Senin, 19 Juni 2023
Cerpen Religi 5
Cerpen Budaya 5
Cerpen Budaya 4
Cerpen Religi 3
Ria
Cerpen Malin Batuah
DUNIA ini tidak dibagi antara yang lemah dan yang kuat. Dunia ini terbagi antara pembelajar dan yang tidak belajar. Kebahagiaan yang paling besar bagi saya adalah berubah menjadi pribadi lebih baik dari hari ke hari. Paham dengan kekuatan, kelemahan, bias dan menikmati apa yang saya kerjakan. Sakin bahagianya saya, anak sulung yang lahir saya berikan nama Ria.
***
Setiap kita melakukan kebaikan, kita dituntut untuk tidak mengumbarnya takut akan muncul sifat ria. Ria lahir ke dunia pada zaman kebaikan itu harus diperlihatkan, agar manusia tahu akan kebaikan-kebaikan yang telah dilakukan karena tidak mudah hidup menjadi minoritas di negeri sakura. Khususnya tinggal di negeri mayoritas berurusan soalan dana haruslah terlihat dalam hal pemberian agar kita tidak disangka kedekut.
***
Saya merantau ke negeri sakura karena jurusan pekerjaan yang saya ambil hanya ada di beberapa negara. Tidak ada jurusan ini di tanah kelahiran saya, kota bertuah. Jurusan Nuklir. Kontrak sebagai seorang tenaga kerja asing di sini memakan waktu yang sangat lama, bahkan dari saya bujang. Namun untuk bagian liburnya pun sama panjangnya yakni satu sampai tiga bulan.
***
Tempat-tempat ibadah disini sangat dijaga dengan sangat baik dan seluruh masyarakatnya menyibukkan diri dengan bekerja bahkan lebih dari delapan jam sehari. Bahkan sampai hanya menumpang istirahat di rumah untuk kemudian bekerja kembali esoknya. Sampai saya tidak senang adanya anak-anak, karena mereka hanya membuat suara bising yang membuat saya tidak bisa fokus untuk beraktivitas ketika berada di rumah dan di tempat-tempat umum.
Rumah dinas yang miliki disini saya pesankan kepada arsiteknya untuk tidak ramah anak seperti taman bunga sengaja dibuat berlubang-lubang, lalu tangga naik ke lantai sengaja dibuat tidak ada pegangan dan tidak kokoh pijakannya agar bisa langsung jatuh ke samping yang disampingnya ada jurang tempat sampah. Sehingga setiap kawan-kawan yang datang membawa anaknya tidak perlu merepotkan diri untuk berkunjung ke rumah saya.
***
Sampai waktunya pun tiba. Kalimat ajaib itu pun datang juga.
“Kapan nikah?”
“Insha Allah”
“Anak ibu sayang, Surya sudah mau kepala empat. Jangan sibuk kerja terus saja.”, nasehat ibuku saat aku berkunjung ke rumahnya semasa libur.
“Dengan gadis sakura pun tak apa-apa yang penting satu keyakinan dengan kita”
“Baik Bunda”.
***
Sebenarnya saya enggan untuk menikah, namun karena nasehat dari ibu yang tak pernah saya bantah hingga nafas ini masih berhembus. Saya ikuti karena saran dari ibu memang benar dan masuk akal setelah saya istikharah dalam beberapa kali sholat malam.
***
Bertemulah saya dengan Sinta, gadis negeri sakura yang satu keyakinan dengan saya sesuai amanah dari ibu saya sebelum wafat. Sepulang dari libur bekerja kemarin merupakan pertemuan saya yang terakhir ibu saya dan amanah beliau segera saya tunaikan. Namun sayang sekali, bunda tidak dapat bertemu dan melihat cucunya yang cantik, Ria.
***
Tak terasa sudah 15 tahun usia, Ria. Saat hari Festival Olahraga Sekolah di Undokai, Ria pingsan. Saya yang mengetahui hal itu, saya kelabakan mendapati anak saya pingsan. Tidak bisa berbuat banyak sebab terdapat peraturan wali yang hadir tidak boleh interaksi dengan siswa.
Meski demikian, saya bersyukur sebab teman-teman dan guru Ria yang perempuan dengan sigap membantu.
Referensi :
Cerpen Motah Tanaku karya Yendra Chen
Cerpen Menjadi Mercusuar karya Benny Arnas
Cerpen Lubuk dan Pelabi karya Ahmad Ijazi H
Cerpen Hanya Firman Tuhan karya Adizamzam
Cerpen Religi 4
Gulungan Uang
Karya : Febrio Rozalmi Putra
Cahaya kemerah-merahan muncul dari ufuk timur. Pak Marjo mendorong gerobak tua menuju TPS (Tempat Pembuangan Sementara). Di kepalanya terpasang sebuah senter. Hiruk pikuk suara kendaraan belum terdengar, belasan orang berkumpul di sepanjang tumpukan sampah pinggir jalan Soekarno Hatta, Pekanbaru.
Pak Marjo dan pemulung lainya mencari barang bekas yang bisa untuk dijual, seperti plastik, besi, kertas, atau kardus. Ia harus cepat dari pemulung lainya. Tiap bungkusan sampah ia buka, berharap ada barang yang bisa ia rupiahkan. Selain itu ia juga dikejar waktu. Karena pukul setengah tujuh, mobil dinas kebersihan kota akan membawa semua tumpukan sampah itu ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir).
Pekerjaan ini sudah ia lakoni lebih dari lima tahun. Ia tidak ada pilihan. Sejak ditinggal istri tercinta, yang telah menghadap pada Allah dan dua anaknya pergi merantau untuk mengadu nasib. Kepalanya yang memutih dan kulit yang keriput, membuat orang enggan untuk mempekerjakannya. Ia berpantang untuk menunggu belas kasihan orang atau meminta-minta untuk dikasihani. Selagi jiwa dikandung badan, selagi kesehatan memungkinkan, ia akan berusaha untuk mencari uang.
Dua bulan lagi, umat Islam akan merayakan kemenangan kedua setelah Idulfitri. Pak Marjo membaca pengumuman biaya hewan kurban di Masjid tempat ia tinggal. Biaya kurban sapi untuk satu orang dipatok dua juta sembilan ratus ribu, sedangkan untuk kambing dua juta tiga ratus ribu rupiah. Tahun lalu Pak Marjo gagal ikut berkurban, ia bertekad tahun ini harus terlaksana.
Hari-hari ia semangat mencari barang bekas. Demi ikut berkurban. Hanya hujan yang bisa membatasi tubuhnya yang tua itu untuk berangkat mengelilingi rumah warga, mencari rongsokan yang bernilai baginya. Selain itu ia berhemat. Ia membeli makan siang tanpa lauk, hanya nasi dan sayur. Untuk mencapai tujuan yang kita impikan, semua terasa ringan dan penuh keikhlasan. Apalagi itu tujuan dalam menjalankan perintah agama.
Cahaya temaran lampu lima watt, menerangi tempat peristirahatan Pak Marjo yang beralaskan kasur palembang itu. Ia menghitung lembaran uang tabunganya. Ia senyum sambil mengikat uang itu dengan karet.
Suara pukulan pintu terdengar jelas dari kamar Pak Marjo.
“Pak Marjo… Pak Marjo… Pak… tolong saya, Pak!” kata Pak Mardi dengan napas yang tak beraturan dan wajah cemas.
“Kenapa, Pak?”
“Anu…anu, Pak. Istri saya sakit. Jantungnya kumat lagi. Boleh saya pinjam uang, Pak. Saya mau bawa dia ke rumah sakit, tolong…tolonglah, Pak!”
Pak Marjo terdiam. Ia tak ingin berbohong, dengan mengatakan tidak punya uang pada Pak Mardi tetangganya, teman satu profesi dengan dia itu. Tapi ia juga tak mau gagal lagi ikut berkurban tahun ini. Pak Marjo melihat wajah Pak Mardi. Ia teringat almarhumah istrinya. Istrinya meninggal dunia karena terlambat dibawa ke rumah sakit. Ia bisa merasakan perasaan Pak Mardi.
“Pak Mardi, saya tidak ada uang untuk dipinjamkan, Pak.” Penolakan itu terasa pahit bagi Pak Mardi. Ia pulang dengan wajah kesal.
Matahari bersinar terik, Pak Marjo berdiri di belakang rumah. Bayangannya tepat berada di bawah kakinya. Ia memasukkan semua barang bekas hasil memulungnya beberapa hari ini ke dalam karung besar dan menumpuknya ke gerobak. Ia akan menjualnya.
“Berapa kilo semua punya saya, Pak?” tanya Pak Marjo sambil melihat timbangan.
“Sebentar, saya hitung.”
Pak Marjo senyum melihat kertas kecil yang ia terima. Dalam kertas itu terinci berat dari kardus, besi, dan botol plastik miliknya yang baru saja ditimbang. Pak Marjo menolehkan pandangannya ke kumpulan barang bekas yang menggunung di sekelilingnya. Ia menunggu untuk menerima uang.
Hasil penjualannya kembali ia gabungkan dengan uang simpanan itu dalam ikatan yang berbeda. Pak Marjo membaringkan raganya untuk sejenak beristirahat. Matanya terfokus pada sebuah foto yang ada di dinding. Ia berkaca-kaca. Dia merindukannya. Impian terakhir belum terwujud. Ia pernah berencana dengan istrinya untuk bisa baik haji. Memang nekat. Tapi Pak Marjo menawar impian istrinya itu dengan ikut memeriahkan Iduladha di tanah air saja. Dengan seekor kambing atau seekor sapi yang dipertujuh. Impian itu terkubur dengan raga istrinya hingga kini.
“Pak Marjo, Pak…,” teriak Bu Dewi dari luar rumah.
“Siapa yang menggangu di siang bolong ini?” ucap Pak Marjo sambil berjalan keluar dari kamarnya.
“Pak, bantu saya Pak, besok anak saya akan ujian, ia belum bayar uang sekolah, bantu pinjamkan saya uang Pak,” wajah Bu Dewi memelas.
Pak Marjo tempat para tetangganya untuk mengadukan desakan hidup. Karena tetangganya tahu, jika Pak Marjo tidak ada lagi kebutuhan seperti menyekolahkan anak, memberi belanja istri, dan lainnya. Para tetangganya sudah biasa meminjam uang padanya. Walau tak dapat sepenuhnya minimal Pak Marjo akan meminjamkan separuhnya. Tapi kali ini Pak Marjo tak bisa seperti itu lagi. Ia sedang berjuang untuk mewujudkan impian dia dan alhamarhuma istrinya.
“Bu Dewi, saya mohon maaf. Saya memang ada uang. Tapi saya mohon Bu Dewi untuk memahami, bahwa saya juga butuh uang itu untuk ikut berkurban beberapa minggu lagi. Ini cita-cita saya dengan alhamarhuma istri saya.”
Selepas perginya Bu Dewi, Pak Marjo tak mau menunggu hingga uangnya genap dua juta sembilan ratus ribu. Ia bertekad setelah shalat Magrib nanti langsung mendaftar untuk ikut peserta kurban tahun ini. Uang yang ada akan dia serahkan ke panitia, sehingga jika ada tetangganya yang ingin meminjam, ia sudah punya jawaban yang melegahkan hatinya.
Azan Magrib berkumandang hingga ke rumah kontrakkannya. Ia bersiap. Kain sarung, peci hitam, dan sajadah sudah melekat di tubuhnya. Ia membuka lemari dan mengambil uang simpanannya. Setiap lipatan kain ia raba dengan tangan, tapi tak merasakan gulungan uang. Ia bongkar isi lemari itu dengan memindahkan semua lipatan kain satu per satu keluar sambil memperhatikannya. Tak kunjung ia temukan. Ia berpindah ke bantal. Semua bantalnya ia periksa dan buka sarungnya, tapi uang itu tidak ada. Ia periksa lagi di bawa kasur palembang tempat ia beristirahat. Hanya debu yang ia temukan.
Kamar itu bagai kapal pecah. Pak Marjo tersandar pada dinding kamarnya. Ia berpikir keras, mencoba mengingat letak uang itu. Pikirannya buntu. Semua kemungkinan sudah ia periksa. Namun tak menemukan lembaran rupiah itu. Ia berprasangka buruk. Apakah Pak Mardi yang mengambil uangnya, karena ia sedang butuh, atau Bu Dewi yang menyelinap masuk ke kamarnya saat ia tidur sore tadi?
Pak Marjo mendatangi rumah Pak Mardi. Tapi ia tak jumpa. Hanya anak Pak Mardi di rumah. Anaknya itu menjelaskan, jika Pak Mardi di rumah sakit, menjaga istrinya yang sedang dirawat. Anak itu juga bercerita bahwa Pak Mardi mendapat pinjaman dari tetangga lain. Pak Marjo pasrah tapi tak rela. Ia tak mau lagi berandai-andai atau bahkan menuduh orang lain. Ia menyalahkan dirinya yang tak mau menolong orang lain yang sedang susah. Mungkin ini teguran dari Allah padanya. Ia berucap dalam hatinya, meminta maaf pada alhamarhum istrinya karena tahun ini masih belum bisa berkurban.
Gema takbir bersautan. Hari raya Iduladha menghampiri. Pak Marjo bersiap berangkat shalat Id. Ia memakai baju koko putih, sarung putih dan peci hitam. Hatinya sedih karena impian itu belum bisa terwujud lagi tahun ini. Ia memakai sendal bekas hari raya Idulfitri lalu yang ia simpan ke kotaknya.
“Alhamdulillah Ya Allah,” Pak Marjo kaget melihat gulungan uang itu di dalam kotak sendal.
Referensi
Sunlie Thomas Alexander “Keluarga Kudus”
Zulfa Muntafa “Idul Adha dan Seekor Tikus”
Andre Abidin “Merajut Mimpi Sang Tholabul Ilmi”
Asyifa Riyani “Sobekan Kertas Kecil”
Putri
Kirana “Nu’aiman dan Suwaibith”
Cerpen Budaya 3
Dipersimpangan
Cerpen Malin Batuah
LAMA bekerja belum tentu tahu segalanya dan baru bekerja belum tentu tidak tahu apa-apa. Setiap orang punya waktu cerdas dan bodohnya masing-masing. Tugas kita adalah menemukan kapan waktunya itu ada pada diri kita masing-masing. Ada yang cerdas pagi hari lalu menjadi bodoh saat sore menjelang. Lalu kenapa ada manusia yang bodoh pada waktu pagi di artikan dia akan terus bodoh hingga sore hari. Mengapa menilai manusia hanya pada satu sudut pandang saja, bukankah manusia adalah makhluk yang istimewa?
***
Sarjana pertanian sudah di dapat, tentulah harapan orangtua adalah agar anaknya dapat kehidupan yang lebih layak daripada mereka. Perusahaan bank swasta Amerika membuka cabangnya di Indonesia dan membuka lowongan pekerjaan di kota bertuah. Saya pun sebagai putra daerah berbekal dengan kemampuan berbahasa asing yang bagus dan kemampuan analisa ekonomi ikut mendaftar hanya untuk menguji wawasan serta mengikuti ajakan teman untuk melakukan pendaftaran.
Satu November saya diterima bekerja di perusahaan Amerika ini setelah lolos seleksi dari seluruh Indonesia saya lulusan dari Pekanbaru. Dilanjutkan sesi wawancara saya ditanya “Apakah kamu mampu?”
“Mampu pak”, jawab saya.
“Orang melayu pandai kah bekerja di Bank ini, Amerika punya ini”
“Jangan, anggap remeh orang melayu!”, kata saya tegas.
“Saya buktikan kepada bapak, saya bukan seperti orang melayu yang bapak duga”, lanjut saya.
***
Saya dapat memahami manajemen amerika ini meragukan kemampuan saya dalam bekerja di bank swasta mengingat saya bukanlah lulusan perbankan melainkan alumni pertanian yang sejatinya bekerja menjadi petani bukan di kantor. Karena, saya berawal dari negeri bertuah. Saya termotivasi untuk bekerja lebih baik dari orang asing yang ada di perusahaan ini.
Senioritas memang sangat kental terasa di perusahaan yang katanya global ini, namun pengelolaannya tetap saja masih seperti kampung. Saya mengusulkan untuk merubah bisnis bank konvensional menjadi bank berbasis syariah. Apa kata pegawai lama lah yang benar, bila pegawai baru berkata kembali kepada kata-kata pegawai lama lah yang didengarkan oleh manajemen. Seharusnya setiap ide untuk memajukan perusahaan boleh datang darimana saja.
***
April 1998, sepuluh tahun sudah saya mengabdi di perusahaan ini. Jakarta sudah mulai kurang kondusif karena bencana keuangan global yang berasal dari negeri paman sam. Krisis bank tidak mampu membayar bunga dari property dan ketidakmampuan para kreditur membayar kewajibannya kepada bank.
Puncaknya pada Mei 1998, seluruh kota Jakarta terjadi riot and civil commotion apalagi mereka yang berperawakan seperti jepun dan cina akan langsung dihajar. Saya yang bermata sipit ini pun takut akan menjadi incaran kerumunan. Bos besar yang ternyata telah lebih dahulu mengetahui info dari pagi akan terjadi kerusuhan sudah berada di Singapura, lalu menginstruksikan kepada kami yang masih berada di kantor.
“Surya, kalian pergi ke Hotel Ritz Carlton”
“Bagaimana caranya Pak?” tanya saya
“Tak peduli caranya, seluruh biaya akan ditanggung kantor”, jawab bos besar yang kemudian langsung menutup panggilan telepon.
Tak mungkin pakai jas rasanya keluar dari kantor melihat banyaknya orang membawa kayu, linggis dan senjata tajam di tangannya, kemudian agar selamat kami harus berpenampilan seperti gelandangan yang ada di jalanan Tamrin. Dengan baju robek, wajah yang hitam kami hitamkan dengan pena, spidol dan tinta printer agar wajah kami tidak terlihat seperti mata sipit.
Sore menjelang maghrib pun kami bertiga tiba di hotel seperti pengemis melewati barikade, penghalang dan mobil-mobil yang telah dihancurkan. Hotel ini tidak dimasuki oleh para perusuh karena tentara telah terlebih dahulu tiba mengamankan lokasi. Satpam hotel menolak kami untuk masuk karena mengganggap kami adalah gelandangan. Uang di dompet dan kartu kredit pun kami keluarkan untuk membuktikan bahwa kami punya cukup uang untuk membayar menginap di hotel mewah ini. Setelah berdebat, lalu polisi datang mengambil uang kami dan mengancam bahwa kami akan dimasukkan ke dalam penjara apabila melawan.
“Dasar pencuri” gertak polisi tersebut.
Akhirnya kami pun tidur di jalanan.
***
Bersyukur kerusuhan hanya terjadi dalam waktu dua hari saja, apabila lebih lama lagi maka dapat dipastikan kami akan menjadi gelandangan permanen. Setelah kejadian kerusuhan tersebut perusahaan tidak mengganti kerugian yang kami derita karena tidak dapat dibuktikan berapa nominal uang yang telah di ambil oleh oknum polisi, dan bahkan kami dituntut untuk membayar perusahaan karena tidak menginap di Hotel yang telah ditetapkan untuk kami selama kerusuhan terjadi. “Halo, Bapak tahu bagaimana kami bertahan hidup dari kelaparan selama dua hari yang mencekam itu?”, tanya saya kepada teman-teman kami yang berhasil masuk hotel dengan selamat.
“Tak peduli!”, jawab pegawai lama dengan angkuhnya.
***
Lebih baik mencoba lalu gagal daripada tidak pernah mencoba sama sekali, karena nanti dia akan datang di hari tua dalam bentuk penyesalan. November merupakan bulan terakhir saya bekerja di bank swasta milik Amerika ini dengan logo warna kuningnya. Saya tinggalkan perusahaan amerika lalu menyambung hidup pada perusahaan sawit di Riau.
***
Referensi :
Cerpen Gawai Gedang karya Yurattia Yudian
Cerpen Penabur Ragi karya Ilham Fauzi
Cerpen Lelaki Berkubang Air Mata karya Bambang Kariyawan Ys
Cerpen Visa Januari karya Benny Arnas
Cerpen Religi 2
Cerpen Budaya 2
Cerpen Religi 1
Cerpen Budaya 1
Cerpen Sosial 5
Cerpen Lingkungan 5
Cerpen Sosial 4
Sejarah, Akar Masalah, dan Cara Islam Tuntaskan HIV/AIDS
*Sejarah, Akar Masalah, dan Cara Islam Tuntaskan HIV/AIDS* Oleh: Yenni Sarinah, S.Pd (Aktivis Pendidikan Kelahiran Selatpanjang, Riau) ...
-
PRIVATE ANANDA dibuka pertama kali di Selatpanjang, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau pada tanggal 8 Januari 2018 (08/01/2018) oleh Yenni Sa...
-
Contoh: PERHITUNGAN AKAR SAMPAI SATU ATAU DUA TEMPAT DESIMAL √12 = 3,43 = 3,4 √27 = 5,2 √8 = 2,8 √15 = 3,86 = 3,9 ...