka yang berperawakan seperti jepun dan cina akan langsung dihajar. Saya yang bermata sipit ini pun takut akan menjadi incaran kerumunan. Bos besar yang ternyata telah lebih dahulu mengetahui info dari pagi akan terjadi kerusuhan sudah berada di Singapura, lalu menginstruksikan kepada kami yang masih berada di kantor.

“Surya, kalian pergi ke Hotel Ritz Carlton”

“Bagaimana caranya Pak?” tanya saya

“Tak peduli caranya, seluruh biaya akan ditanggung kantor”, jawab bos besar yang kemudian langsung menutup panggilan telepon.

Tak mungkin pakai jas rasanya keluar dari kantor melihat banyaknya orang membawa kayu, linggis dan senjata tajam di tangannya, kemudian agar selamat kami harus berpenampilan seperti gelandangan yang ada di jalanan Tamrin. Dengan baju robek, wajah yang hitam kami hitamkan dengan pena, spidol dan tinta printer agar wajah kami tidak terlihat seperti mata sipit.

Sore menjelang maghrib pun kami bertiga tiba di hotel seperti pengemis melewati barikade, penghalang dan mobil-mobil yang telah dihancurkan. Hotel ini tidak dimasuki oleh para perusuh karena tentara telah terlebih dahulu tiba mengamankan lokasi. Satpam hotel menolak kami untuk masuk karena mengganggap kami adalah gelandangan. Uang di dompet dan kartu kredit pun kami keluarkan untuk membuktikan bahwa kami punya cukup uang untuk membayar menginap di hotel mewah ini. Setelah berdebat, lalu polisi datang mengambil uang kami dan mengancam bahwa kami akan dimasukkan ke dalam penjara apabila melawan.

“Dasar pencuri” gertak polisi tersebut.

Akhirnya kami pun tidur di jalanan.

***

Bersyukur kerusuhan hanya terjadi dalam waktu dua hari saja, apabila lebih lama lagi maka dapat dipastikan kami akan menjadi gelandangan permanen. Setelah kejadian kerusuhan tersebut perusahaan tidak mengganti kerugian yang kami derita karena tidak dapat dibuktikan berapa nominal uang yang telah di ambil oleh oknum polisi, dan bahkan kami dituntut untuk membayar perusahaan karena tidak menginap di Hotel yang telah ditetapkan untuk kami selama kerusuhan terjadi. “Halo, Bapak tahu bagaimana kami bertahan hidup dari kelaparan selama dua hari yang mencekam itu?”, tanya saya kepada teman-teman kami yang berhasil masuk hotel dengan selamat.

“Tak peduli!”, jawab pegawai lama dengan angkuhnya.

***

Lebih baik mencoba lalu gagal daripada tidak pernah mencoba sama sekali, karena nanti dia akan datang di hari tua dalam bentuk penyesalan. November merupakan bulan terakhir saya bekerja di bank swasta milik Amerika ini dengan logo warna kuningnya. Saya tinggalkan perusahaan amerika lalu menyambung hidup pada perusahaan sawit di Riau.

***

 


Referensi :

  • Cerpen Gawai Gedang karya Yurattia Yudian

  • Cerpen Penabur Ragi karya Ilham Fauzi

  • Cerpen Lelaki Berkubang Air Mata karya Bambang Kariyawan Ys

  • Cerpen Visa Januari karya Benny Arnas

Cerpen Religi 2

BERKURBAN DALAM BIMBANG
By Abdul Rahman
 Barangsiapa yang mempunyai kemampuan, tetapi ia tidak berkurban maka janganlah ia mendekati (menghampiri) tempat shalat kami," (HR Ahmad dan Ibnu Majah).
Mungkinkah ini mampu menjadi cambuk untuk semangat berkurban?
"Pak Kahar, apakah Bapak ikut berkurban di lingkungan sekolah? Saya lihat nama bapak ada dalam daftar tabungan peserta kurban." Ucap bendahara panitia kurban yang duduk disamping Pak Kahar di ruang rapat. Pak Kahar agak gugup menjawab, masih ragu-ragu soalnya. Anggota panitia kurban yang satu ini, mengajarkan bidang studi PAI di sekolah SD IT As-Syukru. Dalam rapat tersebut, bapak kepala sekolah menghimbau kepada semua anggota panitia untuk menyampaikan himbauan berkurban di kelas, dengan harapan selain surat edaran yang dikirim ke wali murid, juga ada ajakan dari para siswa kepada orang tua mereka nantinya, agar ikut bergabung berkuban di sekolah. 
Pak Kahar secara berulang menyelipkan materi semangat berkurban ke kelas yang diajarnya. Guru yang dikenal suka menggunakan metode cerita hikmah dari setiap materinya itu, mendata siapa saja orang tua siswa yang sudah ikut ambil bagian dari ibadah kurban ini. Dia pun menyampaikan dua hadits nabi yang merupakan ajakan dan ancaman tentang berkurban. Guru yang disenangi oleh muridnya yang dikenal ramah dan penyayang ini pun mengirimkan dua potongan hadits rasul tersebut, agar lebih diketahui oleh banyak orang terutama wali murid.
Nabi Muhammad SAW dalam haditsnya telah mengingatkan umatnya tentang perintah berkurban dan ancaman bagi yang tak mau berkurban berikut haditsnya,
Artinya: "Dari Abu Hurairah, "Rasulullah SAW telah bersabda, barangsiapa yang mempunyai kemampuan, tetapi ia tidak berkurban maka janganlah ia mendekati (menghampiri) tempat shalat kami," (HR Ahmad dan Ibnu Majah).
Nabi muhammad juga menyampaikan tentang balasan yang luar biasa buat orang yang berkurban melalui hadistnya,
"Tidak ada amalan yang diperbuat manusia pada Hari Raya Qurban yang lebih dicintai Allah selain menyembelih hewan. Sesungguhnya hewan kurban itu kelak pada hari kiamat akan datang beserta tanduk-tanduknya, bulu-bulu, dan kuku-kukunya. Sesungguhnya sebelum darah qurban itu mengalir ke tanah, pahalanya telah diterima di sisi Allah. Maka tenangkan lah jiwa dengan berqurban." (HR Tirmidzi).
Mendengar penjelasan Pak Kahar tersebut, Zaidan berjanji akan mengajak orang tuanya berkurban di sekolah.
"Pak, kalau seandainya papa saya sudah berkurban di dekat rumah, masih bolehkan daftar kurban di sekolah?" Tanya Zaidan.
"Pertanyaan bagus, ketahuilah wahai anakku, bahwa jika kita mempunyai kelapangan rezeki tidak harus seekor kambing, bisa pula seekor sapi. Ini artinya jika papanya sudah berkurban di masjid dekat rumah boleh lagi berkurban di sekolah atas nama papanya, kakaknya atau atas nama diri ananda." Begitu penjelasan guru favorit mereka itu.
Zaidan pun bertekad untuk mengajak papanya berkurban di lingkungan sekolah. Alhamdulillah atas arahan Pak Kahar di setiap kelas yang dia ajar, ditambah lagi info di group kelas, jumlah peserta kurban terus bertambah.
Pak Kahar ditanya lagi oleh bagian keuangan tentang tabungan kurbannya, apakah akan didaftarkan menjadi peserta kurban tahun ini atau hanya dijadikan tabungan dulu atau ada rencana lain.
Lama Pak Kahar memikirkan pertanyaan tersebut. Dia terus mencoba berdialog dengan batinnya.
"Andai aku tak daftar berkurban, uang sudah ada tersedia, apakah nantinya akan berakibat buruk pada rezekiku atau keselamatan keluargaku? Aku berani menyuruh dan mengajak orang untuk beramai-ramai berkurban, sementara aku sendiri tak ikut berkurban."
Di sisi lain dia juga sadar bahwa sebenarnya uang tabungan itu bukan tabungan kurban, itu adalah uang UKT putrinya yang sudah harus dibayarkan bulan depan. Sengaja dia tabung, karena sering meminjam uang ke bagian keuangan untuk bayar UKT putrinya. Dia sudah segan, akhirnya dia putuskan untuk memotong gajinya walau sangat berat untuk mencukupi kebutuhan keluarga dengan sisa potongan gajinya.
“Apakah jika uang UKT ini dibayarkan ke pembayaran kurban, akan diganti Allah pada waktu yang sangat menentukan?” Dia ingat nasehat yang sering didengarnya dari para mubaligh bahwa jangan pernah ragu untuk berinfaq, Allah pasti akan mengganti dengan 700 kali lipat. Diapun juga ingat kisah nabi Ibrahim yang mengorbankan purtanya, Ismail. 
“Ini tak tanggung-tanggung, kurban nyawa. Apalah artinya dibanding dengan kurban uang UKT, sangat kecil.” Pikirnya.
Dengan bismillah, dia segera menyampaikan ke bendahara, bahwa tabungannya silakan bayarkan untuk kurban tahun ini secara tunai.
Keputusan ini dia lakukan setelah mencoba berdialog dengan batinnya, mengukur kadar imannya dan takut akan risiko orang yang bisanya hanya menyampaikan dan tak mampu mengamalkan. Dia takut akan murkanya Allah.
Tentang tabungan kurban atau UKT hanya dia dan Allah yang tahu, ketika ada temannya yang menyampaikan bahwa dia saat ini sudah mapan dan lebih dari cukup, dia ingin jelaskan, tapi khawatir kalau ucapannya membuat rusaknya ibadah yang sudah diniatkan, diapun hanya bisa tersenyum dan mengatakan, amin kepada siapa saja yang sudah berkomentar bahwa dia sudah mapan.
Sehari sebelum penyembelihan, dia duduk dihamparan lapangan yang luas, disaksikan oleh langit yang sangat cerah dengan cahaya matahari menyala. Dia sedang khusu' mendengarkan khutbah hari raya yang sedang berlangsung.
Penceramah kembali menguraikan pengorbanan Ibrahim yang tiada duanya, tak ada diantara kita yang sanggup melakukan perintah tersebut, khatib juga menjelaskan ancaman nabi bagi siapa yang punya kelapangan untuk berkurban, lalu tak mau berkurban, jangan dekati tempat ibadah nabi, yang tentunya masjid. 
Muncul rasa syukur dalam diri Pak Kahar yang sudah berusaha mengalahkan hanya nafsunya, membuang sifat kebinatangan dalam dirinya, berusaha untuk mendahulukan perintah Allah diatas hal-hal yang lainnya. Walau dia tahu bahwa menuntut ilmu itu juga wajib, dan membayar uang UKT berarti dalam proses menuntut ilmu. Semuanya sudah dia serahkan kepada Allah. Kelak Allah-lah yang akan memberikan keberkahan dan kemudahan untuk anaknya menuntut ilmu.


Buku Bacaan
1. Gema Takbir Bukit Tigapuluh, Raudal Tanjung Jawa Pos,29 April 2023 
2. Pencari cahaya, Indarka PP, Sura Merdeka, 19 Maret 2023
3. Hari-hari Menjelang Kutukan Pak Haji Umar, Baron Yudo Negoro, Koran Tempo,22 Januari 2023
4. Belaian Ibu, DarmanMoenir, Republika, 26 Februari 2023
5. Dua Lelaki, Okky Madasari,Media Indonesia, 20 Januari 2023



Cerpen Budaya 2

RUMAH SEJARAH TERPENDAM
By Abdul Rahman, S.Ag
 Masyarakat yang hebat adalah yang mampu menghargai nilai keberagaman budaya dan melestarikannya. Bagaimana cara Bu Airin memperkenalkan dan menanamkan nilai warisan budaya yang ada?
 Bu Airin bergegas masuk kelas untuk memberikan infomasi kegiatan besok. Anak-anak yang awalnya sedang asyik bercerita dan bercanda, berlari ke tempat duduk masing-masing.
"Ananda semua, terima kasih telah duduk dan tertib. Ibu ingin mengingatkan tentang kegiatan kita besok, kita akan melaksanakan kegiatan filed trip, jangan ada yang telat bangun, jangan sampai ketinggalan bus. Pukul 07.30 WIB kita sudah berkumpul di lapangan." Bu wakasis mengingatkan ke siswa kelas 4. Terdengar suara gemuruh dan pekik bahagia diantara siswa bahkan ada yang melonjak kegirangan. 
 Kegiatan seperti ini adalah hal yang mereka tunggu-tunggu. Belajar di alam terbuka bersama teman dan guru jauh lebih asyik dan menyenangkan bagi mereka dari pada duduk tertib di kelas, lipat tangan mendengarkan guru menerangkan pelajaran.
 Duduk rapi, tertib dan tak boleh mengobrol dengan teman, merupakan suatu hal yang paling menyiksa diri siswa kelas 4 terutama Arfan dan beberapa temannya. Arfan adalah salah satu contoh siswa yang tak betah duduk di kelas. Dia butuh jalan, keliling ke bangku teman, ngobrol dan menanyakan hal-hal yang terjadi di luar kelas.
 Di mata gurunya, Arfan termasuk siswa yang aktif sulit dikendalikan, hampir setiap jam pelajaran, namanya selalu dipanggil. Mulai dari sapaan nada rendah, sedang hingga sampai ke nada tinggi. Bagi Arfan, teguran gurunya seolah menjadi hal wajib terjadi setiap hari tanpa Jeddah. Arfan melonjak kegirangan ketika Bu Airin menyampaikan informasi filed trip tersebut.
“Yeach … Hore… Bebas…”
"Arfan, duduk dulu, ibu belum selesai menjelaskan. Jangan ada informasi yang terlewatkan.” Tegur Bu Airin. Seperti kerupuk yang sedang disiram kuah, Arfan lemas dan kembali ke tempat duduknya. Bu Airin pun melanjutkan penjelasannya tentang kegiatan dan hal apa saja yang harus dipersiapkan, mulai dari kebutuhan makan-minum, alat tulis, hingga mukenah bagi anak perempuan.
Keesokan harinya, para siswa sudah berkumpul di lapangan, sekalipun belum pukul 07.20. Cahaya matahari menyembur ke bumi, seolah ikut bergembira dan mendukung kegiatan mereka. Pukul 07.30 wib, seluruh siswa kelas 4 SD Az-Zahra berbaris di halaman sekolah untuk mengikuti acara pelepasan kegiatan mereka. Mereka mendengarkan pengarahan Pak kepala sekolah. 
 Acara pembukaan dan pelepasan ditutup dengan doa, lalu mereka diarahkan untuk masuk ke bus atas komando Bu Airin, dibantu wali kelas dan guru olahraga. Sepanjang perjalanan mereka asyik mengobrol dan bercanda sambil menikmati lagu yang sudah disuguhkan oleh Pak supir.
 Arfan dan temannya yang lain hampir tak pernah duduk, mereka berjalan di antara kursi yang berjejer, Arfan mengajak temannya untuk benyanyi dan bergoyang yang penting asyik, begitu yang di ucapkan.
 Betapa bahagianya mereka. Tak ada yang menyuruh duduk rapi, jangan ribut dan jangan jalan-jalan. Mereka betul-betul merasa merdeka. Mereka luapkan perasaan senang dan bahagia.
 Di tengah perjalanan penuh suka itu, Nora angkat bicara,
"Bu Airin, Asyifa dimana?" Nora baru menyadari bahwa salah seorang temannya tidak ada dalam bus.
 Suasana yang mulanya heboh menjadi hening. Bu Airin tersentak kaget mendengar kabar Asyifah anak ketua komite tidak berada di dalam bus. Arfan dan teman pun kembali duduk tnpa komando. Mereka saling tanya,
"Jangan-jangan tertinggal di pom bensin tadi, tempat kita isi bensin, karena sebelum singgah di pom bensin , Asyifah ada kok." kata Wandi.
"Mohon maaf, perjalanan kita sedikit terganggu, kita harus kembali ke pom bensin tempat kita berhenti tadi. Ini pembelajaran ya Nak, kalau turun jangan sendiri-sendiri, harus ikut rombongan." Ucap Bu Airin mulai cemas.
  Ketika mereka samapai di pom bensin, mereka tak menemukan Asyifa. Mereka mendapat penjelasan,
“Tadi ada anak yang baju kausnya sama persis dengan yang anak-anak ini pakai, dia menagis, katanya ditinggal bus, kemudian ada yang datang mengajak masuk mobil lalu pergi. Kami kira itu keluarganya yang jemput.” Terang seorang bapak yang berjualan di sekitar pom bensin.
"Bagaimana ini Bu? kemana kita harus mencarinya? Asyifah tak bawa HP, orang tuanya belum membolehkan dia pegang HP walau dalam acara seperti ini.” Arfan mulai komentar.
"Tenang, sekarang mari kita kembali ke bus dulu, dan melanjutkan perjalanan, moga nanti ada informasi yang bisa kita dapatkan dari orang yang amanah dan bertanggung jawab." Ucap Bu Airin menenangkan.
Di dalam bus, mereka semua berdoa dengan khusuk dipimpin oleh ust.Mustafa. mereka pun mendapat tausiyah ringan setelah berdoa dari guru PAI itu. Perjalanan pun dilanjutkan, mereka tertidur setelah mendengarkan tausiyah dari ust Musthafa.
 Bu Airin, sebagai kepala rombongan, melaporkan kejadian tersebut kepada bapak kepala sekolah untuk membantu mencarikan solusi. 
"Ayo, anak-anak turun, kita sudah sampai. Bismillah, kita turun dan berbaris dengan tertib. Jangan lupa membawa peralatan tulis dan papan alas catatan dan yang lainnya silakan tingal saja di bus, insyaallah aman, security kita akan menjaganya.” Ucap ketua rombongan.
"Jadi ini yang disebut-sebut candi Muara Takus, peninggalan sejarah itu?" Arfa dengan lantang berucap. Dia agak heran setelah melihat langsung, terasa berbeda dengan gambar di buku.
Sementara yang lainnya berlari kearah candi untuk melihat lebih dekat, mereka tidak mengikuti untuk berkumpul dan berbaris dulu. Mereka yang berlarian mendekati candi tersebut, meeka langsung ditegur oleh petugas.
"Sabar ya, Adik-adik. Kita harus berkumpul dulu, akan ada pembekalan tentang sejarah candi ini." Ucap salah seorang petugas. Petugas pun mulai menjelaskan tentang sejarah candi Muara Takus.
“Konon kabarnya candi Muara Takus adalah situs agama Hindu-Budha yang erat kaitannya dengan kerajaan Sriwijaya. Candi ini merupakan candi tertua di Indonesia yang diperkirakan berdirinya antara abad ke 4 hingga abad ke 11 Masehi. Kurangnya bukti autentik yang menyebabkan kurangnya riwayat yang pasti tentang kapan berdirinya candi ini. Candi ini terletak di desa Muara Takus kabupaten Kampar Riau. Candi ini terdiri dari candi Sulung, candi bungsu, candi Mahligai dan candi Palangka.” Begitu tuturan bapak yang sudah mulai menua itu.
Siswa sibuk mencatat apa yang disampaikan oleh bapak tersebut, sebagian siswa ada yang bertanya. Kondisi candi Muara Takus ini seperti belum terurus dengan baik. Belum ada tangan kasih dari pemerintah setempat untuk menjadikan daerah ini menjadi daerah wisata sesungguhnya. Dalam bayangan pengunjung, yang namanya daerah wisata itu bagus, indah dan ramai. Namun tidak demikian adanya.
 Candi Muara Takus ini hanya bisa dilihat dan dikelilingi saja, tidak bisa dimasuki atau dinaiki, dengan alasan keamanan. Mestinya ada cagar budaya yang dilakukan untuk renovasi candi ini oleh pihak pemerintah daerah kabupaten ataupun propinsi.
 Para pengunjung, membayangkan bahwa candi Muara Takus itu sama seperti candi Borobudur yang terkenal itu. Apalagi diantara mereka sudah ada yang pergi untuk berlibur bersama orang tua mereka. Arfan, salah seorang murid bertanya kepada petugas,
"Izin bertanya, Pak. Mengapa candi Muara Takus ini seperti kurang menarik? Tidak adakah rencana pemerintah untuk menyulapnya menjadi daerah wisata yang sesungguhnya?"
 Sebelum petugas menjelaskan, Bu Airin pun mohon maaf atas pertanyaan Arfan, sekiranya pertanyaan terlalu lancang dan tidak pada tempatnya.
 Petugas yang memakai baju kemeja panjang, celana panjang dan sarung di lilit di leher itu, malah tersenyum,
 "Pertanyaan itu sangat wajar dan harus dipertanyakan secara luas agar dipahami juga oleh dunia luas, sebab kami disini bukanlah petugas dari pemerintah daerah, kami mendapat amanah dari kepala adat untuk membantu pengunjung untuk mendapatkan pencerahan tentang hal ihwal candi ini sejauh yang kami bisa."
“Oh… jadi bapak belum mendapatkan mandat khusus ya Pak," tanya Arfan yang kelihatan lebih pintar di luar kelas.
 Ketika bapak itu ingin memperkuat penjelasannya, tiba-tiba ada mobil Avanza hitam berhenti tak jauh dari mereka berkumpul. Turun dari mobil itu seseorang yang menggunakan pakaian dinas, lalu disusul oleh orang sangat mereka kenal.
 Mereka bersyukur dan ust. Musthafa bertakbir, atas segala kenikmatan anugrah yang Allah berikan, Allah hantarkan kehadapan mereka, orang yang mereka khawatirkan. Perhatian mereka tertuju melihat kehadiran temannya. 
"Siapa ketua rombongan ini?" Tanya lelaki itu penuh wibawa sambil berjalan ke arah rombongan dengan muka tak bersahabat.
 Bu Airin pun maju ke hadapan bapak itu untuk memperkenalkan diri dan langsung bersimpuh dihadapan bapak tersebut.
"Ini kelalaian saya, Pak. Saya siap dilaporkan, dihukum atau dituntut atas kesalahan ini, saya rela. Saya bersyukur, murid kami bersama malaikat penolong." Ungkap Bu Airin sambil menangis. Dia pun menceritakan historis kejadiannya hinga mereka kembali ke pom bensin.
Melihat situasi seperti itu, lelaki itu merendah,
"Baiklah, lain kali tak terulang lagi, membawa rombongan anak SD harus super hati-hati." Ucapnya ringkas dan menyerahkan anak itu kepada Bu Airin.
Asyifa memeluk erat Bu Airin, dan minta maaf, gara-gara dia, semua menjadi cemas. Kemudian bergabung dengan temannya.
Bu Airin melanjutkan untuk berbincang dengan lelaki itu.
“Maaf Pak, apakah Bapak mempunyai hubungan keluarga atau kenal dengan Asyifah?” tanyanya serius sambil duduk di bawah pohon sambil menikmati es kelapa muda.
 Petugas yang memberikan pengarahan itu mendekati Asyifah,
"Selamat datang, Nak. Ini desa Muara Takus, Allah telah menyelamatkanmu dan kita semua." Ucapnya dan melanjutkan menjawab pertanyaan Arfan.
 Mereka akhirnya menjadi mengerti bahwa Candi Muara Takus ini adalah situs budaya yang terpinggirkan. Mungkin karena data sejarah yang masih diperbincangkan ataukah belum adanya kesepakatan kewenangan dalam penanganan situs sejarah yang tertua di Sumatera ini.
 Walau Arfan dan temannya belum merasa tidak puas dengan kondisi di sana namun mereka mendapat banyak pembelajaran dari sejarah candi Muara Takus ini. 
Lelaki yang memakai pakaian dinas itu mengajak Bu Airin berkeliling, sambil bercerita. Tak perlu waktu lama buat lelaki yang ternyata paman Asyifa itu, untuk bisa dekat dan saling mengungkapkan kisah masing. Ternyata dia adalah paman Asyifah, tepatnya adik dari mama Asyifah.
“Apakah mama Asyifah sudah mengetahui kejadian ini?” Tanya Bu Airin.
“Tenang, Airin. Tak mungkin pula saya membuat resah kakak saya, biarlah nanti di Pekanbaru, kita yang jelaskan.” Paman Asyifa memanggil Bu Airin, dengan sebutan Airin. Mereka semakin akrab, layaknya sepasang kekasih. Es kelapa muda mampu mencairkan pembicaraan mereka sehinga mereka sepakat ke pelaminan
Buku Bacaan
1. Pendir Zapin di Negeri Istana, Listi Mora Rangkuti, 6 Januari 2020
2. Permainan masa kecil, Cerpenmu.com, Naiya Eka Nur Fijannah 14 Februari 2023
3. Janji Anak Jantan, Riau Mandiri.com, 5 Maret 2021
4.Senapan Daun Pisang, UwaisQorni, Cerpenmu, 21 Mei 2021
5. Lestarikan budaya dalam Balutan Busana, Devani Imario Putri, Guru Penyemangat, 4 April 2022


Cerpen Religi 1

Cerpen Religi

Mustajab Tak Berhijab
Karya : YeSa

Petang itu senyap, tak terdengar lagi suara azan maghrib yang biasanya menjadi alarm terakhir untuk anak-anak yang bermain di padang ilalang untuk segera pulang, mandi dan mengaji di Masjid. Namun, tidak dengan suara emak Abdullah. Menggelegar memanggil Abdullah dan adik-adiknya yang telah berkubang lumpur parit lapangan.
"Kenapa emak panggil kami pulang, kan belum azan." Tanya Abdullah.
"Listrik padam, tak akan kau dengar lagi azan pak Tohir tu. Lekas pulang, hari dah nak malam."
"Emak, kami lelah. Bolehkah kami libur mengaji kali ini?" Tanya Abdullah lagi.
"Kalau malam ini kalian lelah dan tak pergi mengaji, besok sepekan kau bersama adik-adik kau ini tak boleh lagi main ke padang. Mau?"
"Tidak… Baiklah, Mak. Kami pergi mengaji."
Emak memang militan, membuat kami menjadi anak yang penuh tekanan. Sesekali aku hendak berteriak. "Aku ingin bebas dan lekas menjadi dewasa." Namun inginku ini membuatku takut menjadi durhaka pada titah emak yang maha benar di atas segala hal di dunia.

***

Walaupun listrik padam, ramai yang pergi mengaji. Karena di masjid ada listrik dari mesin genset. Setelah maghrib berjamaah, Bang Hasan, guru ngaji kami memilih 3 orang dari kami untuk berkisah tentang ibu kami masing-masing. 
"Apa yang paling kalian tidak suka dari ibu kalian?"
"Ibu itu terlalu banyak aturan." Ucap Abdullah.
"Ibu itu kejam, tak bangun subuh kita, dari kasur yang empuk pindah ke ember dingin, basah kuyup dibuatnya." Ucap Adi sambil tersenyum geli.
"Ibu itu tak bisa melihat anaknya senang. Baru main sebentar, sudah disuruh pulang. Mandi lah. Ngaji lah. Kan belum azan." Ucap Syifa bermuram muka.
Bang Hasan lalu menyimpulkan kesan dan derita kami dimarahi emak. Bahwa emak adalah pintu surga bagi anak-anaknya. Bagaimana tidak, tanpa keberadaan wujud emak dengan tugasnya hamil, melahirkan, menyusui, mana mungkin kami ada di dunia ini.

***

Sepanjang jalan pulang kulihat jalanan ini kembali sepi. Walaupun listrik telah kembali menyala, namun ada kesunyian yang jiwaku rasakan setelah mendengar nasihat dari Bang Hasan. "Mungkinkah aku adalah salah satu anak yang disebut Bang Hasan ciri-ciri anak durhaka?". Ah, entahlah.
Suara lirih terdengar memanggil namaku dari kejauhan. Kuberbalik badan dan melihat ke belakang. Bang Hasan berlarian mengejarku.
"Ada apa, Bang? Abang memanggil aku ada perlu apa ya?"
"Begini Abdullah, besok kan dari masjid besar itu akan mengadakan Lomba Final. Besok kau bawalah emak sekali tuk do'akan kau agar menang lomba besok."
"Tapi Bang, itukan lomba azan. Kenapa tak bawa bapak aja bang? Bapak aku dah pulang kalau jam segitu."
"Boleh juga dibawa bapak kau tu. Tapi, do'a emak kau untuk kau mustajab, tak berhijab, dik"
"Baiklah, Bang. Semoga emak lembut hatinya esok malam. Abang tahu lah sendiri. Petang lalu kami dah kena hamun emak gegara lambat balek dan tak mau mengaji."
"Apapun itu, kalau dibicarakan dengan baik, akan baik juga hasilnya. Semangat."
Baru kali ini aku melihat Bang Hasan begitu perhatian dan menganggap penting kehadiran emak dalam aktivitas perlombaan yang aku ikuti. Guru ngaji yang dulu tak begitu peduli seperti ini.

***

Kumelihat emak dengan aktivitasnya di rumah. Emak terlihat sangat lelah. Sesekali emak menyeka keringat dan memijat pundaknya yang mulai penat.
"Emak, besok Abdullah ada lomba final azan di Masjid besar sana, Mak. Mak ada waktu tak tengokkan Abdullah tampil. Abdullah pun ingin emak do'akan Abdullah berhasil besok, Mak."
"Tengoklah besok." Ucap Emak ringkas.
Ya, Allah. Mungkin emak masih marah sebab semalam aku mengeluh tak mahu lagi mengaji. Atau mungkin emak marah sebab aku main tak ingat waktu senja. Entahlah. Hatiku risau tak menentu.
Menjelang Lomba Final azan besok, pagi harinya aku masih berlatih di rumah. Sesekali emak bergumam, "Kurang lantang suaramu." Kukira emak tak peduli. Ternyata emak masih perhatian denganku.
"Emak, dah selesai kerjaan emak hari ini? Ada yang bisa Abdullah bantu, Mak?" Tanyaku basa basi.
"Lain arah angin kutengok hari ini ya." Sindir emak dan melirik tajam padaku.
"Ampunkan dosa-dosa Abdullah ya, Mak. Abdullah ingin emak do'akan usaha Abdullah kali ini, Mak."
"Dapat apa emak mendo'akan engkau?."
"Emak tu suka gitu. Terserah emak aja lah, Abdullah siap taat. Yang penting emak do'akan usaha Abdullah nanti saat Lomba."
"Baiklah. Pegang cakap kau tu ya." Tegas emak dengan wajah penuh curiga.

***

Perhelatan Lomba berlangsung amat megah. Tak hanya dari wilayah kami yang hadir. Dari wilayah yang jauh juga turut hadir. Kudengar suara azan para peserta amat merdu dan aku mulai gentar takut mengecewakan wilayahku.
Bang Hasan pun turut hadir sebagai bagian panitia acara. Bang Hasan sempatkan menyapa emak. Dari kejauhan kulihat mereka berbincang-bincang seolah menceritakan aku. Kulihat dari jauh emak tersenyum dan mengacung jempolnya untuk menyemangatiku. 
Selembar kertas dititipkan seseorang kepadaku dibalik panggung. Ternyata itu tulisan emak. Aku terharu membaca tulisan itu. Dan semangatku kembali menyala untuk memenangkan lomba. 
"Abdullah, emak yakin usaha Abdullah tidak akan mengkhianati Abdullah. Emak do'akan Abdullah menang. Tetap semangat ya, nak. Emak minta Abdullah tampil maksimal. Do'a emak bersama perjuanganmu, nak." Tulis emak pada selembar kertas putih berlipat empat.

***

Diantara piala-piala yang kami peroleh semasa kecil, ada satu piala yang mengingatkanku pada emak. Andai dulu tak kudengar ucapan Bang Hasan. Mana mungkin kubisa melihat betapa emak begitu tulus menumpahkan air mata dan memberi semangat yang membara kepadaku atas keberhasilanku meraih juara 1 kala itu.
Kini emak tinggal kenangan, setumpuk album foto kami semasa kecil, foto emak sangat langka. Satu foto berharga hanya ketika emak menemani aku menerima trofi juara. Benar kata Bang Hasan, do'a emak mustajab tak berhijab. Hingga surat dari emak ketika lomba masih aku simpan rapi dibalik foto itu. Kini hidupku sepi, karena emak pergi dan tak akan pernah kembali.

Pekanbaru, 14 Juni 2023
YeSa singkatan dari nama Yenni Sarinah. Memiliki nama pena Hazimah Khairunnisa’. Seorang jurnalis sekaligus ibu rumah tangga dengan 2 orang putera. Lahir di Selatpanjang pada 14 November 1989 dan telah menyelesaikan Pendidikan di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Islam Riau jurusan Pendidikan Biologi.

Referensi Cerpen Religi 
Merajut Mimpi Sang Tholabul Ilmi - Karya : Andre Abidin
Pertemuan Rahasia - Karya : Khairul A. El Maliky
Makna Sebuah Bait Nadzim - Karya : Nurlintang Panuluh
Sobekan Kertas Kecil - Karya : Asyifa Riyani
Nu'aiman dan Suwaibith - Karya : Putri Kirana Arlani



Cerpen Budaya 1


Cerpen Budaya: 
Warga Kota Sagu
Karya : YeSa

Kota kami terletak di dataran rendah di perbatasan antara pulau Sumatra dan Negara Malaysia. Karena itu, hujan jarang bertandang dan terik di sana seolah-olah bersinar sesukanya. Kadang-kadang pagi, siang, petang atau malam hari, angin kencang datang mengusik dahan pepohonan. Rindukan hujan di tengah kemarau. Adakalanya juga dari pagi sampai malam, ataupun sebaliknya. Bahkan ketika kemarau mungkin sedang meretak-retakkan tanah di kota pesisir laut itu.
Tetapi, karena sejak muncrat ke dunia sudah bergaul dengan cuaca serupa itu, warga kota tak mengumpat ketika angin hangat mendadak beriringan dari seberang lautan, atau hujan tiba-tiba menderap laksana suara kaki puluhan ekor kuda. Paling-paling orang hanya bergumam, seperti menghadapi anak yang nakal: “Ha, sudah turun pula si kaki seribu!” Lalu mereka siapkan tadah-tadah kosong yang sudah sejak kemarin dibersihkan untuk menyambut berkah dari langit, lalu kembangkan payung, melenggang tenang-tenang di atas jalanan basah menuju warung untuk mencari bahan makanan olahan sagu.

***

Betul. Berbagai pemandangan ganjil-lucu yang tidak bersua di tempat lain bisa kau temukan di kota kami kalau Anda suatu ketika berkunjung ke sana. Meski cuaca sedang turun hujan, orang-orang di jalan-jalan kau lihat tidak membawa payung atau apalagi takut hujan, mirip dengan warga kota-kota penuh padang pasir yang pada masa lalu larut akan fatamorgana air yang berlimpah ruah. Tanpa payung itu pula mereka saling melambai dan menyapa. “Woi, apa kabar! Baik? Singgahlah dulu!” 
Seduhan kopi liberika khas wanginya memanggil dengan hangat pemuda yang bersukacita di bawah guyuran hujan. Di mana-mana kau bisa saksikan kaum pria bertelanjang dada, berlarian bermain banjir. Tidak kecuali para tukang becak motor dan tukang gorengan yang duduk mencangkung di pojok-pojok jalan basah dan mulai hadirkan banjir, di belakang lampu temaran mereka menyeruput kopi dan cemilan khas kota sagu, segala jenis olahan sagu. Mie Sagu kuah, mie sagu goreng, Kerupuk sagu, dan sebagainya.
Dan, kalau kau tinggal lebih lama di kota kami, akan ahli pula kau menerka usia perkawinan seseorang hanya dengan melihat cara ia duduk dan cara ia berbicara. Karena, walau kerap mengundang tawa ketika berkumpul di kedai kopi, tapi jarang sekali pria kota kami memiliki logat yang khas. Kecuali, ya, kecuali lelaki-lelaki muda yang asik memegang handphone androidnya. Itu pula sebabnya anak- anak muda kota kami lebih suka pakai bahasa daerah, betapapun elok bahasa gaul dan permainan game online itu, budaya Melayu tak lekang dari gelagat harian mereka.
Hal lain yang bakal membuatmu terheran-heran adalah tukang masak mie sagu. Ya, di kota kami hampir tak dikenal orang istilah pedagang, meski aktivitas seseorang berjualan, berniaga. Tukang kerupuk tak selalu berarti orang yang membuat kerupuk, tetapi juga penjual kerupuk. Begitupun tukang sate, tukang cilor, tukang seafood, tukang rokok, tukang emas, dan seterusnya. Tidak jelas mengapa demikian. Aku juga tidak bermaksud membahasnya. Biarlah masalah ini bagian ahli bahasa, juga sosiolog. Aku hanya ingin bercerita tentang mereka, tukang mie sagu goreng dan penggemar hidangan khas daerah itu.
Sekalipun kota kecil, tukang mie sagu goreng amat banyak di kota kami, seakan-akan sebagian besar orang terpanggil lahir karena bakat itu. Mereka dapat ditemukan di mana-mana sejak pukul lima pagi hingga tengah malam, beberapa waktu setelah bubar wisata taman penuh jajanan dan mainan. Mereka mangkal di emper-emper toko, tikungan-tikungan jalan, muka perkantoran-perkantoran, depan asrama tentara dan polisi, di muka rumah sakit, juga di depan gerbang-gerbang jalan menuju surau dan masjid.
Tukang-tukang mie sagu goreng itu pakai motor matic, duduk berkelumun kantong kresek berisi bermika-mika aneka olahan sagu yang hangat. Sebagiannya masih mendorong gerobak yang lengkap dengan peralatan masak. Mie sagu, Kerupuk sagu, ongol-ongol sagu, cendol sagu, dan berbagai olahan sagu lainnya. Empat atau lima orang diantaranya juga mangkal di muka dua minimarket yang ada di kota kami. Berjajar agak berjauh-jauhan di bawah papan reklame minimarket, tidak saling tertawa layaknya pasangan suami istri dilanda perang dingin.

***

Tentu ada hubungan erat antara tukang mie goreng keliling yang sangat banyak itu dan iklim kota kami yang sebentar dingin karena angin laut pada malam hari dan sebentar panas ketika hujan tak kunjung datang di musim kemarau, serta kegemaran orang memakan mie sagu goreng. Tetapi, apakah itu yang menyebabkan warga kota kami subur-subur, perlu penelitian. Lagi pula, meski lazim satu keluarga punya anak sepuluh, sebelas atau selusin, kota kami tidak pernah sesak karenanya. 
Anak-anak muda segera berangkat melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi atau bekerja di kota lain dan wesel-wesel mereka berlayangan di awal-awal bulan memenuhi kantor pos. Pada hari raya dan libur-libur panjang, pengirim-pengirim wesel yang rajin itu-yang sebagian diantaranya tumbuh berkat uang mie sagu goreng-berlayangan ke kampung halaman menjumpai orangtua dan sanak keluarga. Saat-saat itulah mereka tak lepas-lepas dari mie sagu goreng, tidak ubahnya kekasih-kekasih yang melampiaskan rindu dendam setelah lama berpisah.
Alhasil, tukang mie sagu goreng tetap banyak di kota kami dan orang tak merasa rendah jadi tukang mie sagu goreng. Malah bangga. Dalam jaket kebanggaan mereka pun tercantum bordiran: pekerjaan, tukang mie sagu goreng. Dan, penggemar mie sagu goreng tidak pernah pula berkurang. Bahkan, sesudah lama merantau pun kegemaran itu rupanya tidak hilang. Juga, meski sejumlah anak muda mengalami pengalaman pahit akibat mie sagu goreng. Bertengkar, bahkan divonis putus oleh si gadis karena tersedak seduhan mie sagu goreng ikut menyelusup ke ruang nafas. Namun, selera menyantap mie sagu goreng tak kunjung usai.
Anak-anak muda itu seolah punya prinsip: pacaran boleh putus, makan mie sagu goreng jalan terus. “Habis, memang lain mie sagu goreng kota kita ini,” komentar para suami saat makan mie sagu goreng di malam-malam dingin bergerimis. “Ini, lihatlah!” lanjutnya melempar teri tanjung goreng ke atas meja. Garing, gurih, tak begitu besar. “Di tempat lain gemuk besar kulihat!” 
“Memang,” sahut ibu-ibu di kota kami dengan sigap. “Tetapi, tetap belum ada yang sanggup mengalahkan mie sagu goreng Mak Abdul!”
"Ah, kalau itu, jangan dikata lagi, tiada bandingan!"
"Ya, Mak Abdul adalah maestro mie sagu goreng Selatpanjang!" jawab si istri bersemangat. 
"Ibarat penyair, dia itu Chairil Anwar atau Amir Hamzah. Ibarat pelukis, dia Affandi. Ibarat pencipta lagu dialah Gesang atau Ismail Marzuki. Ibarat…"
"... perempuan ia adalah engkau seorang!" potong sang suami buru-buru dan si istri pun diam sambil tersenyum-senyum. Menyelusup manja ke pelukan suami.

***

Mak Abdul satu dari sekian banyak tukang mie sagu goreng di kota kami. Tokoh ini sangat populer bahkan hingga kini, khususnya di kalangan kaum ibu. Selain karena kualitas mie sagu gorengnya memang di atas rata-rata, perempuan kota kami menyukai perempuan itu karena dia tidak pernah bermuka masam apalagi riya. Sudah barang tentu sifatnya ini mendatangkan ramai pembeli. Tetapi, suaminya pandai dan rajin mempromosikan jualan istrinya sehingga tak kentara benar bahwa makanan ini hampir ditinggalkan zaman.
Agak berbeda dengan orang dewasa, terutama ibu dan kakak-kakak perempuan kami, kami anak- anak justru takut pada Mak Abdul. Mungkin karena tubuhnya gemuk gempal, mata agak terbelalak, dan selalu merah menyala. Kerudungnya pun selalu berwarna merah darah. Juga karena dia “berisi”, punya ilmu. Suatu kali kawan kami si Atan menghajar anaknya hingga babak belur. Anak itu lari pulang menggerung-gerung dan telinga si Atan pun disentil Mak Abdul. Berhari-hari daun telinga kawan kami itu gembung-bengkak kemerah-merahan. Orang juga mengatakan Mak Abdul tidak lagi bermain silat dengan manusia melainkan dengan harimau, tanda ilmunya tinggi. Kedua makhluk itu konon melakukannya malam-malam di pinggir kota usai Mak Abdul berjualan.
Mak Abdul adalah satu-satunya tukang mie sagu goreng yang tidak berpaut di pangkalan saat berjualan. Jam dagangnya juga berbeda dengan tukang mie sagu goreng yang lain. Biasanya, dia keluar sesudah subuh dan akan berakhir kira-kira pukul dua malam menjelang pagi ketika udara mulai sejuk. Begitu keluar rumah di pangkal pagi itu orang tidak akan menemukannya di tempat ramai seperti di muka minimarket atau kawasan pasar. Dengan kerudung merah darah itu-itu juga, dan gerobak dorongnya, dia dan suaminya susuri jalan-jalan kota dengan karung goni berisi mie sagu mentah yang belum diolah di atas atap gerobaknya. Seolah ringan saja karung goni itu. Tenang- tenang saja dia melangkah, mendatangi calon pembeli. Dialah penemu sistem jemput bola dalam berdagang mie sagu goreng di kota kami.

***

Makin malam, kian gencar pula Mak Abdul mengembara menyusuri pelosok-pelosok kota. Juga ke pojok pelabuhan harapan raya, pantai dorak, dan Taman Cik Puan yang merupakan sentral berkumpulnya banyak orang di kota kami. Suara serta bunyi mangkok ayam yang diketuk senada dengan gelas kaca disampingnya berirama memecah udara: “Teng-teng-ting, teng-teng-ting, mie sagu goreeeng...! Teng-teng-ting, teng-teng-ting, mie sagu goreeeng…!”

Pada larut malam yang dingin berangin itu Mak Abdul beserta suaminya benar-benar menjelma jadi polisi berjalan sekaligus penjaga kota kami. Pencuri-pencuri mengurungkan niat mereka yang buruk mendengar suaranya. Orang-orang terbangun, ingin makan mie sagu goreng. Pasangan-pasangan yang tengah bertengkar terhenti. “Hah, itu Mak Abdul!” ujar si suami.
“Beli dulu mie sagu gorengnya.” 
Anak-anak muda yang sedang begadang menyongsong kedatangannya dengan girang: “Tiga pinggan, Mak Abdul!” Dan, sewaktu pesanan mereka dimasak, tangan anak muda itu menyelusup ke kaleng kerupuk, meraup Kerupuk udang bukan hanya sekali. Tetapi, itu biasa. Semua pembeli melakukannya dan semua tukang mie sagu goreng membiarkan saja.
Dan, pengantin-pengantin baru, yang memang tak tidur-tidur di tengah malam buta itu, berpandangan dan saling tersenyum mendengar suara Mak Abdul mendekati. Bergegas mereka benahi diri, tegak menanti di ambang pintu. Rambut nyonya muda yang hitam subur tergerai hingga pinggang, harum bercampur peluh, berkibar-kibar ditiup angin malam, di balik mukenah panjang transparan.
“Mak Abdul!”
“Yeee, sayee!” Tukang mie sagu goreng itu menghampiri ke makhluk elok itu. Dengan kerudung merah darah yang itu-itu juga.
“Dua pinggan saja ya, Mak Abdul. Beri teri tanjung lebih sikit, mak.”
“Yo! Eh, cukupkah dua pinggan?”
“Hi-hi-hi. Cukuplah. Hanya berdua.” Dan, tangan-tangan mungil itu menyusup pula ke kaleng kerupuk yang hangat menarik beberapa keping Kerupuk udang yang baru digoreng. Kemudian, sambil bercengkrama serta menikmati mie sagu goreng berdua-dua di larut malam itu, pasangan-pasangan itu menyimak suara Mak Abdul dan bunyi mangkok ayam dan gelas kaca yang berdenting itu menjauh. Semakin jauh, lalu sayup-sayup diantarkan angin malam melalui kisi- kisi jendela.

***

Tetapi, pada suatu malam, ketika ramai-ramai di tahun 2010, cuma sebagian warga kota yang mendengar suara dan bunyi mangkok ayam dan gelas kaca berdenting itu. Warga yang lain tidak. Besoknya, seluruh warga kota tidak mendengarnya. Padahal, sudah mereka tunggu-tunggu. Dan besoknya lagi, kota kami gempar tak alang kepalang. 
“Masya Allah,” kata ayah bagai orang kedinginan.
“Padahal, tahu benar aku, mata si Mak Abdul itu merah hanya karena menukar siang dengan malam!”

Tukang mie sagu goreng itu ditemukan orang tergeletak di tepi parit. Ada sebelas bekas bacokan merobek kerudung merah darah dan tubuhnya. Tujuh lubang peluru pada dada suaminya. Kaleng kerupuk berisi uang entah dimana. Tetapi, justru setelah ia tak ada lagi namanya terus jadi buah tutur warga kota kami, bahkan hingga kini. Orang-orang akan mencela tukang mie sagu goreng bila mienya tidak enak atau dia bertingkah. “Huh, tak serupa Mak Abdul!” ujar mereka.
Karena itu, Anda pun akan terheran-heran menemukan banyak tukang mie sagu goreng di kota kami yang berkata kepadamu: “Ha, mie sagu enak ini! Tak sembarangan kuali buat memasaknya. Belilah. Cobalah. Tidak bakal menyesal. Delapan tahun saya belajar memasak mie sagu goreng pada Mak Abdul!” Anda melongo heran karena Anda toh tidak kenal siapa Mak Abdul. Dan, mungkin juga tidak mau tahu.

Pekanbaru, 14 Juni 2023

YeSa singkatan dari nama Yenni Sarinah. Memiliki nama pena Hazimah Khairunnisa’. Seorang jurnalis sekaligus ibu rumah tangga dengan 2 orang putera. Lahir di Selatpanjang pada 14 November 1989 dan telah menyelesaikan Pendidikan di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Islam Riau jurusan Pendidikan Biologi.

Referensi Cerpen Budaya
Di Ujung Pantai Selatan - Karya : Galina Shopia Rizky
Yogyakarta - Karya : Muhammad Rahmanuddin Dinejad
Menjadi Seorang Dalang - Karya : Nabilla Shafira
Senampan Daun Pisang - Karya : Uwais Qorni
Geleng Geleng Rapai Geleng - Karya : Raihan Khaira


Cerpen Sosial 5

Main Saham
Cerpen Malin Batuah


PERNAH tidak kalian mempunyai barang-barang yang kalian miliki bertahun-tahun? Yang dicari dengan niat, dibayar dengan menabung berbulan-bulan, dirawat supaya awet dan umurnya bisa panjang. Bayangkan apabila tiba-tiba kalian harus kehilangan itu semua karena sebuah permainan. Sebab main saham.
  ***
Saya hidup bertetangga dengan berbagai jenis latar belakang kehidupan sosial. Rata-rata hidup dengan pendapatan sesuai UMR bahkan banyak yang dibawah itu. Taraf menengah ke bawah karena profesinya sebagai kuli, dan orang di pasar, kecuali ada satu komplek perumahan di ujung jalan Umbansari, Rumbai yang mana mereka semua kaya raya. 

Ayah saya yang sebagai kuli bangunan memotivasi saya untuk menjadi kaya namun ingat untuk merasa cukup, dan berhati-hatilah. Kadangkala, kaya itu seperti minum air laut, semakin diminum, semakin haus.
***
Tamat kuliah jurusan Komputer, saya pun hendak mendaftar menjadi abdi negara, namun takdir berkata lain. Allah memilihkan saya untuk bekerja di perusahaan teknologi rintisan yang berlogo hijau dan mengabdi disana lebih kurang sepuluh tahun. Hingga akhirnya saya berkesempatan bertemu dengan para pensiunan dari Bapak-Bapak komplek perumahan yang kaya raya itu. Kesempatan itu, saya manfaatkan untuk menimba ilmu apa rahasianya agar bisa tajir melintir seperti mereka.

“Sudah ya Pak Komputernya sudah oke ini”

“Terima kasih dik Surya”

“Sama-sama Bapak. Izin bertanya, kalua boleh”

“Silahkan dik, mau bertanya apa?”

“Apa resepnya jadi kaya raya pak?”

“Kami investasi saham dik”

Lalu Bapak-bapak tersebut merekomendasikan group telegram yang isinya adalah tawaran investasi yang bisa berkali-kali lipat pengembalian bahkan mengalahkan deposito. Benar-benar sangat bagus dan saya yang sangat bercita-cita untuk menjadi tajir melintir pun mengikuti arahan dan petunjuk dari Bapak-Bapak tersebut.
***
Rekomendasi yang diberikan dalam group telegram tersebut ternyata benar dan terbukti 100%. Hampir tidak ada risiko. Saya pun menambah lagi modal untuk main saham. Dalam waktu kurang dari 2 tahun, Alhamdulillah saya pun dapat membeli Villa di Rumbai, mobil lamborgini, jam tangan rolex. Kemudian saya, jalan-jalan dengan ayah saya keliling dunia. Selanjutnya Bapak-Bapak yang membimbing saya dalam main saham pun merekomendasikan untuk menggadaikan harta saya bahkan berhutang untuk mendapatkan asset yang lebih banyak lagi. Saya pun mengikutinya karena percaya akan group rekomendasi tersebut. Saat saya akan menandatangani surat hutang piutang, ayah saya melarang dan mencegahnya.

“Surya!, Pikir lagi”

“Sudah ayah, kita akan semakin kaya”

“Ayah memang tidak berpendidikan seperti dikau, tapi ini semua terasa aneh”

“Tidak ayah, ini semua sempurna”.
***

Keadaan perekonomian dunia baik-baik saja, Indonesia pun tidak ada kerusuhan. Namun saham ku nilainya semakin turun terus, merosot tajam hingga aku pun tak sanggup membayar hutang piutang dan semua asset ku yang berharga semuanya disita dan aku pun jatuh. Terpuruk. 
***




Bekerja di perusahaan rintisan berlogo hijau memang membuat saya sangat senang. Banyak orang-orang menginginkan untuk dapat bekerja di tempat saya ini. Bertempat tinggal di daerah cluster mewah, punya mobil mewah, dapat jalan-jalan ke lima benua. Makan makanan berbintang Michelin, namun itu dulu. Sekarang semua itu harus saya tinggalkan karena tidak mengenal kata cukup untuk mengejar ambisi memiliki seluruh yang ada di dunia ini.

Villa Rumbai yang dekat perusahaan minyak, mobil lamborgini dan barang-barang mewah lainnya saya lihat untuk terakhir kalinya dan saya pun berangkat menuju Pelabuhan Sei Duku untuk pergi meninggalkan asset berharga yang saya kumpulkan berbulan-bulan harus diambil oleh kreditur. Sedih tentu saja.
***
“David, kamu jangan seperti ayahmu, Surya ya”, kata ayah saya kepada cucunya.


Referensi :
Cerpen Pasar Malam karya Buya Hamka
Cerpen Rubuhnya Surau Kami karya A.A Navis
Cerpen Parang Patah karya Benny Arnas

Cerpen Lingkungan 5

Pengangguran Beruang
Cerpen Malin Batuah


SEPERTI bumi yang mengalami musim semi, musim panas, musim gugur dan musim dingin, begitu juga hidup. Ada musim di mana kita menabur benih, ada musim di mana kita menuai buahnya. Ada musim di mana kita berguru, ada musim di mana kita menjadi guru. Ada musim menjadi pekerja, ada musim menjadi pengangguran.
***
Ada tempat untuk minum kopi yang enak di daerah Panam ini dahulu, namanya Tungkop Kopi. Ada musim untuk segala sesuatu. Ada musim menabur, ada musim menuai, proses dihadirkan sebagai bagian dari perjalanan. Bukan untuk dilompati tapi dinikmati. Pemiliknya bangkrut karena bermain saham.


Bertumbuh bukan berarti harus selalu berhasil
Bertumbuh bukan berarti menjauhi kegagaln
Bertumbuh adalah belajar dari semua situasi, baik keberhasilan maupun kegagalan

Kamu tidak bisa membuat seorang bayi dalam waktu satu bulan dengan menghamili Sembilan Wanita

Referensi :
Cerpen Mancokau karya Bambang Kariyawan Ys
Cerpen Bakaroh karya Yudi Muchtar
Cerpen Langkah Lama karya Pamula Trisna Suri

Cerpen Sosial 4

Tema Sosial
Metamorfosis Tak Sempurna
Karya : Sri Handayani 

Pernahkah kau perhatikan dia selalu ingin menjadi seperti kupu-kupu? Mengangkat derajatnya dari sebentuk ulat tanpa tulang, lalu terbang dengan sayap indah. Mengitari ranum bunga-bunga mencari madu. Namun, lupa dengan prihatin kepompong. Asik memamah sebagaimana ulat menghabiskan pucuk-pucuk. Sibuk mengisi perut dan perut.
Tidakkah ia lebih mirip seekor kecoak? Dari yang hanya kecil kemudian membesar di selokan-selokan. Perubahannya hanyalah fisik, tapi hatinya tetaplah kotor dan bau. Ya! Dia lebih cocok menjadi kecoak dengan kebohongan dan kecurangan sebagai sayap-sayap yang menyebarkan aroma busuk!
***
“Kemarin Bu Lurah pulang dengan tentengan besar-besar. Sepertinya habis shopping lagi,” entah kenapa kali ini pertanyaanmu membelok setelah melihatku sibuk meracik bahan-bahan jamu.
Kuiyakan sambil terus berkutat melumat kunyit-kunyit di dalam lumpang. Dentingan dasar kayu bertalu seperti ingin menenggelamkan suaramu. Tak ingin hilang konsentrasi, kupegang alu dengan dua tangan mengarahkan pada tumpukan kunyit setengah hancur. Mata terpusat pada dasar lumpang, tangan terus mengayun naik-turun.
Matamu awas menatap ritme gerak tanganku.
Sejak suaminya diangkat dan memenangkan pemilihan, bu lurah begitu antusias memesan jamuku. Katanya ia perlu perawatan khusus tidak hanya dari luar, tapi juga dari dalam tubuh. Tentunya tidak hanya jamu, menu makanan dan selera pakaian bu lurah pun berubah. Perawatannya sekarang terlihat semakin-semakin saja. 
Kami memang pernah satu kelas waktu SD. Namun, tak sampai kenal akrab. Karena rupawan, ia tak sempat melanjutkan sekolah. Keburu dipinang pak lurah yang kepincut dengan ayu parasnya. Pak lurah dengan latar kemapanan, tentu sangat sayang jika ditolak. Mereka pun menikah dan memiliki 3 anak.
Campuran jamu pesanan Bu Lurah sudah kuhapal di luar kepala. Empu kunyit, sedikit jahe, manjakani, asam jawa. Tidak terlalu manis dan sudah tentu dengan campuran gula aren asli. Perasan jamu dengan air matang lalu dipanaskan selayang tak sampai pecah. 
Lain waktu berganti dengan kunyit asam sirih dicampur dengan perasan bunga kenanga atau melati. Bu Lurah menyebut ia mendapat resep campuran ini dari internet di telepon pintarnya. Sekarang ia terlihat begitu piawai memainkan gawai dan media sosial.
“Namamu tak tercantum lagi?” 
“Sepertinya aku harus menjadi lebih miskin agar bisa tembus bantuan apapun dari pemerintah,” suaramu berubah seperti desau daun-daun sawit hingga membuat konsentrasiku buyar.
Mengangkat kepala dan meletakkan perasan jamu setengah jadi di seberang meja tempatmu duduk. Kulihat gurat lelah dan perih di matamu. Tampak gugatan berakar tertindih ketidakberdayaan. Kau perhatikan pias wajah pada pantulan perasan kunyit itu adalah rupamu saat ini.
Kau seperti melempar ingatanku pada hari-harimu terdahulu. Menikah karena utang budi. Lelaki dengan perangai tak selayaknya seorang suami itu justru membuat penatmu bertambah-tambah. Puncaknya suamimu pergi tanpa kabar. Meyatimkan satu bocah yang masih ingusan . 
Waktu berlalu dan kapling itu tak lagi mampu menampung kebutuhan. Kau berkeras anakmu harus tetap sekolah agar memiliki gambaran hidup masa depan. Wajar karena sempitnya ekonomi saat ini kau turut cemburu. Kerabat Bu Lurah hilir mudik mengangkat sembako bantuan. Tak selang berapa bulan, kembali dengan kartu-kartu sakti pencetak uang. Bahkan bu lurah sudah dua kali menggelar kenduri besar kawinan anaknya. Dan kau hanya bisa memandang dengan perasaan teremas. Berdamai dengan impitan kemiskinan yang seolah milikmu sendiri.
"Cobalah bicara langsung dengan Pak Lurah." 
"Lalu apa setelah bicara dengan Pak Lurah? Mencarinya saja seperti mencari jarum dalam jerami," dengusmu kesal.
Sebenarnya kau sudah berusaha. Mengumpulkan berkas-berkas persyaratan yang juga cukup rumit kau urus di kantor desa. Namun, belakangan pak lurah sangat sulit ditemui. Para pegawai kantor desa hanya bisa memberikan info, tapi kehadiran pak lurah sulit diprediksi. 
"Kau terlihat akrab dengan Bu Lurah. Katanya kau dapat sembako dan bantuan penjualan. Apa ini ada hubungannya dengan jamu yang kau buat? Kau beri pengasih?" kini sorot matamu menghakimi.
"Haha! Jangan karena materi lalu tumbuh kesumat dan syak di hatimu. Aku penjual jamu, bukan dukun! Aku dan Bu Lurah hanya teman sekilas masa kecil. Sekarang tak lebih sebatas penjual jamu dan pelanggan."
Kilat gugat di matamu meredup. 
Selain kebutuhan keuangan, aku tau ada keadilan yang ingin kau suarakan. Masa-masa begini wajar jika ekonomi semakin sulit. Naiknya bahan kebutuhan pokok dan minimnya lapangan kerja menjadi tersangka utama. Kabar turunnya bantuan dari pemerintah seperti hujan di musim kemarau. Memberi sejuk dan menumbuhkan benih-benih harapan baru penyambung hidup.
Sebagaimana yang sudah-sudah, bantuan turun hanya tinggal kabar saja. Sudah terbagi dan tak ada yang tersisa. Informasi persyaratan sesayup sampai. Entah terputus di mana. RT bilang sudah cukup, RW bilang kurang ini. Sampai di kantor kelurahan harus ada itu. 
Pernah Bu Lurah mengunci opini dengan ketidaklengkapan berkas. Tak lupa menegaskan bahwa yang dapat benar-benar memenuhi syarat. Ia mengatakan tepat saat tak sengaja aku memergokinya sedang bersama orang asing. Ia juga berjanji meloloskan namaku untuk satu bantuan khusus. 
“Bapak punya banyak kenalan orang dinas. Sudah banyak pihak yang minta bantuan Bapak. Aku bisa meminta beliau memesankan satu tempat untuk promosi jamu yang kamu buat,” kedip mata bu lurah saat itu penuh arti.
Pernyataannya bukan isapan jempol. Tak lama aku mendapat satu paket sembako langsung dari bu lurah saat mengantarkan pesanan jamu. Tentu dengan catatan, ini hanya aku dan dia yang tahu. Namun, pada akhirnya ini bukan rahasia. Ia juga memberikan satu kontak orang dinas yang bisa kuhubungi terkait penjualan jamu. Saat itu aku bergeming. Bimbang dengan nasib sembako dan kartu nama. Lalu kuletak asal di keranjang jualan.
Lain waktu, ada saja yang iseng memuji kecantikan bu lurah. Tanpa segan, bu lurah berkisah. Gelangnya emas murni, baju-baju keluaran terbatas, belum salon, dan tempat-tempat makan. Tak lupa dibeberkan harga-harga fantastis. Belum katanya beliau dapat hadiah-hadiah yang mahal. Bu Lurah sedang bermetamorfosis. Namun, seingatku tak seindah kupu-kupu karena tingkahnya bahkan menggelikan!
Sebelum senja benar-benar purna, kau pamit dengan perasaan luka. Kuselipkan selembar hijau yang awalnya kau tolak, lalu aku memaksa dan matamu mengeluarkan kaca-kaca.
Setelah punggungmu menghilang, kuperhatikan lagi jamu-jamu yang sudah tersusun rapi di botol. Tinggal menyiapkan diri dan segera meluncur ke rumah bu lurah. Mengecek kembali jumlah pesanan dari aplikasi androidku. Akan tetapi ….
***
Aku mematung di luar pagar. Tak jauh dari mobil kedinasan di depan rumah bu lurah. Beberapa warga menyaksikan dari pintu-pintu rumah mereka sambil melihat satu tayangan di ponsel pintarnya masing-masing. Ada yang terang-terangan menonton di halaman rumah dengan gawai di tangan, serta mengabadikan momen.
Mula-mula tampak yang digiring Pak Lurah. Ekspresi raut mukanya sulit ditebak. Menyusul satu orang perempuan berhijab dengan muka tertutup masker yang kuperkirakan bu lurah. Tatapan matanya langsung mengunci netraku seakan menyampaikan kekesalan.
“Kau yang sengaja membeberkannya, kan? Memang tak tahu terima kasih!”

=Selesai=

Catatan:
Lumpang = lesung
Alu = antan


Cerpen Inspirasi
Kiai Amplop karya Sam Edy Yuswanto
Keranda Jenazah Abah Karya Olyrinson
Seragam karya Patrick Kellan
Warung Yu Supi karya Artie Ahmad
Kotak Amal karya Ramli Lahaping


Sejarah, Akar Masalah, dan Cara Islam Tuntaskan HIV/AIDS

*Sejarah, Akar Masalah, dan Cara Islam Tuntaskan HIV/AIDS* Oleh: Yenni Sarinah, S.Pd (Aktivis Pendidikan Kelahiran Selatpanjang, Riau) ...